text
stringlengths 478
2.18M
|
---|
Title: Rumah Impian
Category: Teenlit
Text:
BAB 1
Gerimis. Tetapi anak kecil itu masih saja bergulat dengan asap kendaraaan yang berlalu lalang di perempatan lampu merah yang terkenal dengan nama Blok O. Tangannya mengayun-ayunkan alat musik sederhana yang terbuat dari tutup botol minuman rasa-rasa yang dipakukan pada sebuah batang kayu pipih, sambil mulutnya menyanyikan potongan lagu yang sedang popular saat ini. Hanya beberapa kata saja, kemudian ia mengulurkan tangan pada pengendara yang sedang menunggu lampu menjadi hijau. Kadang ditolak, kadang diberi. Sudah biasa batinnya, ketika menemui pengguna jalan yang memberi tanda “tidak” ketika tangannya terulur meminta apresiasi berupa receh.
Gerimis sudah berubah menjadi menjadi sedikit deras ketika anak sembilan tahun itu memilih beristirahat di emperan toko, menghitung hasil dari nyanyian sumbangnya di jalan siang ini. Dua puluh satu tujuh ratus. Jumlah yang cukup banyak, mengingat belum ada satu jam ia melancarkan konser kecilnya di depan pintu-pintu mobil mewah yang melewatinya. Ia tidak sendiri, beberapa temannya yang lain juga sedang melakukan hal yang sama dengan alat musik yang berbeda. Ada yang menggunakan ukulele, botol bekas air mineral yang diisi beras, bahkan ada yang hanya dengan tepukan tangan saja. Ia memasukkan hasil ngamennya hari ini ke dalam kantong celana lusuhnya, tidak lupa ia menyisakan dua ribu rupiah, membeli es teh di warung tempatnya berteduh saat ini, meredakan hausnya. Ia menyerahkan empat keping lima ratus rupiah kepada penjual es teh yang dikenal dengan nama Mak Yatmi.
“Es Teh satu mak, dibungkus, yang manis,” katanya. Mak Yatmi membalas dengan senyum, “Iya le,” lanjutnya sambil tangannya sibuk meracik es teh yang dipesan si bocah tadi.
“Kamu nggak pulang Ma? Sudah tiga hari to kamu nggak pulang?”, tangan Mak Yatmi mengulurkan es teh dalam plastik kepada Rama, nama bocah itu.
“Nggak Mak, buat apa pulang,” Rama menyeruput tehnya cepat-cepat, seperti sangat kehausan, dan beranjak dari duduknya, sepertinya enggan melanjutkan pembicaraan. Mak Yatmi hanya menggelengkan kepalanya. Ia merasa geregetan tetapi juga kasihan, tidak tega. Bocah seumur jagung sudah harus mencari penghidupannya sendiri. Walaupun Rama tidak sendiri dijalanan, tetapi tetap saja, mereka, anak-anak itu seharusnya masih bisa menikmati waktu mereka di sekolah atau ditempat-tempat ramah anak. Bukan di jalan seperti saat ini.
Setelah sebungkus es tehnya tandas ia kembali lagi pada rutinitasnya. Sesekali ia beristirahat dan bersenda gurau dengan teman-temannya. Saling mengolok, bahkan terkadang keluar kata-kata kotor dan makian. Sudah biasa. Jalanan telah mengajarinya banyak hal walaupun belum lama ia memasuki dunia jalanan bersama satu temannya yang bernama Faisal. Mereka tidak saling mengenal sebelumnya, tetapi dunia jalanan lah yang mempertemukan mereka, Faisal datang ke perempatan tempat Rama biasa ngamen, dimana saat itu Rama baru tiga hari datang ketempat itu. Teman-teman ngamen yang sebelumnya disitu pun menyambut dengan gembira ketika ada Rama dan Faisal yang setelahnya datang, tidak merasa tersaingi dengan adanya orang-orang baru.
Hari sudah semakin malam. Hujan yang sedari tadi deras, sekarang hanya tinggal menyisakan kubangan-kubangan di jalan-jalan berlubang. Mereka berdua berjalan pelan sambil sesekali bergurau dan memainkan ukulele. Melewati remang jalanan yang sepi dan menyisakan sunyi. Mereka mencari tempat untuk berteduh malam ini. Keduanya tidak pernah berteduh di tempat yang sama setiap harinya, selalu mencari emperan toko yang baru dan belum pernah mereka tempati. Namun, sesekali mereka pulang untuk sekedar berganti pakaian ataupun menengok adik-adik mereka yang masih kecil.
“Rima apa kabar?” tiba-tiba Faisal bertanya dengan masih memainkan ukulelenya.
“Baik kayanya,” jawab Rama enteng, sambil menatap kebawah, menendang-nendang kerikil di trotoar.
“Lo nggak pengen pulang Ram, paling enggak nengokin adek lo lah, kasian dia sendirian di rumah.”
“Ah, dia juga udah gedhe Sal, cuma beda setahun sama gue,”
“Wah, parah lo nyama-nyamain, beda lah, gimanapun dia cewek bro.” Faisal kini sudah menghentikan permainan ukulelenya, “udahlah, malem ini lo pulang aja, jangan karena emak bapak lo, lo malah nyalahin Rima,” jelasnya dengan pemikiran yang lebih dewasa dari temannya itu.
Rama berpikir sejenak, sebenarnya ia juga rindu pada adiknya yang sudah tiga hari ini tidak ia temui. Tapi bagaimana lagi, suasana hatinya sedang tidak ingin pulang, jika mengingat keluarganya saat ini.
“Lah, lo gimana dong, sendirian di emperan,” katanya, berusaha mencari alasan agar tidak pulang malam ini.
“Bodo amat, nggak usah ngurusin gue, lo harus pulang Ram,” langkah Faisal terhenti di salah satu toko yang sudah tutup, “gue disini, lo pulang aja, sumpah kasihan si Rima, lo nggak tau kan dia bisa makan apa enggak hari ini,” imbuhnya.
Rama menghela nafasnya, memikirkan perkataan Faisal yang ada benarnya. Bagaimana jika adiknya tidak bisa makan selama ia pergi, bagaimana jika adiknya menangis karena keadaan keluarganya, bagaimana jika… Semakin lama berpikir justru semakin pertanyaan dalam kepalanya, dan itu membuatnya khawatir. Ia menatap Faisal sebentar, bergumam, “Oke, gue pulang,” dan melangkahkan kakinya menjauh dari emperan toko tempat Faisal bermalam hari ini. Akhirnya ia memutuskan pulang, untuk menjawab semua pertanyan di otaknya yang membuatnya khawatir.
Faisal benafas lega, dan mulai memposisikan diri untuk tidur, beralaskan koran yang sudah ia persiapkan, ukulele kesayangannya pun setia menjadi guling disetiap malamnya.
***
BAB 2
Siang ini jalanan ramai sekali, seperti hari Minggu biasanya, jalanan penuh dengan kendaraan bermotor dan mobil-mobil mewah. Kesempatan bagus bagi anak-anak yang mengamen hari itu, bisa mendapat banyak pemasukan. Faisal misalnya, dua jam sudah ia memainkan ukulelenya, walaupun sesekali berhenti untuk berteduh. Ia menghitung penghasilannya malam ini. Seratus lima puluh tujuh dua ratus rupiah. Jumlah yang sangat menggiurkan. Pantas saja anak-anak itu betah berada dijalanan, ternyata memang prospek dan hasilnya sangat memuaskan. Hanya dengan bermodalkan alat musik abal-abal, dan suara sumbang namun lantang, bisa menghasilkan sekian rupiah dalam dua jam. Ia mengumpulkan kumpulan recehnya dalam satu wadah yang kemudian ia kantongi.
Faisal Wibowo, nama lengkap yang diberikan oleh orang tuanya. Dia berusia setahun lebih tua dari Rama, yaitu 10 tahun. Keadaan keluarganya hampir sama dengan Rama, hanya saja ibunya sudah meninggal dan ayahnya penjudi dan pemabuk parah, berbeda dengan Rama yang orang tuanya masih utuh hingga saat ini, walaupun sudah diambang perpisahan. Hal itulah yang membuat bocah semuda itu memutuskan untuk lebih memilih tinggal dijalanan bersama dengan “keluarga” barunya yang lebih membuatnya nyaman.
Faisal bangkit dari tempatnya berteduh, ketika melihat Rama yang kali ini tidak sendiri berjalan menghampirinya. Rama bersama si Rima adiknya yang jelita. Dengan rambut lurus panjang sebahu, kulit kuning bersih, dan gingsul di deretan giginya menambah kesan manis pada diri Rima. Faisal menatap Rama penuh tanya, dahinya berkerut dalam, dan Rama hanya menjawab dengan bahunya yang terangkat isyarat bahwa, “Iya gue salah, tapi gimana lagi.”
Rima menatap bingung kedua lelaki yang ada di depannya saat ini. Beberapa detik Rama dan Faisal masih saling bertatapan, namun detik selanjutnya Faisal mengalihkan pandangannya pada Rima, sudut-sudut bibirnya tertarik dan membentuk sebuah senyuman. Hangat.
“Jangan mau Rim kalo di ajak Rama ke jalan. Lo dirumah aja sana,” tutur Faisal masih dengan senyum di wajahnya.
“Rima cuma mau bawain baju ganti buat Bang Rama kok, abis ini pulang lagi.”
Rima mengangkat tas yang ia bawa sedari tadi, berisi pakaian-pakaian abangnya dan menunjukkannya kepada Faisal seakan memberi bukti bahwa ia tak minat berlama-lama dijalanan dan mengikuti jejak sang abang.
“Yaudah, sana lo pulang dek, gue mau cari duit dulu,” belum sempat Faisal menjawab perkataan adiknya, Rama sudah lebih dulu menyuruh Rima untuk pulang.
“Iya, ini baju abang. Jangan buang-buang baju lagi, kalo kotor dibawa pulang.”
Sudah seperti ibunya saja, Rima menasehati Rama, karena salah satu kebiasaan buruk Rama adalah membuang baju-bajunya jika sudah kotor, dan berganti pakaian bersih yang biasa diantarkan oleh adiknya.
“Iya, udah sana jangan berisik. Ati-ati lo dek.”
Tetap saja ada senyum tipis yag tersungging di bibir Rama untuk adiknya, walaupun ia terkesan cuek, tapi tetap saja ada sebagaian kecil dari dirinya yang merasa khawatir.
Rima pun berlalu, berjalan sendiri, pulang ke rumah.
***
Hari berlalu seperti biasa bagi Rama dan Faisal. Ngamen – Istirahat – Makan – Ngamen – Mandi – Ngamen lagi. Sudah seperti itu saja keseharian mereka, kecuali jika pulang ke rumah.
Kali ini Rama ngamen sendirian, Faisal masih sibuk dengan es tehnya di warung Mak Yatmi. Ia berpindah dari satu mobil ke mobil lainnya, dan berhenti pada satu mobil mewah berwarna putih, berharap di beri recehan. Bukan kaca jendela depan yang terbuka, tetapi justru kaca belakang, yang di susul dengan munculnya wajah seorang gadis kecil seusia Rama, masih menggunakan seragam sekolah berwarna biru. Matanya yang bulat memandang Rama, dan memanggil namanya antusias.
“Natan!”
Rama sedikit terkejut, karena selama ini hanya ada satu orang yang memanggilnya dengan nama Natan, dengan alasan lebih menyukai nama Natan, daripada Rama.
Rama menghentikan permainan ukulelenya. Belum sempat Rama menjawab, gadis kecil berambut keriting itu sudah menghujaninya dengan banyak pertanyaan.
“Natan ngapain disini? Kenapa nggak sekolah lagi? Sekarang nggak ada yang nemenin aku makan bekal loh.”
Belum ada jawaban selain cengirannya yang serba salah. Rama tidak tahu harus menjawab seperti apa. Saat baru hendak membuka mulutnya, seorang wanita berusia 30an yang berada disisi gadis kecil itu tersenyum pada Rama kemudian menatap gadis itu.
“Udah Sienna, besok lagi ngobrolnya, udah di klakson-klakson dari belakang itu loh.”
Tanpa sadar lampu merah sudah berubah menjadi hijau, dan suara klakson dari para pengemudi dibelakang yang tidak sabaran membuat jalanan padat itu menjadi bising.
Sienna, nama gadis itu. Ia menatap wanita yang merupakan mamanya itu, meminta sedikit tambahan waktu untuk bisa mendengar jawaban Rama.
Mamanya hanya membalas dengan gelengan kepala.
“Ayo jalan Pak,” putus mamanya.
Mobil putih itu perlahan berjalan, meninggalkan Rama yang masih terdiam di tempatnya. Detik selanjutnya ia tersadar kemudian meninggalkan jalanan dan menepi, menghampiri Faisal.
“Siapa?”
“Temen sekolah gue dulu.”
“Oh..”
Sienna Debora. Gadis itu adalah sahabat Rama, ketika ia masih berada dibangku sekolah. Gadis kaya yang tidak pernah memandang status sosial Rama, berbeda dengan teman-temannya yang lain yang selalu mengejeknya karena keadaan ekonomi keluarganya, dan juga karena lingkungan rumah Rama yang berada di daerah kumuh, orangtuanya pun tidak pernah melarang untuk berteman dengan Rama.
Gadis itulah yang membuatnya untuk pertama kalinya merasa diterima.
***
Description: Bionerges May Langga Janji | IG : @ennomlj | "Novela ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #Pulang 2020."
Kalau rumah hanya berbicara tentang dinding dan atap saja, maka seindah apapun tidak akan membuatnya nyaman untuk ditinggali.
Berbeda ketika rumah berbicara tentang hubungan siapapun yang tinggal didalamnya, maka damai sejahtera pun akan tetap tinggal hingga dindingnya tak lagi kokoh dan atapnya tak lagi bisa melindungi.
Aku hanya ingin kembali, katanya. Ke rumah yang benar-benar rumah, dimana aku bisa pulang.
|
Title: Rindu Untuk Mesir
Category: Cerita Pendek
Text:
“RINDU UNTUK MESIRâ€
RINDU UNTUK MESIR”
Oleh: Sisca Dwi Nurhayati
“Nah, jadi sebenarnya dimana yang salah? Aku atau mereka?” … .
Bandung, kota yang dengan begitu banyak cerita tua penuh cinta katanya. Seorang gadis yang jauh dari kata istimewa itu tengah sibuk berdebat dengan salah satu teman dekatnya, Naryo diantara orang-orang sibuk ngerjakan tugas. Nil, begitu banyak teman memanggil perempuan sederhana itu. Tiba-tiba satu pesan masuk ke ponsel jadulnya. “Nil, ada sms tuuh..ciiie pasti dari oprator.” ejek Naryo. “Yalaah..nanti aja di bukanya.”. “Okay, lanjut lagi pada pembahasan tadi. Bukan siapa yang salah dan siapa yang bener Yo, tapi siapa yang mau lebih dulu meminta maaf dan memperbaiki kesalahan yang sudah terjadi. Bukan hanya kita yang butuh didengar, tapi mereka juga.” .- “Ya, yaudah do’ain aja biar semua baik-baik aja. Yuk pulang.”
Selepas perkuliahan, pulanglah Nil ke kosan terpencilnya. Jauh dari peradaban dan pengelihatan katanya, tapi Nil tetap betah dan tidak mau pindah karena sudah nyaman. Begitulah ia, sekali nyaman terhadap apapun tidak akan pergi meninggalkan. Sesampainya di kosan dan selesai membersihkan diri barulah ia membaca pesan yang sudah ada sedaritadi siang. Pesan itu ternyata dari Madina, teman kecilnya sewaktu dulu yang berisi ajakan pertemuan bersama liburan minggu ini. Setelah dipikirkan dengan segala pertimbangannya akhirnya berangkatlah Nil ke tempat masa kecil dan remajanya yang menurut Nil teramat kelam ceritanya. Ya memang, Nil yang sekarang benar-benar jauh berartus-ratus derajat bedanya dengan Nil yang dulu. “Sungguh, aku tidak tau apakah aku bisa seperti sekarang ini, jika dulu Allah tidak membelokkan jalanku. Melepas segala harapan yang telah kubangun susah payah dan terhempas jauh dari tempatnya. Tapi benar, Allah tau yang terbaik untuk jalan cerita hidupku dan hamba-hambaNya.” Begitu kurang lebih pikir Nil tiap kali teringat segala hal yang ia alami dalam kehidupannya yang benar-benar jauh dari kata sempurna bahkan jauh dari kisah hidup orang-orang kurang beruntung lainnya. Nil benar menganggap ia teramat beruntung dilempar jauh dari Ibukota dan bertemu dengan sahabat-sahabat pengingat dan penguat imannya.
Di tempat pertemuan, haru biru kerinduan terhampar diantara seluruh yang datang. Nil lebih banyak bercerita dengan Madina, karena Madinalah satu-satunya teman terdekat Nil sedang yang lain mulai menjauh. Seperti Ria, dan Kia yang mulai benar menjauh dari Nil dan Madina. “Nil, kamu beda banget sekarang seriusan. Baytheway sekarang lagi deket sama siapa?” tanya Madina yang mulai menggelitik. “Alhamdulillah, diberi kesempatan untuk berhijrah.hihi. yang deket dalam arti apa nih? Kalo deket dalam arti khusus sih gaada Din. Belum tertarik lagi.” Jawab Nil. -“Hehe. Yaa emangnya kenapa?”. -“simpel sih Din, terakhir kali aja dua tahun yang lalu diselingkuhin Cuma gara-gara jarak beberapa kilometer. Dan terlebih lagi kan aku sering diingetin sama temen kalo orang yang beneran serius dan satu-satunya jalan untuk cinta itu bukan pacaran tapi nikah. Nahloh kan, kalo nikah mana siap. Yang ada pada kabur laki sekarang kalo dibilangin begitu.haha.” –“ciiiee.. bener juga sih Nil. Eh iya, kamu tau Mesir kan? Mantannya Ria itu looh.. dia nanyain kamu semalem. Katanya ngefans sama senyum kamu.ciiiee haha.” Ledek Madina lagi. “Ooh.. iya kenal. Masa sih? Waah.. ko bisa sama yah, tapi bukannya dia udah punya pacar ya?” jawabnya Nil dengan muka memerah. -“Ciiee seneng juga kaan.. dia udah putus ko Nil.” -“Ooh.. gituuu”.
Sepulang pertemuan itu sudah saatnya berlibur panjang akhir semester dan itu artinya Nil kembali ke kampung halamannya di Limbangan, Garut. Disitulah tempat yang dulunya Nil kira tempat pembuangan dirinya dan membuat Nil marah sampai tidak berbicara selama seminggu karena benar Nil merasa seperti seluruh impian yang dirangkainya itu sudah direnggut oleh keadaan. Baru beberapa menit Nil berselonjor karena lelah dengan macetnya jalanan, sambil membuka akun Facebooknya Nil melihat ada satu pesan masuk. Nil kira itu dari Naryo atau Maryam jadi tidak terlalu diperhatikan. Setelah makan dan cukup bugar lagi barulah ia buka pesan diFacebooknya itu dan ternyata berasal dari seseorang bernama Mesir yang beberapa hari lalu dibicarakan dengan Madina.
“Mata dan hati aku ada sesuatu yang belum boleh untuk diungkapkan… .”
Pesan demi pesanpun terkirim dan terbalas oleh keduanya, Nil dan Mesir. Ada banyak hal yang ingin Nil tau tentang Mesir, namun pertanyaan-pertanyaan itu tidak pernah terlontar dan begitupun Mesir yang tidak melontarkan dengan sengaja apa yang ingin Nil tau. Tidak banyak kata memang yang terlempar panjang dari Mesir untuk Nil atau dari Nil untuk Mesir tentang apa yang mereka rasakan. Tapi benar ada banyak ketakutan dalam hati Nil, “Bolehkah aku merindukannya?” “Sampai kapan akan bahagia seperti ini dengannya?” “Mampukah aku mengalahkan masa lalunya?” “Akankah hatinya berubah? Atau hatiku yang berubah?” Ya, Nil merasa takut seperti itu, karena diantara laki-laki yang mendekat hanya Mesirlah yang mampu membuatnya merasa ingin menjadi seseorang yang lebih baik untuk bisa pantas mendampinginya. Nil benar berharap kisah ini menjadi yang terakhir, tidak menyakiti lagi, atau tidak meninggalkan lagi hanya karena jarak yang bahkan kali ini jutaan mil jauhnya atau lebih. Dan pada akhirnya, Nil hanya bisa menyerahkan segalanya pada pemilik hati yang mampu membolak-balikkan hatinya dan hati Mesir.
Tahun demi tahun sudah terlewati, semakin sedikit dan jarang sekali pesan diterima dan terkirim antara Nil dan Mesir. Tapi Nil masih tetap menggapai impian-impiannya sambil menunggu Mesir pulang meskipun belum tentu pulangnya untuk Nil. Rindunya sungguh tidak tertahan terhadap Mesir yang bahkan entah merasakan yang sama atau tidak. Hanya bait-bait puisi dan do’a yang tertulis dan terucap ditiap harinya. Sampai satu persatu impian Nil tercapai, mendaki puncak-puncak tertinggi Indonesia; mengabdi pada Indonesia dengan mengajar diantara pulau-pulau tak tersentuh pemerintah; sampai memenuhi segala keinginan keluarganya. Semua sudah tercapai dalam waktu menunggunya.
“Assalamu’alaykum, Nil. Apa kabarmu saat ini? Masihkah engkau sendiri? Aku merasa sudah siap untuk bertemu dengan kedua orangtuamu dan mempertemukanmu dengan kedua orangtuaku.”
Sungguh pesan yang membuat Nil bahagia tanpa tepi diantara deburan ombak dan siswa-siswa disekelilingnya. Pesan dari seseorang yang telah lama dinantinya, Mesir. Sayangnya pesan itu dikirim sudah sebulan lebih, dan itu membuat Nil khawatir apakah pesan itu masih berlaku sampai hari ini atau tidak. Karena memang keadaan tempat Nil tidak memudahkannya untuk berkomunikasi dengan dunia luar. Dengan penuh ragu dan harap Nil membalas pesan itu.
“Wa’alaykumussalam warahmatullah. Aku sungguh dalam keadaan beruntung karena masih diberi kesempatan bernapas dan membaca pesan darimu Mesir. Saat ini aku tidak di pulau Jawa. Kiranya kau sudi untuk menungguku kembali beberapa bulan lagi setelah masa mengabdiku selesai, sungguh itu menjadi hal yang aku rindukan.”
Ya begitulah.. pada akhirnya penantian Nil dan tumpukan rindunya untuk Nil terbayarkan sudah.
“RINDU UNTUK MESIR†- Bagian Dua
“RINDU UNTUK MESIR”
Bagian Dua
Oleh: Sisca Dwi Nurhayati
“Bukan gitu caranyaa!!.. Gimana sih, apa-apa ga bisa!!”
Setiap hari hanya cacian, makian dan omelan yang di dapat oleh Nil setelah pernikahannya bersama Mesir. Nil dan Mesir masih tinggal di rumah yang sama dengan orang tua Mesir, masih mencari modal katanya. Tapi ya seperti itu yang harus di alami oleh Nil, kaya akan makian mertuanya yang memang kurang setuju dengan pernikahan mereka. Katanya karena perbedaan suku, perbedaan derajat keluarga. Nil hanya bisa bersabar menghadapi semuanya.
“A ..uang kita sudah ada berapa? Kalau sudah cukup untuk mengontrak, rumah kecilpun Nil tak apa. Nil ingin kita belajar mandiri.” – “Maafkan Ibu yaa Nil, dengan sikap Ibu yang seperti itu pasti melukai hatimu. Uang kita sudah cukup jika hanya kontrakan kecil, tapi apa kau benar tidak masalah?”- “Nil gapapa ko A kalo soal Ibu, Nil tau maksud Ibu baik biar Nil belajar lagi. Benarkah A?”.- “Ya, Insya Allah bulan depan kita pindah ke kontrakan ya sayang.” –“Iya, makasih yaa A”.
Perpindahannya dari rumah mertua, malah membuat Ibu mertuanya itu semakin marah. “Sok banget sih kamu Nil, make acara minta pindah pindah segala. Ke tempat yang kecil seperti ini, kalo kamu sih udah biasa kali di tempat kecil kaya gini karena emang dasarnya miskin. Lah kalo Mesir, kamu kira dia bisa tinggal di tempat kaya gini? Bisa sakit dia.” Hujat Ibu mertua Nil saat mendatangi kontrakan baru Nil dan Mesir yang membuat Nil hanya bisa tertunduk. “Sudah Bu, malu kalo di dengar tetangga.” Ujar Mesir yang mencoba menenangkan Ibunya. –“Hah, biarin aja. Apa peduli mereka, yasudah Ibu gak mau lama-lama di sini. Kamu juga kalo udah ga tahan, pulang ke rumah.” Lantas pulanglah Ibu mertua Nil.
Nil hanya langsung masuk ke kamar kontrakan barunya sambil menangis tersedu. “Maafkan Nil A, kalau Nil membuat Aa merasakan derita seperti saat ini. Tapi sungguh A, Nil tidak akan meninggalkan Aa sampai kapanpun dan dalam kondisi apapun.”. –“Tidak Nil, bukan kamu yang salah, ini memang jalan cerita kita harus seperti ini. Aku tau kau tidak akan meninggalkanku, dan Aku akan berusaha membahagiakanmu selama kau menemaniku.” Memang saat ini kondisi Nil dan Mesir masih belum stabil, karena sekarang Nil hanya mengajaar di satu Sekolah Dasar dan Mesir hanya menjadi Asisten Dosen. Tidak kurang, tapi tidak berlebihan. Hanya tetap saja di mata orang tua Mesir itu adalah penderitaan untuk Mesir karena memilih Nil.
Tahun pertama dilewati dengan sama oleh mereka, dengan setiap harinya selalu Nil menyiapkan sarapan dan the hangat untuk Mesir sebelum berakngkat mengajar sampai menanti datangnya Mesir kembali pulang dan menyiapkan segala keperluan Mesir hingga Mesir tidur, tidak ketinggalan rentetan semangat dan dukungan untuk Mesir dari Nil yang selalu mampu membangkitkan semangatnya untuk membahagiakan Nil. Sampai pada suatu malam, “Assalamu’alaykum, Nila.. Aku pulang..” sambil berlari kecil dari kamar mandi Nil menjawab “Wa’alaykumussalam warohmatullah, maaf ya A Nil dari kamar mandi, mual daritadi pagi.” –“Kamu ga kenapa-kenapa Nil? Kita ke dokter ya. Harus.” Berangkatlah mereka ke dokter, dan hasilnya adalah Nil mengandung buah cintanya bersama Mesir.
Tahun kedua pernikahannya merupakan kado terindah bagi Nil karena di karuniai seorang anak laki-laki yang di beri nama Muhammad Cassaffa(Saffa), terlebih kondisi ekonomi keluarganya semakin berkembang karena Mesir kini diangkat menjadi Pegawai Negeri di tempatnya mengajar, dan di tambah pula kebahagiannya karena Ibu mertuanya sangat menyayangi Saffa, meskipun masih tetap sama jika terhadapnya. Tahun itu benar-benar dipenuhi kebahagiaan bagi Nil.
Bertahun-tahun berlalu dengan bahagia bersama keluarga kecilnya, kontrakan yang kecil itu kini menajdi rumah miliknya sendiri yang tidak hanya berkamar satu, tapi banyak. Halaman rumah yang luas dan kebun di belakang rumah. Ya, perjuangan Nil dan Mesir kini berbuah manis bersama manisnya kedatangan buah hati keduanya yang diberi Nama Orizza Satifa(Izza). Tapi itu tidak berlangsung lama, badai siap datang untuk mengusik bahagianya Nil. Karena sudah beruang dan makmur, entah kenapa Mesir sering pulang terlambat dan terlihat pucat. “Maafkan Aku Nil.” Begitu yang hampir setiap harinya Mesir katakan pada Nil tanpa memberi alasan maaf untuk apa yang ia pintakan itu.
Mesir adalah seorang yang berbakti kepada orangtuanya. Orangtua Mesir yang memang tak puas dengan pilihan Mesir, mencarikan lagi wanita untuk Mesir. Mesir selalu menolak, namun Ayahnya yang sudah tidak bisa bangun itu memintanya sebagai permintaan terakhir katanya. Dengan terluka dan berat hati ia menyanggupinya dan menikahlah dia dengan wanita lain pilihan Ibunya, Ayuni. Tanpa terlebih dahulu mengatakannya pada Nil, karena ia tahu itu akan melukai Nil. Tapi bagaimanapun bangkai yang disembunyikan akan tercium baunya. Nil merasa Mesir dipenuhi pendritaan yang ia tidak tau darimana datangnya.
“A ..maukah kau menjawab setiap pertanyaanku seperti dulu?” tanya Nil dengan tatapan lembutnya yang membuat Mesir tertunduk dan meneteskan airmata. “Maafkan aku Nil, Aku telah menikah dengan wanita lain pilihan Ibuku. Maafkan aku Nil, sungguh maaf karena aku mengingkari janjiku membahagiakanmu selama kau disampingku. Maaf karena aku harus melukaimu, aku tidak tau harus bagaimana. Tolong katakan padaku apa yang harus aku lakukan.” Seketika terasa luruh seluruh hati dan jiwa Nil, hujanpun turun sangat deras dari matanya yang teduh itu. Hancur hatinya sehancur-hancurnya. Mesir hanya mampu bersimpuh sambil menangis karena tau ia membuat hancur hati wanita yang ia cintai. “Ceritakan padaku, kenapa kau harus seperti itu?” tanya Nil lagi dengan airmata yang mengalir. Mesirpun menceritakan semuanya, kemudian Nil mengusap airmatanya juga airmata diwajah suami tercintanya dan tersenyumlah ia. “Baiklah, itu sudah menjadi keputusanmu untuk tetap berbakti kepada orangtuamu. Aku tidak apa-apa selama kau tidak berubah. Aku akan baik-baik saja.” –“tidak mungkin kau tidak apa-apa Nil, aku tau kau terluka.” –“benar, aku terluka. Sangat terluka, tapi asal kau tidak berubah dan kau ikhlas dengan ini semua akupun ikhlas Mesir. Karena bagiku, kau tetaplah Mesir yang aku cintai dan mencintaiku. Kau tetaplah Mesir, ayah dari anak-anakku. Kau tetaplah Mesir yang memberikan beribu kebahagiaan di tiap hariku, kau tetap Mesir yang akan selalu aku tunggu datangnya. Dan kau akan tetap menjadi Mesirku, Mesir yang aku rindu. Ingat, bahwa aku akan selalu menemanimu bagaimanapun keadaanmu. Mungkin saat ini adalah saat bagiku untuk membagi kebahagiaanku denga wanita bernama Ayuni itu.” Bertambah jadilah tangis Mesir mendengar istri tercintanya berkata seperti itu. “Benar, aku akan tetap menjadi Mesirmu.”
Mesir tidak berubah terhadap Nil, justru semakin menjadi cintanya pada Nil itu. Setiap hari selalu ada kiriman bunga untuk Nil dan mainan atau makanan untuk Saffa dan Izza tiap kali Mesir pulang. Mesir lebih sering datang untuk Nil dibandingkan untuk Ayuni. Kalian taulah, cintanya untuk Nil bukan Ayuni. Hanya raganya saja jadi milik Ayuni. “Ayah, kenapa kau lebih sering mendatangiku?” tanya Nil pada Mesir. “Karena kau adalah satu-satunya tempatku untuk pulang.” –“Tapi kau melukai Ayuni juga yah.” –“Aku tau itu, tapi aku lebih terluka saat bersamanya. Membayangkanmu tidur sendiri dirumah ini dengan anak-anakku. Bukankah aku lebih jahat kepadamu?.” Nil hanya tersenyum dan memeluk Mesirnya itu.
Saffa dan Izza mulai tumbuh besar, Saffa memasuki kelas lima Sekolah dasar dan Izza kelas tiga Sekolah Dasar. Badai siap datang lagi menerpa bahagianya Nil yang sudah separuh luruh. Mesir sakit parah dan sulit untuk bangun, namun Nil tidak pernah lelah menemani Mesir, menyuapi, bercerita tentang harinya, membersihkan Mesir dari segala hajatnya, seluruhnya Nil yang melakukan. Sampai suatu hari Ibu mertuanya datang dan menjemput Mesir. Tapi sejak saat itu, Nil dilarang menemui Mesir dan anak-anaknya. “Kamu tak perlu lagi datang kemari. Mesir sudah punya Ayuni yang jauh lebih baik dari kamu. Pergi sana, biar anak-anak Mesir diurus oleh Ayuni.” –“Tidak bu, anak-anakku adalah milikku. Kau tidak berhak membawa mereka, mereka satu-satunya yang aku punya. Dan aku tidak akan pernah meninggalkan Mesir.” Tangis Nil terdengar ke kamar Mesir, dan ia yang tidak bisa berbuat apapun hanya menangis dalam ketidakmampuannya. Sungguh menjadi hal yang menyakitkan bagi keduanya. Nil kalah dalam pertengkaran dengan mertuanya yang dibantu dengan Ayuni, ditendang dan diusir dia dari tempat suami dan anak-anaknya berada. Tangis benar-benar membanjiri hari itu, Mesir, Nil, Saffa, Izza. Seluruhnya. Rumah besar hasil jerih payah Nil dan Mesir itupun akhirnya dijual oleh sang mertua. Dan itu membuat Nil harus kembali tinggal di rumah kontrakan kecilnya.
Tiap harinya selama bertahun-tahun selesai mengajar, Nil selalu datang ke sekolah kedua anaknya. Dan secara sembunyi-sembunyi menemui atau makan bersama anak-anaknya, meski selalu berakhir pada perpisahan yang menyakitkan ketiganya. Saffa dan Izza yang tumbuh dewasa dan mengerti keadaan Ibunya, selalu berusaha secara sembunyi mempertemukan Ibu dan Ayahnya. Mesir hanya mampu menangis sejadi-jadinya karena tak mampu berbuat apapun. Dan Nil hanya mengatakan “Aku merindukanmu Mesir, sungguh merindukanmu. Maafkan aku karena tak bisa menemanimu disaat kau seperti ini. Aku ingin berada di sisimu, sungguh. Tapi orang-orang diluar sana melarangku. Maafkan aku Mesir, tak mempu memenuhi janjiku.” Tau akan kedatangan Nil, mertua dan Ayuni langsung masuk ke kamar tempat mereka sekeluarga membongkar tabungan rindunya. Siapa sangka, hari itu adalah hari terakhir Mesir menghembuskan nafasnya. Mesir hanya menunggu datangnya Nil. Airmata lagi-lagi membanjiri hari itu, Nil dan anak-anaknya hanya mampu menangisi kepergian Mesir. Ditambah lagi sakitnya hati Nil dengan tuduhan-tuduhan mertuanya bahwa karena dialah Mesir seperti itu. Semakin bertambahlah kebencian di hati mertuanya untuk Nil dan itu membuatnya semakin sulit menemui kedua anak-anaknya.
Bertahun menahan penderitaan dan menabung kerinduan-kerinduan pada cintanya, Mesir dan anak-anaknya membuat tubuh Nil rapuh dan sakit-sakitan. Sampai pada suatu hari anak-anaknya secara sembunyi datang ke rumah kecil tempat Nil tinggal. Mereka meluapkan seluruh kerinduannya dalam tangis yang tidak terhenti. “Saffa, Izza, ibu rindu sekali pada kalian. Pada ayah kalian, ibu sudah lama menunggu kalian. Hari ini ibu merasa tabungan rindu ibu pada ayah kalian sudah cukup banyak dan tidak cukup lagi. Ibu ingin pulang, ayah kalianpun sudah menanti kedatangan ibu. Kalian harus menjadi anak yang baik, jangan pernah menyerah dengan apapun yang kalian inginkan. Belajarlah ilmu sabar, maka kalian akan tau bahwa cinta sang Pencipta itu benar adanya. Aku menyayangi kalian. Sungguh.” Maka menangislah sejadi-jadinya seluruh yang ada dalam kamar. Tak bersua. Setelah mengucapkan dua kalimat syahadat, pergilah Nil dengan membawa tabungan rindunya untuk Mesir.
Tamat.
Description: Campuran dari sedikit kenyataan dan banyak hayalan tingkat tinggi.
|
Title: Rinai
Category: Novel
Text:
Poligami Pekerjaan
Ruangan itu sempit. Berisi sebuah meja kayu berwarna coklat keemasan dan tumpukan berkas dan dokumen penting. Dindingnya berwarna putih dan pudar, menunjukkan kalau ruangan itu sudah lama tak dapat perawatan. Sebuah lemari panjang berdiri dibelakang, berisi beberapa buku, katalog, dan miniatur motor yang serupa dengan motor-motor yang mereka jual.
Pak Daniel duduk di kursi kebesarannya. Ia berusia paruh baya dengan semangat tinggi. Dia adalah Kepala Dealer, atasan Rinai yang sudah menjabat di dealer setahun terakhir.
Rinai sendiri duduk di hadapan Pak Daniel. Matanya jelalatan dengan lutut yang bergoyang pelan. Mendadak pagi ini Pak Daniel memanggil dia, tapi sampai sekarang yang bersangkutan malah sibuk sama kacamatanya, dan membuat Rinai menunggu dengan kebingungan.
Rinai menerka-nerka apa yang mau dibicarakan oleh Pak Daniel. Apa mungkin Pak Daniel mau naikin gaji Rinai? Duh… jadi terharu. Pak Daniel baik banget, sih! Tisu mana tisu? Rinai mau nangis.
"Kamu admin penjualan, kan?" Pak Daniel mengakhiri kebisuan mereka.
"Iya, Pak," jawab Rinai.
"Sejak kapan kamu bekerja di sini?"
"Udah setengah tahun lebih, lah, Pak."
"Udah lama, ya." Pak Daniel mengangguk-angguk. Ia mengambil saputangan dan mulai melipat-lipat. "Nah, kan kamu tau ya, kalau dealer kita ini sekarang dipegang sama Pak William. Karena penjualan kita akhir-akhir ini juga turun, jadi saya dapat perintah dari Pak William untuk mengurangi jumlah karyawan," Pak Daniel mendesah lelah, "Karena itu, untuk sementara kamu merangkap, ya, jadi CS."
Eh, tunggu!
Gimana-gimana?
Kok, kayak ada yang beda?
Mana kata gajinya?
"Gimana, Pak?" Rinai bertanya ulang. Ia mungkin salah dengar.
"Kamu ngerangkap mulai besok jadi Counter Sales," ulang Pak Daniel.
Loading …
1 ...
2 ...
3 ...
APAAA?!
DEMI APA ITU GAK SESUAI DENGAN APA YANG RINAI PIKIRKAN TADI?!
Tunggu-tunggu, harusnya kan skenarionya kayak gini:
(Khayalan Rinai)
Pak Daniel: Rinai, kamu udah bekerja keras begitu banyak selama ini.
Rinai: Iya, Pak. (Malu-malu)
Pak Daniel: Saya mau kasih kamu hadiah.
Rinai: Hadiah apa, Pak?
Pak Daniel: Iya. Karena kamu udah bekerja keras, saya mau kasih kenaikan gaji 3x lipat!
Rinai: (Sok nolak) Gak-gak usah Pak. Saya kerjanya ikhlas, kok.
Pak Daniel: Gak pa-pa, Nai. Saya juga ikhlas
Rinai: Tapi saya sungkan. Kan dealer lagi krisis.
Pak Daniel: Jangan khawatir! Saya ini kan kaya, jadi hobinya riya dan foya-foya. Kalo nanti habis, ya tinggal kita cari lagi. HAHAHAHAHA (Ketawa setan)
Rinai: HAHAHAHAHAHA (Ikut ketawa setan)
Dan kemudian mereka berdua menguasai dunia!
The end.
Ta-tapi ...
KENAPA TIDAK SEDIKIT PUN MENDEKATI DENGAN APA YANG RINAI KHAYALKAN?!
"Jadi, ya, kamu bantu-bantu dulu lah, ya. Kan penjualan juga turun, harusnya gak terlalu sibuk lah," sambung Pak Daniel lagi, memutuskan lamunan Rinai.
Rinai menarik napas panjang. Sebenarnya, ia bukan lah yang pertama. Hampir semua karyawan dealer merangkap kerja sejak Pak William mengambil alih dealer. Alasannya sederhana, supaya bisa menghemat biaya, tapi sudah menjadi rahasia umum kalau dealer sedang krisis. Satu per satu karyawan dirumahkan. Rasanya begitu pilu setiap kali mereka pamit. Karena semua tahu mereka tak akan kembali lagi. Itu adalah pemecatan secara halus. Dan Rinai yakin, cepat atau lambat akan datang gilirannya. Pilihan hanya ada 2; rangkap kerja atau dirumahkan.
Setelah kedatangan Pak William, begitu banyak aturan yang berubah. Dimulai dari menghilangkan reward untuk karyawan yang rajin, mengurangi jatah uang makan, sampai insentif untuk marketing yang diperkecil.
Sebulan sejak aturan baru diberlakukan, banyak marketing yang mendadak hilang dari peredaran. Tentu saja hal itu memberikan dampak besar untuk perusahaan, tapi Pak William berkilah bahwa turunnya penjualan bukan karena aturan barunya, namun karena memang Pak Daniel yang tidak mampu menjadi Manajer.
Pak Daniel tentu berusaha untuk mempertahankan marketingnya, karena bagi perusahaan retail seperti mereka, marketing adalah ujung tombak perusahaan. Namun, meskipun mereka merasa betah memiliki bos seperti Pak Daniel, bukan berarti itu akan membuat penuh penanak nasi di rumah. Beberapa dari mereka tetap pindah ke dealer sebelah, yang lebih royal.
Sebagian lagi ada yang tinggal, namun tentu saja tidak membawa banyak perbedaan. Jualan bulanan masih diangka 100, hanya satu per tiga dari penjualan yang biasanya. Dan juga adanya kabar yang beredar bahwa beberapa karyawan yang tinggal lebih memilih melakukan kecurangan. Mereka sih bilangnya OD, tapi Rinai tidak benar-benar mengerti apa itu OD.
"Karena kamu Admin Penjualan, saya rasa bisalah kerja merangkap jadi Counter Sales. Nanti kalau bisa jual unit, kamu bisa dapat insentif. Lumayan, menambah gaji," bujuk Pak Daniel lagi. "Jadi, mulai besok kamu turun ke bawah, ya. Biar bisa bantu Sutan. Itu lah, udah hampir dua minggu dia sendirian merangkap jadi counter sales, kasian juga dia."
GAK-MA-U!
Rinai gak mau!
Rinai kan tipe setia, cukup satu saja, gak mau mendua. Sekarang malah disuruh poligami pekerjaaan, moh lah!
Kerjaan Rinai sudah cukup banyak tanpa harus disuruh ikut jualan unit! Meski Rinai juga gak nolak naik gaji.
"Tapi Pak, kalau saya juga jualan unit, nanti pekerjaan saya sebagai Admin Penjualan gimana? Kan komputernya khusus, letaknya di lantai 2." Rinai mulai berargumen. Berani mati! Ia harus berjuang sampai titik darah penghabisan. Ini demi kesejahteraan dan kedamaian di masa depan. Ia gak keberatan kerja banyak, tapi harus masuk akal. Bagi Rinai, kerja merangkap itu gak masuk akal, kecuali kalau gajinya juga ikut rangkap.
Ini gak boleh dibiarkan.
Rinai harus menolak mati-matian!
Pak Daniel tertegun sejenak, membuat Rinai merasa menang karena sudah berhasil mematahkan niatnya. Mungkin ia tidak menduga masalah ini sebelumnya. Ia tampak berpikir dengan serius. Dalam hati, Rinai berharap Pak Daniel kehabisan akal dan menyerah, terus Rinai gak jadi kerja rangkap, terus gak perlu jadi Counter Sales, horeee!
Tapi sayangnya, Pak Daniel bisa menjadi Kepala Dealer bukanlah tanpa alasan, dia bukan orang bodoh. Ia adalah orang yang diminta langsung oleh pemilik sebelumnya untuk mengurus dealer. Meski masih muda, ia cakap dan cerdas.
"Kalo komputer kan gampang, tinggal di pindahkan aja ke counter. Nanti minta Dewa bantu angkatin. Bisa tu, gampang, lah." Pak Daniel mengangguk-angguk, tampak bangga pada dirinya sendiri karena bisa menemukan solusi. Beda jauh dengan Rinai yang mulai menangis di dalam hati.
Kenapa sih, Tuhan nggak bikin aja Pak Daniel telmi (telat mikir) sejenak, jadi Rinai kan gampang bersilat lidah. Seenggaknya sampai dia menemukan orang lain yang bisa ngerangkap jadi counter sales.
Rinai gak bisa diginiin!
"Mulai besok kamu udah mulai di counter, ya! Nanti setelah pulang, saya suruh Dewa mindahin komputer kamu. Jadi kalau lagi gak ada konsumen kan kamu bisa input penjualan."
Rinai sudah membuka mulut hendak bicara, yang langsung dipotong pak Daniel. "Ha-ah, pusinglah. Pak William mintanya setengah dari karyawan di pangkas aja. Karyawan kita dinilai terlalu banyak. Ini aja masih ada beberapa karyawan yang harus saya rumahkan. Sebenarnya saya gak mau, tapi mau gimana lagi. Terpaksalah." Pak Daniel memijat-mijat keningnya. "Gak apa lah ya, kamu rangkap jadi CS dulu. Nanti kalau penjualan kembali naik, kita coba bujuk Pak William lagi untuk nambah CS."
Dengan berat hati, Rinai mengangguk sedih. Ia gak bisa melawan. Mending kerja rangkap dibanding dirumahkan. Setelah Pak Daniel mengakhiri pembicaraannya, Rinai kembali ke ruang admin penjualan yang terletak di lantai dua dengan lemas.
Rinai rasanya ingin menolak dengan tegas, tapi masa depan suram yang menantinya alias jadi pengangguran lebih mengerikan dibandingkan harus rangkap kerja.
Jadi admin STNK saja sudah sangat sibuk. Ia memiliki banyak jobdesk, laporan, dan tetek-bengek lainnya yang harus diurus. Rinai khawatir ia akan mati muda karena kelelahan bekerja.
Walaupun saat ini dealer mengalami penurunan penjualan, itu tidak berlaku untuk pekerjaannya sebagai admin. Tetap banyak seperti biasa. Bahkan lebih banyak dari sebelumnya, karena Pak Daniel juga memintanya untuk merekap penjualan tahun-tahun lama, membantu marketing membuat rencana program kerja, dan hal-hal lainnya.
Rinai juga merasa tidak siap menjadi Counter Sales. Ia menjadi admin karena kurangnya kemampuan dalam berinteraksi dengan orang lain. Ia merasa kesulitan untuk berhubungan dengan orang lain, dan menjadi CS ( Counter Sales ) sendiri akan menuntutnya untuk dalam mengambil hati konsumen.
Ini sama saja dengan bunuh diri. Ia akan berakhir kena pecat juga, cuma sedikit lebih lama dan lebih berwarna jalannya. Rangkap CS dulu, turun ke lantai 1 dulu, gabung sama tim counter dulu, habis itu baru deh, duarrr ... dipecat. Yey, selamat Rinai! Selamat ya, Rinai!
Ishhh!
Rinai pengen nangis aja!
Naik ke lantai dua, Rinai langsung masuk ke ruangan berukuran 3x3 meter. Itu adalah markas kerja Rinai yang sudah ia tempati selama 6 bulan terakhir. Tempat itu bisa menampung beberapa karyawan dan lemari arsip. Di dalam ruangan ada 4 buah kursi, yang biasanya ditempati Rinai, Bang Dewa, dan 2 orang rekan lainnya. Tapi sekarang, 2 kursi itu kosong, ditinggalkan pemilik yang sudah menempati mereka bertahun-tahun karena dirumahkan. Saat ini, hanya dia dan Bang Dewa yang masih dipertahankan Pak Daniel.
Melirik kedua kursi itu, sejujurnya Rinai merasa tidak enak hati. Dua rekannya dirumahkan tak lama sejak Pak William datang. Pak William berpikir kalau pekerjaan mereka bisa di handle oleh admin lain, jadi langsung memangkas mereka begitu saja. Sejujurnya, Rinai beruntung masih bisa bertahan saat yang lain bahkan tidak diizinkan berjuang.
Ya … mungkin Rinai harus mencoba menerima dengan ikhlas tugas baru ini. Bagaimanapun, ini bukan sesuatu yang bisa ia tolak dan abaikan begitu saja. Jika dia tidak berdamai dengan situasi dari awal, itu akan berpengaruh pada kinerjanya.
"Dikasih tugas siapa, Nai?" Itu Bang Dewa. Ia menatap Rinai dengan pandangan 'Pekerjaan admin yang dirumahkan mana yang dilimpahkan ke kamu?' Soalnya sudah hampir setengah karyawan pada kena PHK. Jadi mudah untuk menebak itu.
Rinai tersenyum miris. Ia tidak mau pindah sama sekali! Meski ruangan ini begitu sempit dan penuh dengan dokumen, tapi Rinai sudah di menetap di sini sejak pertama kali kerja. Ibarat rumah, ruangan ini sudah seperti kamar, tempat paling nyaman dan paling bebas.
"Jalanin aja dulu, nanti kalau nggak sanggup, coba ngomong lagi," sarannya.
Rinai mengangguk pelan. Ia memang tidak begitu dekat dengan Bang Dewa meski sudah satu markas selama setengah tahun. Mereka jarang mengobrol. Rinai pendiam, dan Bang Dewa tidak begitu memperdulikannya. Sekarang hanya tinggal mereka berdua, mau tak mau Bang Dewa akhirnya sadar kalau di dalam ruangan itu, ada makhluk hidup yang bernama Rinai.
"Kenapa, heh?" Desak Bang Dewa lagi, gagal sok bersikap 'Ceritain nanti aja pas kamu udah siap'.
"Jadi Counter Sales," kata Rinai, akhirnya. Ia merasa malas untuk curhat pada Bang Dewa, tapi saat ini dia adalah satu-satunya rekan Rinai dan satu-satunya orang yang memiliki banyak interaksi dengan Rinai selain Pak Daniel.
"Hah? Serius?"
"Iya. Katanya nanti aku pindah ke bawah."
"Kok jadi Counter Sales pula? Kan ada Sutan sama Rhea di sana?" Bang Dewa gak terima. Ia terancam kehilangan rekan kerja, jadi wajar kalau kesal.
"Kak Rhea kan udah dirumahkan."
Bang Dewa langsung tepuk jidat. Dia lupa.
"Apa pula orang tu, aneh-aneh aja. Udah jelas kerjaan admin juga banyak, malah disuruh jualan. Apa susahnya pertahanin satu orang CS. Ini Sutan juga disuruh rangkap, padahal kerjaanya juga banyak. Laporan aku yang berurusan sama Sutan jadi sering telat kirim."
Rinai hanya memutar mata. Orang Rinai yang dipindahkan ke counter , kok malah Bang Dewa yang ngomel, sih? Dia bahkan gak di suruh rangkap tugas sama sekali!
Tanpa merasa tersentuh melihat Bang Dewa yang membelanya di setiap omelan, Rinai memutuskan menidurkan kepalanya di atas lipatan tangan di atas meja, dan menutup mata.
Kalau boleh, semoga pas bangun nanti, kedua bangku kosong itu masih terisi oleh dua orang rekannya yang menyebalkan tapi ia sayangi. Seandainya, pas bangun nanti, ini semua cuma mimpi dan Rinai tidak perlu terjebak dalam situasi yang tidak dapat ia kendalikan. Atau saat bangun nanti, ada yang ingat kalau hari ini hari ulang tahunnya dan ia hanya dikerjai.
Ha-ah, Rinai capek.
Bersambung.
Emang Situ Artis?!
Peralatan tulis sudah dibereskan. Dokumen ditumpuk di dalam kardus. Meja dikosongkan. Komputer sudah dipindahkan.
Rinai siap untuk turun gunung!
Dibantu oleh Bang Dewa, Rinai memboyong semua barang-barangnya ke lantai satu. Hari ini ia mulai bekerja menjadi Counter Sales. Saat hendak pergi tadi, Bang Dewa menatapnya lama. Seakan mereka tak akan bertemu dalam beberapa waktu. Padahal kan jaraknya cuma satu tangga. Bang Dewanya aja yang lebay. Mungkin masih galau karena menjadi satu-satunya penghuni ruangan lama mereka.
Kemarin sore Bang Dewa sudah memindahkan komputer Rinai ke bawah atas suruhan pak daniel. Itu komputer khusus yang dipegang admin penjualan seperti Rinai. Ada aplikasi yang hanya ada di sana, dan tidak ada di komputer lain. Meski Rinai bingung, lah, kan tinggal copy-paste aja loh aplikasinya, tapi Pak Daniel benar-benar berniat membungkam rinai tanpa bisa membantah lagi.
Ia meletakkan kardus-kardus itu di belakang meja. Celingak-celinguk ke kiri dan kanan mencari tempat yang cocok untuk menyimpan semua dokumen.
"Ngapa, Nai?" Bang Sutan bertanya sambil memperpendek jarak. Ia admin faktur yang juga terpaksa merangkap menjadi CS, dan salah satu karyawan senior di sana. Ia memiliki tubuh gendut dan mata sipit. Sedikit agak rese dan jahil, tapi selalu ada di posisi depan kalau CS dan marketing mulai bertengkar. Dia selalu bisa diandalkan dalam rebutan unit. Kalau konsumen cari motor, unitnya nggak ada, kasih tahu saja dia, simsalabim! Besoknya ada. Nggak tahu dia curi punya siapa. Yang penting, jangan lupa makan-makannya.
Dari 4 counter sales yang dulu pernah ada, hanya mereka berdua yang dipertahankan. Yang lainnya di rumahkan. Karena itu lah Rinai jadi diperintahkan untuk turun gunung mengisi kekurangan. Padahal Rinai sama sekali tidak mengerti dan tidak pernah training menjadi counter. Bisa-bisanya diserahi tanggung jawab untuk membantu mencapai target dealer.
"Ini Bang, mau nyimpan dokumen dimana, ya? Data untuk pengurusan STNK konsumen," tanya Rinai.
"Ohhh, di lemari yang itu aja, yang di belakang meja kamu! Itu emang lemari kamu, tu. Buku servis, STNK fisik, dan kebutuhan lain kamu di sana semuanya."
Alis Rinai berkedut. Apa tuh maksudnya?
"Buku servis sama STNK fisik konsumen Rinai juga yang pegang, Bang?"
"Iya lah! Sama plat juga. Tapi kalau plat letaknya di lantai dua. Tau kan, yang di sebelah ruangan kamu dulu?"
"Tapi kan Rinai sales counter, Bang!"
"Ya, kan itu emang kerjaan kamu juga. Kan kamu ngerangkap, Nai. Jadi kamu juga bertugas buat menyerahkan kelengkapan kendaraan konsumen juga."
"Bukannya sales counter tugasnya cuma jualan ya?" Rinai mencoba konfirmasi.
"Iya. Tapi itu dulu, sebelum negara api menyerang," balas Bang Sutan sambil ketawa rese.
Rinai terdiam. Kan Rinai cuma disuruh jualan unit sama Pak Daniel, masa jadi triple gini sih tugasnya.
Dengan menahan kesal, Rinai mulai menyusun dokumen ke dalam lemari. Ia menumpuk-numpuk setiap dokumen dengan tanggal yang urut.
Apes banget sih Rinai. Baru saja enam bulan lalu ia bersyukur diterima di dealer ini, tapi siapa sangka kedatangan Pak Daniel yang menggantikan posisi Pak William akan membawanya ke situasi menyebalkan seperti ini.
"Dek, bisa minta buku servis?" Saat Rinai masih sibuk dengan dokumen, seorang konsumen berdiri di balik meja datang menyela.
Rinai menatap konsumen itu, dan konsumen balas menatap.
Tatap.
Tatap.
Tat-
"Selamat pagi, ada yang bisa dibantu?" Bang Sutan datang mengambil alih, memutuskan acara tatap-tatapan antara rinai dan konsumen.
Rinai menghentikan pekerjaan dan memutuskan untuk mendekat. Bagaimanapun nanti ini akan menjadi tugasnya, jadi ia harus memperhatikan agar cepat paham.
"Servis gratisnya ada 4 kali ya, Pak," jelas Bang Sutan, "terus ada oli gratis juga. Jadi jangan sampai tanggal jatuh temponya lewat, nanti hangus pula kuponnya, Pak."
Konsumen itu mengangguk puas. Setelah berterimakasih, ia berlalu pergi.
"Paham kan cara kasih buku servis ke konsumen?" Bang Sutan menatap Rinai seringai menyebalkan.
"Ngerti, Bang," jawab Rinai singkat.
"Tinggal tanya namanya aja, atau liat surat jalannya. Terus ambil buku atas nama konsumen di dalam lemari. Suruh taken. Selesai. Gitu aja. Gampang, kan? STNK juga gitu ngasihnya. Yang penting ingat, jangan lupa taken!" tandas Bang Sutan.
"Iya, Bang," jawab Rinai lagi sembari mengangguk-angguk pelan.
"Nanti kalau nggak ada yang ngerti tanya abang lagi aja. Yang penting, kamu pahami aja dulu kerjaan yang ini, yang jualan unit nanti aja kalau udah ngerti. Nanti keteteran pula, semua dikerjain tapi nggak selesai," lanjutnya.
"Siap, Bang!" Kali ini Rinai menjawab dengan semangat.
Wah, senangnya punya senior pengertian seperti ini.
Apa gak selamanya aja, Bang, Rinai gak usah jualan unitnya? Nanti Rinai doain masuk surga, deh. Rinai kan baik!
Bang Sutan kemudian pergi. Rinai kembali menyusun dokumen dengan perasaan yang lebih ringan. Ia merasa begitu lega bahwa tak perlu buru-buru. Ia diberi waktu untuk belajar, dan itu benar-benar sangat membantu.
Beberapa hari berlalu begitu saja. Rinai sudah mulai memahami pekerjaan barunya meski masih sering kewalahan.
Tugas Rinai sebagai admin penjualan butuh fokus, soalnya Rinai harus menginput data konsumen untuk pengurusan STNK. Sedangkan menjadi sales counter membuat Rinai juga harus melayani banyak konsumen yang datang di waktu yang tak diduga-duga, terutama yang meminta kelengkapan kendaraan seperti STNK fisik, buku servis, dan plat. Belum lagi harus jualan unit, semakin tak ada waktu. Mana Rinai masih juga belum mampu jualan karena belum begitu paham.
Tapi, kata Bang Dewa, lama-lama Rinai pasti bisa kok! Yang penting mau usaha. Asiaaap!
#RinaiCemangat!
#RinaiKuat!
#RinaiNakzCounterSales!
o-O-o
Siang itu, menjelang pukul 12 menjadi jam sibuk di mana Rinai sangat benci diganggu. Ia akan berpacu dengan waktu untuk menginput penjualan dan berharap tak ada satu konsumen pun datang untuk
meminta kelengkapan kendaraan. Dia sedang mengejar beberapa inputan yang hampir selesai bersamaan jam tutup kantor selama sholat Jumat.
Dealer Rinai kalau hari Jumat itu memang bakal tutup selama 2 jam, yang artinya jatah istirahat lebih lama dibandingkan dengan hari biasa. Jadi Rinai lebih memilih menyelesaikan pekerjaannya sebelum dealer tutup sementara, supaya nanti habis istirahat dia bisa mulai mencetak buku servis yang sudah menumpuk lama.
Tapi ...
"Dek, kalau mau ambil buku servis di mana ya?" Rinai mendelik kesal. Tangannya yang tadi sibuk menginput data konsumen mendadak berhenti. Di depan Rinai, berdiri seorang laki-laki menggunakan baju kaos hitam dengan sebuah jaket hijau yang menggantung di lengannya.
"Selamat Siang. Atas nama siapa, Bang?" tanya Rinai, setengah hati, tapi tidak melupakan sopan santun sebagai karyawan dealer.
Tangannya mulai menggerakkan mouse untuk mencari data konsumen. Mengambilkan buku servis adalah yang paling tidak Rinai sukai selain mengambilkan plat motor. Jika untuk mengambil plat Rinai harus bolak-balik naik-turun tangga berkali-kali sebanyak konsumen yang datang untuk minta plat, sedangkan untuk mencari buku servis Rinai harus memeriksa satu persatu nama konsumen di tumpukan besar di dalam lemari. Itu juga kalau ada. Kalau nggak ada, Ia harus mencetaknya terlebih dahulu.
Rinai lagi kejar setoran, tahu! Nggak bisa gitu ambil lepas sholat Jumat aja? Kan cuma 2,5 jam lagi.
"Atas nama saya sendiri," sahutnya, kalem. Ia kemudian menghempaskan dirinya ke kursi di depan meja Rinai. Rinai menahan diri untuk tidak melotot. Memang Rinai kenal sama dia?!
Oke, tarik napas ... lepaskan.
Tarik lagi.
Lepaskan.
"Nama saya siapa ya, Bang?"Tanya Rinai, mendadak ngaco! Gak nyambung banget gitu pertanyaanya. Kening laki-laki itu berkerut. Dia mengedipkan matanya beberapa kali seakan terpesona melihat Rinai.
"Lah, mana tahu saya," kekehnya. Tatapannya berubah geli, seakan Rinai sedang mengajaknya bercanda. Padahal kalo bisa mah, Rinai pengennya ajakin dia baku hantam di depan dealer.
Ini orang paham gak sih, kalau Rinai lagi ngejar waktu? Malah memperlambat 5 detik dengan mengulur-ulur memberitahu namanya.
Iya, waktu.
Kalo dikejar jodoh sih, Rinai ikhlas diganggu.
Kesel!
"Loh, kok bisa nggak tau sih, Bang? Saya kan pakai nama saya sendiri!"
Kali ini laki-laki itu terdiam. Ia melirik karyawan lainnya yang sama tampak bingungnya. Mereka sampai berhenti bekerja dan menatap Rinai terang-terangan.
"Ya... Tapi kan saya nggak tau nama kamu siapa?" jawabnya ragu.
"Nah, itu ngerti! Emangnya saya juga tau nama Abang siapa? Abang ini artis? Terkenal? Datang minta buku servis ditanyain nama malah jawabannya 'Nama saya sendiri'. Ya, saya mana tau nama abang siapa!? Apa susahnya sih kasih tau aja namanya, kan saya gak jadi gondok kayak gini!" Bentaknya.
Suaranya menggema ke seluruh dealer, menghentikan aktifitas apapun di sana. Dadanya naik turun dengan cepat. Ia berdiri dan menatap laki-laki itu tanpa menyembunyikan rasa kesal sedikitpun.
Laki-laki itu terhenyak. Wajahnya pias dan merah padam. Sedangkan karyawan lain menatap rinai jengkel.
Kan bisa di omongin baik-baik loh, Nai! Gak pake ngegas! Pikir mereka, kompak..
"Dek! Dek!" Seseorang mengibaskan selembar kertas di depan wajah Rinai.
"Ya, Bang?" Rinai tersentak.
"Ini surat jalannya,dia mengulurkan sebuah kertas.
"O-ooh ...."
Rinai mengambil cepat kertas itu dan melihat isinya. Surat jalan adalah selembar kertas yang diberikan dealer pada konsumen saat STNK dan surat-surat penting lainnya belum keluar. Bisa digunakan sebagai pegangan sementara dengan batas waktu tertentu Rinai melirik namanya. Birai Angkasa.
Rinai kemudian beranjak menuju lemari tempat penyimpanan buku servis. Suasana dealer masih sama seperti sebelum laki-laki itu datang. Karyawan yang lain masih sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Dan laki-laki itu masih duduk dengan nyaman di depan meja kerja Rinai. Yah, tadi memang cuma khayalan Rinai aja. Mana berani dia! Nyali Rinai kan lembek kayak permen kapas. Tapi … Dongkolnya nyata!
Lagi-lagi, Rinai cuma bisa memendam isi hatinya dan terus menunjukkan wajah datar sebagai perlindungan terkuat. Agar tak salah langkah. Agar tak salah mengambil tindakan.
Iya, Rinai bego!
.
Bersambung.
Serangan Panik
Hari ini hujan turun dengan lebat. Rinai mencebik di depan jendela dengan memakai seragam dealer. Mata coklatnya menatap lurus ke langit. Di atas sana, awan hitam masih bergelayut tebal seakan menolak untuk pergi dalam waktu dekat.
Ia menatap setiap butir yang terjun bebas ke bumi. Lalu mengira-ngira berapa lama rentang waktu sebuah tetesan hujan? Meski hanya memiliki waktu yang singkat, entah kenapa Rinai merasa kalau hujan selalu tampak bersemangat.
Ada untuk kembali hilang. Mereka selalu meninggalkan kesan dalam.
Rinai artinya gerimis kecil. Ibu bilang, dia memberi nama itu karena gerimis kecil adalah bagian dari hujan, dan hujan sendiri adalah berkah. Menyimpan filosofi yang dalam tentang harapan, kebahagiaan, kesederhanaan, rela berkorban, kesejukan, dan kebebasan. Ibu berharap, Rinai tumbuh dengan bahagiaan dan penuh harapan layaknya hujan.
Rinai suka hujan. Bukan karena namanya merupakan bagian dari hujan, tapi memang suka begitu saja. Ia selalu merasa lepas dan bebas setiap kali hujan datang. Seperti menemukan kebahagiaan. Meski di sisi lain, terkadang ia juga merasakan kesepian yang mendalam saat hujan. Seakan air deras yang mengguyur bumi itu mengingatkannya akan kenyataan, bahwa ia hanya sendirian. Tanpa ada kawan untuk berbagi kesedihan. Tidak seperti hujan yang selalu datang berombongan.
Kesadaran Rinai kembali saat matanya tak sengaja melirik jam dinding. Hari sudah semakin siang. Ia mengintip embun di kamar yang masih tampak sibuk berdandan. Rinai kemudian melirik jam dinding, dan membuang napas saat mendapati 5 menit lagi batas toleransi keterlambatannya akan habis, dan itu artinya Rinai akan terlambat, atau bahasa kerennya, Rinai potong gaji! 50 ribu untuk 1 kali keterlambatan.
Mampus!
Rinai terancam kehabisan uang sebelum gajian. 50 ribu kan lumayan. Bisa dibelikan ke bakso, paket internet, jus alpokat, atau buku. Salahkan saja Pak William membuat kebijakan tak pengertian sep erti itu.
Tak lama, Embun melangkah keluar dari kamar. Ia berdiri di tempat Rinai sebelumnya dan mulai menggerutu.
"Kak, Kakak naik ojek online sajo lah! Gerimisnya lebat kali, nanti basah pulo," kata Embun.
Rinai terbelalak. Ini serius embun menyuruh rinai untuk pesan ojek online? Jam segini?! Setelah semua pengorbanan Rinai untuk menunggunya. Setelah Rinai mulai mengikhlaskan 50 ribu dari gajinya untuk denda keterlambatan?
Mantap!
Demi apa dia punya adik kayak Embun?! Bisa ditukar tambah gak, ya, adik kayak begini?!
Embun sendiri malah bersikap cuek dan mulai menyamankan diri duduk di seberang Rinai. Ia mengambil remote dan mengganti siaran beberapa kali.
Rinai doain baterai remotenya rusak!
Dongkol!
Dia kesal sampai ubun-ubun sama sikap seenaknya Embun. Mentang-mentang bisa bawa motor, sombong! Tapi mau bagaimana lagi?
Pertama, Rinai nggak bisa bawa motor. Kedua, hujan masih cukup lebat. Dan ketiga, kalo masih kebanyakan mikir, Rinai beneran bakal telat. Tapi... Memang pasti bakalan telat sih.
Rinai meraih HP dan membuka aplikasi ojek online. Setelah mengatur lokasi jemput dan lokasi tujuan, ia menekan tombol 'Pesan'. Tak lama, HP Rinai berdering. Nomor tak dikenal, tapi Rinai sudah firasat kalau itu driver ojeknya.
"Halo, Bang!"seru Rinai cepat, mengabaikan ucapan selamat pagi dari abang ojek. Padahal mah, harusnya Rinai gak perlu buru-buru, toh bakal telat juga ini. Nikmati saja dulu ucapan selamat-selamat kayak gitu, kan Rinai jomblo gitu loh, jadi seenggaknya bisa diselamatin abang ojek, jadi gak ngenes-ngenes banget.
"Iya, Dek, halo ..." sahut Abang Ojek, nggak kalah cepat.
"Ini Abang Ojek?"
"Iya Dek, Adek tadi pesan Ojek Online ya?"
"Iya Bang, cepet ya Bang, saya buru-buru nih!"
"Iya, mohon ditunggu ya Dek."
Tuuut!
Panggilan terputus, bersamaan dengan itu omelan ibu muncul.
"Kalau memang gak bisa kau antar kakak kau, kan bisa kau bilang sejak tadi. Ini udah ditunggu sama kakaknya dandan seabad, baru dibilang."
Rinai melirik ke arah dapur yang tertutup gorden. Tampak siluet ibu sedang sibuk memasak di sana.
"Jelas gerimis kayak gini, lebat mah, nanti habis ngantar Kak Rinai, sampai di kantor, Embun pulo yang basah kuyup," bantah Embun, nggak mau disalahin.
"Ya, yang ku masalahin kan, kenapa ndak sejak tadi kau bilang? Kan ndak perlu kakak kau nunggu. Bisa kakak kau berangkat sejak tadi, ndak perlu terlambat do. Jam segini baru kau bilang, lah selesai pulo kau ditungguinya berdandan."
Embun mendelik. Ia lalu mengatupkan lutut dan masih sibuk mengganti saluran TV, mengabaikan omelan ibu. Namun di dapur, ibu masih melanjutkan omelan.
Meski Rinai gak bilang apapun, ia setuju sama ibu. Ia sudah menunggu sejak setengah jam yang lalu. Kalau memang bakal naik ojek, bilang! Kan Rinai bisa pesan sejak tadi. Jadi nggak perlu telat. Nggak perlu potong gaji. Dan nggak perlu kena tegur sama Pak Daniel lagi.
Duh!
Rinai lupa sudah pernah dapat peringatan dari Pak Daniel karena satu minggu lalu terlalu sering telat. Alamat kena marah lagi ini. Diam-diam Rinai berdoa sepenuh hati Pak Daniel belum datang.
Tiiin! Tiiin!
Rinai tersentak, ia menjangkau tas dengan cepat dan berlari keluar. Ojek online pesanan Rinai sudah datang. Si Abang Ojek kelihatan masih kayak anak kuliahan yang kerja sambilan. Saat Rinai mendekat, ia langsung tersenyum kepada Rinai.
"Helm sama jas hujannya, Dek." kata si Abang Ojek sambil mengulurkan helm yang sewarna dengan jaketnya.
Rinai merebutnya. Ia memasang kilat jas hujan dan helm, lalu langsung naik di boncengan. "Ayo Bang, saya udah telat!"
Tapi si Abang Ojek bukannya hidupin motor, malah menatap Rinai. Rinai kan ga kuat diliatin cowok cakep pagi-pagi gini. Lemes duh, lemes.
"Dek, helmnya tolong dicetekin ya, demi keselamatan."
Rinai melongo. Oh iya, lupa! Tapi karena Rinai udah panik duluan memikirkan kalau dia bakal telat, dan bakal kena tegur lagi sama Pak Daniel, cetekannya nggak mau tersangkut.
"Sini Dek, saya bantuin," kata si Abang Ojek sambil tersenyum geli, "Maaf ya."
Rinai terpaku. Udah cakep, baik, perhatian, sopan lagi. Lulus seleksi deh, kalau mau pedekate-in Rinai. Ikhlas, ridho.
Setelah cetekannya tersangkut, si Abang Ojek tersenyum puas banget. Seakan baru saja lulus sidang kompre. Sesudah itu ia langsung menghidupkan motor dan berangkat mengantar Rinai ke dealer.
Jarak dealer dan rumah Rinai tak begitu jauh. Hanya 15 menit saja. Kalau hujan begini ... yaaa, lebih dari 15 menit lah. Macet, Cuy! Rinai males mikir. Memangnya lagi ngerjain soal matematika? 'Soal 1. Berapa lama perjalan dari rumah Rinai ke dealer di pagi hari saat hujan sambil meluk abang ojek ganteng?'
Nggak, nggak meluk kok! Bercanda doang! Emang Rinai cewek apaan?! Ini aja dia pegangan ke besi bagian belakang motor.
Ngenes!
*****
CKIIITTT!!!
Abang Ojek berhenti tepat di depan dealer. Suara motornya yang berdesing menarik perhatian karyawan yang ternyata sudah cukup banyak yang datang. Malu-maluin coba, padahal rumah Rinai kan termasuk dekat, malah Rinai yang paling hobi telat.
Rinai turun dari motor dan buka jas hujan, lalu menyerahkannya ke Abang Ojek."Berapa, Bang?" tanya Rinai basa-basi.
Sebenarnya ia tahu sih ongkosnya berapa, lah pas dia mesan tadi udah ada kok argonya. Tapi supaya nggak canggung aja.
"Enam ribu, Dek," jawab Abang Ojek sambil sibuk sama androidnya. Kayaknya dia lagi konfirmasi sudah menyelesaikan pesanan. Rinai langsung merogoh tasnya. Mengulik kantong pertama, kosong. Kantong kedua, juga kosong. Kantong kecil di dalam kantong kedua, kosong juga!
RINAI SALAH BAWA TAS!!!
Tas ini tuh tasnya Embun! Warnanya coklat, hampir mirip sama tas Rinai, Deaain depan aja yang sedikit beda. Tas ini sudah seminggu dipakai Embun, sampai dia merasa bosan dan mindahin isinya ke tas lain yang ia bawa hari ini. Dan masalahnya, tas ini dan tas Rinai sama-sama terletak di atas meja di ruang depan. Dan saking paniknya, saat Abang Ojek datang Rinai langsung main jangkau aja tasnya tanpa memastikan terlebih dahulu.
Duh! Rinai panik! Gimana ya? Mana lagi Ojol-pay Rinai saldonya nol. Rinai bayar pakai apa nih? Minta belas kasihan sama Abang Ojeknya, atau Rinai kasihin aja HP-nya sebagai jaminan? Secara HP-nya itu lah satu-satunya barang berharga yang ia bawa. Gimana dong!?
"Dek, nggak apa-apa?"
Kayaknya kepanikan Rinai udah jelas banget sampai Abang Ojeknya sadar ada yang salah dari sikap Rinai saat itu. Rinai menggigit bibirnya, matanya berkaca-kaca. Kalo bilang uangnya tinggal trus janjiin bakal bayar nanti nggak apa kan? Dia bakal marah nggak ya?Rinai makin panik. Nggak bisa mikir.
"Kenapa Dek?" lagi, si Abang Ojek bertanya. Ia makin nggak enak hati ngeliat Rinai yang kayak habis dizalimi ibu tiri. Padahal dia udah ngebut gitu ngantarnya, masa Rinai nangis sih? Emang telat banget ya? Pikirnya, gak peka.
"Bang,"ucap Rinai, memulai peruntungan, "Saya kayaknya salah ambil tas, yang ini kosong," Rinai membuka tasnya lebar-lebar nunjukin kalo dia nggak bohong, "terus uang saya ketinggalan di tas yang seharusnya." Rinai menunduk, nggak berani natap wajah Abang Ojek, "Boleh nggak saya bayarnya nanti aja. Janji! Pasti saya bayar kok! Kan saya ada nomor HP Abang, nanti saya telpon. Abang kan juga udah tau tempat saya kerja, nggak perlu takut saya lari kok. Pasti saya bayar. Bener. Saya janji. Tolong ya, Bang, saya beneran salah bawa tas. Bener."
Abang Ojek melongo.Sedetik kemudian dia kembali bisa menguasai diri. Ia menatap Rinai yang udah berkaca-kaca, lalu tersenyum canggung. "Ya udah lah Dek, nggak apa-apa. Nggak usah nangis, nggak masalah kok."Ia nampak salah tingkah, "Saya ikhlas kok. Nggak di bayar juga nggak apa-apa. Anggap aja saya sedekah."
Rinai tersentak. No way! Enak aja sedekah! Emang Rinai cewek apaan?! Meskipun kalo abangnya sedekah agak cepek Rinai pasti terima dengan senang hati.Tapi ... Masaan iya, udah si Abang Ojek mau nganterin hujan-hujanan, kebut-kebutan, sekarang malah harus rela nggak di bayar sama Rinai.
Nggak bisa!
Emang Rinai seenggak punya hati gitu apa!?
"Nggak Bang, saya pasti bayar kok. Bener deh. Nggak bohong. Nanti saya telpon Abang ya, kalo uangnya udah ada," paksa Rinai.
Abang ojek yang melihat Rinai kekeuh, akhirnya menyerah. Ia mengangguk-angguk canggung sambil tersenyum maksa.
"Iya deh, Dek, terserah aja," ucapnya pasrah.
Rinai akhirnya lega. Seenggaknya ini adalah hasil terbaik dibanding harus menggadaikan HP satu-satunya ke Abang ojek hanya demi ongkos 6 ribu rupiah aja.
"Makasih ya, Bang. Saya masuk dulu Bang, udah telat banget, belum absen."
Si Abang Ojek mengangguk. Rinai melangkah masuk ke dalam dealer dengan perasaan malu, tapi cukup lega juga. Ditambah lagi Pak Daniel belum datang. Syukur-syukur!
"Dek, tunggu!"
Rinai mendadak berhenti. Ia berbalik menatap Abang Ojek yang berteriak dari teras dealer. Jantungnya kembali berlomba. Duh, jangan bilang Abang Ojek berubah pikiran dan lebih milih maksa Rinai buat menggadaikan handphone?!
Rinai mendadak tegang, nggak rela kalau masalah utang piutang ini harus melibatkan satu-satunya barang berharga miliknya. Karena Rinai tak kunjung sadar meski ia sudah memberi isyarat untuk mendekat, Abang Ojek akhirnya memilih untuk bicara. Akan kenyataan yang membuat ia kembali memanggil Rinai meski sebenarnya enggan. "Helmnya belum di lepas Dek!" serunya, nggak mengira-ngira menyetel volume suara sama sekali sampai satu dealer dengar. Mana ada konsumen juga lagi! Issshhh!!! Rinai kan jadi tengsin!
Beberapa menit kemudian, setelah Abang Ojek pergi dengan helmnya dan Rinai akhirnya berhasil absen. "Nai," panggil Bang Dewa yang berjalan dari arah bengkel.
"Ya Bang?"sahut Rinai tanpa melirik sama sekali.
"Kalo ongkosnya cuma 6 ribu, kan bisa pinjam ke kami loh!"
Rinai terpaku.
I-iya ya!?
Kok nggak kepikiran sama sekali sih!? Kan dia gak perlu malu-maluin kayak tadi! Duh, Gusti! Salah apa Rinai sampai otaknya dangkal banget gitu? Rinai cuma menghembuskan napas, tak sanggup berkata-kata, lalu menenggelamkan diri ke dalam tumpukan pekerjaan. Gak mau ingat-ingat lagi!
Malu!
Bersambung.
Akhirnya Kumenemukanmu!
Rinai berbaring di atas kasur dengan gelisah. Balik ke kanan, balik lagi ke kiri. Putar ke atas, balik lagi ke posisi semula, sampai alas kasur berantakan dan menampakkan sebagian busa.
Suasana rumah sepi. Embun sudah pergi kerja sedangkan ibu sudah pergi jualan. Rinai nggak masuk kerja hari ini. Alasannya sih sakit, tapi sebenarnya cuma kurang tidur dan terlalu stres. Kerjaannya menumpuk menunggu diselesaikan, padahal dia bahkan sampai absen istirahat dan makan siang demi kerja, tapi bukannya berkurang, kerjaannya malah bertambah.
Rinai tidak menyangka kalau pekerjaannya mendadak menjadi begitu banyak. Inputan penjualan yang menggunung terlebih dengan konsumen yang tak berhenti datang untuk meminta kelengkapan kendaraan. Menjelang akhir bulan seperti ini, ia bahkan belum mampu menjual 1 unit pun. Sejauh ini belum kena tegur sih, meski Pak Daniel terus menerus menanyakan perkembangannya.
Walau Rinai belum mampu jualan unit, tapi beberapa minggu ini Pak Daniel berhasil menaikan kembali penjualan dealer. Dia merekrut beberapa marketing tambahan yang katanya memang orang-orang Pak Daniel dari tempat kerja lamanya. Marketing-marketing baru itu begitu arogan dan menyebalkan. Mereka suka bersikap seenaknya dan berlagak sok orang penting.
Mentang-mentang dekingannya Pak Daniel!
Rinai berguling-guling di atas kasur, mencari posisi yang nyaman. Tak sengaja, ia melirik uang 6 ribu yang terletak di atas nakas, uang yang sudah ia pisahkan jauh-jauh hari untuk bayar hutang sama Abang Ojek, tapi sudah beberapa minggu terlewati ia belum sempat melunasinya. Gara-gara ia terlalu sibuk sih, sampai jadi lupa buat nelpon Abang Ojek. Oh, ya udah, biar telepon sekarang aja kali ya!
Tapi...
Telepon nggak ya?
Telepon nggak ya?
Rinai mendadak ragu.
Gimana yaaa?
Tapi kan, Rinai yang punya hutang. Masa dia suruh Abang Ojek jemput ke rumahnya? Iya, suruh jemput dong! Rinai mana bisa bawa motor kalo di suruh anter. Minta tolong anterin sama Embun juga ga bisa, orang dia lagi kerja gitu.
Ya telepon dulu aja deh, kali aja Abang Ojek masih di daerah panam.
Tapi, gimana kalo abangnya lagi di daerah Kampar? Atau Bangkinang? Atau lagi pulang kampung? Eee… masa sih pulang kampung?!
Duh!
Rinai bingung!
Tapi kan...
Hutang harus dilunasi secepat mungkin.
Ahhh, bingung!
Nggak sih, Rinai sebenarnya cuma grogi. Abangnya cakep banget gitu. Pake acara pasangin cetekan helm lagi. Isssh, Rinai kan nggak pernah di perlakukan gitu.
Jadi malu.
Tapi, nggak boleh! Rinai harus hubungi sekarang juga. Sekarang atau enggak sama sekali. Soalnya kalo besok, paket nelponnya Rinai abis.
Kan sayang.
Akhirnya dengan penuh keyakinan, Rinai menghubungi nomor Abang Ojek.
Tuuut... Tuuut... Tuuut...!
Nada tunggunya membuat jantung Rinai berpacu. Teleponnya masuk! Duh... Rinai makin gak tenang.
Dia marah nggak ya karena Rinai kelamaan ngutang?
"Halo?" sapaan yang datang dari seberang telepon membuat Rinai langsung terduduk.
"Halo?" balas Rinai.
"Ini siapa ya?"
"Saya Rinai, Bang. Ini saya mau bayar ongkos ojek kemarin." kata Rinai cepat. Ia memelintir selimutnya sambil menggigit bibir.
"Hah? Rinai siapa?" terdengar nada heran dari seberang.
"Itu loh Bang, yang kemarin pesen Ojek Online pas hujan, terus pas sampe di tempat kerja saya, uang saya ketinggalan." jelas Rinai panjang lebar.
"Ojek Online?"
"Iya Bang."
"Saya bukan tukang ojek Dek, saya tukang bubur ayam. adek mau pesen nggak? Bisa delivery kok?"
Rinai mengernyit.
Hahhh?
"Ini Abang Ojek kan?"
"Bukan Dek, saya Abang bubur ayam. Jadi mau pesen berapa porsi, Dek? Gratis ongkir selama jaraknya masih satu kilo."
Rinai menjauhkan handphonenya dan memandang nomor yang tertera di layar. Nomornya nggak ada nama. Nomor yang tadinya Rinai yakini sebagai nomor Abang Ojek, tapi kok, sekarang Rinai ragu?
Bukan ragu, Nai! Emang salah sambung!
"Oh, enggak Bang. Saya kayaknya salah nomor! Maaf ya."
"Oh, gapapa kok Dek. Tapi, beli bubur ayamnya jadi, kan?"
"Enggak, Bang, makasih."
Tuuuut!
Rinai langsung memutuskan panggilan. Ia menghela napas kasar dan merebahkan kembali tubuhnya. Ingatannya kembali pada kenyataan bahwa nomornya memang suka di telepon konsumen yang menanyakan kelengkapan kendaraan mereka sudah siap atau belum. Dan begonya, Rinai lupa simpan nomor Abang Ojek.
Rinai mengotak-atik panggilan masuk di handphonenya. Mengira-ngira bahwa nomor yang ia pilih itu adalah nomor Abang Ojek yang asli, Rinai kembali menekan tombol dial.
Tuuut... Tuuut... Tuuut...!
"Halo?"
Rinai terdiam.
Loh, kok suara cewek?
"Halo, ini siapa ya?" balas Rinai.
"Loh, kan Mbak yang hubungin saya, kok malah Mbak yang nanya!? Heran ya, padahal saya udah putus sama dia masih aja ada cewek yang nelponin saya!" suaranya melengking dengan nada kasar disetiap kalimatnya. "Denger ya Mbak, Mbak itu cewek kesekian yang dia jadiin selingkuhan. Lagian, harusnya saya sebagai pacar pertama yang marah, ini malah saya yang terus di teror!" lanjutnya.
Rinai membeku. Se-selingkuhan?! Gimana Rinai mau jadi selingkuhan, punya pacar aja enggak!
"Jadi berhenti hubungi saya! Mbak nggak akan dapat apa-apa! Dia udah saya buang jauh-jauh! Ngerti!"
"Ta-tapi Kak, saya-"
Tuuut!
"-nggak punya pacar! Issshh!!!"
Rinai mengacak-acak rambut, stres. Ga punya pacar aja dapat caci maki. Ngenes amat jadi jomblo!
Dengan perasaan keki tak terbendung, Rinai mencoba kembali peruntungannya. Bisa aja sih dia pura-pura lupa sama hutangnya, atau saat Abang Ojek nagih ke dealer suatu hari nanti, dia bilang aja kalo dia kehilangan nomor abang itu. Kan gampang.
Tapi, ga masalahkan coba peruntungan? Mumpung paket nelponnya Rinai masih banyak. Besok kan masa aktif paketnya sudah habis.
Rinai mendial nomor ketiga yang ia yakini sebagai nomor Abang Ojek. Tapi nggak diangkat.
Rinai mendesah. Membalik tubuhnya sambil memeluk guling. Mau bayar utang aja banyak banget halangannya. Tapi Rinai nggak pantang menyerah. Ia kembali men-dial nomor itu.
"Ya?" suara cowok!
Seenggaknya Rinai nggak perlu khawatir dituduh selingkuhan kayak tadi.
"Halo, saya Rinai. Ini Abang Ojek? Saya mau bayar utang." balas Rinai cepat, segera menjelaskan sebelum disalahpahami lagi kayak tadi.
"Apaan sih, saya bukan tukang ojek! Orang lagi war diganggu! Pesen lewat aplikasinya, Bego! Dasar nggak punya otak. Bodoh! Kampr-"
Tuuut!
Tanpa basa-basi Rinai langsung matiin teleponnya.
Nggak baradab banget sih!?
Rinai mendesah keras kesekian kalinya. Rinai jadi males nelpon lagi. Udah 3x kena sial mulu.
Rinai melempar handphonenya ke kasur. Berguling-guling lagi di atas kasur. Dari ujung satu ke ujung satunya, membuat alas kasur jadi makin berantakan.
Haah, males ah nelpon lagi!
Kan bukan salah Rinai. Rinai kan udah usaha mau bayar. Udah punya niat, tapi emang banyak halangan. Pokoknya bukan salah Rinai!
Tapi...
Rinai kembali melirik ke meja nakas. Uangnya masih tersimpan di sana.
Ini bukan tentang nominal, tapi tentang hutang. Berapapun jumlahnya, hutang tetap hutang. Dibawa mati.
Lagian, ini bukan sekadar 6 ribu rupiah, tapi tentang hak seseorang. Kata ibu, hak seorang tetaplah hak seseorang berapapun nilainya. Dan makan hak orang lain hanya akan menjerumuskan hidup sendiri.
Dengan setengah hati, Rinai kembali meraih teleponnya. Bodo, ah, kena caci maki lagi. Yang penting dia usaha dulu aja. Niat! Niat!
Tuuut! Tuuut! Tuuut!
Sambil menarik-narik bulu boneka beruang kepunyaan Embun, ia menggoyangkan kakinya dan melirik malas ke sekeliling kamar.
Di dering ketiga, teleponnya akhirnya diangkat.
"Halo?" sapa dari seberang.
"Halo." balas Rinai.
"Ini siapa?" tanya orang dari seberang.
"ini Rinai. Admin dealer motor."
Hening sejenak.
"Ohhh, cewek yang panikan sampe lupa lepas helm itu, ya?" tutur orang dari telepon, nggak basa-basi.
Rinai terduduk kedua kalinya.
"Ini Abang Ojek?" tanya Rinai lamat-lamat, memastikan pemikirannya.
"Bukan, Ini Birai. Tapi saya emang sambi jadi ojek online sih hehe..." jawabnya ringan.
Rasa-rasanya Rinai mau teriak 'Abang, akhirnya ku menemukanmu!!' sambil selebrasi. Nggak sia-sia kesabarannya dicaci dan dimaki. Mantul langsung ke nomor Abang Ojek.
"Bang, ini saya mau bay-"
"Dek, Dek! Udah ya, dosen saya masuk nih! Saya lagi kuliah hehe... Dahhh."
Tuuut!
Rinai cengo.
Udah?
Gitu doang?
Setelah Rinai dapat semua caci maki dari orang-orang yang nomornya salah sambung, Abang Ojek matiin gitu aja panggilannya bahkan tanpa memberi Rinai kesempatan menyelesaikan ucapannya?
DE-MI TU-HAN!!!
Dia nggak tau apa pengorbanan Rinai?
Nggak tau?!
NGGAK TAU?!!
Tapi-
Diakan emang nggak tau!
Isssh!
Rinai kesel!
Dongkol!!
Sebelll!!!
Rinai melempar handphonenya dan menghentak-hentakkan kaki, lalu berguling dari ujung kasur ke ujung satunya berkali-kali.
Argh!!!
Rinai gondok!!!
Bersambung.
Keputusan Kecil Membawa Perubahan Besar
“Gimana ni, udah hampir sebulan tapi STNK saya masih belum selesai juga!” suara lantang memecah keheningan di dealer pagi itu, menarik atensi banyak orang. Seorang konsumen laki-laki paruh baya mengamuk tak lama setelah mereka membuka pintu rolling dealer.
Ia protes ke semua orang sampai akhirnya mereka mengarahkan bapak itu kepada Rinai. Namanya pak Slamet. Dia adalah konsumen reguler yang melakukan pembelian tunai beberapa bulan yang lalu.
“Iya pak, tapi KTP bapak itu kan KTP di luar kota. Kalo KTP-nya kabupaten, pengurusan STNK-nya memang agak lama, Pak,” jelas Rinai.
“Tapi kan surat jalan keterangannya cuma 2 minggu, ini udah lewat tapi belum juga selesai. Katanya mau dihubungi kalau selesai, sampai hari ini nggak ada dihubungi sama sekali. Susah saya mau pergi-pergi! Motor nggak ada surat-surat kayak gitu, nanti malah disangka motor bodong.”
“Tapi memang prosedurnya kayak gitu, Pak. Memang prosesnya agak lama. Makanya, karena STNK Bapak belum selesai, belum ada kami hubungi.”
“Tu sekarang gimana? Surat jalan saya sudah nggak berlaku! Kemarin saya hampir kena tilang, untung polisinya kenalan saya, bisa dia ngerti.”
Rinai mendesah. Gini nih yang bikin kesel, kalau pengurusan surat-surat motor lama, konsumen pasti marahnya ke Rinai. Salah Rinai apa coba? Emang dia yang keluarin STNK?
“Nggak mau tau saya pokoknya! Udah cukup sabar saya, ya Dek. Di surat jalan ditulis 2 minggu, udah sabar saya, udah lebih dari sebulan saya tunggu nggak juga selesai, nggak salah kalau saya marah kayak gini ya!”
“Belum lagi sebulan, Pak. Baru tiga minggu. Makanya surat-suratnya lama keluar."
“Terus, harus saya tunggu sebulan? Kena tilang dulu saya baru keluar STNK-nya?!”
“Tapi kalau KTP-nya luar kota, Pak, pengurusan STNK-nya memang lama." Rinai sampai bosan mengulang-ulang penjelasannya.
“Adek ni nggak ngerti! Nggak mau tau saya, STNK saya harus selesai minggu ini juga! Kalau nggak selesai minggu ini, saya pulangkan motornya ke sini!”
Rinai ngerti Pak, Bapak yang nggak ngerti!
“Lagipula di dealer lain saya ambil motor bisa cepat kok! Di sini aja yang lama,” Pak Slamet mulai merepet lagi.
“Iya, Pak. Tapi memang sudah prosedurnya seperti itu.”
“Itu bukan urusan saya! Saya kan menuntut hak saya. Udah kurang baik apalagi saya? Udah hampir sebulan, STNK sama BPKB belum juga keluar. Saya ini beli tunai! 20 juta lebih ni saya bayar, jangan sekarang kalian lepas tanggung jawab gini!”
Rinai mengkerut. Susah banget sih ngejelasin sama konsumen kayak gini! Dengan gondok, Rinai memutuskan menemui Pak Daniel.
“Permisi, Pak,” sapa Rinai. Pak Daniel tampak tenggelam dibalik tumpukan berkas di mejanya.
“Hah, kenapa?”
“Ini Pak, ada konsumen yang ambil motor udah hampir sebulan, tapi KTP-nya luar kota.”
“Sudah kamu beri tahu kalau mengurus STNK untuk konsumen dengan KTP luar kota itu lebih lama prosesnya?”
“Udah Pak, tapi konsumennya nggak mau ngerti. Malah ngancam, kalau minggu ini nggak selesai motornya mau dibalikin.”
“motornya mau dibalikin? Mana bisa!” pak daniel langsung heboh.
“Iya Pak, gimana tu Pak? Konsumen tu marah-marah aja, nggak mau dengerin penjelasan saya.”
Pak Daniel bangkit dan melangkah ke counter dengan langkah panjang-panjang. Di sana, konsumen yang tadi masih menyalurkan amarahnya ke semua karyawan dealer.
“Bapak ya yang nanya STNK?" Pak Daniel tersenyum ramah. "Nah, ini Pak, haha, jadi untuk STNK, kalau KTP luar kota memang lama. Yaaa... nanti kami usahakan agar bisa lebih cepat haha,” jelasnya, tetap cengengesan meski konsumen masih tampak emosi.
“Ya nggak peduli saya mau luar kota atau bukan! Biasanya STNK seminggu, dua minggu udah keluar. Ini udah hampir sebulan belum juga selesai. Percuma saya punya motor, nggak bisa juga dibawa kemana-mana!”
“Iya, kami janjikan secepatnya. Dalam minggu ini lah. Nanti kami utamakan.”
“Masa selama itu? Kalau nanti saya kena tilang gimana? Motor saya kayak motor bodong, nggak ada surat-suratnya!”
“Lagipula, biasanya kan ada STNK sementaranya, Pak,” kata Rinai, ia mulai jengah jadi tontonan konsumen yang lain.
“Mana ada! Saya cuma dikasih surat jalan aja!” tukas konsumen.
Pak Daniel menatap Rinai.
“Kamu gak ada kasih STNK sementara?”
“Kalau STNK sementara bukan saya yang pegang Pak, Kak Julita yang pegang,” jawab Rinai.
“Ha? Julita? Sutan, Julita mana?”
“Ada, Pak, lagi sarapan di pantry," sahut Bang Sutan.
“Kalau konsumen ambil motor ada gak dibikinin sama Julita STNK sementaranya?”
“Harusnya ada sih, Pak,” kata Bang Sutan.
“Panggil, panggil dia!” Bang Sutan dengan sigap langsung berlari ke pantry.
“Udah, kamu selesaikan aja kerjaan kamu. Ini biar saya aja yang urus,” kata Pak Daniel ke Rinai. Rinai mengangguk dan kembali ke kursinya.
Untung deh, Rinai lelah menghadapi konsumen kayak gitu. Mana tumpukan kerjaan masih banyak lagi, moodnya Rinai udah turun duluan. Rinai mendesah lelah, ia bangkit dan mengambil gelas lalu berjalan menuju pantry. Rinai butuh minum!
“Kalau kayak gini kan saya nggak perlu marah-marah! Ini sama sekali nggak ada pegangan. Surat jalan juga udah mati masa berlakunya,” Saat Rinai balik, suasana lebih adem dari tadi. Wajah konsumen pun tampak lebih ramah.
“Iya. Nanti untuk surat-suratnya yang asli kami usahakan secepatnya. Itu lagi kami urus,” kata Pak Daniel.
Konsumen itu mengangguk. Setelah menyimpan STNK sementara itu ke dalam tasnya, dia pun bergegas pergi.
“Sutan, tolong penjualan untuk konsumen dengan KTP luar kota itu di stop dulu. Terlalu banyak. Susah mengurusnya. Nanti kalau surat-surat kendaraan lama keluar konsumen marah-marah. Kita bingung menjelaskannya gimana. Mereka mana paham "Pelanggaran Wilayah",” intruksi Pak Daniel ke Bang Sutan.
Pelanggaran wilayah sendiri adalah situasi di mana di mana dealer melakukan penjualan motor di luar wilayah yang sudah ditentukan oleh Main Dealer. Perbatasannya biasanya per wilayah. Seperti dealer Rinai yang terletak di Pekanbaru, tidak diijinkan untuk menjual unit ke luar kota. Hal ini dikarenakan dealer dengan merek sama sudah ada di sana. Kecuali, si konsumen menetap di Pekanbaru, barulah surat-surat kendaraan bisa diurus dengan bukti surat domisili atau keterangan kerja.
“Susah lah pak, penjualan kita lebih banyak ke konsumen ber-KTP luar kota. Kalo kita stop, nggak jualan kita Pak. Nanti anjlok lagi penjualan kita kayak bulan sebelumnya,” tolak Bang Sutan.
Pak Daniel diam, tampak berpikir. Ia kemudian mendekati Rinai.
“Rinai, nanti semua data penjualan luar kota kamu pisahin ya, kasih ke saya! Biar saya bedakan pengurusannya, biar lebih cepat!”
“Iya, Pak.”
Sepeninggalan Pak Daniel, Rinai membuang napas. Alamat nambah kerjaan ini. Inputan aja masih menggunung, ditambahin satu lagi. Lama-lama Rinai nggak kuat kerja kayak gini!
Rinai merebahkan badan di atas kasur. Mata terpejam rapat dengan napas yang tenang. Tampak begitu damai. Meski begitu, gurat lelah tertera dengan jelas di setiap jengkal wajahnya.
Pagi ini, ia berencana mencicil inputan yang sudah menggunung. Dokumen itu terus tumbuh tinggi tanpa bisa dihentikan. Ia sudah membagi waktunya dengan baik dan yakin akan bisa menyelesaikan semua dalam waktu 2 hari ini. Tapi semua rencananya kandas saat pak daniel seenaknya memberi perintah untuk memilah penjualan dalam kota dan luar kota. Ia malah berakhir dengan setumpuk besar faktur penjualan.
Rinai lelah lahir dan batin. Penghujung bulan sudah di depan mata, tapi kerjaan masih segunung. Jangan bilang Rinai harus lembur pas tutup buku nanti. Isssh.
Ting!
Sebuah pesan masuk. Dengan ogah-ogahan Rinai menjangkau tas dan mengeluarkan HP.
[From: Bang Jack
Rinai, mau ikut lomba?]
Rinai mengernyit. Hah? Tumben banget Bang Jack ngajakin ikut lomba?
[To: Bang Jack
Enggak Bang, Rinai nggak sanggup panjat pinang.]
Kirim.
Ting!
[From: Bang Jack
Lomba menulis, Rinai. 17 agustus masih lama.]
Rinai mengernyit. Lomba menulis?
[To: Bang Jack
Lomba menulis gimana, Bang?]
Ting!
[From: Bang Jack
Lomba menulis novel. Diadakan BOB Publishing. Coba aja, soalnya lombanya gratis. Total hadiahnya juga lumayan. Kabar paling bagusnya, nanti kalau menang langsung dikontrak sama penerbit.]
Rinai mikir. Mau sih … Mau banget malah!
Tapi, emang Rinai ada waktu? Apalagi, pasti banyak yang ikutan juga. Iya kalau menang, kalau kalah? Lagipula, selama ini walau Rinai pernah ikut kelas menulis, dia nggak pernah benar-benar bikin novel. Hanya diberikan teori, challenge, dan diminta buat cerpen aja. Belum sampai ke novel. Soalnya kalau mau dibimbing sampai bikin novel, harganya beda!
Selain itu, Rinai tidak memiliki pengalaman apapun dalam mengikuti lomba menulis. Pernah beberapa kali sih mengirim cerpen untuk ikut lomba, tapi nggak pernah menang. Dia sama sekali tidak tahu bagaimana cara memulai sebuah novel dengan benar.
[To: Bang Jack
Rinai nggak pernah bikin novel, Bang. Nggak yakin juga bakal menang. Mana kerjaan lagi banyak-banyaknya. ???]
Rinai memang sering menulis, tapi hanya sekadar coretan iseng. Palingan dia posting di FB atau Wattpad. Itu juga yang like cuma sedikit, apalagi yang baca.
[From: Bang Jack
Lombanya kan gratis, coba saja ikut. Anggap sebagai latihan. Anda kan sudah paham teorinya, kalau nggak dipraktekan, ya nggak bakal maju. Tahunya hanya sebatas teori saja.
Katanya mau jadi penulis hebat, masa sama kerjaan menumpuk aja kalah?
Anda kan bisa sediakan waktu 1-2 jam sehari buat menulis. Deadline-nya panjang kok, bisa dicicil tulisannya.
Kalau sehari bisa selesai 5 lembar, sebulan 150 lembar, 3 bulan 350 lembar. Udah jadi. Kan tidak sulit nulis 5 lembar sehari. Asal ada niat dan konsisten. Kalau untuk edit, biar Bang Jack yang bantu. Rinai fokus menulis saja.]
Rinai menggigit bibir. Serasa dihantam telak ke ulu hati membaca pesan dari Bang Jack. Rinai emang nggak sanggup kalau impiannya sudah dibawa-bawa gini, apalagi yang dibilang Bang Jack benar.
Rinai memang bercita-cita jadi penulis sejak kecil. Sejak teman-temannya lebih memilih jadi polisi, pilot, atau dokter. Atau bahkan jauh sebelum dia mengerti jadi penulis itu maksudnya apa. Dan sampai detik ini, dia masih ingin jadi penulis. Masih ingin jadi penulis saat teman-temannya yang lain sudah berganti cita-cita. Masih memperjuangkan walau kadang ia tidak cukup percaya diri dengan hasil tulisannya.
Rinai menarik napas dalam, dan menghembuskannya. Kalau Bang Jack sampai mau jadi editor buat tulisan Rinai, ya nggak boleh ditolak dong, kapan lagi ada penawaran menarik kayak gini.
Dan Bang Jack benar, Rinai harus memanfaatkan lomba ini untuk mengasah kemampuannya. Menang, syukur. Nggak menang, juga nggak rugi apa-apa. Malah, mungkin saja dengan berani mengambil tindakan seperti sekarang, akan menciptakan perubahan besar untuk hidup Rinai. Ya, bisa aja kan!
Tekad Rinai sudah bulat. Ia mengetik pesan balasan untuk Bang Jack
[To: Bang Jack
Jadi, gimana cara daftarnya, Bang?]
Bodo amat dengan segunung inputan yang nggak kelar dan target jualan yang belum tercapai, Rinai punya hak mengejar impian!
Bersambung.
Penculik, Bukan?
Rinai bergegas turun dari oplet. Ia mengenakan kemeja lengan panjang yang dipadukan dengan celana levis dan sebuah tas selempang kecil. Setelah membayar, ia menyeberang jalan, menuju ke sebuah toko buku bekas.
Pagi ini, Rinai sudah meminta tolong Embun untuk mengantarnya ke tempat ini, tapi Embun malam ngomel-ngomel sambil lanjut tidur. Jadi dengan terpaksa, ia memutuskan untuk naik angkutan umum.
Derita orang yang gak bisa bawa motor ya ini, nih. Sedih!
Toko itu sangat luas. Memiliki banyak rak yang menjulang ke langit-langit. Berbagai buku dengan berbagai judul tersusun rapi di setiap ruang, dibedakan sesuai kategori.
Rinai menjelajah. Semangatnya menggebu-gebu. Ia tampak layaknya anak kecil, berlari pelan ke sana ke sini hanya untuk kegirangan melihat betapa banyaknya buku-buku bagus yang bisa dibeli dengan harga yang murah.
Untuk manusia berdompet tipis seperti rinai, toko buku bekas ini bagaikan bagian kecil dari surga. Ia merasa seperti… di sini ada dunia dan seisinya. Bibirnya tak bisa berhenti mengembang. Dalam beberapa jam, di tangannya penuh dengan tumpukan buku.
Hari ini pengunjung begitu ramai. Rinai bahkan tak sengaja menyenggol beberapa orang saat berjalan dari rak yang satu ke rak yang lainnya. Mungkin juga dipengaruhi karena toko ini baru saja buka di sini. Mereka bahkan memberikan diskon yang cukup besar untuk pembelian dalam jumlah banyak.
Malam itu, setelah Bang Jack mengirimi info tentang lomba, mereka chatting sampai larut. Membicarakan tema apa yang akan diambil untuk tulisan Rinai. Ia sangat bersyukur karena BOB Publishing membebaskan peserta untuk mengambil tema apapun. Dan dia sudah memutuskan untuk mengambil tema tentang pembunuh bayaran.
Tema pembunuh bayaran sendiri sangat sedikit di Indonesia. Mungkin karena minat pembaca terhadap tema ini begitu rendah, atau mungkin karena kurangnya penulis yang menuliskan cerita dengan tema ini. Tapi Rinai tetap percaya diri. Ia merasa yakin kalau cerita dengan tema seperti itu akan lebih menarik. Selain itu, ia juga yakin kalau sedikit sekali penulis yang akan membuat tema serupa, sehingga tulisannya akan kelihatan lebih mencolok dan mencuri perhatian. Hal itu bisa membuat peluang Rinai menjadi semakin besar, kan?
Rinai mendekat ke bagian rak novel. Niat Rinai hari ini mau membeli beberapa novel dengan tema yang sama dengan yang ingin ia tulis sebagai referensi. Beberapa hari kemarin, ia sudah menonton banyak film atas saran Bang Jack. Tapi film saja tak cukup, ia butuh referensi dalam bentuk tulisan supaya lebih paham dan mantap.
Rinai tersenyum senang. Buku-buku itu dibiarkan terbuka tanpa pembungkus sama sekali. Seakan memang mengizinkan pengunjung untuk membaca sepuasnya. Tak menunggu lama, Rinai langsung tenggelam dalam dunianya sendiri. Orang-orang disekitarnya bagaikan kilatan bayangan cepat yang tidak berarti. Sekelilingnya buram. Hanya ada satu titik fokus. Dirinya.
Hal ini juga yang membuat Rinai tidak menyadari bahwa sejak dia masuk, ada seseorang yang memperhatikannya. Seorang laki-laki yang Rinai panggil Abang Ojek. Ia mengikuti Rinai dengan matanya dari sudut lain rak buku. Berpikir sejenak, ia memutuskan untuk menyapa. Menolak dianggap sombong.
“Lagi cari buku apa, Dek?” sapa Birai.
Rinai tersentak. Ia menoleh cepat dan langsung mengambil satu langkah mundur mendapati di sebelahnya mendadak ada orang. Rinai menatap lamat-lamat. Kok rasa nggak asing, ya?
“Lupa, ya? Saya Birai!”
Oh, iya! Hutang 6 ribu!
“Lagi cari buku apa?” Birai menatap tumpukan buku di gendongan Rinai dengan takjub. “Banyak kali, mau ngeborong?!” serunya sambil tergelak.
Rinai malah gak mendengarkan sama sekali. Ia membuka tas dengan satu tangan dan mengambil pecahan uang 10 ribu.
“Utang saya, Bang,” kata Rinai sambil menyodorkan uangnya. Birai melongo.
“Bukan saya yang jual, Dek. Kasirnya di sana.” Emang Birai kelihatan kayak penjaga toko ya? Orang dia udah dandan keren juga.
“Eh, bukan! Ini buat utang yang kemaren, Bang.”
“Yang mana?”
“Yang pas anterin saya ke dealer ujan-ujan itu loh!”
"kok bisa?"
"kok bisa apa?"
"Hujan-hujanan."
"Lah, kan kemarin emang hujan, Bang."
"Gak hujan, kok. Orang panas gini," kata Birai sambil melihat ke arah langit.
“Bukan hari ini Bang, kemaren." Rinai mendadak kesal.
“Kemaren juga panas, kok. Jemuran saya aja kering."
Demi, Rinai nggak paham lagi! Nih orang nyebelin banget!
“Kan beberapa minggu yang lalu saya pesan ojek online, terus abang yang jemput. Waktu saya mau bayar, uang saya tinggal, jadi saya ngutang ongkosnya sama abang. Kalau nggak salah 6 ribu. Ini mau saya bayar.”
"Saya lagi ulang tahun loh, dek. Minum es dawet ayu yok, saya traktir!"
Rinai mengernyit.
SIAPA JUGA YANG NANYA?!!
Nih cowok aneh banget sih. Stres gitu kayaknya. Tinggalin aja deh, nggak usah dekat-dekat. Kali aja dia penculik yang menculik orang buat diambil organ dalamnya, terus di jual. Kan sekarang lagi marak berita yang kayak gitu. Modus ngedeketin, terus di preteli deh organ korban. Ngeri!
“Ini Bang,” Rinai menarik paksa tangan Birai dan menyerahkan selembar uang di sana, “Makasih ya, Bang.” Tanpa menunggu jawaban, Rinai berlalu menuju kasir. Bodo amat dianggap nggak sopan, Rinai udah takut duluan.
Setelah beres belanja, Rinai berencana untuk langsung pulang dan menghabiskan stok bacaan super banyak ini dalam waktu singkat. Bukan ngejar deadline lomba, tapi Rinai emang suka kalap kalau sudah berurusan sama buku. Sama kalapnya kalau lagi ngiler makanan enak. Kayak sekarang, niat pulang tinggal niat doang, Rinai malah berakhir di tukang es dawet ayu yang jualan nggak seberapa jauh dari toko buku bekas. Gara-gara Abang Ojek nih, yang tadi ngajak Rinai buat minum es. Kan, jadi pengen!
Sedang asik menikmati es dawet ayu sambil balas-balasan pesan sama Bang Jack, seseorang duduk di sebelah Rinai. Awalnya sih Rinai cuekin, paling juga pembeli lain. Tapi Rinai langsung menoleh dengan cepat saat orang itu mengeluarkan celetukan.
“Adek penulis, ya? Keren!”
Rinai melotot. Apaan sih, nggak sopan banget baca pesan orang lain!
“Mau ikut lomba apa tadi itu? Makanya ya beli banyak buku? Pantes sih, penulis kan nyawanya setengah ada di buku.” Birai tersenyum lebar.
Rinai masih nggak merespon. Ia mematikan layar HP dan minum es cepat-cepat, biar bisa cepat pulang, dan membatalkan rencana buat sedikit berleha-leha di sana.
Birai, entah gak peka entah emang gak waras, tidak menyadari sama sekali tingkah Rinai yang tampak antipati sama keberadaannya. Ia malah menatap Rinai dengan jenaka.
“Nggak usah buru-buru minumnya, santai aja. Nggak bakal diminta kok, saya udah pesan juga barusan.”
Siapa juga yang peduli dia mau minta apa enggak?
“Oya, ini juga, uang kamu,” Birai menyodorkan uang Rinai tadi di atas meja.
“Ini kan utang saya, Bang.” Rinai baru bersuara saat uang itu berada di sebelah mangkoknya, ia pun kembali menggeser uangnya ke arah Birai.
“Nggak apa, lagian lebih juga.”
“Nggak bisa gitu lah, utang dibawa mati, jadi Abang harus terima!”
Birai kicep. Dengan agak terpaksa ia mengeluarkan dompet dan menarik 2 lembar 2 ribuan dan balik menyodorkan.
“Ya udah, ini kembaliannya. Kan cuma 6 ribu.”
Rinai nggak membantah. Ia nggak mau berurusan lebih lanjut sama orang ini.
“Ya udah, sebagai gantinya, saya traktir ya! Anggap aja buat perayaan pertemanan kita.” Birai tersenyum senang. Rinai mengernyit, sejak kapan mereka temenan?!
“Nggak usah Bang, udah dibayar kok tadi,” tolak Rinai. Untung aja dia langsung bayar tadi, kayaknya Tuhan masih sayang sama Rinai.
Pemuda di depannya langsung memelas.
“Serius? Yahhh, sayang banget. Jarang-jarang loh saya mau foya-foya buat traktir orang."
Rinai cuma melempar senyum canggung.
"Kalo gitu kapan-kapan aja lah saya traktir, ya!” Birai melanjutkan.
“Nggak usah, Bang.”
“Nggak apa, do! Kata orang, persahabatan itu dimulai dari sebuah traktiran!”
Tapi Rinai nggak mau sahabatan sama kamu, Bang! Ngeri!
“Emang kamu sejak kapan jadi penulis? Udah nerbitin berapa novel?” Birai menyeruput es dawet ayu miliknya yang baru saja datang.
“Masih pemulanyo, Bang, belum pernah nerbitin novel,” jawab Rinai, lupa kalau dia nggak mau berurusan banyak sama cowok satu ini. Habisnya, dia tanya-tanya impian Rinai sih, kan Rinai jadi semangat menjelaskan.
“Masa iya? Terus tadi mau ikut lomba apa tu?”
“Baru mau ikut lomba. Belum buat novel.” Rinai jadi kesel lagi pas ingat orang aneh ini mengintip chat-nya dengan Bang Jack.
“Ohhh, gitu! Tapi udah jago lah ya?!”
“Belum lah, kan masih pemula.”
“Oya, saya punya kenalan, dia penulis juga, tetangga saya. Novelnya udah banyak. Beberapa karyanya bestseller!”
Rinai menatap tertarik. Serius nih?
“Serius, Bang?”
“Iya! Rumahnya dekat kos-kosan saya. Mau saya kenalin?”
Mau sih. Tapi ini bukan modus, kan, ya?
“Emang kos-kosannya Abang dekat mana?”
“Ini, dekat jalan Soekarno-Hatta. Nggak jauh do! Gimana? Mau ke sana sekarang?”
Rinai ragu. Masa sih ada orang sebaik ini di dunia? Kenal aja belum, udah mau bantu sampai sebegitunya. Mana sejak tadi SKSD lagi kayak lagi cari korban.
“Ndeh… kalau sekarang nggak bisa do Bang, habis ini ada perlu.” Rinai bohong.
“Oh, ada perlu? Ya udah besok aja kalau gitu! Nanti biar saya antar. Jadi malam ni, biar saya kasih tau dulu Pakciknya. Biar nggak terkejut pula Pakcik tu didatangin sama kita haha…”
Rinai mesem-mesem, memutar otak buat nolak. Bukan nggak mau dapat ilmu baru, tapi Rinai ragu sama cowok di depannya ini. Lagipula Rinai udah punya Bang Jack kok yang mau editorin. Untuk sementara, cukup sih kayaknya!
“Nggak bisa mastiin jugak do Bang, soalnya saya juga kerja, sibuk kali soalnya.”
“Oh, kapan ada waktu luang aja kalo gitu?”
Nih orang kok gak peka sih, kalau Rinai merasa terganggu?!
Rinai mendadak berdiri setelah es dawet ayu tandas dari gelas. Ia tersenyum canggung pada Birai yang tampak kaget sama gerakan tiba-tiba Rinai.
“Saya duluan ya, Bang." Tanpa menunggu jawaban Birai, Rinai beranjak. Ia langsung memberhentikan oplet yang sedang mendekat dan naik, mengabaikan Birai yang untuk kedua kalinya ditinggal begitu saja.
Sesaat oplet berjalan, Rinai merutuki sikap tidak sopannya. Ia gak enak hati sih, tapi mau gimana lagi? Siapa suruh tuh cowok SKSD segala sama Rinai. Rinai kan takut!
Bersambung.
Babak Baru
Rinai duduk di balik meja counter sembari menatap karyawan lain yang sedang bergotong royong menurunkan unit yang baru saja datang. Unit masuk hari ini cukup banyak sampai memenuhi mobil box terbuka bertingkat dua. Kebanyakan yang datang motor bebek. Setiap dealer punya jatah masing-masing yang nggak bisa di nego. Harus terima unit apapun yang datang, dan nggak bisa request.
Sejak jadi sales counter, Rinai baru sadar kalau menjual unit nggak segampang kelihatannya. Nggak semua jenis motor selalu ready di gudang dealer. Beberapa motor yang laku keras selalu jadi bahan rebutan. Siapa yang pesan lebih duluan, dia yang dapat!
Primadonanya dealer Rinai sendiri ya motor matic. Permintaan untuk motor matic cukup tinggi sampai kadang melebihi stok yang ada. Imbasnya, sesama marketing jadi sering ribut. Yang pesen unit si A, yang keluarin unit ke konsumen malah si B. Endingnya mereka berantem sampai masuk ruangan Pak Daniel.
Rinai sih udah bosan sama drama mingguan dealer, jadi udah nggak terlalu peduli. Mereka saling ngadu-ngadu sama bos, mentang-mentang Pak Daniel yang ajakin kerja di sini. Paling juga cuma kena tegur. Terus , besoknya berantem lagi. Kena tegur lagi. Gitu aja terus sampai Nobita lulus SMA! Bang Sutan sering jadiin itu objek candaan. "Kelakuan marketingnya Pak Daniel kayak anak SD!", gitu kata mereka.
Hari ini Rinai berencana untuk menyelesaikan laporan penerimaan buku servis, tapi batal gara-gara Pak Daniel yang datang bawa sebundelan besar STNK baru yang sudah selesai. Ia meletakkan bundelan itu di atas meja Rinai dan juga menyerahkan beberapa dokumen.
“Ini, kamu hubungi konsumen ya! Kabarin STNK-nya udah datang. Nanti ribut-ribut lagi mereka ke sini. Sakit kepala saya!”
“Iya, Pak.”
Rinai mengambil STNK dan mulai mengirim SMS ke seluruh konsumen. Rinai lebih memilih mengerjakan ini terlebih dahulu supaya nggak ada lagi konsumen yang datang sambil marah-marah. Ini lumayan makan waktu, karena Rinai harus mengerjakannya secara manual, yaitu melihat satu per satu nomor telepon konsumen di komputer.
Ini awal bulan yang baik. Rinai merasa sangat lega karena Pak Daniel tampaknya tak bermasalah sedikitpun dengan fakta bahwa Rinai belum berhasil jualan meski hanya 1 unit. Rinai keteteran, pekerjaannya menumpuk. Pas tutup buku kemarin Rinai jadi terpaksa lembur sampai malam banget. Ditungguin sih sama Bang Dewa dan Pak Daniel, tapi tetap aja ini pertama kalinya Rinai lembur selama itu setelah kerja di dealer.
Sejak terpaksa lembur, Rinai jadi bertekad untuk menyiasati pekerjaan agar lebih cepat kelar. Ia mulai mengelompokkan beberapa pekerjaan yang bisa dikerjakan sekali waktu dan memisahkan yang harus dikerjakan dengan fokus. Meski tidak membuat perubahan besar, tapi gunung tugas di atas meja Rinai tak setinggi bulan lalu.
Ting!
Sedang sibuk mengabarkan konsumen, HP Rinai berbunyi. Pemberitahuan pesan masuk. Rinai menghentikan sejenak pekerjaannya dan membuka pesan.
[From: Bang Jack
Rinai punya kenalan orang yang punya pengalaman menulis novel, tidak?]
Rinai mengernyit. Kenalan… penulis?
[To: Bang Jack
Kalau cuma sekadar menulis sih, ada Bang. Tapi kalau menerbitkan novel … belum ada Bang, rata-rata masih pemula kayak Rinai.]
Rinai kembali melanjutkan kerjaan.
Ting!
[From: Bang Jack
Belum menerbitkan novel juga gak apa. Yang punya pengalaman menulis novel saja.
Tulisan Rinai bagus, tapi masih kurang. Waktu ikut Kelas Menulis Online gak disuruh langsung buat novel ya?]
Rinai kembali mengetik balasan.
[To: Bang Jack
Cuma dikasih challenge sama teori. Prakteknya disuruh bikin cerpen doang, Bang. Gak sampe sejauh dibimbing buat novel. Ongkosmya beda, hehe.
Parah banget ya Bang, tulisan Rinai?]
Ting!
[From: Bang Jack
Tulisan anda sudah cukup bagus, tapi tidak cukup kalau diikutsertakan lomba. Butuh ada yang mentorin.
Bang Jack kan bukan anak fiksi, jadi tidak begitu paham cara membuat novel yang bagus itu gimana. Lebih baik belajar sama yang lebih berpengalaman.]
Tuh kan, ini nih yang bikin Rinai ragu kemarin! Lagian, Bang Jack juga, kemarin omongannya meyakinkan banget, sekarang malah jadi kayak ragu gitu!
Gimana dong? Rinai belajar sama siapa ini? Kenalan Rinai kan rata-rata ya sama kayak dia, pemula!
Kira-kira mentor Rinai di kelas menulis online mau nggak ya kalau Rinai mintai tolong untuk bantu? Bantu kasih kritik dan saran aja oke lah. Dibanding nggak sama sekali.
Oya, bukannya semalam Abang Ojek bilang kalau dia punya tetangga penulis best seller?! Apa Rinai coba hubungi aja dia, minta tolong anterin ke rumah si penulis? Tapi, gimana kalau itu cuma modus? Terus, Rinai jadi korban mutilasi! Kan, Abang Ojek mirip tukang modus kejahatan. Apa lagi coba alasannya deketin Rinai?!
Dih, ngeri!
Atau Rinai cari sendiri aja rumahnya? Kalau di penulis best seller, pasti banyak kan yang kenalin. Nanti Rinai bisa tanya-tanya tetangga, jadi nggak perlu minta tolong Abang Ojek segala.
Cumaaa… jalan Soekarno-Hatta kan luas banget! Ya kali Rinai cari dari pangkal sampai ujung! Belum lagi banyak gang. Alamat sampai lomba kelar tuh penulis best seller belum juga ketemu!
Jadi, apa yang harus Rinai lakukan?
Cari alamatnya sendiriTelpon abang ojekBilang sama Bang Jack kalau dia nggak punya kenalan penulis sama sekali, wong Bang Jack juga gak bakalan tau ini!
Tapi… kalau Rinai bohong, nggak ada juga yang rugi selain diri Rinai sendiri. Kalau dia gagal, paling bang jack menyemangati kayak biasanya. Terus, disuruh ikut lomba yang lain lagi.
Lah, kan Rinai yang udah korbanin waktu, tenaga, dan pikiran. Masa kalah hanya gara-gara takut dimutilasi!
Memangnya siapa juga yang nggak takut dimutilasi?!! Rinai masih pengen hidup!
“Dek.”
Rinai terlonjak. HP-nya terlempar tanpa sadar ke atas meja dan ia terbelalak seperti melihat penampakan.
Tapi ini lebih gawat dari penampakan!
Gimana nggak sekaget itu, secara orang yang jadi objek pikiran Rinai mendadak ada di hadapan.
Nih orang datang dari mana sih? Jangan bilang dia bisa datang hanya karena Rinai pikirin! Oya, katanya orang-orang pelaku mutilasi kan punya ilmu yang bisa bikin korbannya linglung. Jangan-jangan ilmunya juga bisa menyadari dimana keberadaan Rinai hanya karena selintas kepikiran.
Duh, nyesel nih Rinai mikirin dia tadi!
“Ngapain, Bang?” Rinai menggeser kursinya mundur. Ia melirik sekeliling, kali aja ada yang bisa dimintai bantuan kalau-kalau Rinai dibawa paksa. Tapi semua orang sedang sibuk.Bang Sutan lagi melayani konsumen, dan Bang Dewa lagi ikut gotong royong menurunkan unit.
Kalau Rinai teriak pasti kedengaran kan, ya?
Tapi gimana kalau Rinai dibius, terus pingsan sebelum sempat teriak? Dan nggak ada yang sadar Rinai hilang? Lalu ibu dan ayah bakal nangis-nangis di rumah, sedangkan Embun bersyukur gak perlu jadi tukang ojek pribadi Rinai lagi, konsumen nggak bisa ambil STNK, dan Pak Daniel keteteran cari admin baru.
Rinai nggak boleh sampai diculik!
“Kan kamu yang minta saya datang, kok malah nanya ngapain pula?” Birai tergelak. Ia mengenakan kemeja rapi dan menyandang tas ransel. Ia langsung duduk tanpa permisi di kursi di hadapan Rinai.
Tuh kan, benar! Dia punya ilmu gitu-gituan! Bisa tau Rinai mikirin dia, terus datang!
Demi apa Rinai beneran takut!
Kabur gak ya? Lari ke ruangan Pak Daniel terus kunci pintunya dari dalam. Kalau Pak Daniel nanya, bilang aja Rinai lagi dicari sama Pelahap Maut, jadi harus disembunyikan demi masa depan dunia sihir. Kali aja Pak Daniel percaya! Orang marketing tipu-tipu aja dia percaya kok! Ups!
“Dek, kok melamun pulak? Nanti kesambet! Masih pagi, ni!” Birai tersenyum geli.
Rinai hanya menatap mencela cowok di depannya. Apaan sih! Rinai paling benci deh kalau ada orang sok tau yang bilang dia melamun gitu. Padahalkan Rinai nggak melamun, tapi mikir! Emang mereka nggak bisa bedain ya?
Seketika, ketakutan Rinai lenyap dan berganti dengan kesal. Dengan hati mangkal, Rinai memperbaiki duduknya dan memindahkan HP ke laci meja.
“Ada yang bisa dibantu, Bang?” wajah dan suara Rinai langsung datar, tak mau menunjukkan sedikit ekspresi pun. Bodo amat dengan SOP.
Rinai memang suka mendatarkan ekspresi dan nada suara saat marah. Bagi Rinai yang pendiam dan suka memendam perasaan, itu adalah pilihan terbaik saat marah. Karena kalau Rinai sampai marah dengan meledak-ledak, selain dia memang gak mampu, dia yakin kalau pasti akan menyesal setelah melakukannya.
“Ini,” Birai menyerahkan surat jalan, “mau ambil STNK. Tadi udah di SMS kalau STNK-nya udah datang.”
Rinai mencelos. Oh! STNK, yaaa?! Kirain dia beneran bisa baca pikiran!
Tuh, kan! Kebiasaan nih, Rinai suka mikir jelek sama orang baru.
Lagipula, sejak kapan juga dia ambil motor di sini? Kok, Rinai gak sadar?
Rinai membaca surat jalan yang tadi Birai serahkan dan ingatannya melayang pada beberapa minggu yang lalu, pada seorang laki-laki sok ngartis yang membuatnya jengkel. Oh, iya dia! Namanya sama! Orangnya juga hehehe ... Jelas lah, orang mereka memang satu orang yang sama.
Kok Rinai bisa lupa ya? Gak usah bingung! Kan Rinai emang tipe manusia nggak peka! Dia mana ingat kalau cuma sekali jumpa. Ingatan Rinai kalau menyangkut urusan mengingat manusia emang pentium 1. Nggak begitu bisa diandalkan.
Rinai langsung menyisihkan STNK milik Birai dan menyiapkan daftar pengambilan surat-surat kendaraan.
“Tanda tangan di sini, Bang,” Rinai menunjuk buku serah terima. Birai mengambil pena dan membubuhi tanda tangan di sana.
“Udah ya Bang, ini STNK-nya. Silahkan diperiksa lebih dulu nama dan alamatnya. Terima kasih.”
Rinai menyimpan buku serah terima kembali ke dalam laci dan melanjutkan mengirim SMS, tapi ia mendadak berhenti saat menyadari Birai tak kunjung pergi walau SNTK sudah ia terima.
“Ngapa bang? Ada yang salah nama atau alamatnya?”
Birai tersenyum lebar. Ia memajukan wajah dan berbisik pelan,
“Jadi nggak ke rumah Pakcik, penulis yang saya ceritain kemaren?”
Deg!
Nih cowok emang punya ilmu!
Rinai kembali bersikap awas.
“Kamu kok kayak takut gitu sih sama saya? Ngapa? Takut saya culik?” Birai tergelak. “Lagi pula, kalau saya penculik, ya saya pilih-pilih juga! Tipe cemberut kayak kamu ini mana laku kalau dijual!”
Rinai emang nggak mau di jual atau diculik, tapi jangan pake ngehina dong! Habis deh kesabaran Rinai!
“Gimana? Jadi?” Birai mencoba meredakan tawa, “Kemaren udah saya bilangin sama Pakcik, mau dia! Katanya sih, ayuk aja. Tapi dia lumayan sibuk, nggak selalu bisa diganggu. Kalau mau, hari ini kita ke sana. Soalnya lusa dia ada kerjaan keluar kota. Baliknya baru minggu depan. Kalau udah jumpa kan enak, kali aja bisa sekalian minta ilmu atau saran.”
Kalau Birai orang baik, mungkin dia adalah refleksi nyata akan pertolongan Tuhan terhadap Rinai. Cuma masalahnya, dia nggak jelas baik atau enggak! Kadang baik, kadang modus kayak penculik, kadang nyebelin banget nggak ngira-ngira!
Rinai coba percaya gak ya?
Rinai masih ragu sih!
“Gimana? Mau nggak? Mumpung saya lagi luang sore ini,” kata birai lagi.
Ikut? Enggak? Ikut? Enggak? Ikut? Enggak!
Enggak ikut!
Diam-diam Rinai hitung kancing baju, soalnya dia bingung mau pilih ikut dan percaya, atau tolak demi mempertahankan nyawa. Meski Rinai sendiri merasa bego sih, bisa-bisanya dia mempercayakan keputusan sama kancing baju yang gak bernyawa.
Tapi tadi kan, hasil akhirnya tolak! Apa Rinai tolak aja? Tolak bala. Tolak linu. Tolak peluru. Bukan! Tolak tawaran abang ojek buat ikut ke rumahnya. Eh, bukan, rumah Pakcik ding! Tapi kan sama aja, orang mereka tetanggaan gitu kok!
“Ha! Tumben kemari?”
Rinai tersentak dari pikiran panjangnya. Bang Dewa mendekat dengan sebotol air mineral di tangan. Ia berkeringat dan tampak lelah setelah menurunkan banyak unit yang datang hari ini.
“Iya! Ambil STNK, Bang.”
Mereka bersalaman, dan kemudian berbincang akrab. Kok Bang Dewa kenal sih sama abang ojek?!
“Oh, udah keluar STNK-nya?” Bang Dewa menatap Rinai.
“Udah kok Bang, ni udah aku ambil,” sahut Birai cepat sebelum Rinai sempat buka mulut.
“Ohhh, baguslah,” kata Bang Dewa lagi.
“Rinai, dipanggil ke ruangan Pak Daniel!” Kak Julita yang baru saja keluar dari ruangan Pak Daniel memberitahu sambil lewat. Tanpa basa-basi, Rinai langsung beranjak. Biar deh, kan ada Bang Dewa di sana yang ajakin ngobrol Abang Ojek.
****
Kali kedua untuk Rinai duduk di sofa merah menyebalkan ini. Gimana nggak menyebalkan. Setiap kali duduk di sini, pasti ada sesuatu yang serius. Meski di sofa ini juga dia pernah di tes dan diterima sebagai karyawan. Tapi, itu kan dulu, sebelum negara api menyerang. Sekarang zaman udah berubah menjadi zaman kerja paksa. Iya, Rinai terpaksa turun gunung! Masih gak ikhlas ninggalin ruangan yang udah dianggap kamar sendiri di lantai 2.
Pak Daniel masih sibuk menelepon di balik kursi kebesarannya. Rinai mengira-ngira apa yang membuat Pak Daniel memanggil dirinya. Masalah STNK lagi ya? Atau inputan penjualan? Atau masalah beberapa marketing yang datanya masih pending sehingga Rinai nggak bisa input?
Atau… Mau naikin gaji Rinai?!
Duhhh… mau banget! Kan Rinai udah sebulan ini kerja ngerangkap. Lesu, lelah, lunglai! Jadi wajar aja kalau Pak Daniel mau naikin gaji Rinai! Ternyata Pak Daniel pengertian banget yaaa!
Jadi terharu!
Tisu… mana tisu? Rinai mau buang ingus!
“Rinai,” Pak Daniel meletakkan HP, “Kamu bulan kemarin belum ada jualan sama sekali, ya?”
Rinai tertegun. Kok gak ada kata gajinya yaaa?
Rinai pasti salah dengar nih!
Coba ulang, deh.
“Gimana, Pak?” Rinai coba konfirmasi.
“Iya, kamu bulan kemarin belum ada jualan unit sama sekali, ya?” ulang Pak Daniel.
Lantai yang Rinai injak serasa retak dan membawa tubuhnya terjun bebas ke bawah.
Kok, kayaknya ada yang gak asing dengan beberapa adegan di atas?! Serasa pernah terjadi gitu, tapi Rinai lupa kapan.
Ini topik yang Rinai hindari berminggu-minggu. Kalau bisa mah, seumur hidup!
“Belum Pak, saya mau fokus dulu sama inputan dan melayani konsumen yang mau ambil kelengkapan kendaraan. Lagipula, saya masih belajar buat jualan.”
Pak Daniel merebahkan tubuh ke sandaran kursi. Kursi empuk itu berputar-putar seiring gerakan Pak Daniel.
“Iya, Sutan juga udah bilang gitu sama saya. Kalau gitu mulai bulan ini harus bisa jualan ya! Biar penjualan counter bisa naik.”
“Iya, Pak.”
“Sejauh ini kamu ada masalah? Kalau ada masalah sama yang lain atau marketing, kasih tau saya! Kadang mereka kan suka bertingkah.”
“Sejauh ini nggak ada masalah, Pak.”
“Oya, ini, kamu dapat undangan training buat sales counter. Kamu ikut ini ya, biar makin paham.” Pak Daniel menegakkan badan dan menggeser selembar kertas di atas meja.
Rinai beranjak dan mengambil kertas undangan. Ia membaca detail waktu training dan mendapati kalau training 2 minggu lagi.
“Berarti saya nggak perlu ke dealer kan Pak? Trainingnya kan dari pagi sampai sore?”
“Iya, nggak perlu. Jangan sampai telat ya!”
“Iya Pak.”
Setelah berterima kasih, Rinai beranjak keluar sambil membawa undangan training. Ia terheran-heran melihat Abang Ojek dan Bang Dewa masih asik bercerita. Ia masuk ke balik counter dan menyimpan undangan training ke dalam laci.
Karena merasa aneh, Rinai melirik kepada 2 orang yang mendadak diam sejak kedatangannya. Kenapa lagi nih? Jangan bilang mereka tadi gosipin Rinai! Kan biasanya gitu, kalau kita lagi ngomongin orang, pas orangnya datang kita langsung diam.
“Iya mau belajar nulis sama Pakcik, Nai?” Bang Dewa memastikan.
Rinai melongo. Lah, kok Bang Dewa tahu?
“Kok Abang tau??” Rinai merenggut. Itu kan rahasia!
“Nih, si Birai yang bilang.”
Rinai melemparkan tatapan mematikan pada Birai, yang langsung meringis di tempat.
“Hehehe… cuma mau silaturahmi aja, Bang.” Rinai nggak nyaman, ia berpikir cepat mengalihkan pembicaraan, “Abang kenal sama Pakcik?”
“Kenal lah! Kan tetanggaan.”
“Serius?! Berarti juga tetanggaan sama abang ni?” Rinai menunjuk Birai yang cengar-cengir.
“Tetangga apaan! Orang kami satu kos juga, kamar sebelah-sebelahan di batas triplek doang hahaha…” Bang dewa tertawa diikuti Birai yang meringis.
Bang Dewa satu kos sama Abang Ojek? Berarti Abang Ojek bukan tukang mutilasi dong ya? Beneran baik ya?
“Kau pun, akhir-akhir ni sok sibuk kali! Seminggu ni pulang tengah malam terus,” kata Bang Dewa.
“Maklum lah, Bang. Kalau mau kaya, ya butuh usaha."
"Gaya kau lagi mau kaya - mau kaya, kayak apa aja lah. Kerja sampe malam makan tetap indomie juga tu." Mereka berdua terbahak. Rinai ikutan senyum, kurang lebih Rinai yakin mereka lagi ngomongin masalah anak kos.
“Capek-capek bayar, di tahun terakhir ditarik leasing pula. Memperkaya leasing namanya tu!” Birai menggeleng-gelengkan kepala masih sambil tergelak.
“Kuliah gimana? Lancar?”
“Lancar bang!”
“Mantap tu!” Bang Dewa mengacungkan jempol buat Birai, “Udah ya, ke atas dulu, mau rutinitas. Kali aja bisa jadi karyawan teladan, bisa naik gaji!”
“Emang di sini aja pemilihan karyawan teladan Bang?” alis Birai naik setengah.
“Enggak!! Hahahaha …”
Rinai mendesah. Mereka bercanda mulu. Kayak nggak ada beban. Apa cuma Rinai yang punya beban di dunia ini? Ya nggak mungkin lah! Semua orang juga pasti punya!
Tanpa sadar, Rinai menggigit bibir. Dia masih belum menjual satu unit pun bulan ini, inputan menumpuk, kerjaan begitu banyak, belum lagi dia juga harus buat novel. Mana Bang Jack suruh Rinai cari mentor lagi! Rinai nggak tahu harus cari kemana? Emang kalau Rinai cari ke pasar, ada yang jual gitu?
Mentor menulis! Mentor menulis! 10 ribu 3! Dek, Dek, cari mentor yang gimana dek? Lengan panjang? Lengan pendek? Silahkan pilih! Silahkan pilih!
Isssh!
Apaan coba, pake lengan panjang atau lengan pendek, emang jualan baju?!
Cari mentor menulis kemana yaaa?!
“Lah, kan udah dibilang, Pakcik tinggalnya di jalan tobek godang. Deket sini kok! Jadi pergi ke sana sore ni?”
Rinai terkesiap. Perasaan tadi ngomomg dalam hati deh, kok dia bisa tau? Nih orang beneran bisa baca pikiran kali ya? Indigo, gitu! Tapi… bukannya indigo itu cuma bisa liat makhluk astral? Atau bukan? Tau deh, Rinai nggak paham!
Rinai kembali menimbang-nimbang, ikut nggak ya? Lagi pula, kan dia juga temannya Bang Dewa, jadi aman, jadi baik, jadi nggak apa-apa kalau Rinai terima ajakannya.
“Oke?”
“Oke!” Rinai nyerah. Dia memang butuh mentor atau seseorang yang mampu untuk membimbingnya menyelesaikan sebuah novel dengan baik.
Rinai gak mungkin berjalan di kegelapan dengan mengandalkan keyakinan kalau di depan ada jalan keluar, kan?
“Tapi jangan nanti sore bisa nggak, Bang?”
“Loh, kenapa?”
“Ada perlu!”
“Gitu yaaa? Tinggal besok berarti.”
“Besok aja boleh ya?”
“Oke deh. Sore saya jemput ya!”
“Saya ke sana sama Bang Dewa aja, Bang.”
“Nggak usah, saya jemput aja. Besok saya kelar kuliahnya sore, jadi sekalian lewat sini kan!”
“Iya lah.”
Setelah mereka berdua sepakat, Birai pamit. Katanya masih ada kuliah lagi, jadi mau ke kampus. Sepeninggalan Birai, Rinai mengambil HP dan mengirim pesan,
[To: Bang Jack
Rinai udah ketemu mentornya, Bang!]
Bersambung.
Arah Haluan
Sore ini Rinai ada janji sama Birai buat pergi ke rumah Pakcik. Ia mengerjakan pekerjaan secepat mungkin dan menyisihkan sedikit buat besok. Bukannya Rinai pemalas loh sampe nyisain pekerjaan segala, orang kerjaan Rinai banyak banget, mana selesai satu hari. Untung aja ini masih awal bulan, jadi gak harus buru-buru.
Rinai melirik jam di HP, udah setengah 6 alias udah setengah jam Birai telat. Dealer sudah tutup sejak tadi, sudah tergembok, terkunci rapat. Rinai jadi duduk lesehan di teras dealer menunggu jemputan. Tau gini mending tadi Rinai nebeng Bang Dewa aja kali ya, pasti sudah sampai di rumah Pakcik.
Rinai membuka tas dan mengintip ke dalam salah satu saku. Di dalam sana Rinai sudah menyimpan sebuah penyemprot yang isinya air lada. Bukan buat makan, tapi buat jaga-jaga! Rinai sengaja membawa satu garpu dari rumah, siapa tau Birai bukan orang baik. Siapa tau dia mau culik Rinai, terus dijual! Meski suka cemberut dan berwajah datar gini, organ tubuh Rinai kan bisa aja dipreteli, terus dijual deh ke pasar gelap, atau Rinainya yang bakal dijual ke mucikari!
Ngeri!
Pokoknya Rinai nggak boleh sampai lengah. Bahkan kunci HP pun udah dinonaktifkan, jadi kalau mendesak, gak perlu masukin password dulu, bisa langsung nelpon buat minta tolong.
Tapi, kan Rinai nggak punya paket nelpon! Nggak punya bonus SMS juga, kuota internet juga modal gratisan dari dealer, ini!
Demi apa Rinai gak modal!
Apa Rinai pinjam HP kantor yang biasa dia pake aja kali ya? Kan gak ada yang tau ini bakal dibawa. Lah, dealer aja udah digembok gitu! Kuncinya kan sama Bang Sutan.
Gak apa-apa deh, yang penting Rinai udah bawa penyemprot air lada. Kalo dia macem-macem, liat aja, Rinai langsung semprot terus kabur!
Dari kejauhan, motor Birai tampak mendekat. Cowok itu memasang wajah bersalah dan senyum gak enak.
“Maaf ya, tadi ditahan dosen bentar. Udah lama nunggu?”
Rinai manyun.
“Maaf kali, lah!”
“Gak apa, Bang,” kata Rinai sembari bangkit.
“Yok, kita langsung ke sana aja!”
Rinai mendekat dan naik ke atas motor. Ia berpegangan pada besi bagian belakang saat motor mulai melaju.
Dalam hati, Rinai masih was-was. Dia benar-benar takut kalau Birai bukan orang baik. 1001 rencana mulai tersusun di otaknya.
Khayalan 1:
Kalau nanti Birai coba bawa Rinai ke tempat sindikatnya, ia bakal langsung kabur. Terus tangannya bakal ditarik, tapi Rinai bakal ngelawan. Ia ambil penyemprot air lada yang di letak di saku paling luar tas dan semprot wajah Birai. Wajah Birai bakal pedes dan pegangannya terlepas, terus Rinai lari sekencang-kencangnya sambil teriak keras minta tolong, terus selamat!
Selamat ya Rinai!
Cieee, selamat yaaa! Udah makin tua nih!
Selamat ya! Umur berapa? Ke-23 ya?
Dih, bukan!
Bukan selamat ulang tahun kayak gitu!
Tapi selamat dari bahaya!
Keseel!
Khayalan 2:
Rinai sampai di rumah Pakcik, tapi yang menunggu di sana malah teman-teman Birai yang ternyata pada psikopat dan lagi cari mangsa. Ia kemudian dibunuh. Mati! Masuk TV! Lalu satu-satu keluarga dan kenalan bakal di wawancara,
Wartawan: Bagaimana perasaan ibu setelah tau anak ibu dibunuh?
Ibu: Sedih, Dek (ibu meraung). Ha-harusnya saya paksa adeknya buat jemput! Huaaaa… (histeris)
Wartawan: bagaimana korban di mata kamu sebagai adiknya?
Embun: Hiks! Hiks!! Huaaaaaa…. (ikut meraung) Kakakkkk! Kasih tau dulu di mana simpan remote TV! KAKAKKKK!!!
Wartawan: Ikhlasin ya, ikhlasin… Nanti saya sedekahin remote TV satu. Di rumah saya ada 2 soalnya. (ikut nangis)
(kemudian, kamera pindah tempat. Tampak dealer tempat Rinai kerja yang terlihat lebih sendu dan gelap)
Wartawan: Apa yang bapak paling ingat tentang korban?
Pak Daniel: Saya ingat, dia terpaksa turun gunung. (buang ingus pakai saputangan) Tapi apa boleh buat, kami terpaksa, kami lagi hemat. Harusnya saya pura-pura nawarin kenaikan gaji biar dia senang di akhir hidupnya.(wajah melas).
Wartawan: Ada hal terakhir yang paling kamu ingat dari korban?
Bang Dewa: Harusnya saya ngelarang dia buat ke sana! (tampang syok) Ini salah saya! Ini salah saya! (histeris sambil guling-guling di lantai)
Wartawan: Tampaknya dealer sangat berduka ya, sampai suasana tampak lebih redup dari pada biasanya?
Bang Sutan: Oh, itu… emang lagi mati lampu sih, Pak. Hehehe...
Wartawan: O-ohhh, gitu yaaa?
Rinai mengulum bibir, mau tak mau senyum-senyum sendiri sama hayalan konyolnya. Demi apa Rinai merasa bodoh!
Mengerjapkan mata, Rinai akhirnya sadar kalau motor yang ia tumpangi sudah tak bergerak lagi. Di depan, Birai memperhatikan Rinai dari kaca spion sambil mengulum senyum. Rinai mati gaya!
“Udah sampe,” kata Birai sembari menahan tawa. Gak paham kenapa Rinai senyum-senyum sendiri.
Birai memarkirkan motor tepat di depan sebuah rumah sederhana nan asri. Rumah itu tanpa pagar dengan warna cat hijau muda, mengingatkan Rinai pada daun kelapa yang suka digunakan ibu untuk membuat ketupat setiap kali lebaran datang. Di sisi rumah ada beberapa bunga; anggrek, lili, mawar, dan lain-lain yang tersimpan rapi di dalam pot. Ada yang disusun di atas rak di lantai, ada juga yang digantung di langit-langit rumah. Dan seekor burung cantik berbulu hijau dan hitam dengan kicauan merdunya yang sedang asik bermain di dalam sangkar masing-masing.
Rinai turun dari motor dan masih sedikit was-was, meski dia mulai yakin kalau Birai memang orang baik, gak ada niat jahat. Ia menatap ke sekeliling rumah dan mendapati mereka berada dalam kompleks perumahan padat. Di ujung gang, sekelompok anak kecil bermain-main, di sisi lain ada sekelompok ibu-ibu yang asik merumpi, dan di warung dekat yang tak jauh dari sana beberapa orang bapak-bapak tampak bercengkrama.
Rinai menatap pemandangan itu dengan penuh perasaan. Entah kenapa, terkadang di saat ia melihat pemandangan seperti ini, ia merasa sedang menonton film secara live. Film hidup orang lain.
Ada kalanya saat ia berjalan di depan deretan ruko di pinggir jalan raya dekat rumah mereka setiap kali ia ke supermarket, dari satu sisi ke sisi lain, dari satu toko ke toko lain, dari satu ujung ke ujung yang lain, ia merasa sudah menyaksikan banyak kehidupan.
Dalam satu pintu ruko, ada kakak-kakak yang jualan baju dengan 1001 permasalahan hidup. Entah tentang cinta yang telah usai, perjuangan menahan tekanan dari bos mereka yang galak, atau kesedihan karena tak bisa lanjut kuliah layaknya teman-temannya yang lain. Di ruko selanjutnya ada koko-koko yang sibuk memerintah karyawannya untuk menyusun barang-barang yang baru masuk. Satu, dua orang tampak meringis menahan kardus berat dipunggung, yang lain terlihat pasrah. Pada nasib. Pada takdir. Pada hidup yang tak adil. Dan di ruko lain, ada kehidupan lain. Cerita lain. Dan permasalahan lain.
Terkadang, saat melihat hal itu, ia merasa tersesat. Itu membuat dia berpikir ulang ke mana sebenarnya ia hendak pergi? Ke mana harusnya ia kembali? Kadang, hal-hal seperti ini mencubit hatinya, seakan berkata “Ini bukan tempat ku yang seharusnya!”
Ada saat ia berpikir bahwa tempatnya yang sebenarnya adalah sebuah perjalanan panjang. Berisi 1001 pengalaman, pengamatan, dan kebebasan. Ia ingin berjalan dari satu ujung dunia ke ujung dunia lainnya. Ke balik bumi, ke tempat yang berada di belakang gambar Indonesia di globe. Atau… ke sisi lain di peta dunia.
Rinai ingin pergi. Terbang. Bebas. Dan lepas.
Dan kemudian, dia akan menuliskan semuanya di dalam tulisannya. Sedihnya, sakitnya, pahitnya, bahagianya, dan… pulangnya.
Hal ini semakin membulatkan tekadnya untuk menjadi penulis pro. Untuk membuka peluang dan kesempatan dirinya... terbang sebebas mungkin.
“Dek. Malah diam aja?” Birai mengintip dari balik pintu. Rinai tersentak. Ia serasa ditarik ke dunia nyata.
“Melamunnya ditunda dulu, ya. Yuk, masuk!”
Rinai gak suka dibilang melamun! Nih orang nyebelin banget sih!
Sambil meringis, Rinai akhirnya mengikuti Birai masuk ke dalam rumah. Ia tersenyum canggung pada sosok lelaki paruh baya yang duduk di sofa tunggal seakan sengaja menunggu mereka. Di atas meja tamu ada beberapa minuman kaleng, air mineral gelas, dan makanan ringan.
Namanya Agus Salim. Orang-orang kebanyakan memanggilnya Pakcik, soalnya dia orang melayu asli. Lelaki itu bertubuh gendut dengan sebagian rambut sudah memutih. Ia memiliki garis wajah kebapakan yang penuh pengertian dan tanggung jawab. Namun, binar matanya menunjukkan dengan jelas wibawa dan kecerdasan yang sudah terasah.
“Pakcik,” sapa Birai. Beliau mengangguk perlahan.
“Oh, ini orangnya Birai?” Suara Pakcik terdengar ramah dan lembut, mengingatkan Rinai pada hari mendung dengan semilir angin sepoi-sepoi. Dia tersenyum ramah sambil menatap Rinai, yang Rinai balas dengan canggung.
“Iya, Pakcik,” sahut Birai.
“Rinai, Pakcik,” kata Rinai memperkenalkan diri sambil menyalami tangan Pakcik. Ia mengikuti Birai duduk di sisi sofa yang lain.
“Sejak kapan suka menulis?” Pakcik menatap Rinai dengan pandangan tertarik, jarang-jarang dia menemukan anak muda Pekanbaru yang sampai menyambangi rumahnya hanya untuk dimentori menulis.
“Sebenarnya sejak SD udah bercita-cita pengen jadi penulis Pakcik, tapi mulai nulisnya baru pas SMP,” jawab Rinai.
“Sejak SD udah niat jadi penulis? Hebat betul! Kenapa tak jadi dokter saje? Atau guru? Kan anak kecil biasanya macam tu lah, kalau nggak dokter, ya guru.” Mereka terkekeh.
“Iya ya, Pakcik. Dulu Birai waktu SD ngebet kali jadi polisi,” sahut Birai.
“Iye lah, anak kecilkan cita-citanya pada sama. Cita-cita 1000 umat lah tu hahaha....” Pakcik kembali terbahak.
“Nah, Rinai kenapa cita-citanya tak ikut cita-cita 1000 umat?” Pakcik dan Birai menatap Rinai.
Kenapa ya?
Ingatan Rinai kembali pada 17 tahun yang lalu, saat dia masih berstatus murid kelas 1 SD.
Rinai kecil di kampungnya di Sumatera Barat. Tinggal bareng nenek, kakek, dan adik perempuan ibu yang ia panggil Ande. Kampung Rinai asri dan hijau, dekat laut dan dari teras rumah bisa kelihatan puncak gunung.
Kampung Rinai masih asing dengan yang namanya TK, jadi saat sudah cukup umur, mereka bisa langsung mendaftar ke SD. Mereka hanya memiliki seorang wali kelas yang hanya akan masuk ke kelas yang ia walikan saja dan mengajar semua mata pelajaran.
Rinai tak memiliki bayangan sedikitpun akan menjadi apa saat besar, ia bahkan juga tak cukup paham menjadi besar itu maksudnya seperti apa? Ia hanya mencoba melakukan yang terbaik dengan semua rasa ingin tahu yang dimiliki oleh anak SD pada umumnya.
Di sekolah, selain berhitung Rinai juga diajari membaca. Tapi Rinai termasuk dalam kelompok anak yang masih mengeja saat teman-teman yang lain sudah mulai lancar. Hal itu membuat Rinai bekerja 2x lebih keras agar tak tertinggal jauh.
Disuatu sore yang mendung, Rinai memutuskan untuk membaca buku dibandingkan main bersama teman-teman di lapangan desa. Di atas sofa berwarna abu-abu, Rinai menelungkupkan badan dengan sebuah buku. Seretnya kulit sofa yang menggesek di sepanjang lengan tak membuat semangat Rinai surut, ia tetap fokus belajar membaca.
“Ha, tumben kau nio belajar membaca?” Ande datang dari dalam mengunci pintu depan. Rambutnya tampak disanggul sederhana seperti biasa. Dia menggunakan baju tidur seadanya dan tampak bersiap-siap memasak untuk makan malam.
Rinai hanya tersenyum. Biasanya kan ia lebih memilih untuk main dibanding belajar, ketangkap basah kayak gini membuat pipinya bersemu merah.
“Rajin-rajin lah kau belajar, biar lebih dulu kau pandai dari pada si Santi. Dia pun pas ande dengar waktu membaca masih patah-patah juo.” Tanpa menunggu jawaban Rinai, Ande berlalu menuju dapur.
Rinai tercenung. Santi… masih patah-patah kalau membaca? Padahal selama ini Rinai selalu minder kalau sama Santi. Dia selalu menganggap Santi itu hebat dan pintar.
Dengan sumringah, Rinai makin semangat melanjutkan membaca. Dia akan membaca semua buku, terlebih ini pertama kalinya Rinai dapat semangat dari Ande. Ini pertama kalinya ada yang menyemangati Rinai sejak masuk sekolah.
Tekad ini lah yang secara tidak sadar tertanam dalam di sanubari, di jiwa yang terdalam. Mungkin bagi Ande saat itu ucapannya hanya sepintas lalu, tapi siapa sangka hal itu lah yang membawa perubahan besar terhadap hidup Rinai, termasuk masa depannya.
Sejak hari itu Rinai memakan semua buku. Rinai gak peduli dia paham atau tidak isinya, yang penting baca! Dan hanya berselang beberapa hari, Rinai jadi lancar membaca! Di saat yang sama Santi masih terpatah-patah seperti biasanya.
Rinai senang! Bangga! Meski tak pernah terucap, ia sangat berterima kasih kepada Ande yang menyemangatinya. Sejak saat itu Rinai jadi rajin membaca di rumah dengan suara keras, berharap Ande mau memuji. Dipuji sih, tapi cuma sekali!
Dari kebiasaan ini, di hati Rinai tumbuh kecintaan besar terhadap sastra, terhadap buku. Perlahan-lahan ia mulai memutuskan bahwa ia ingin menulis buku sendiri suatu saat nanti. Dan saat ia sudah cukup mengerti apa itu impian, ia dengan lantang mengumandangkan ke seluruh penjuru semesta cita-citanya jadi untuk penulis! Cita-cita besar yang akan ia perjuangkan di saat ia besar. Sesulit apa pun itu, seberat apa pun nantinya.
Ya… sesulit atau seberat apa pun, Rinai akan perjuangkan!
Rinai mengangkat pandangan, sedetik kemudian ia sadar Pakcik maupun Birai sedang menatapnya.
Duh, pasti mereka pikir dia melamun, nih!
“Premisnya apa?”
Rinai melongo.
Haaah? A-apaan?
“Premis Rinai apa?” Ulang Pakcik, mengerti bila Rinai masih tak paham.
Rinai menatap Birai minta bantuan, yang dibalas tatapan bertanya yang sama dari Birai.
“Maaf Pakcik, premis apa ya?” Rinai bertanya dengan sungkan.
“Premis itu ide awal. Ada dasar dan tujuan cerita di dalamnya. Nanti, novel yang kamu buat tak boleh lepas dari premis. Kalau kamu nak buat novel, kamu harus tau jelas premisnya seperti apa, tujuannya apa?” Pakcik menatap Rinai. “Premis itu penting sekali. Dia adalah penyangga cerita, pondasinya. Nah, nanti kalau udah dapat premisnya, barulah kita buat sinopsis, baru habis itu kita kembangkan outline,” jelas Pakcik.
Rinai manggut-manggut, paham gak paham. Rinai pernah ikut kelas menulis online, tapi semua pembahasannya adalah materi dan teori yang secara garis besar sudah ia ketahui dan biasa ia baca di internet, seperti POV, setting, tema dan-lain yang sangat mainstream, bedanya dia memiliki seorang mentor di sana.
Jadi, bisa dibilang ini pertama kalinya Rinai mendengar kata premis. Kok, dulu dia nggak diajarin ya di kelas menulis online? Cuma seratus ribu rupiah doang sih, itu pun pakai diskon 25%, beda sama kelas lain yang setengah juta. Bahkan ada yang lebih dari sejuta.
Pantes ilmunya beda!
“jadi macam mana? Tujuan tokoh utama yang Rinai nak buat apa?”
Rinai rada segan buat ungkapin ide cerita yang ia tulis. Baginya, ide yang ia buat terkesan konyol dan mengada-ada. Dia juga belum begitu paham cara mengeksekusi ide yang ia punya.
Semalam, ia sengaja menunda kedatangan ke tempat ini agar bisa menulis beberapa bab terlebih dahulu. Rinai gak punya teknik menulis, ga paham menulis yang baik itu seperti apa? Yang dia tahu, menulis ya menulis! Tulis aja dulu, seiring waktu cerita akan mengalir begitu saja. Terus ending. Udah.
Sebenarnya Rinai masih gak paham premis apaan, tapi dia segan buat bertanya. Ia memutuskan untuk mengeluarkan kertas hasil print-an yang tulis semalaman sampai begadang dan menyerahkannya kepada Pakcik.
“Ini Pakcik. Baru selesai 3 bab sih, hehe…”
Pakcik membuka setiap halaman. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi apapun sampai Rinai tak mampu mengira-ngira apa yang sedang ia pikirkan. Apa Pakcik terkesan dengan tulisannya? Atau malah Pakcik merasa dia begitu payah?
“Bagus.” Pakcik membuka lembaran-lembaran berikutnya dan membaca sekilas lalu. “Rinai punya kemampuan, ya.”
Rinai mengulum senyum, dadanya membuncah begitu saja.
“Jadi, premis cerita kamu ni apa? Dasarnya apa? Tujuan tokoh utamanya apa?”
“Tujuan si tokoh utama buat cari pembunuh ayahnya. Dia mau balas dendam.”
“Coba buat dalam premisnya. Pakcik tunggu."
Rinai mikir. Ia bingung. Butuh pertolongan. Tapi di sini cuma ada Birai, mana paham masalah sastra. Dengan memaksa otak, Rinai mulai menulis di buku catatan kecil yang selalu ia bawa kemana-mana.
Setelah di rasa cukup, Rinai menyerahkan buku itu ke Pakcik.
Premis Selasa:
Selasa bingung saat ia terjebak dalam situasi yang membuat dia harus bergabung dengan kelompok pembunuh bayaran yang mengaku bahwa ia ayahnya sudah dibunuh oleh para polisi. Ia dibawa ke markas mereka dan diajarkan balas dendam. Bertahun-tahun setelah itu, ia kembali dan meneror para polisi untuk membalas dendam atas kematian ayahnya. Dengan banyak pertengkaran, masalah baru, dan kebenaran yang akhirnya terungkap, Selasa berhasil menemukan kebenaran dari kematian ayahnya yang sesungguhnya.
“Itu cukup gak, Pakcik?”
Kening Pakcik tampak mengernyit saat membaca. "Premis itu tak perlu mendayu atau puitis. Juge tak lah perlu panjang-panjang, macam blurb. Cukup ditulis dengan kalimat yang solid. Di dalamnya harus ada karakter utama, masalah, dan goal cerite.” tutur Pakcik.
"Oke lah, untuk sekarang, PR Rinai buat premis lah tu ye. Nanti Pakcik cube carikan beberapa buku untuk membantu, biar lebih paham."
"Kalau di google, ada Pakcik?"
"Ade lah tu. Malah di google lebih banyak contohnye."
Rinai mulai menyusun rencana untuk mengobrak-abrik google setelah kembali ke rumah nanti.
Pakcik kemudian mengambil kembali tulisan yang sudah Rinai Print, dan membolak-balik setiap halaman seakan mencari sesuatu, tapi berakhir dengan menatap judul lama-lama.
“Apa alasan Rinai mengangkat cerita macam ni sebagai karya perdana? Ditambah lagi, untuk ikut lomba? Saran Pakcik, seorang penulis harus tau ke arah mana layar kapalnya mengembang. Dimana haluannya,” Pakcik menumpukan kedua siku di lengan kursi dan menatap gadis di depannya makin intens. “Awak nak ikut lomba apa? Sasarannya seperti apa? Penerbit mana yang mengadakannya? Harus paham tu! Karena penerbit pun punya aturan lah dalam menerbitkan karya. Kalau kamu nak buat cerita pembunuh bayaran macam ni, apa penerbit yang kamu sasar ni pernah menerbitkan buku dengan tema yang serupa? Kalau belum pernah, maka peluangnya kecil. Semakin kecil kalau saingan di lomba malah menembak tepat sasaran. Habis kesempatan.”
"Tapi kalau cerita ni Rinai bikin bagus, tulisannya rapi, plotnya menarik, dan ada hal lebih dibandingkan yang lain, bisa jadi hebat ini. Bisa menarik atensi lebih dari cerite yang lain."
"Rinai kurang tau Pakcik," jawab Rinai dengan lirih.
"Nah, jadi penulis itu tugasnya bukan cume menulis saje. Juga harus cari tahu mau menerbitkan di mana. Setiap penerbit punya standar, syarat, dan pangsa pasar masing-masing. Tengok novel-novel yang diterbitkan penerbit A. Lalu tengok penerbit B. Pelajari. Apa saje tema dan genre yang mereka terbitkan. Baca bukunya. Dari sana kita bisa tahu standarnya apa. Karya seperti ape yang mereka mau ini."
Rinai tercenung. Tak pernah sekalipun ia memikirkan itu. Bagi Rinai menulis ya menulis. Emang ada alasan lain?
Masalah apakah penerbit ini pernah menerbitkan cerita tentang pembunuh bayaran atau sejenisnya kan masalah lain. Orang dia bebasin genre dan tema kok. Berarti penerbit memang hanya mencari karya terbaik, kan? Bukan hanya karya yang sesuai?
Eh, bener kan yah?
Duh, kok Rinai jadi ragu.
Tapi, tekad Rinai udah kuat banget buat bikin buku dengan tema ini. Dia suka banget tema yang kayak gini, dibandingkan cinta-cintaan. Rinai anti. Soalnya Rinai jomblo.
Enggak sih, Rinai emang kurang tertarik aja. Soalnya jadi ngenes tiap selesai baca.
Enggak kok, biasa aja. Paling habis itu baper liat orang pacaran.
ENGGAK!
RINAI GAK NGENES KARENA JOMBLO DAN GAK MASALAH SAMA NOVEL CINTA, ASAL CINTA-CINTAANNYA DIKIT KAYAK KARTUN TOM AND JERRY!
“Macam mana?” Pakcik setia banget nunggu jawaban Rinai.
Rinai masih dengan tekad yang sama. Tema dan idenya cucok kok! Kenapa harus ganti ikuti selera pasar? Pasar lah yang harus ganti selera!
“Saya tertariknya itu Pakcik, gak kepikiran cerita yang lain. Lagipula lombanya bebasin peserta kok, yang penting gak SARA.”
“Biasanya, kalau penulis pemula rata-rata untuk novel perdana selalu membuat cerita yang pasti memasukkan sedikit unsur dirinya sendiri. Kamu kenape tak buat cerita tentang diri kamu sendiri dulu saje? Atau lingkungan sekitar kamu. Ambil dari yang paling mudah, cerita tentang pekerjaan. Atau tentang usaha kamu mencapai sesuatu.”
“Saya gak punya cerita yang menginspirasi pakcik, makanya susah….”
“Inspirasi itu bukan dibentuk, tapi terbentuk. Selama tulisan kamu niatnya baik, inspirasi itu akan hadir dengan sendirinye.”
“Hehehe…” rinai ketawa canggung.
“Lagi pun, tema yang kamu angkat ini cukup sulit. Peminatnya di indonesia juga sedikit. Apa kamu sudah mempersiapkan segalenye?”
“Emangnya gak bagus ya pakcik, ambil tema yang jarang kayak gini? Kayaknya pasarnya tetap ada kok, meski gak sebanyak genre romance.”
“Ya, bukan tak bagus. Ide kamu bagus. Saye ka cume sarankan saje. Kalau kamu yakin, ya ayolah kita eksekusi.” pakcik mengambil buku catatan kecil. “Terus, sejauh mana kamu menguasai tema yang nak di tulis?”
“Saya suka nonton film atau baca novel dengan tema serupa, jadi bisa lah dijadiin referensi.”
“Berarti sebelumnya belum pernah buat cerita dengan tema macam ni, lah, ya?”
“Belum Pakcik, nulis novel dengan serius juga baru ini perdana.”
Pakcik menatap Rinai lama, seakan menguliti isi pikiran Rinai. Rinai hanya mendesah pasrah kalo Pakcik sampe berubah pikiran. Pupus deh harapan. Tapi, siapa sangka kalimat selanjutnya yang dilontarkan Pakcik,
“Oke. Biar saye bantu, karena saya liat pun kamu punya niat. Jadi, sudah sampai mane saje yang Rinai tulis?”
Bersambung
Benang Kusut
Seminggu kemudian, Rinai sudah duduk dengan cantik di sofa ruang tamu rumah Pakcik. Di atas meja ada laptop yang sengaja ia bawa, buku catatan, air jeruk, dan beberapa kudapan. Pakcik sendiri duduk nyaman di sofa tunggal sambil melihat hasil dari PR yang ia berikan sebelum berangkat ke luar kota kemarin.
"Jadi, premis cerita kamu ini, tokoh utamanya mengejar pembunuh ayahnya?"
"Iya, Pakcik."
Pakcik mengangguk-angguk. Ia membalik halaman lain dan kembali membaca dengan seksama.
"Berarti udah paham lah ya, premis itu apa?"
"Udah, hehe…." Rinai meringis.
"Tapi, ada yang saye pikirkan sejak kemarin. Kenapa nama tokoh utamanya 'Selasa'?"
Rinai tergelak pelan. "Bukan, Pakcik," katanya, "itu codenamenya sebagai pembunuh bayaran."
Pakcik manggut-manggut. "Terus, kenape tak pilih yang lebih keren aja? Pakai bahasa inggris. Kayak James Bond, Double M, gitu?"
Rinai menggeleng. "Gak pa-pa, Pakcik, biar lebih lokal," lontarnya sambil tersenyum jenaka.
Pakcik akhirnya tersenyum geli "Yaudah, kalau kamu maunya gitu. Kalau sinopsis, tau gak? Jangan-jangan malah masih mikir itu bagian belakang cover buku?"
"Bukan, itu blurb. Sinopsis itu lebih keringkasan cerita. Dari awal sampai akhir," jawab Rinai dengan semangat. Ia tersenyum lebar layaknya anak kecil yang berhasil menjawab perkalian.
"Pintar. Nah, ini sinopsisnya sudah ada?"
"Udah Pakcik, tapi belum Rinai print. Atau… Rinai kirim lewat email aja, gimana?"
"Oh, boleh. Coba kirim je, biar Pakcik baca."
Rinai langsung mengirim sinopsis yang sudah ia persiapkan sejak kemarin. Bukan hanya sinopsis, ia sekalian mengirimkan outline ceritanya.
"Oh, udah sekalian sama outline ya?" Pakcik mengotak-atik tablet-nya.
"Iya, Pakcik. Tapi outlinenya asal jadi aja."
"Ohhh… biar Pakcik baca dulu."
Sejenak, suasana menjadi hening. Pakcik sibuk dengan tablet-nya, sedangkan Rinai melihat ke sekeliling ruangan, mengusir bosan. Jauh dilubuk hati, Rinai berharap Pakcik terkesan dengan cerita yang ia buat.
"Gimana?" Birai datang dari pintu depan. Bajunya sudah ganti dari saat tadi dia menjemput Rinai. Rambutnya agak basah dan bau parfum menguar dari tubuhnya. Ia memang sempat izin buat ke kos sebentar setelah mengantar Rinai ke rumah Pakcik.
Rinai angkat bahu. Ia kembali menatap Pakcik. Birai sendiri memilih duduk di sisi sofa yang lain. Ia dengan santai mengambil makanan di atas meja dan bersikap seolah-olah sedang dirumah sendiri.
"Jadi, apa gunanya outline?" Pakcik menatap Rinai kembali.
"Outline itu kerangka karangan, gunanya supaya cerita gak melebar dan bertele-tele."
"Selain itu?"
"Supaya gak ada plot hole?"
"Benar, plot hole. Plot hole sendiri adalah lubang atau nggak konsistennya suatu cerita yang tak relevan dan tak masuk akal." Pakcik tersenyum sejenak, "Kadang saat kita asyik menulis, kita mengabaikan hal-hal kecil yang membuat cerita terasa janggal dan tak nyambung. Hal kecil sepele seperti itu bisa merusak cerita, menciptakan lubang pertanyaan untuk pembaca. 'Selasa gak punya basic kedokteran atau pengalaman di bidang semacam itu kok bisa operasi Daffa yang kena tembak ya?' atau 'Kok polisinya bisa tau identitas Selasa ya, padahal mereka nggak punya clue sama sekali sebelumnya?' atau 'Lah, masa kakinya patah, tapi 3 hari kemudian udah bisa lari dan loncat-loncat gedung?'. Itu termasuk plot hole!"
Rinai mengangguk-angguk.
"Cerita kamu sendiri sejauh ini sudah cukup bagus. Tapi terlalu datar. Tau kenape?"
"Karena konfliknya cuma satu? Nggak ada konflik sampingan?"
"Nah, itu juga! Cerita kamu terlalu fokus dengan konflik utama. Tokoh utama, Selasa, mengejar pembunuh ayahnya. Dia membunuh si A, si B, dan akhirnya menguak pelaku pembunuh ayahnya. Selesai. Sejujurnya, menurut Pakcik ini agak membosankan, ya…."
"Tapi kan selama dia mencari pelaku, dia juga dapat kesulitan memprediksi siapa pelaku yang tepat dengan petunjuk yang tersedia?"
"Lalu, apa dia tidak memiliki masalah pribadi?"
"Maksud Pakcik?"
"Misalnya, saat sedang sibuk mencari dalang dari pembunuhan ayahnya, dia juga memiliki masalah sama pacarnya atau sahabatnya. Atau dia memiliki perdebatan dengan batinnya. Dengan sisi baiknya. Dengan kemanusiawiannya? Membunuh seseorang itu kan nggak gampang. Ditambah lagi pemicunya jelas, balas dendam. Pasti dia akan memiliki konflik batin yang hebat di sini, tinggal mencari 'hal apa yang bisa membuatnya tersadar?'."
Rinai diam. Ia berpikir dalam. Menyelesaikan satu konflik saja sudah cukup berat, masa harus membuat masalah lain juga? Rinai takut dia tak bisa mengendalikan diri dan kehilangan fokus.
"Konflik sampingan itu ibarat garnish. Ibarat penyedap rasa. Ibarat rumbai-rumbai baju. Kalau ada akan lebih menarik," kata Pakcik menyadari keraguan Rinai.
"Tapi Rinai belum tau harus bikin konflik sampingan apa, Pakcik?"
Pakcik menurunkan kacamata baca dan tersenyum dengan penuh pengertian.
"Kenapa harus dibuat? Rinai cuma perlu memahami tokoh utama. Bagaimana karakternya, phobianya, zodiak, golongan darah, gaya hidup, pandangan hidup, respon, dan sebagainya. Kalau Rinai sudah menjiwai, akan ada banyak sekali ide dan konflik yang akan muncul dengan sendirinya."
Dahi Rinai berkerut.
"Misalnya, Selasa, sebagai tokoh utama, memiliki karakter agak bodoh dan teledor. Dari sini, banyak sekali konflik yang bisa dikembangkan. Entah dia tak sengaja menjatuhkan barang bukti, tak benar-benar paham misi, atau yang lain." Pakcik menyandarkan punggung secara perlahan. "Dia bisa saja kan tak sengaja menjatuhkan bukti atau sidik jari, dan ketahuan. Tapi, polisi yang mendapatkan bukti itu malah menyimpannya sendiri karena dia ingin menggunakan Selasa untuk kepentingan pribadi. Bukti itu pun ia gunakan untuk mengancam Selasa. Itu sudah termasuk konflik sampingan." Pakcik bersandar dengan nyaman. "Atau... buat Selasa naksir sama polisi yang ditugaskan menangkapnya. Dia akhirnya jadi ragu mau lanjut balas dendam atau tidak. Terus kasih benang merah antara Selasa, polisi itu, masa lalunya, dan dalang pembunuhan ayahnya."
"Tapi, kalau bikin kayak gitu kan jadi cerita romance, Pakcik. Sedangkan Selasa sendiri bertema pembunuh bayaran."
"tak ape lah tu. Yang penting cerita kamu gak melebar jauh. Kalau cuma kasih sedikit adegan romance sebagai konflik sampingan, kan bagus juga."
Rinai menunduk menatap cangkir teh. Otak dan hati berdebat dalam diam.
Denger tuh! Pakcik cuma memperhalus bahasa aja. Intinya, cerita kamu masih minus!
Siapa bilang, yeee! Orang pakcik cuma kasih saran aja, kok ribet!
Saran tapi rada maksa. Peka napa peka?! Masa Pakcik harus terang-terangan bilang kalau outline kamu masih payah?! "Rinai, outline kamu sampah!" gitu???
Jadi orang jangan baper dong! Masa dikasih saran dimasukin ke hati. Apa-apa jangan dibawa perasaan. Anti baper-baper club!
Susah deh kalo udah gak peka bawaan lahir. Serah deh. Kalo pakcik sampai bosan, mampus gak dimentori lagi!
Pakcik bilang bagus kok tadi! Bilang bagus, loh! Jadi manusia jangan berburuk sangka gitu sama orang lain, terlebih orang tua, dosa!
Rinai galau!
"Jangan berpikir terlalu keras. Nanti pasti ketemu kok jalan keluarnya. Saat menulis, kadang kita suka lupa diri. Tanpa sadar, cerita yang kita tulis lebih baik dari yang kita bayangkan. Asal, tetap menulis!"
Rinai menangguk. Ia masih menunduk menatap teh.
"Sekarang, kita nikmatin aja prosesnya. Nah, kan Pakcik mentor kamu. Nanti Pakcik bantu. Kamu tenang saja, Pakcik pasti berusaha keras bantu kamu menang. Asal, kamu juga berusaha keras buat berkembang."
"Iya, Pakcik."
"Nah, sekarang, apa rencana kamu untuk bab pertama? Ingat, bab pertama itu segalanya. Ada beberapa penerbit yang menilai bagus tidaknya naskah dari beberapa kalimat pembuka di bab pertama. Ada yang keseluruhannya. Ada pula yang melihat dari 3 bab pertama. Tapi pada intinya, pertama. Itu harus bagus! Awal yang bagus akan menarik pembaca untuk betah menyelesaikan novel kita."
"Rinai sih rencananya maunya bab pertama di mulai dari masa lalu."
"Masa lalu? Apa alasannya?"
"Ya, kan ayah tokoh utama terbunuh, nah dari situ dia lagi mengingat ayahnya. Nostalgia gitu. Terus pas kembali ke masa sekarang, dia lagi dalam misi pembunuhan. Jadi sekilas kayak dia mengingat ayahnya gitu, Pakcik. Untuk mengisyaratkan ke pembaca kalau dia melakukan itu ada alasan kuat di baliknya."
Alis Pakcik berkerut. Ia menatap Rinai dalam-dalam dengan pandangan mengambang. Kemudian, ia mengangguk-angguk pelan.
"Tapi kalau menurut Pakcik, akan lebih baik kalau masa lalu di simpan di tengah cerita. Selain akan membuat pembaca penasaran alasan tokoh utama menjadi pembunuh bayaran, juga pembukaannya lebih menarik. Dibuka dengan terbunuhnya seseorang penting di pemerintahan, 'Alasannya apa?' 'Ketahuan nggak ya?' 'Cara kaburnya gimana?' pembaca pasti akan lebih penasaran."
Rinai terdiam.
Pakcik kok jadi kebanyakan ngatur, sihh?!
Ia yakin kalau idenya lebih baik, ia sudah memikirkan berkali-kali dan rasanya itu adalah yang paling tepat. Tapi kan, kalau dia bersikeras sendiri nanti Pakcik jadi tersinggung.
Kamu beneran mau saya mentori apa enggak?
Mampus!
Rinai kan butuh banget mentor. Bang Jack bahkan sampai menyarankan.
Tapi kan-tapi kan… Rinai yang punya ide. Yang punya cerita. Yang melihat ceritanya di dalam kepala setiap hari. Berulang-ulang kayak film rusak. Pakcik kan cuma pembaca yang melihat dari sudut berbeda. Kalau ide Rinai lebih baik, gimana?
Lagian, Pakcik itu penulis tua. Pasti cara pikirnya akan sebuah sastra yang bagus jauh berbeda dengan Rinai. Rinai lebih ke penulis kekinian. Gaya berceritanya dan sudut pandangnya pasti beda.
Duh, otak Rinai mendadak jadi benang kusut!
Masih bertahan dengan pemikirannya yang ia anggap benar, Rinai mendengarkan saran-saran tambahan dari Pakcik setengah hati.
Mending sama Bang Jack aja deh, yang bisa menerima semua gaya menulis Rinai. Gak pernah mengatur-atur dan menerima semua dengan 'Bagus', 'Rinai hebat', 'Ok'.
Tanpa sengaja manik Rinai bertatapan dengan mata birai,
Kok… jadi kesel, yaaa?!
Bersambung.
Semangkuk Bakso Yang Penuh Pengertian
Dari balik meja, Rinai mengotak-atik HP sambil sesekali melirik ke arah Birai yang sedang memesan bakso langsung ke Mamangnya.
Karena sudah malam, setelah berdiskusi panjang dengan Pakcik, Rinai akhirnya memutuskan untuk pamit dengan diantar Birai. Tapi bukannya langsung mengantar pulang, Birai malah membelokkan motornya ke warung bakso satu ini. Katanya sih lapar, jadi mau makan dulu. Soalnya rumah Rinai jauh. Nanti kalau dia mendadak pingsan di jalan karena kelaparan, gimana?
Gaya banget!
Orang rumah Rinai cuma selemparan batu kok!
Batu meteor.
Nggak ding, bercanda. Tapi gak sejauh itu juga sampai buat Birai pingsan.
Sebagai tebengers, Rinai manut-manut aja. Mau gimana lagi, kalo nolak nanti malah disuruh pulang jalan kaki. Makasih deh, Rinai lelah.
Tak lama, Birai berjalan mendekat dan langsung menghempaskan diri pada kursi di samping Rinai sambil tersenyum kecil.
"Udah, Bang?" Rinai basa-basi
"Udah. Semuanya 50 ribu ya, Neng."
Rinai menahan senyum, "Iya, Mang. Ngutang dulu tapi yak," balas Rinai. Kemudian mereka tertawa bersama.
Birai duduk di sebelah Rinai yang kembali menyibukkan diri dengan ponselnya. Ia melirik ke kiri, ke kanan, ke depan, lalu ke Rinai. Yang dipandangi malah sibuk dengan ponselnya.
"Kenapa, Bang?" tanya Rinai. Ia merasa tak nyaman ditatap lekat-lekat.
"Gimana? Nyaman gak dimentorin sama Pakcik?"
"Gimana apanya?" Rinai balas bertanya heran. Lah, kan dia juga di sana loh, meski cuma jadi penonton doang.
"Yaaa... gimana…? Maksudnya, gak ada masalahkan sama cara Pakcik membimbing?"
Rinai terdiam. Mau bilang kurang nyaman, nanti dibilang gak bersyukur. Mau dibilang nyaman, tapi ada sengklek-sengkleknya gitu.
Gimana dong?
"Lumayan lah. Dibanding nggak punya mentor sama sekali, jadi nggak ada yang kasih masukan."
"Ohhh…"
Birai mengangguk-angguk pelan. Ia kemudian memainkan wadah tusuk gigi dengan memutarbalikkannya berkali-kali. Di sisi lain, Rinai merasa nggak enak hati. Kurang lebih, ia sedikit kurang nyaman dengan saran-saran yang Pakcik berikan.
Sedikit banyak, Rinai tahu, menulis bukan hanya tentang apa yang ingin kamu tulis, tapi juga tentang selera pasar dan teknik yang baik.
Tapi Rinai adalah seorang penulis pemula dengan tingkat kekeraskepalaan yang tinggi, ketidaktahuan yang besar, dan kearoganan yang selangit. Baginya, bukan seorang penulis yang harus mengikuti selera pasar, tapi kalau bisa pasar lah yang harus mengikuti selera penulis.
Lagipula, kalau dia bisa menulis cerita hebat, meski bukan selera pasar sekalipun, pasti akan tetap laku, kan? Kenapa harus terlalu menjunjung tinggi selera pasar?
Dan teknik… kenapa harus ribet memikirkan teknik ini dan itu?!
Dulu saat masih SMP, masih belum mengerti apapun tentang teknik menulis, premis, outline dan lain-lain, ia tetap bisa menulis cerita dari prolog sampai epilog. Dan dari tanggapan teman-teman yang membaca hasil cerita amatir miliknya, itu sudah cukup bagus. Malah ada yang minta di buatkan lagi, biar bisa baca lagi.
Jadi, kenapa harus merepotkan diri dengan hal-hal seperti itu?
Penulis ya menulis. Cerita yang bagus akan tetap menjadi cerita yang bagus, begitu pun sebaliknya. Bagus tidaknya sebuah cerita tentu saja ditentukan oleh isi ceritanya, bukan hanya teknik.
Intinya, Rinai nggak mau mengikuti saran Pakcik!
Bukan sok pintar dan jago, tapi ia punya gaya sendiri. Kalau Rinai mengikuti saran yang Pakcik berikan, bukankah itu hanya akan membatasi kemampuannya? Bagaimana kalau ternyata setelah mengikuti saran Pakcik, dia malah kalah? Bagaimana kalau ternyata gaya menulis Rinai sudah cukup bagus? Dan juga, bukankah penulis harus punya karakter? Apakah dengan mengikuti saran Pakcik, karakter Rinai akan keluar? Atau malah makin tertutup?
Rinai benar-benar ingin memberi ruang untuk dirinya sendiri berkarya sesuai kata hati.
Ini karyanya, ini tulisannya.
Rinai memiliki hak 100% untuk memilih seperti apa gaya cerita yang ia mau!
Namun, Rinai masih pemula. Ibarat anak kelas 1 SD, sudah bisa berhitung dan membaca, tahu yang benar dan yang salah, tapi belum bisa dilepas di keramaian. Masih akan tersesat dan salah jalan. Masih akan ketakutan dan goyah. Masih perlu dibimbing.
Tapi yang Rinai butuh hanya diperhatikan dari kejauhan, bukan diarahkan. Meski itu arah yang benar, bagaimana bila itu bukan arah yang tepat untuknya? Siapa yang akan tahu bila Rinai memilih sendiri, mungkin itu akan menjadi lebih baik?
Bukanlah sebuah dosa, kan, jika Rinai memilih sendiri jalan yang ingin ia tapaki?
Rinai mendesah. Ia mau bercerita banyak ke Birai, tapi ia tak cukup yakin kalau itu pilihan yang benar.
Begini, bagaimana pun, Birai lah yang merekomendasikan Pakcik pada Rinai. Lantas, apa yang akan ia pikirkan kalau Rinai mengeluh nantinya? Rinai tidak enak hati.
Lalu, kalaupun Birai tidak masalah dengan sikapnya yang kurang menyukai cara Pakcik mementori dirinya, apa yang akan mahasiswa itu pikirkan? Sombong? Sok hebat? Masih amatir tapi angkuh!
Rinai nggak sanggup!
Diam aja deh, biar aman!
"Kalau emang ada yang ngeganjel, kasih tau aja. Pakcik orangnya selow kok, dia gak pemaksa. Kalau kamu aja sharing, dia pasti bakal dengerin kamu."
Rinai tersentak. Ia dengan cepat melirik Birai yang juga sedang menatapnya.
"Nggak do, Bang. Aman hehehe…" Rinai masih keukeh memendam.
"Yakin? Tapi wajahnya kurang nyaman gitu tadi" Birai memasang wajah meledek. "Gak usah dipendam. Bang Dewa cerita, katanya kamu anaknya kalau ada masalah suka dipendam. Makanya saya tanya. Kalau disimpan kayak gitu, gimana coba orang lain bisa nolong?"
HAH?!!
MEREKA BERDUA GOSIPIN RINAI?!!
DASAR, COWOK-COWOK HOBI RUMPI!
NGOMONGIN APA LAGI TUH? JANGAN-JANGAN BANG DEWA CERITA YANG ENGGAK-ENGGAK LAGI TENTANG RINAI.
MAMPUS!
Rinai jadi pengen menenggelamkan diri dalam lautan luka dalam aja, deh!
Atau tersesat aja, dan sekalian tak tahu arah jalan pulang!
ARGHHHH!
MALUUU!!!
Rinai menarik napas panjang. Ha-ah, kalau udah kayak gini, apa coba yang perlu disembunyiin?! Orangnya udah peka gitu kok.
"Ngomong aja lah. Apa susahnya tinggal ngomong doang. Kenapa? Pakcik terlalu keras tadi ngajarinnya?"
"Bukan gitu," Sahut Rinai cepat, "cuma yaaa… kayak kurang klop aja rasanya."
"Klop gimana?"
"Kayak, kami… gimana yaaa? Kayak… kami memiliki cara pikir yang beda, gitu."
"Beda gimana? Bukannya Pakcik oke-oke aja sama cerita kamu?
"Bukan itu! Cuman kan kayak tadi, aku udah punya rencana sendiri bikin ceritanya gimana, nulisnya gimana, tapi Pakcik kayak kurang suka ya?"
"Oh. Kamu nggak suka sama saran Pakcik tadi ya?"
"Bukan nggak suka, cuma yaaa… kan aku berharapnya bisa nulis sesuai dengan apa yang udah aku susun di kepala. Pakcik mendadak minta ganti kayak gitu rasanya sulit. Nanti malah ada plot hole."
"Apaan plot hole? Temennya Black hole?"
"Bukan, plot hole."
"Benda di luar angkasa?"
"Bukan! Plot hole, lubang dalam cerita!"
"Hah, cerita kamu tentang bencana alam?"
"Bukan, Bang. Plot hole itu kayak gak relevannya sebuah cerita. Yang tadi kami bahas, loh!"
"Yang mana?"
"Ya, yang tadi pas pertama kami bahas."
"yang mana, nih?"
"Ya... itu lah pokoknya!" Rinai gondok. Ia buang muka dengan bibir manyun. Birai kicep.
Paling males deh lagi badmood gini di ajak ngomong muter-muter. Ish!
Disisinya, Birai terkekeh tanpa suara. Tampak puas mengerjai Rinai.
Seorang karyawan warung bakso mendekati mereka dengan sebuah nampan. Setelah menyajikan semangkuk bakso yang masih panas dengan segelas es teh, ia berlalu pergi.
"Lalu, bagian mana yang kamu kurang suka sama saran Pakcik?"
Rinai berdecak. "Ah, tau ah, Bang!" Rinai udah gondok. Nih orang baiknya cuma sebentar, lebih sering gak warasnya.
Melihat respon dan wajah gadis di sampingnya yang mendadak berubah, Birai memutuskan untuk menunda pembicaraan dan mulai menikmati baksonya. Ia bukan mau sok perhatian, tapi ekspresi Rinai mengingatkannya pada teman-temannya di saat tanggal tua. Mau pinjam uang buat beli makan, tapi sungkan dan berakhir memasang tampang memelas di sampingnya dan berharap ditanyain. Kurang lebih, ia pikir ingin membuat Rinai membicarakan kegelisahannya, dan berhenti memasang tampang anak anjing kejepit. Kasian, pas mau ditolong, eh digonggongin. Ngeselin, gak tuh!
Setelah mangkuk mereka berdua kosong, Rinai mulai mencari dompetnya dan mengeluarkan selembar uang pecahan lima puluh ribu.
"Tadi udah langsung dibayar kok," ucap Birai cepat.
Gerakan Rinai terhenti mendadak. "Oh, kalau gitu punya aku kena berapa?" tanyanya cepat.
"Biar aja, saya yang traktir."
"Nggak usah, Bang, biar aku bayar aja."
"Nggak apa."
"Ehhh… nggak usah lah, Bang." Rinai menarik dua lembar sepuluh ribu dari dompet dan meletakkannya di hadapan Birai.
"Udah, nanti aja kalau novelnya udah jadi kamu ganti traktir saya. Sekarang simpan dulu aja." Malas cekcok karena suasana hatinya sedang buruk, Rinai akhirnya mengalah. Yang penting masih ada kesempatan buat bayar utangnya lain kali, jadi nggak apa deh.
Sedikit banyak, Rinai juga nggak enak hati. Ia merasa sudah bersikap jahat ke Birai tadi. Harusnya kan ia senang ternyata Birai peduli kayak gitu, tapi ia malah bersikap kasar.
Udah deh, pasti sekarang Birai menyesal udah nolongin dia.
Orang Birai udah baik kayak gitu tapi Rinai malah gak tahu diri.
Harusnya Rinai nggak perlu terima tawaran Birai buat ketemu Pakcik. Jadi, dia tidak akan terlibat dalam perasaan rumit seperti ini. Tidak akan merasa dongkol dengan saran baik Pakcik yang tidak sesuai dengan yang ia mau, dan hatinya tak perlu merasa terhimpit seperti sekarang. Ia juga tak perlu merasa bersalah karena tak bisa menerima semua masukan baik dari Pakcik dan tak perlu merasa sungkan pada Birai karena ia tidak klop dengan mentor barunya itu.
Rinai memang bukan orang baik. Tapi bukan berarti dia jahat. Hanya saja, orang-orang disekitarnya selalu memperlakukannya secara berbeda. Hal itu yang membuatnya jadi sangat perasa. Ia takut melakukan kesalahan. Meski hanya sekadar tak bisa tampak baik di mata orang lain.
Seharusnya waktu itu Rinai bilang saja pada Bang Jack bahwa dia tidak menemukan satupun mentor, mungkin akan lebih baik. Saat ini ia pasti sedang mengurung diri di dalam kamar dengan setumpuk novel, laptop, dan berbagai tips menulis yang ia print dari internet.
Jika ia kurang paham atau kurang yakin dengan apa yang ia tulis, ia akan membombardir Bang Jack sampai tengah malam dengan pesan lewat aplikasi chatting. Ia tak perlu mengenal Pakcik, tak perlu menerima kebaikan hati Birai yang ia sendiri tidak tahu apakah bisa membalasnya suatu hari nanti atau tidak, dan tidak akan ada rasa tak nyaman yang bercokol di hatinya seperti sekarang.
"Pakcik itu… walaupun udah punya banyak pengalaman tapi dia manusia biasa kayak kita," kata Birai tiba-tiba, memutuskan lamunan Rinai.
Lah, kenapa nih tiba-tiba?
"Pasti sebagai manusia dia juga punya kekurangan, tapi seenggaknya dia udah berusaha memberikan yang terbaik yang dia bisa buat membantu kamu," kata Birai. Ia kemudian menatap Rinai, "Kalau memang ada yang kamu kurang setuju, kan bisa diomongin. Jangan di pendam aja." Birai kembali menatap ke depan. "Nggak ada yang bisa mendengarkan kamu, kalau kamu hanya diam. Apapun yang kamu inginkan, nggak inginkan, kalau nggak kamu ungkapin, mana ada orang yang tahu."
RINAI FIX GAK ENAK HATI!!
SESEORANG… TOLONGIN RINAI DUNK!
RINAI GAK SUKA DIGINIIN!!
Rinai benci saat seseorang bisa memahaminya dengan mudah. Isi hatinya. Isi kepalanya.
Rinai benci ada yang mau merepotkan diri untuk mengerti seperti apa dirinya sesungguhnya. Bersikap baik tanpa diminta. Mendengarkan bagian yang tak pernah terucap dari mulutnya.
Rinai benci!
Rinai benci orang seperti Birai!
Rinai lebih memilih dianggap nakal, keras kepala, susah diatur, dan dijauhi dibanding dimengerti seperti sekarang.
Karena kalau seseorang mencoba mengerti Rinai, entah kenapa Rinai jadi membenci dirinya sendiri.
Benci, karena tak cukup baik, dan benci, karena tak cukup berharga untuk menerima semua itu.
Di sisi lain, Birai benar. Itu adalah hal yang sudah sangat ia pahami. Ia sudah cukup dewasa, bagaimana mungkin tidak mengerti. Tapi… bagi beberapa orang, membuka mulut untuk menyampaikan pemikirannya atau isi hatinya terasa sangat berat. Itu seperti meletakkan beban berton-ton beban di mulutnya. Dan yang paling sulit adalah, terkadang ia akan menyesal setelahnya. Karena bagi Rinai, tidak semua hal yang ia pikirkan bisa ia bicarakan. Tidak semua orang memiliki sikap layaknya Birai.
Lagipula, bukankah diam adalah emas?
Itu adalah pilihan terbaik untuk orang seperti Rinai.
"Gimana pun juga, gak gampang kan nemu mentor yang udah pro kayak Pakcik di Pekanbaru. Kalo ada yang ilmunya lebih tinggi, kan lumayan juga. Pasti lebih paham. Lebih tahu banyak. Jadi mending, kamu omongin lagi sama Pakcik. Pakcik kan udah dewasa, mungkin seumuran bapak kita, pasti lebih bijaksana. Dia pasti juga gak bakal maksa lah kalo kamu nggak setuju. Jangan cuma gara-gara ini jadi males buat dimentorin Pakcik lagi. Kamu yang rugi." tutur Birai.
Tuh kan, Birai pasti mikir Rinai angkuh! Makin menyesal dengan keputusannya yang sudah mengiyakan ajakan Birai buat ketemu Pakcik.
Harusnya gak perlu cari mentor segala.
Semua orang pada akhirnya pasti akan kecewa pada dirinya.
"Saya nggak menyudutkan kamu, hanya memberi saran sebagai kawan. Sayang kan, udah sesemangat ini jadi lemes cuma gara-gara kurang klop doang. Jangan tersinggung ya…" pinta Birai.
Semua perkataan Birai meresap ke hati Rinai. Iya sih, dari segala timbang-tindihnya, emang dirinyalah yang akan menjadi pihak yang akan rugi kalau masih bertahan dengan sikap seperti ini.
Rinai menatap wajah samping Birai. Nggak nyangka ya, cowok gak jelas gini bisa sangat peka tentang apa yang ia rasakan. Ini pertama kalinya Rinai merasa benar-benar dipedulikan.
Sambil tersenyum, ia mengangguk pelan dan berkata, "Iya, bang."
Dan sepanjang perjalanan pulang, hati Rinai menghangat seperti mangkuk bakso yang tadi ia genggam.
Embun
Setelah mengucap salam, Rinai masuk ke dalam rumah. Rinai tinggal di sebuah rumah petak yang berbentuk persegi panjang, dengan sebuah ruang serbaguna di bagian depan yang mereka gunakan untuk menonton dan menerima tamu, 2 kamar tidur, dan sebuah dapur terjepit dibagian belakang rumah.
Rinai langsung masuk ke dalam kamarnya yang ia tempati bersama Embun. Dari balik triplek tipis sebagai dinding, ia dapat mendengar suara ibu dan Embun yang sedang bercakap-cakap di luar. Rinai memilih untuk tidak peduli. Ia melempar tas ke sudut kasur dan melemparkan badan ke atas kasur.
“Aduh!” Ringisnya.
Ia lupa kasur keras dan jeleknya itu bisa melukai tubuh manusia. Kepala Rinai yang menghantam kasur langsung berdenyut.
Sambil meringis, ia kembali membaringkan badan. Ia kembali ingat dengan percakapannya dengan Birai barusan. Dengan malas-malasan, ia menjangkau ponsel dari dalam tas dan mengirim pesan kepada Bang Jack.
[To: Bang Jack
Bang Jack sibuk?]
Rinai mau minta saran dari Bang Jack terlebih dahulu. Apa tanggapan Bang Jack bakalan sama dengan Pakcik? Sambil menunggu balasan dari Bang Jack, Rinai melanjutkan bacaan novel yang kemarin ia beli di toko buku bekas.
Dua jam berlalu, tak ada balasan sama sekali. Rinai menutup buku dipangkuannya dan meraih ponsel untuk memeriksa kembali pesan yang iakirim. Centang duanya belum berubah menjadi biru, yang mengisyaratkan orang diseberang belum membaca sama sekali.
Rinai mencoba buka media sosial, tempat grup menulis yang ia dan Bang Jack ikuti. Di sana juga tak kelihatan tanda-tanda keberadaan Bang Jack.
Bang Jack dimana yaaa? Tumben hilang pas dicari? Apa udah tidur? Tapi kan, baru jam 10 malam. Biasanya dia begadang terus.
Sedang sibuk dengan dunianya, Rinai dikagetkan dengan suara ibu di luar kamar. Ia meletakkan buku di atas kasur dan beranjak keluar.
“Tu gimana? Kau ikut diberhentikan?” Dari luar, suara ibu menggema dengan nada tinggi. Rinai mengerutkan kening dan bergegas mendekat.
Di ruang TV, Embun duduk di sofa butut kusam milik mereka. Sofa itu berumur sama dengan kasurnya Rinai. Di sebelah Embun, ada ibu dengan pandangan putus asa.
“Ndak do, Bu. Cuma anggota yang nggak produktif yang dipecat. Embun enggak,” jelas Embun, mencoba menenangkan ibu.
Rinai mengernyit tidak mengerti. Ada apaan sih? Apa yang terjadi?
“Dipecat kenapa? Siapa yang dipecat?” Rinai tak bisa menahan diri untuk bertanya.
“Ndak ada. Perusahaan cuma lagi kesulitan aja. Beberapa produk mau ditarik sama Babe.” Embun menjelaskan.
"Ditarik sama Babe gimana ni maksudnya?"
"Kan untuk produk food itu masih punya Babe. Babe ini tu paman dari bos kami yang di sini. Untuk produk food Pekanbaru dia yang pegang, tapi karena dia tinggal di Jakarta, Bos kami lah yang dikasih kepercayaan buat urus. Jadi, Babe mau tarik food, terus buat perusahaan distribusi baru."
Embun bekerja di perusahaan distribusi. Produk yang mereka pegang tidak cukup banyak yang terkenal, sehingga sering mengalami kesulitan penjualan.
“Ngapa emangnya, kok sampai mau buat perusahaan baru segala?” tanya Ibu.
“Soalnya bos kami ni udah pegang produk baru. Minuman energi. Dan lumayan laku. Jadi dia lebih sibuk urus produk baru. Itu lah makanya Babe jadi marah, bos dianggap menelantarkan kepercayaannya. Jadi produk food mau ditarik sama dia," tutur Embun.
“Tu kau gimana? Nanti malah kau pulo yang dipecat,” sahut Ibu dengan cemas.
"Belum tau lagi. Mudah-mudahan gak sampai dipecat. Kan selama ini juga kerja dengan benar,” kata Embun.
"Terus, kau di situ sekarang ngurus apa?"
"Masih Admin Piutang, cuma sekarang pegang minuman yang baru itu. Jadi insyaallah, posisi aku aman."
Rinai dan ibu menghela napas lega bersamaan. Hampir aja jantung mereka berdua copot. Kalau sampai Embun dipecat, itu bukan gawat lagi. Udah darurat. Ibaratnya nih ya, udah siaga 1. Harus menurunkan tim khusus untuk melakukan penyelesaian kasus.
Dengan gontai Rinai kembali ke kamar, meninggalkan ibu dan Embun yang masih membahas tentang pemecatan.
Biaya hidup yang semakin mahal, gaji yang kecil, dan hutang yang menumpuk.
Rinai mendesah. Ia melirik foto yang terpasang di dinding kamarnya. Itu fotonya bersama Embun, ibu, dan ayah dengan latar pantai. Foto sewaktu dia masih berumur 7 tahun, sebulan sebelum ayah meninggal. Sejak itu, ibu terpaksa banting tulang sendiri untuk menghidupi mereka. Berhutang sana-sini agar mereka bisa tetap sekolah.
Ha-ah. Seandainya ayah masih ada, mungkin hidup mereka tidak akan sekeras ini. Ibu tidak perlu kerja sampai jatuh sakit, tidak perlu mengutang untuk bayar SPP, atau mungkin, mereka tidak perlu terjebak dalam situasi ini sama sekali.
Yah, gak ada juga sih guna berandai-andai.
Ibu sendiri saat ini bekerja sebagai penjual es tebak di pinggir jalan. Awalnya, dagangan ibu banyak pembeli, tapi kemudian, ibu kena gusur karena yang punya tanah mau membangun ruko. Ia pindah tempat, tapi di tempat yang baru malah tidak laku. Akhinya ibu buka warung sarapan di depan rumah, hanya ada beberapa pembeli, tapi masih bisa mengcover biaya makan mereka meski tidak ada sisa yang bisa ditabung.
Itulah kenapa, mereka merasa terguncang kalau Embun sampai dipecat. Hanya mengandalkan gaji Rinai saja mana cukup. Jualan ibu bahkan tidak laku.
Kadang rasanya, Rinai benar-benar tak kuat. Pengen kaya aja! Yang instan gitu, gak perlu kerja keras.
Dapat uang kaget kek, uang nomplok kek, diwariskan uang yang banyak dari kakek kaya raya yang kelebihan uang, kek.
Serah!
Yang penting kaya, mah. Kaya Raisa! Enggak ding, bercanda! Hehehe….
Apa daftar ikut ‘Want To Be Millionaire’ aja kali ya?
Kan nanti pas ditanya, Rinai bisa googling dulu diam-diam.
Oke Google, apa arti dibalik kata ‘Terserah’ yang sering diucapkan cewek?
Atau…
Oke Google, siapa yang mengesahkan pasal 1 yang berisikan “Wanita selalu benar”?
Duh, Rinai malah jadi makin stres!
Mencoba mengalihkan pikirannya, ia meraih ponsel. Cek pesan masuk dulu deh, kali aja ada balasan dari Bang Jack. Dan benar saja, ada sebuah pesan di sana.
[From: Bang Jack
Tidak.]
Rinai langsung membalas.
[To: Bang Jack
Bang, tadi Rinai habis bimbingan sama Pakcik.]
Ting!
[From: Bang Jack
Wah, bagus. Semoga cepat wisuda ya, Rinai. ???]
Rinai mendadak gemas. Bang Jack bercanda aja nih!
[To: Bang Jack
Bukan, Banggg.
Tadi Rinai habis dimentori lagi sama Pakcik Agus Salim.]
Ting!
[From: Bang Jack
Bagus. Jadi gimana? Sudah sampai mana progresnya?]
Nah, ini! Rinai bingung nih. Dia jadi mendadak ragu. Cerita, gak, ya? Cerita, gak, ya?
Tapi Rinai butuh teman buat bertukar pikiran. Ia tidak bisa melakukan itu dengan Birai tadi, soalnya mereka berdua tidak cukup akrab. Mana baru kenal.
Dengan membulatkan tekad, Rinai mulai mengadu.
[To: Bang Jack
Bang, Rinai merasa kurang cocok deh sama Pakcik.]
Ting!
[From: Bang Jack
Ada masalah apa?]
Rinai kembali mengetik.
[To: Bang Jack
Jadi Bang, tadi Pakcik ngasih Rinai saran. Tapi, sarannya gak sama dengan apa yang kita bicarain kemarin.]
Ting!
[From: Bang Jack
Saran seperti apa?]
Dengan menggebu-gebu, Rinai menceritakan segalanya. Dia yakin kalau Bang Jack akan berada dipihaknya. Beda dengan Pakcik, Rinai sudah mengenal Bang Jack sejak lama, jadi Bang Jack pasti sangat paham cara berpikirnya.
Tapi… setelah panjang lebar chatting dengan Bang Jack, Rinai merasa menyesal. Karena apa yang dia pikirkan tidak sesuai dengan kenyataan.
F[rom: Bang Jack
Anda memang lah penulisnya, dan tugasnya memang untuk menulis.
Tugas Bang Jack mengeditori tulisan anda, jadi selama menulis, gak usah membebankan diri dengan memikirkan masalah typo dan sejenisnya. Terus saja tulis. Nanti Bang Jack yang akan membersihkan typo dan saudara-saudaranya.
Nah, tugas Pakcik sebagai mentor adalah mengarahkan. Memberi masukan. Memberikan saran.
Pakcik itu kan asam garamnya udah banyak, sarannya itu seharga puluhan buku yang sudah ia terbitkan. Untuk penulis pemula seperti anda, akan lebih baik mendengarkan saran dari beliau. Kalau ada yang tidak anda suka atau kurang setujui, anda bicarakan langsung dengan beliau. Beliau pasti bisa berpikir bijaksana.
Jangan sampai gara-gara merasa kurang cocok, anda melewatkan kesempatan emas menjadi murid penulis pro seperti beliau.
Hal-hal yang bisa dibicarakan, sebaiknya dibicarakan. Jangan dipendam. Nanti anda lah yang rugi.
Untuk sekarang, TULIS DULU SAJA.
Jangan biarkan hal lain mengganggu konsentrasi anda untuk menulis.
Nah. Sekarang sudah menulis belum?
Kemarin baru kirim sampai bab 4 ke Bang Jack.
Apa harus menunggu minggu depan baru bisa jumpa “Selasa” lagi, ya?? ????]
Hati Rinai serasa dicubit. Bang Jack tidak memihaknya, tapi bersikap netral. Ya, harusnya dia tak perlu heran, sejak dulu Bang Jack memang seperti itu.
Dengan sedikit perasaan pilu, Rinai kembali membalas.
[To: Bang Jack
Iya, Bang. besok Rinai coba bilangin sama Pakcik.
Hehehe… ampun, Bang. Belum selesai. Tadi cuma diskusi sama Pakcik, jadi belum sempat nulis ???]
Kirim!
Rinai menarik selimut untuk menutupi kepala. Selimutnya adalah seprai kasur yang sudah lama tak digunakan. Berbahan dasar dingin dan lembut, hingga saat menutupi wajahnya, terasa amat sejuk.
Rinai mengambil napas panjang, lalu menghembuskannya. Ia melakukan itu beberapa kali, hingga tanpa sadar, ia jatuh ke alam mimpi.
Pertengkaran
“Rinai, dalam bulan ini harus bisa jualan, ya!”
Ucapan Pak Daniel beberapa menit yang lalu berputar terus menerus bagaikan kaset rusak di dalam kepala Rinai. Dia pusing 7 keliling! Ia paham sih, kalau bulan ini harus berhasil menjual 15 unit, tapi tolong… jangan berharap itu terjadi dalam beberapa hari, dong!
Rinai duduk di balik meja dengan otak kusut. Ia cemas. Walaupun sudah sempat diajari Bang Dewa buat jualan, tapi tetap saja, pertanyaan dari konsumen selalu membuat dia merasa bego.
“Kak, lebih enak naik motor matik atau bebek?”
“Kak, kalau aku beli motor sport, kira-kira bisa gak ikut MotoGP?”
“Kak, kapan keluarin motor tipe amfibi? Biar kalau banjir kan tinggal menyesuaikan.”
Demi apa Rinai mau resign aja!
Jantungnya berdebar kencang dengan pikiran yang kemana-mana. Entah kenapa, ia merasa sangat cemas.
Ia harus jualan!
Ia harus jualan!
Ia harus jualan!
Tapi, dia gak bisa jualan sama sekali!!!
Apa yang akan terjadi kalau dia tidak menjual satu unit pun sampai akhir bulan?!
Sejauh ini, Rinai memang belum melayani konsumen hampir sama sekali. Dulu pernah sih, coba jualan. Tapi, tiap kali ia malah ditinggal sama konsumen yang lebih memilih dilayani Bang Sutan yang lebih paham, jadi Rinai memilih untuk tidak peduli lagi. Jadi, setelah hari itu, setiap kali konsumen datang ke mejanya dan bertanya brosur motor, ia akan mengarahkan konsumen menuju meja Bang Sutan.
Rinai belum pernah benar-benar jualan, itu masalahnya!
Udah dicoba, gagal, menyerah!
Harusnya Rinai gak menyerah, kan?!
Kalau Rinai tetap konsisten belajar jualan, paling kurang ia pasti akan cukup paham.
Ish!
Rinai memukul kepalanya sendiri dengan pelan.
Bodoh banget, sih, diriku ini!
Menarik napas, ia memutar mata ke seluruh dealer. Dealer mereka cukup ramai pagi ini. Cukup banyak konsumen yang keluar masuk sejak tadi. Ada yang cuma sekadar minta pricelist, cuma bertanya motor yang ready, dan ada juga yang deal buat beli. Sekarang aja Bang Sutan tampak sibuk melayani konsumen.
Dealer Rinai lumayan luas. Berdiri di atas ruko 3 pintu dengan 4 lantai. Dua pintu menjadi khusus showroom, satu pintu sisanya untuk bagian bengkel. Lantai dua ada ruang PDI, rapat, dan ruangan kerja lainnya. Lantai 3 dan 4 digunakan sebagai gudang untuk motor-motor yang mau dijual.
Meski mereka menjual motor, tapi dealer juga menjual aksesoris dan kelengkapan pengendara lainnya, seperti jaket ori atau helm, dan lain-lain.
Dealer ini terletak di daerah sibuk dan strategis. Di bagian depan dealer, terpampang besar dengan penuh bangga nama dealer mereka, “Utama Motor Pekanbaru”. Atau sama karyawan, suka disingkat 'UMP' alias Upah Minimum Pekerja. Setiap gajian akan ada celetukan "Kerja di UMP, gaji di bawah UMR".
Iya, gaji pokok Rinai dan yang lainnya belum UMR. Mencapai UMR setelah ditambah bonus dan lain-lain. Sekarang bonus dan lain-lain itu udah dipotong sama Pak William, makanya semua karyawan jadi kalang-kabut.
Sebulan sejak masa kepemimpinan Pak Daniel, semua berubah. Ia mengganti banyak kebijakan, merumahkan hampir sebagian karyawan, dan memberlakukan sistem kerja paksa. Iya, kerja paksa! Pokoknya sampai detik ini Rinai masih terpaksa turun gunung. Gak ikhlas!
Rinai adalah seorang anak introvert yang tidak memiliki jiwa persaingan, membenci keramaian, dan tanpa ada ambisi. Tidak ada semangat, tidak ada minat, dan tak ada hal yang bisa menarik perhatiannya selain literasi. Sekalipun ia ingin sekali menjadi penulis, namun ia belum pernah benar-benar menulis. Entah sekadar posting di blog atau untuk diikutsertakan lomba. Namun, meskipun begitu, hampir seluruh hidupnya ia habiskan untuk berkhayal. Berkhayal menjadi penulis.
Pagi ini, Rinai cuma mau hidup tenang!
Iya, tenang.
Setelah kemarin dia berdebat dengan hatinya sendiri keputusan seperti apa yang akan ia ambil, ia hanya ingin menenangkan otak.
Ia sudah meyakinkan diri untuk bicara pada Pakcik beberapa usulan yang tidak ia setujui. Tidak masalah, itu hal mudah. Ia hanya perlu bicara terus terang tentang isi hatinya. Itu hanya sekadar bicara. Yang perlu ia lakukan hanyalah meneguhkan hati dan membuka mulut, lalu mulai bersuara. Ia yakin, semuanya akan berjalan lancar sesuai rencana.
Manik Rinai bergulir memandang langit yang terhampar di kejauhan. Pagi ini begitu cerah. Bahkan, tak ada selembar awan pun. Biru sepenuhnya, kesukaannya.
Karena ini pagi yang baik, pasti ini hari yang baik pula. Jadi, Rinai tak perlu mengkhawatirkan apapun. Semua pasti baik-baik saja.
Tapi…
“Selalu ada badai setelah hari yang cerah.”
Rinai tersentak. Entah pikiran macam apa yang tak sengaja terlintas di kepalanya. Itu hanya sebaris kalimat yang pernah ia baca di suatu tempat.
Rinai menatap langit lagi. Pikirannya kembali kacau. Ia mulai memikirkan hal buruk apa yang akan terjadi?
Hal buruk apa?
Itukah alasan kenapa jantungnya sampai kini tak tenang?
Apa ia tak akan mampu menjual satu unit pun dan berakhir dengan dirumahkan?
Atau Pakcik tersinggung karena Rinai tak setuju dengan idenya dan menolak menjadi mentornya lagi?
Atau… apa Embun akan kena PHK?
Duh!
Apaan sih jadi mikir buruk gini?!
Gak boleh! Gak boleh!
Nanti malah dikabulkan Tuhan jadi kenyataan.
Rinai terlalu parno, ih!
“Dek, ambilkan Kakak STNK atas nama ini.”
Rinai mendongak dari buku penjualan yang sedang ia isi. Di depannya, duduk seorang marketing rekrutan Pak Daniel yang ia bawa dari perusahaan lamanya. Namanya Kak Maya. Umurnya sudah 36 tahun sehingga menjadi salah satu marketing paling senior di sana. Ia tinggi, dengan tubuh kurus dan wajah yang runcing. Ia lalu menyodorkan buku catatan yang berisi nama konsumen.
"Ini semuanya, Kak? Banyak loh, 7 orang."
"Iya," jawab Kak Maya.
"Surat kuasanya bawa kan?"
Kaka Maya menggeleng. "Gak ada."
Rinai mengernyit. "Kalau gitu suruh konsumennya aja, Kak, yang jemput,” kata Rinai akhirnya.
“Nggak bisa do Dek, rumah konsumennya jauh.”
“Tapi kalau STNK emang gak bisa di wakilkan Kak, kecuali Kakak ada surat kuasa.”
“Rumah konsumennya jauh. Masa Kakak jemput dulu surat kuasanya ke sana. Mending sekalian aja. Nanti Kakak mintain sama konsumennya pas ngantar."
“Tapi tetap ga bisa, Kak. Soalnya ini STNK. Ga bisa serahkan sembarangan.”
“Kenapa pula gak bisa? Di dealer Kakak yang lama bisa kok. Lagian kan kasian juga konsumen jemput jauh kayak gini.”
“Beda dealer kan beda aturan, Kak. Kalau tetap mau wakilin, harus ada surat kuasa yang udah ditandatangani pakai materai, dan berisi pernyataan bahwa konsumen memberikan kuasa untuk kakak mengambilkan STNK-nya."
“Ya gak mungkin pula lah jemput surat jalan doang ke sana. Bolak-balik kayak gitu.”
Rinai mendesah. Nih orang susah banget sih dibilangin.
“Tapi emang gak bisa kalau diwakilkan, Kak. Ini STNK soalnya. Surat berharga.”
“Masa gak bisa?! Orang di tempat lain bisa-bisa aja. Gak cuma di dealer ini aja saya pernah kerja, ya!”
“Harus ada surat kuasa atau harus konsumennya yang jemput. Gak bisa di wakilkan gitu aja. Mana Kakak mintanya lebih dari satu konsumen.”
“Ya, kan nggak saya salahgunakan. Saya serahkan langsung ke konsumen hari ini juga.”
“Tetap gak bisa, Kak. Kakak harus bawa surat kuasa dulu. Udah itu aturannya,” ucap Rinai. Final. Dia gak mau berdebat lagi. Ia berdiri dan memutuskan melangkah pergi ke pantry untuk ambil air minum. Tapi sayangnya, cuma Rinai yang berpikir demikian.
BRAK!
“APA PULAK GAK BISA?! KAN CUMA AMBIL STNK AJA INI!” Kak Maya berteriak marah. Ia melempar buku catatannya ke atas meja dengan kuat dan menarik perhatian semua orang yang ada di sana.
Rinai terlonjak. Jantungnya serasa mau copot. Ia langsung membeku di tempat. Demi apa tu orang mendadak kesambet!
“Kenapa nih?” Bang Dewa yang baru saja keluar dari pantry langsung bertanya. Wajahnya agak kesal dan bingung.
“INI, NGAMBIL STNK AJA NGGAK BOLEH! KAYAK MAU SAYA LARIKAN AJA STNK TU!” Suara marketing itu menggema dengan keras ke sepenjuru dealer. Matanya menatap Rinai dengan nyalang.
“Tapi kan emang gak bisa loh, Bang.” Rinai membela diri. “Nggak bisa kan bang STNK konsumen diwakilkan?” Rinai beralih ke Bang Sutan yang datang mendekat.
“Bisa diwakilkan, tapi harus bawa surat kuasa atau KTP asli. Soalnya itu kan surat berharga,” jelas Bang Sutan.
“Nah, kan udah saya bilang. Kakak gak bawa apapun, cuma minta gitu aja. Banyak lagi, 7 konsumen. Mana bisa!"
“KAN UDAH DIBILANG RUMAH KONSUMEN JAUH! KALAU NGGAK, KAU AJA YANG ANTAR KE SANA!”
Darah Rinai mendidih. Otaknya serasa ingin meledak.
APA URUSANNYA SAMA RINAI SAMPAI HARUS ANTERIN KEPERLUAN KONSUMEN SAMPAI KE RUMAHNYA?!
“Ya kalau nggak ada surat kuasa atau KTP asli, gak bisa lah diambil, Kak. Nanti kalau hilang dan segala macam, siapa yang mau tanggung jawab?!” Bang Dewa ikut bersuara.
“Gak mungkin pulak lah kuhilangkan! Ada-ada aja otak kau, ni!”
"Dulu pernah ada kejadian kayak gitu masalahnya, Kak. Makanya sejak itu gak diizinkan lagi diwakilkan kecuali ada pegangan buat kita," jelas Bang Sutan.
"Kakaknya gak ada bawa surat kuasa, Bang. Cuma ditulis di buku catatannya aja," ujar Rinai.
“Kalau gitu tetap gak bisa. Kalau konsumen gak bisa ngambil, seenggaknya harus ada KTP atau surat jalan," kata Bang Sutan lagi.
“Aneh-aneh aja lah dealer ni! Baru kali ini aku minta STNK gak dibolehin. Dah kayak hebat kali kalian jualan.”
“Ya, emang gak bisa, Kak. Udah aturan dealer kami kayak gini. Nggak bisa lah Kakak banding-bandingin sama tempat sebelumnya,” balas Bang Dewa, tampak tersinggung.
"Kalau mau mewakili untuk ambil surat-surat kendaraan, kan udah ada syaratnya. Kalau gak ada syaratnya yang dibawa, kami gak bisa ngasih. Udah aturan kami di sini kayak gitu, gak bisa dinego lagi,” tegas Bang Sutan.
Marketing itu menatap nyalang ke mereka bertiga, dengan wajah yang masih merah padam, ia berbalik pergi.
Di sisi lain, napas Rinai terasa sulit dan sesak. Jantungnya seakan diremas kencang dan menyakitkan. Ini pertama kalinya ia diperlakukan seperti ini.
“Udah Nai, lanjutin aja kerja. Dia kok yang salah, bukan kita. Nanti kalau berulah lagi dia, laporin aja ke Pak Daniel.”
Rinai mengangguk, kaku. Ia kembali melangkah ke pantry dengan gamang. Pikirannya mendadak kosong. Ia butuh waktu untuk akhirnya mengerti bahwa barusan ia dipermalukan di depan umum oleh seorang marketing. Ia akhirnya sadar, kalau saja tadi Bang Sutan dan Bang Dewa tidak membantunya, ia pasti sudah habis dicaci maki.
Sial! Sial!! Sial!!
Dia kesal! Marah! Benci!
Matanya mendadak panas dan mulai berair. Dalam diam, ia tergugu. Ia lalu berjongkok dan memeluk dirinya sendiri, sembari menyandarkan tubuh ke dinding pantry.
Dari balik tembok yang memisahkan bagian depan dan belakang dealer itu, Rinai masih bisa mendengarkan percakapan di luar sana.
“Kenapa dia, Bang?” Itu suara Kak Julita, admin AR. “Kaget aku loh, main gebrak-gebrak meja gitu. Mana suaranya kenceng lagi, kedengeran lo sampe ke atas." Ruangannya di lantai dua, bersebelahan dengan ruangan lama Rinai.
“Manusia gak punya etika emang gitu. Aku lagi ambil air di pantry aja terkejut. Kupikir motor jatuh pas nurunin unit.” Bang Nandra terdengar masih kesal.
“Bikin malu aja. Jelas lagi ada konsumen. Konsumen aku sampe bilang ‘Kok gak ada etika, gitu dia?’. Malu aku jadinya,” Bang Sutan menahan kesal. "Untung aja Pak Daniel lagi di luar. Kalau gak, habis dia tu."
“Marketing yang dibawa Pak Daniel ni kayak gak ada yang beres. Sesama mereka aja saling licik,” sahut Kak Julita lagi.
“Hati-hati aja lah. Perasaan aku gak enak sama marketing-marketingnya Pak Daniel ini. Data-data konsumen kau amankan, Sutan. Nanti dicuri pulak konsumen dealer sama mereka,” kata Bang Dewa.
"Aman. Aku juga udah hati-hati kok dari awal."
Percakapan itu terputus di sana. Rinai memilih untuk mengabaikan obrolan mereka.
Ia menarik napas dalam. Jantung berdebar kencang dan terasa sesak. Tangannya bergetar. Ini pertama kalinya Rinai diperlakukan seperti itu. Dipermalukan di depan umum.
Rinai mendekap mulut dengan kepalan tangan. Tanpa bisa dihentikan, air mata menganak sungai di pipinya.
Counter Sales
Sore itu, dengan tumpukan file yang hampir menutupi jarak pandang, Rinai berjuang menaiki tangga. Walau sedikit oleng, ia berhasil mendaratkan semua file itu di atas meja lamanya.
“Ha, tumben berkunjung?” Sapa Bang Dewa. Ia cengengesan di balik komputer.
“Iya, takut abang diculik, soalnya kan sendirian doang di atas,” ledeknya. Ia kemudian terbahak melihat wajah Bang Dewa yang merenggut. Lalu, ia mulai menyusun file-file tadi di lemari. Itu file yang berisikan data konsumen yang sudah diinput.
“Kamu kali yang diculik. Tiap hari bengong doang.”
“Nggak bengong, ya!”
“Iya, gak bengong, tapi melamun.”
Rinai nggak membalas. Nanti malah panjang perkara. Tapi, dia memang nggak bengong kok. Cuma melamun. Atau lebih tepatnya menghayal. Otaknya selalu dipenuhi dengan hayalan-hayalan berbagai macam cerita. Tapi akhir-akhir ini didominasi oleh Selasa. Soalnya dia kan lagi progres nulis Selasa, jadi tingkat khayalannya jadi lebih intens.
“Rinai kesel lah sama Kak Maya tadi.. Kayak gitu kali dia,” adu Rinai.
“Abang juga kurang suka sama orang-orang baru ni. Kayak… gak enak jadi perasaan Abang nengoknya.” Bang Dewa menghentikan pekerjaannya, “Tengoklah, sesama dia aja saling tikam dari belakang.”
"Padahal masih pada baru sebulanan gabung di sini, berani dia buat keributan kayak tadi." Rinai geleng-geleng. “Kok mau Pak Daniel nerima orang kayak gitu? Pak Daniel gak tau apa sifat orang tu?”
“Entah lah ya, gak tau juga Abang do. Cuma ya, kan orang tu penjualannya emang lumayan banyak. makanya didiamin aja sama Pak Daniel.”
“Jadi gak enak suasana dealer rasanya, kan ya?”
“Ya gimana lagi, kita cuma bawahan. Entahlah kita yang bakal dirumahkan habis ni.”
Rinai terdiam. Dirumahkan adalah hal yang paling ia takuti. Dengan kondisi ekonomi seperti sekarang, Rinai harus mampu bertahan. Cari kerja kan nggak gampang.
“Pokoknya, kalau dia minta-minta gitu aja, jangan di kasih. Nanti kenapa-napa malah mu pula yang kena,” kata Bang Dewa memperingati.
“Iya, Bang.”
Rinai kembali fokus menyusun file ke dalam lemari.
“Udah ada jualan, Nai?”
Rinai terhenti. Ia menatap Bang Dewa dengan wajah yang memelas dan menggeleng pelan.
“Udah ada coba melayani konsumen, kan?”
“Udah, Bang. Tapi kadang konsumen tu datang cuma nanya-nanya aja.”
“Datanya ada di minta kan? Nanti kamu follow up lagi. Pastikan kalo dia emang mau ambil motor, dia ambilnya ke sini. Jangan sampai lepas ke dealer lain.”
“Iya, nanti di follow up lagi.”
“Ada kesulitan gak?”
“Kesulitan?”
“Iya. Ada masalah atau apa gitu?”
“Sejauh ini, aman sih. Paling cuma agak keteteran aja nginput data. Banyak kali pun. Terus sama belum jualan. Takut gak bisa jualan sampai akhir bulan.”
“Bisa tu. Gak mungkin satu aja gak dapat.”
“Tapi kan ada target, Bang.”
“Iya. Tapi kan Pak Daniel pasti paham lah kerjaan kamu banyak. Kamu pun baru jadi Counter Sales.”
Rinai menutup lemari dan duduk di hadapan Bang Dewa. Wajahnya tampak suram dan penuh pikiran.
“Bang …” panggil Rinai.
“Hm?” Bang Dewa masih sibuk dengan komputernya.
“Kalau Rinai gak mampu jualan sampai akhir bulan, Rinai bakal dirumahkan ya?” Rinai bertanya pelan, dengan nada suara yang mungkin akan hilang bila tertiup angin.
“Nggak, lah. Kalo kamu sih..., Abang yakin gak bakal berani Pak Daniel pecat kamu.”
“Kenapa gitu?”
“Ya, kalau kamu dipecat siapa yang input data STNK dan segala macam.” Bang Dewa menatap Rinai sekilas sambil menyeringai. “Cari orang baru? Ajarin lagi. Training lagi. Sebulan, dua bulan paling masih sibuk beradaptasi.”
Rinai manggut-manggut, merasa alasan yang Bang Dewa kemukakan cukup masuk akal.
“Tenang aja lah. Gak perlu khawatir.”
Rinai mengangguk. Ia merasa merasa sedikit bebas berbicara apapun pada Bang Dewa, soalnya beberapa waktu terakhir mereka coba mengakrabkan diri setelah ditinggal anggota lain ruangan ini. Mau bagaimana lagi, namanya cuma tinggal berdua, ya kali diam-diaman. Sedikit banyak, hatinya cukup tenang mendengar penjelasan Bang Dewa. Merasa kalau sudah tak ada lagi yang perlu ia lakukan di sana, ia beranjak pergi.
Turun dari lantai 2, Rinai mendapati seorang konsumen sedang tampak kebingungan. Ia melirik Bang Sutan yang sedang mengurus konsumen lain. Akhirnya, Rinai memutuskan untuk mendekati konsumen yang kebingungan itu.
“Ada yang bisa dibantu, Pak?” Sapa Rinai dengan ramah.
“Oh, iya. Ini… saya mau ambil motor, berapa ya harganya?”
“Oh!” Rinai langsung cepat tanggap. Ia menuntun konsumen untuk duduk di meja tamu. “Silahkan duduk dulu, Pak.”
Setelah Bapak itu duduk, Rinai mengambil Selembar price list dari kotak price list yang sudah disediakan di atas meja. Ia menyerahkan price list itu kepada konsumen.
“Ini, Bapak bisa lihat harga dan jenis motornya. Kalau Bapak mau kredit, ini juga sudah ada jangka waktu dan jumlah angsuran perbulannya,” jelas Rinai.
Bapak itu menatap seksama price list yang ia pegang.
“Bapak mau motor yang seperti apa?”
“Saya mau beli motor buat anak saya. Dia cewek, kuliah. Maunya yang matic ini. Harganya berapa ya?”
“Oh, iya Pak, kalau cewek pasti sukanya matic ya. Ini harganya ada ya Pak,” kata Rinai sambil menunjukkan harga motor. “Bapak mau beli motor kredit atau tunai?”
“Saya ambilnya kredit aja. Kalau kredit angsuran perbulannya berapa?”
“Bapak mau berapa bulan dulu?”
“Dua tahun lah. 3 tahun kelamaan. Satu tahun kemahalan.”
“Oh, ini ada jenis angsuran untuk 2 tahun beserta DP.” Rinai menunjuk Pricelist tadi.
“Bedanya apa ini? Kan sama-sama 24 bulan?”
“Yang membedakan DP-nya pak. DP mempengaruhi biaya angsuran bapak tiap bulan. Makin tinggi DP yang bapak bayar, makin kecil angsuran tiap bulannya.”
“Oh, gitu.” konsumen mengangguk-angguk.
“Iya, Pak.”
“Terus, kalau saya ambil motor di sini kan, berapa saya dapat cashback? Terus, bonusnya apa aja?”
“Kalau cashback nggak ada, Pak. Tapi ada potongan DP dari kami 200 ribu, san juga bonus lain kayak helm, jaket, atau mantel.”
“Masa gak ada cashback?”
“Memang gak ada, Pak.” Rinai tersenyum canggung. "Tapi kan ada potongan voucher, Pak."
"Iya, tapi cuna 200 ribu. Kecil kali lah."
Rinai tersenyum canggung mendengar komentar Bapak itu. Bapak itu berpikir lama. Rinai harap-harap cemas. Jangan sampai dia kayak konsumen lain ya, ujung-ujungnya malah ‘Nanya dulu aja’.
“Ya udah lah. Ini karena saya butuh cepat aja. Jadi gimana cara ngambilnya ni?”
Dada Rinai membuncah. Senyumnya mekar bak musim semi.
“Bentar ya, Pak. Biar saya siapkan dulu berkas-berkasnya. Sebelumnya bisa minta data Bapak?"
"Bisa."
"Nama Bapak siapa? Ada bawa KTP?"
"Nama saya Suwanto." Ia mengeluarkan KTP. "Nih," ucapnya sembari menyerahkan ke Rinai.
Rinai berjalan ke balik counter, mengambil faktur penjualan, dan mempersiapkan segalanya.
“Ini, Pak. Silahkan diisi dulu.”
Rinai menyerahkan formulir data konsumen dan menerangkan apa saja yang harus diisi. Saat konsumen cukup mengerti, ia mendekati Bang Sutan.
“Bang, Kak Risa mana?”
Kak Risa itu orang leasing yang sengaja ditempatkan di dealer mereka. Biasanya, kalau ada konsumen yang membeli secara kredit, mereka akan langsung di data Kak Risa, sampai akad dan bisa selesai hari itu juga. Tapi hari ini Kak Risa belum kelihatan sama sekali.
“Oh, dia gak datang hari ini. Ada urusan katanya.”
“Ada konsumen mau ambil motor secara kredit.” Rinai menginformasikan. Ia bahkan tak berusaha menutup nada bahagia di suaranya.
“Serius?” Mata Bang Sutan berbinar. “Good!” Ia memberikan jempol untuk Rinai.
Rinai hanya membalasnya dengan senyum. “Gimana dong, Bang? kak Risa gak ada.”
“Oh, yaudah. Kan nanti mau disurvey dulu. Suruh aja konsumen tunggu di rumah. Nanti dihubungi sama orang leasing.”
“gitu aja?”
“Iya. Survey dulu.”
“Oh, oke.” Rinai mulai beranjak tapi dihentikan oleh suara Bang Sutan.
“Tapi telpon dulu si Risa. Kasih tau dia ada konsumen yang mau disurvey."
Rinai langsung mengambil HP dan menelpon Kak Risa. Di dering ketiga, Kak Risa akhirnya menjawab panggilannya.
“Ya, Nai?”
“Kak, besok datang gak? Ada konsumen Rinai nih yang mau ambil motor secara kredit.”
“Konsumen Rinai? Wih, mantap! udah pande jualan ya!”
“Hehehe…”
"Kirim aja ya datanya, nanti aku kasih ke surveyor.”
“Oh, oke! Makasih kak... “
Rinai mendekati konsumen yang tampak sudah selesai mengisi datanya dan menjelaskan prosesdur kreditnya.
"Berarti disurvey dulu, ya?"
"Iya, Pak."
"Nanti kalau saya mau gamyi DP atau mau gantu motornya ke mereka lain bisa gak? Atau ganti jadi motor bebek?"
"Bisa, Pak. Nanti sampaikan aja ke orang leasingnya pak survey. Selama belum keluar faktur pembelian, masih bisa diganti."
Bapak itu tampak berpikir, membuat Rinai kembali harap-harap cemas. “Oke lah. Tapi besok udah pasti keluar ya, Dek, ya?”
"Kalau surveynya lancar, bisa keluar besok."
Pak Suwanto berdiri diikuti Rinai.
“Ya lah dek, Makasih, ya.” Ia menjabat tangan Rinai yang dibalas oleh Rinai dengan sedikit erat.
"Sama-sama Pak, makasih juga."
Setelah konsumen pergi, Rinai membereskan meja tamu dan beranjak menuju counter, tapi langkahnya tertahan sejenak saat matanya bertemu pandang dengan Kak Maya, yang baru saja keluar dari ruang Pak Daniel. Kak Maya melengos saat menatapnya, tapi Rinai tak peduli. Rinai memutuskan untuk mengabaikannya dan kembali ke meja counter.
Bodo amat, ah.
Rinai lagi bahagia.
Dan gak ada yang bisa merusak suasana hati Rinai saat ini!
Description: Rinai seorang admin STNK di sebuah dealer motor. Ia memiliki sifat aneh dan pendiam. Pagi ini, ia baru saja diberitahu untuk merangkap kerja saat Bang Jack mengirim pesan mengajaknya untuk ikut lomba menulis.
Dibantu oleh Birai yang menyebalkan, Pakcik yang cerdas, dan Bang Jack yang optimis, Rinai mencoba melewati batas-batasnya, memulihkan nama baik, dan dan memperjuangkan impiannya.
Cover by : Bang Zul
|
Title: Rintik Senja
Category: Slice of Life
Text:
Biarkan Mereka Menilai
Setiap orang melihatmu dengan cara berbeda. Jangan berharap!Jangan memaksa! Biarlah dirimu apa adanya. Jangan mau menampakkan keindahan hanya agar orang-orang menyukaimu. Biarlah mereka melihat dan menilaimu. Yakinlah Allah yang lebih memahamimu
BENCI dan CINTA
JIka BENCI maka BENCI lah seperlunya, jangan sampai membenci sesuatu dengan berlebihan karena cinta biasanya bermula dari BENCI. Jika CINTA maka CINTAilah seperlunya, jangan sampai mencintai sesuatu begitu berlebihan, karena banyak yang terlalu cinta mendalam hingga akhirnya mereka saling membenci
Memantaskan
Ingatlah ini :
Jika sekarang kamu sedang memperbaiki diri, maka sesungguhnya aku disini pun sedang memperbaiki diri. Jika sekarang kamu mulai belajar taat padaNya, maka sesungguhnya aku disini tengah belajar taat padaNya. Aku adalah cerminan dari dirimu
Terima Kasih
Untukmu yang telah menghiasi hari-hariku saat itu
Untukmu yang pernah menggangapku istimewa
Untukmu yang pernah berjalan beriringan denganku
Perpisahan ini terjadi bukan karena kita saling membenci,
Bukan pula karena kita tidak saling peduli
Hanya saja ini adalah sesuatu yang lebih baik
Karena ini adalah pilihanNya
Untukmu
Masih Tentang Kamu : Kamu yang rupanya belum bisa kupandangi ! Ku yakin, dirimu tak kalah indah dari hamparan pasir yang memenuhi pantai. Ku yakin, dirimu tak kalah menggagumkan dari ciptaanNya yang lain. Hari ini ku meyakini satu hal, yaitu "Aku dan Kamu" sedang berucap hal yang sama padaNya
Bidadari Letak Syurgaku
Ada senyum di sudut matanya
Dia terlihat begitu tegar, meski ku tau bahwa sesungguhnya dia sedang menyimpan rindu
Dia terlihat begitu kuat, meski ku tau bahwa sesungguhnya tubuhnya tidak sekuat dulu
Dia terlihat begitu bersemangat, meski ku tau bahwa sesungguhnya dia sedang lelah
Dan segelas kopi panas yang ku buatkan untuknya sudah mampu menciptakan senyum indah
di sana, sungguh sederhana dirinya
Description: Ada sebagian orang yang menantikan rintik di waktu senja, entah itu mengingatkan sahabat, pasangan, orang tua, keluarga, lalu menghantarkan bait-bait rindu.
|
"Title: Requiem of Enigma\nCategory: Cerita Pendek\nText:\nKIA [1]\n“Ambil cek ini.” Mama Natha(...TRUNCATED) |
"Title: Rewrite\nCategory: Teenlit\nText:\nProlog\nAku memandang kue tart cokelat di tangan Mami den(...TRUNCATED) |
"Title: Rindu Hujan\nCategory: Cerita Pendek\nText:\nRindu Hujan\nDulu adalah waktu yang indah untuk(...TRUNCATED) |
"Title: Remedy\nCategory: Cerita Pendek\nText:\n1\n“Dia seorang guru dansa, saat itu mereka berdan(...TRUNCATED) |
"Title: RISALAH KEMBANG BEKU\nCategory: Puisi\nText:\nRISALAH KEMBANG BEKU\ndi halaman belakang seta(...TRUNCATED) |
"Title: Restrain LOVE\nCategory: Teenlit\nText:\nSiapa Lintang? \nKatanya, masa SMA itu menyenangkan(...TRUNCATED) |
End of preview. Expand
in Dataset Viewer.
No dataset card yet
- Downloads last month
- 34