Dataset Preview
Full Screen Viewer
Full Screen
The full dataset viewer is not available (click to read why). Only showing a preview of the rows.
The dataset generation failed because of a cast error
Error code: DatasetGenerationCastError Exception: DatasetGenerationCastError Message: An error occurred while generating the dataset All the data files must have the same columns, but at some point there are 2 new columns ({'query', 'answer'}) and 13 missing columns ({'ayat', 'terjemah', 'tafsir_tahlili', 'footnotes', 'kosakata', 'tafsir_wajiz', 'pembukaan_surat', 'kesimpulan', 'asbabun_nuzul', 'penutup_surat', 'nama_surat', 'ayat_key', 'latin'}). This happened while the csv dataset builder was generating data using hf://datasets/ramadita/Indo-Islamic-QA/queries_and_answers.csv (at revision 1671fe0674a922b965d82b6ae41d18dd206990f4) Please either edit the data files to have matching columns, or separate them into different configurations (see docs at https://hf.co/docs/hub/datasets-manual-configuration#multiple-configurations) Traceback: Traceback (most recent call last): File "/src/services/worker/.venv/lib/python3.9/site-packages/datasets/builder.py", line 1870, in _prepare_split_single writer.write_table(table) File "/src/services/worker/.venv/lib/python3.9/site-packages/datasets/arrow_writer.py", line 622, in write_table pa_table = table_cast(pa_table, self._schema) File "/src/services/worker/.venv/lib/python3.9/site-packages/datasets/table.py", line 2292, in table_cast return cast_table_to_schema(table, schema) File "/src/services/worker/.venv/lib/python3.9/site-packages/datasets/table.py", line 2240, in cast_table_to_schema raise CastError( datasets.table.CastError: Couldn't cast id: int64 query: string answer: string -- schema metadata -- pandas: '{"index_columns": [{"kind": "range", "name": null, "start": 0, "' + 583 to {'id': Value(dtype='int64', id=None), 'nama_surat': Value(dtype='string', id=None), 'ayat': Value(dtype='string', id=None), 'ayat_key': Value(dtype='string', id=None), 'terjemah': Value(dtype='string', id=None), 'latin': Value(dtype='string', id=None), 'footnotes': Value(dtype='string', id=None), 'tafsir_wajiz': Value(dtype='string', id=None), 'tafsir_tahlili': Value(dtype='string', id=None), 'pembukaan_surat': Value(dtype='string', id=None), 'penutup_surat': Value(dtype='string', id=None), 'kosakata': Value(dtype='string', id=None), 'asbabun_nuzul': Value(dtype='string', id=None), 'kesimpulan': Value(dtype='string', id=None)} because column names don't match During handling of the above exception, another exception occurred: Traceback (most recent call last): File "/src/services/worker/src/worker/job_runners/config/parquet_and_info.py", line 1420, in compute_config_parquet_and_info_response parquet_operations = convert_to_parquet(builder) File "/src/services/worker/src/worker/job_runners/config/parquet_and_info.py", line 1052, in convert_to_parquet builder.download_and_prepare( File "/src/services/worker/.venv/lib/python3.9/site-packages/datasets/builder.py", line 924, in download_and_prepare self._download_and_prepare( File "/src/services/worker/.venv/lib/python3.9/site-packages/datasets/builder.py", line 1000, in _download_and_prepare self._prepare_split(split_generator, **prepare_split_kwargs) File "/src/services/worker/.venv/lib/python3.9/site-packages/datasets/builder.py", line 1741, in _prepare_split for job_id, done, content in self._prepare_split_single( File "/src/services/worker/.venv/lib/python3.9/site-packages/datasets/builder.py", line 1872, in _prepare_split_single raise DatasetGenerationCastError.from_cast_error( datasets.exceptions.DatasetGenerationCastError: An error occurred while generating the dataset All the data files must have the same columns, but at some point there are 2 new columns ({'query', 'answer'}) and 13 missing columns ({'ayat', 'terjemah', 'tafsir_tahlili', 'footnotes', 'kosakata', 'tafsir_wajiz', 'pembukaan_surat', 'kesimpulan', 'asbabun_nuzul', 'penutup_surat', 'nama_surat', 'ayat_key', 'latin'}). This happened while the csv dataset builder was generating data using hf://datasets/ramadita/Indo-Islamic-QA/queries_and_answers.csv (at revision 1671fe0674a922b965d82b6ae41d18dd206990f4) Please either edit the data files to have matching columns, or separate them into different configurations (see docs at https://hf.co/docs/hub/datasets-manual-configuration#multiple-configurations)
Need help to make the dataset viewer work? Make sure to review how to configure the dataset viewer, and open a discussion for direct support.
id
int64 | nama_surat
string | ayat
string | ayat_key
string | terjemah
string | latin
string | footnotes
string | tafsir_wajiz
string | tafsir_tahlili
string | pembukaan_surat
string | penutup_surat
string | kosakata
string | asbabun_nuzul
string | kesimpulan
string |
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
1 | Al-Fatihah | بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ | 1:1 | Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. | bismillahir-rahmanir-rahim | - | Aku memulai bacaan Al-Qur'an dengan menyebut nama Allah, nama teragung bagi satu-satunya Tuhan yang patut disembah, yang memiliki seluruh sifat kesempurnaan dan tersucikan dari segala bentuk kekurangan, Yang Maha Pengasih, Pemilik dan sumber sifat kasih Yang menganugerahkan segala macam karunia, baik besar maupun kecil, kepada seluruh makhluk, Maha Penyayang Yang tiada henti memberi kasih dan kebaikan kepada orang-orang yang beriman. Memulai setiap pekerjaan dengan menyebut nama Allah (basmalah) akan mendatangkan keberkahan, dan dengan mengingat Allah dalam setiap pekerjaan, seseorang akan memiliki kekuatan spiritual untuk melakukan yang terbaik dan menghindar dari keburukan. | Surah al-Fātiḥah dimulai dengan Basmalah (بسم الله الرحمن الرحيم).
Ada beberapa pendapat ulama berkenaan dengan Basmalah yang terdapat pada permulaan surah Al-Fātiḥah. Di antara pendapat-pendapat itu, yang termasyhur ialah:
1. Basmalah adalah ayat tersendiri, diturunkan Allah untuk jadi kepala masing-masing surah, dan pembatas antara satu surah dengan surah yang lain. Jadi dia bukanlah satu ayat dari al-Fātiḥah atau dari surah yang lain, yang dimulai dengan Basmalah itu. Ini pendapat Imam Malik beserta ahli qiraah dan fuqaha (ahli fikih) Medinah, Basrah dan Syam, dan juga pendapat Imam Abu Hanifah dan pengikut-pengikutnya. Sebab itu menurut Imam Abu Hanifah, Basmalah itu tidak dikeraskan membacanya dalam salat, bahkan Imam Malik tidak membaca Basmalah sama sekali.
Hadis Nabi saw:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: ḍصَلَّيْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ فَكَانُوْا يَسْتَفْتِحُوْنَ بِالْحَمْدِ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ لَا يَذْكُرُوْنَ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ فِي أَوَّلِ قِرَاءَةٍ وَلَا فِي آخِرِهَا». (رواه الشيخان واللفظ لمسلم)
Dari Anas bin Malik, dia berkata, “Saya salat di belakang Nabi saw, Abu Bakar, Umar dan Usman. Mereka memulai dengan al-ḥamdulillāhi rabbil ‘ālamīn, tidak menyebut Bismillāhirraḥmānirrahīm di awal bacaan, dan tidak pula di akhirnya.”(Riwayat al-Bukhārī dan Muslim).
2. Basmalah adalah salah satu ayat dari al-Fātiḥah, dan pada surah an-Naml/27:30, اِنَّهُ مِنْ سُلَيْمَانَ وَاِنَّهُ بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (النمل/27:30) yang dimulai dengan Basmalah. Ini adalah pendapat Imam Syafi'i beserta ahli qiraah Mekah dan Kufah. Sebab itu menurut mereka Basmalah itu dibaca dengan suara keras dalam salat (jahar). Dalil-dalil yang menunjukkan hal itu antara lain Hadis Nabi saw:
عَنْ ابن عباس قال: كانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْهَرُ بِبِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (رواه الحاكم فى المستدرك وقال صحيح)
Dari Ibnu ‘Abbās, ia berkata, Rasulullah saw mengeraskan bacaan Bismillāhirrahmānirrahīm. (Riwayat al-Ḥākim dalam al-Mustadrak dan menurutnya, hadis ini sahih)
عَنْ اُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَطِّعُ قِرَاءَتَهُ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ، اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ، الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ، مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ. (رواه أحمد وابو داود وابن خزيمة والحاكم وقال الدار قطنى: سنده صحيح)
Dari Ummu Salamah, katanya, Rasulullah saw berhenti berkali-kali dalam bacaanya Bismillāhirrahmānirrahīm, al-Ḥamdulillāhi Rabbil- ‘Ālamīn, ar-Raḥmānir-raḥīm, Māliki Yaumid-dīn. (Riwayat Aḥmad, Abu Dāud, Ibnu Khuzaimah dan al-Ḥākim. Menurut ad-Dāruquṭnī, sanad hadis ini sahih).
Abu Hurairah juga salat dan mengeraskan bacaan basmalah. Setelah selesai salat, dia berkata, “Saya ini adalah orang yang salatnya paling mirip dengan Rasulullah.” Muawiyah juga pernah salat di Medinah tanpa mengeraskan suara basmalah. Ia diprotes oleh para sahabat lain yang hadir disitu. Akhirnya pada salat berikutnya Muawiyah mengeraskan bacaan basmalah.
Kalau kita perhatikan bahwa sahabat-sahabat Rasulullah saw telah sependapat menuliskan Basmalah pada permulaan surah dari surah Al-Qur’an, kecuali surah at-Taubah (karena memang dari semula turunnya tidak dimulai dengan Basmalah) dan bahwa Rasulullah saw melarang menuliskan sesuatu yang bukan Al-Qur’an agar tidak bercampur aduk dengan Al-Qur’an, sehingga mereka tidak menuliskan ‘āmīn’ pada akhir surah al-Fātiḥah, maka Basmalah itu adalah salah satu ayat dari Al-Qur’an. Dengan kata lain, bahwa “basmalah-basmalah” yang terdapat di dalam Al-Qur’an adalah ayat-ayat Al-Qur’an, lepas dari pendapat apakah satu ayat dari al-Fātiḥah atau dari surah lain, yang dimulai dengan Basmalah atau tidak.
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa surah al-Fātiḥah itu terdiri dari tujuh ayat. Mereka yang berpendapat bahwa Basmalah itu tidak termasuk satu ayat dari al-Fātiḥah, memandang:
غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ
adalah salah satu ayat, dengan demikian ayat-ayat al-Fātiḥah itu tetap tujuh.
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
“Dengan nama Allah” maksudnya “Dengan nama Allah saya baca atau saya mulai”. Seakan-akan Nabi berkata, “Saya baca surah ini dengan menyebut nama Allah, bukan dengan menyebut nama saya sendiri, sebab ia wahyu dari Tuhan, bukan dari saya sendiri.” Maka Basmalah di sini mengandung arti bahwa Al-Qur’an itu wahyu dari Allah, bukan karangan Muhammad saw dan Muhammad itu hanyalah seorang Pesuruh Allah yang dapat perintah menyampaikan Al-Qur’an kepada manusia.
Makna kata Allāh
Allah adalah nama bagi Zat yang ada dengan sendirinya (wājibul-wujūd). Kata “Allah” hanya dipakai oleh bangsa Arab kepada Tuhan yang sebenarnya, yang berhak disembah, yang mempunyai sifat-sifat kesempurnaan. Mereka tidak memakai kata itu untuk tuhan-tuhan atau dewa-dewa mereka yang lain.
Hikmah Membaca Basmalah
Seorang yang selalu membaca Basmalah sebelum melakukan pekerjaan yang penting, berarti ia selalu mengingat Allah pada setiap pekerjaannya. Dengan demikian ia akan melakukan pekerjaan tersebut dengan selalu memperhatikan norma-norma Allah dan tidak merugikan orang lain. Dampaknya, pekerjaan yang dilakukannya akan berbuah sebagai amalan ukhrawi.
Seorang Muslim diperintahkan membaca Basmalah pada waktu mengerjakan sesuatu yang baik. Yang demikian itu untuk mengingatkan bahwa sesuatu yang dikerjakan adalah karena perintah Allah, atau karena telah diizinkan-Nya. Maka karena Allah dia mengerjakan pekerjaan itu dan kepada-Nya dia meminta pertolongan agar pekerjaan terlaksana dengan baik dan berhasil.
Nabi saw bersabda:
كُلُّ أَمْرٍ ذِيْ بَالٍ لَمْ يُبْدَأْ فِيْهِ بِبِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ أَقْطَعُ (رواه عبد القادر الرهاوي)
“Setiap pekerjaan penting yang tidak dimulai dengan menyebut Basmalah adalah buntung (kurang berkahnya).” (Riwayat Abdul-Qādir ar-Rahāwī).
Orang Arab sebelum datang Islam mengerjakan sesuatu dengan menyebut al-Lāta dan al-‘Uzzā, nama-nama berhala mereka. Sebab itu, Allah mengajarkan kepada penganut-penganut agama Islam yang telah mengesakan-Nya, agar mereka mengerjakan sesuatu dengan menyebut nama Allah. | Nama, Tempat Diturunkan, dan Jumlah Ayat
Surah pertama al-Fātiḥah mempunyai bermacam-macam nama, antara lain:
1. Surah al-Fātiḥah
Kata “Fātiḥah” terambil dari kata kerja fataḥa yang berarti “membuka” atau “memulai”. Sedangkan “al-” adalah kata sandang, artikel definitif, itu, penunjuk suatu kata benda. Al-Fātiḥah di sini berarti “Pembuka” atau “Pemula”. Surah ini dinamakan “al-Fātiḥah” karena dengan surah inilah dibuka Al-Qur’an, artinya dengan surah inilah dimulai susunan surah-surah Al-Qur’an. Peletakannya di permulaan Al-Qur’an berdasarkan tauqīfi, artinya perintah dari Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw.
2. Ummul-Qur’ān atau Ummul-Kitāb
Di samping nama “al-Fātiḥah“, surah ini juga dinamakan Ummul-Qur’ān (Induk Al-Qur’an) atau Ummul-Kitāb (Induk Al-Kitab), karena merupakan induk, pokok, atau basis bagi Al-Qur’an seluruhnya, dengan arti bahwa surah al-Fātiḥah mengandung pokok-pokok isi Al-Qur’an
3. As-Sab‘ul Maṡānī
Surah al-Fātiḥah juga dinamai as-Sab‘ul-Maṡānī (tujuh yang berulang-ulang). Dinamai demikian karena ayatnya berjumlah tujuh, dan dibaca berulang-ulang dalam salat.
Salat tidak sah tanpa membaca surah al-Fātiḥah, berdasarkan Hadis:
لَا صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ. (رواه اصحاب الستة عن عبادة بن الصامت)
Tidak sah salat bagi orang yang tidak membaca al-Fātiḥah. (Riwayat Aṣḥābus-Sittah dari ‘Ubadah bin aṣ-Ṣāmit)
Selain beberapa nama yang disebutkan, masih ada nama-nama lain, yaitu al-Kanz (Perbendaharaan), al-Ḥamd (Pujian), aṣ-Ṣalāh (Salat), al-Wāqiyah (Yang Me-lindungi), Asāsul-Qur'ān (Pokok-pokok Al-Qur’an), asy-Syāfiyah (Penyembuhan), al-Kāfiyah (Yang Mencukupi), ar-Ruqyah (Bacaan untuk Pengobatan), asy-Syukur (Syukur) ad-Du’ā (Doa) dan al-Asās (Asas Segala Sesuatu).
Surah al-Fātiḥah diturunkan di Mekah, jadi termasuk surah Makkiyyah. Surah ini diturunkan pada waktu pertama kali disyariatkan salat dan diwajibkan membacanya di dalam salat, karena itu, ia adalah surah yang pertama diturunkan dengan lengkap. Dalam surah ini terdapat kesimpulan dari isi keseluruhan Al-Qur’an.
Pokok-Pokok Isinya
Telah disebutkan di atas, bahwa surah al-Fātiḥah adalah induk dari Al-Qur’an seluruhnya, sehingga ia merupakan intisari dari isi Al-Qur’an, yaitu:
1. Akidah
2. Ibadah
3. Hukum-hukum
4. Janji dan ancaman
5. Kisah-kisah.
Akidah
Akidah adalah yang pertama kali dibawa oleh Al-Qur’an dan diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. Para nabi dan rasul yang telah diutus sebelum Muhammad saw. juga menanamkan keimanan ini sejak pertama kali mereka diutus kepada umatnya.
Keimanan yang dikandung oleh Al-Qur’an meliputi keimanan kepada Allah, para rasul-Nya, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab yang telah diturunkan-Nya, hari akhirat serta qaḍa' dan qadar. Pada waktu Al-Qur’an diturunkan, keimanan yang dibawa oleh para rasul sebelumnya sudah kabur, tauhid yang murni tidak ada lagi. Kepada umat-umat terdahulu telah diutus para rasul, dan mereka telah mempunyai kitab-kitab samawi. Mereka kemudian memandang para rasul, orang-orang saleh, dan malaikat-malaikat sebagai Tuhan. Kitab-kitab samawi yang dibawa oleh para nabi dan rasul kepada mereka sudah diubah oleh tangan mereka sendiri.
Bangsa Arab, baik yang telah pernah menganut ajaran-ajaran Nabi Ibrahim, maupun tidak, sebagian besar telah menjadi penganut kepercayaan waṡani, penyembah patung dan dewa-dewa, sehingga menurut riwayat, di sekitar Ka‘bah terdapat 360 buah patung. Maka, datanglah Al-Qur’an untuk menyucikan akidah manusia dari berbagai kotoran syirik, dengan membawa akidah tauhid yang murni, yang tidak dicampuri sedikit pun oleh berbagai kepercayaan dan perbuatan menuhankan sesuatu dalam alam ini.
Akidah tauhid yang dibawa oleh Al-Qur’an itu adalah akidah yang amat jelas dan tegas, dapat dipahami akal, dan yang paling sempurna. Tuhan Yang Maha Esa, Dialah yang Khalik, sedang selain Dia adalah makhluk. Tak ada permulaan-Nya, dan tak ada kesudahan-Nya. Mahakuasa, Maha Pengasih, Maha Penyayang dan Maha Mengetahui. Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Tidak ada sesuatu yang serupa dengan Dia. Alam semesta ini makhluk Allah, yang akan lenyap dan binasa dengan kehendak Allah, karena keberadaannya juga dengan kehendak Allah.
Di dalam surah al-Fātiḥah, akidah tauhid ini terdapat dalam ayat-ayat:
a.
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ ٢
“Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam”
Maksud ayat “Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam,” adalah bahwa yang berhak dipuji hanyalah Allah, maka pujian haruslah dihadapkan kepada-Nya. Yang dimaksud dengan “semua puji” meliputi: (1) puji Tuhan kepada diri-Nya; (2) puji Allah kepada makhluk-Nya; (3) puji makhluk kepada makhluk; dan (4) puji makhluk kepada Tuhannya. Pada hakikatnya, segala puji itu milik Allah.
Seseorang dipuji karena sifat-sifat yang mulia yang ada pada dirinya, atau karena perbuatan, jasa dan budi baiknya. Pujian itu hanya semata-mata milik Allah, karena Dialah yang mempunyai sifat-sifat yang sempurna yang menyebabkan Dia berhak dipuji, umpama: sifat Maha Esa, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Mahakuasa, Mahaadil, Maha Mengetahui, Maha Pengampun, Maha Pemaaf dan lain sebagainya.
Pernyataan seorang hamba bahwa hanya Allah sajalah yang mempunyai sifat-sifat yang sempurna dan bahwa Dia sajalah yang telah memberi nikmat dan karunia, merupakan inti dari keimanan kepada Allah dan merupakan akidah tauhid yang sebenarnya.
Keimanan kepada Allah dengan segala sifat kesempurnaan-Nya, dan akidah tauhid yang murni adalah ajaran Islam yang terpenting. Sebab itu di dalam ayat ini ditegaskan bahwa Allah Rabb bagi seluruh alam.
Kata Rabb itu selain bermakna “Pemilik” juga berarti “Pendidik” atau “Pengasuh”. Dengan ini jelas bahwa apa pun yang berada dalam alam ini adalah kepunyaan Allah. Dialah yang menciptakan, mendidik, mengasuh, menumbuhkan dan memeliharanya. Tidak ada yang bersekutu dengan Dia. Sejalan dengan ini, maka makhluk itu bagaimanapun kecil dan halusnya dan jauh tempatnya tetap berada di bawah pengetahuan, lindungan dan pemeliharaan Allah. Allah telah memberikan kepada makhluk-Nya suatu bentuk, lalu dikaruniakan-Nya akal, naluri dan kodrat alamiah yang dapat dipergunakan untuk kelanjutan hidupnya. Sesudah itu berbagai nikmat tersebut tidak dilepaskan begitu saja oleh Allah, melainkan selalu dipelihara, dilindungi dan dijaga-Nya.
Pendidikan, pemeliharaan, penumbuhan oleh Allah terhadap makhluk-Nya haruslah diperhatikan dan dipelajari oleh manusia dengan sedalam-dalamnya, dan memang sejak dahulu sampai sekarang telah diperhatikan dan dipelajari oleh para pemikir dan para sarjana, sehingga telah menjadi sumber berbagai macam ilmu pengetahuan, yang dapat menambah keyakinan manusia kepada keagungan dan kebesaran Allah, serta berguna bagi masyarakat.
b.
الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِۙ ٣ (الفاتحة)
“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.”
Ayat ini berisi keimanan, karena dalam ayat ini dinyatakan dengan lebih jelas akidah tauhid. Ayat ini menerangkan bahwa hanya Allah sajalah yang berhak disembah dan hanya kepada Allah sajalah manusia seharusnya memohon pertolongan.
Jadi, manusia sebagai makhluk Allah, haruslah berhubungan langsung dengan Allah sebagai Khaliknya. Ketika manusia berdoa memohon sesuatu haruslah langsung ditujukan kepada Allah, Khaliknya tanpa perantaraan siapa dan apa pun juga.
Dengan demikian, terbasmilah sampai ke akar-akarnya kepercayaan syirik (mempersekutukan Allah, membesarkan apa pun selain Allah) kepercayaan waṡani, pagan (menyembah dewa-dewa, matahari, bulan, bintang-bintang, dan lain-lain), kepercayaan majusi (menyembah api) dan sebagainya, yaitu kepercayaan yang banyak berkembang dan dianut oleh segala bangsa, sebelum datang agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw.
Kedua ayat yang disebutkan itu:
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ
اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ
adalah inti keimanan dan tauhid. Ayat-ayat lain, yang menyeru kepada tauhid dan memberantas kepercayaan syirik waṡani, majusi, dan sebagainya, adalah penjelasan dari kedua ayat itu.
Pada dasarnya, semua ayat isi surah al-Fātiḥah itu sejak dari
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
sampai dengan
صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ
menerangkan akidah tauhid.
Ibadah
Ibadah adalah buah dari keimanan kepada adanya Allah, dengan segala sifat kesempurnaan-Nya. Orang yang meyakini adanya segala sifat kesempurnaan-Nya akan menyembah Allah. Ajaran ibadah ini dipaparkan di dalam surah al-Fātiḥah dengan firman-Nya:
اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ
Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.
Di dalam ayat ini Allah mengajari hamba-Nya agar menyembah hanya kepada Allah semata. Maka ayat ini selain mengandung ajaran tentang tauhid, juga mengandung ajaran ibadah kepada Yang Maha Esa itu.
اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ
Tunjukilah kami jalan yang lurus.
Untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat, Allah mengada-kan peraturan-peraturan, hukum-hukum, menjelaskan kepercayaan, memberi pelajaran dan contoh-contoh. Ini semua adalah laksana jalan lurus yang diben-tangkan Allah yang mengantarkan manusia kepada kebahagiaannya di dunia dan di akhirat. Maka berbahagialah mereka yang menjalaninya dan sengsaralah orang yang menghindari diri dari jalan itu.
Mengikuti jalan yang lurus ini artinya ialah beribadah kepada Allah, dengan mematuhi peraturan-peraturan, menjalankan hukum-hukum, dan berpegang ke-pada akidah yang benar, mengambil pelajaran dan teladan dari contoh-contoh yang telah diberikan Allah. Hal itu diterangkan dalam ayat-ayat lain, yang menjadi uraian dari surah al-Fātiḥah ini.
Ibadah tidak dapat dipisahkan dari tauhid, sebagaimana tauhid pun tidak dapat dipisahkan dari ibadah, karena ibadah adalah buah dari tauhid, dan ia tak mempunyai nilai dan harga kalau timbulnya tidak dari perasaan tauhid. Demikian pula halnya dengan tauhid, yakni tauhid itu tidak akan subur hidup-nya di dalam jiwa dan raga manusia, kalau tidak selalu dipupuk dengan ibadah.
Sebab itu, di dalam surah al-Fātiḥah ini, di samping disebut tauhid, disebut juga ibadah. Kedua-duanya secara ringkas akan diikuti dengan penjelasan-penje-lasan pada ayat-ayat lain di dalam surah-surah yang lain.
Hukum-Hukum
Dalam rangka beribadah kepada Allah untuk mencapai kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat, Allah menetapkan hukum-hukum dan peraturan-peraturan; ada yang berkenaan dengan hubungan manusia dengan Allah, hubungan dengan masyarakat dan alam seisinya.
Di dalam Al-Qur’an banyak didapati ayat yang berhubungan dengan hukum dan peraturan itu. Semua ayat ini adalah penjelasan dari apa yang telah dican-tumkan dalam surah al-Fātiḥah. Allah memberi tuntunan hukum dan peraturan dalam firman-Nya:
اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ
Tunjukilah kami jalan yang lurus
Jalan yang menyampaikan manusia kepada kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, yaitu akidah (kepercayaan) yang benar, hukum dan peraturan, pelajaran yang dibawa oleh Al-Qur’an sebagaimana disebutkan di atas.
Janji dan Ancaman
Al-Qur’an juga berisi janji dan ancaman. Dia menjanjikan kebahagiaan kepada mereka yang beriman dan berbuat baik. Sebaliknya Dia memperingatkan mereka yang mempersekutukan-Nya, yang membuat onar dan kejahatan dengan azab.
Janji dan ancaman itu ditujukan kepada umum, kaum atau bangsa. Di dalam surah al-Fātiḥah terdapat ayat-ayat yang mengandung janji dan ancaman, yaitu:
a.
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.”
Dengan menyebut “Maha Pengasih”, “Maha Penyayang”, Allah menjanjikan kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, limpahan karunia dan nikmat.
b.
مٰلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ
“Pemilik hari pembalasan“
Pada hari itu perbuatan manusia sewaktu di dunia akan dibalas. Surga untuk mereka yang beriman dan berbuat baik, dan neraka bagi mereka yang ingkar dan berbuat salah. Ini adalah janji dan peringatan.
c.
اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus”
Orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus akan berbahagia, dan yang menghindarkan diri dari jalan yang lurus akan celaka. Dengan ini dapat dipahami adanya janji dan ancaman.
d.
صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ەۙ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ ࣖ ٧
“(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”
Ada orang yang telah dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu rasul-rasul, nabi-nabi, orang-orang saleh dan ṣiddīqīn. Orang-orang yang semacam ini akan diberi pahala dan ganjaran oleh Allah, yaitu surga jannatun-na‘īm, dan ini adalah janji-Nya. Di samping itu, ada pula orang-orang yang dimurkai Allah, yaitu mereka yang tak mau menjalani jalan yang lurus, padahal dia tahu bahwa itulah jalan yang benar, dan ada pula orang yang sesat, yaitu orang yang tak mengetahui jalan yang lurus itu atau dia mengetahuinya, tetapi dia tersesat dalam menempuh jalan itu.
Mereka yang dimurkai Allah dan orang yang sesat itu akan menderita hukuman dari Allah, dan ini adalah suatu peringatan.
Kisah-Kisah
Untuk menjadi contoh dan teladan, pelajaran dan iktibar, Al-Qur’an telah menceritakan keadaan bangsa-bangsa dan kaum-kaum yang telah lalu dan bahwa Allah telah mengutus rasul-rasul dan nabi-nabi kepada mereka dan telah membuat peraturan, hukum dan syariat untuk kebahagiaan hidup mereka. Di antara mereka ada yang menerima dan ada yang menolak, dan Allah menerangkan apa akibat dari penerimaan atau penolakan itu, untuk dijadikan iktibar dan pelajaran.
Lebih kurang tiga perempat dari isi Al-Qur’an adalah cerita tentang bangsa-bangsa dan umat yang lalu, serta anjuran dari Allah untuk mengambil iktibar dan pelajaran dari keadaan mereka. Di dalam surah al-Fātiḥah ini keadaan bangsa-bangsa dan umat-umat yang telah lalu itu dipaparkan oleh Allah dalam firman-Nya:
صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ەۙ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ ࣖ ٧
“(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”
Dengan keterangan yang disebutkan di atas, jelaslah bahwa surah al-Fātiḥah mengandung kesimpulan isi Al-Qur’an dalam surah-surah yang berikutnya. | - | 1. Rabb رَبّ (al-Fātiḥah/1: 2)
Kata rabb secara etimologi berarti, “pemelihara”, “pendidik”, “pengasuh”, “pengatur”, dan “yang menumbuhkan”. Kata rabb biasa dipakai sebagai salah satu nama Tuhan, karena Tuhanlah yang secara hakiki sebagai pemelihara, pendidik, pengasuh, pengatur dan yang menumbuhkan makhluknya. Oleh sebab itu, kata rabb biasa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata “Tuhan”. Kata rabb di dalam Al-Qur’an disebut 151 kali.
2. Ar-Raḥmān, ar-Raḥīm اَلرَّحْمٰن اَلرَّحِيْم (al-Fātiḥah/1: 3)
Kata ar-raḥmān terambil dari ar-raḥmah yang berarti belas kasihan, yaitu suatu sifat yang menimbulkan perbuatan memberi nikmat dan karunia. Jadi, kata ar-raḥmān berarti “Yang berbuat (memberi) nikmat dan karunia yang banyak”. Kata ar-raḥmān disebutkan dalam Al-Qur’an 57 kali di berbagai surah, termasuk pada Basmalah di awal surah al-Fātiḥah tapi tidak termasuk pada Basmalah di awal setiap surah selain al-Fātiḥah. Kata ar-raḥmān terdapat pada surah al-Fātiḥah, al-Baqarah, ar-Ra‘ad, al-Isrā’, Maryam, Ṭāhā, al-Anbiyā’, al-Furqān, asy-Syu‘arā’, an-Naml, Yāsīn, Fuṣṣilat, az-Zukhruf, Qāf, ar-Raḥmān, al-Ḥasyr, al-Mulk, dan an-Naba’.
Kata ar-raḥīm juga diambil dari kata ar-raḥmah. Arti ar-raḥīm ialah: “Yang mempunyai sifat belas kasihan dan sifat itu tetap padanya selama-lamanya”. Kata ar-raḥīm disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 95 kali termasuk dalam Basmalah di awal surah al-Fātiḥah tapi tidak termasuk pada Basmalah di awal setiap surah selain al-Fātiḥah. Kata Ar-raḥīm tersebut terdapat pada surah al-Fātiḥah, al-Baqarah, Āli ‘Imrān, an-Nisā’, al-Mā’idah, al-An‘ām, al-A‘rāf, al-Anfāl, at-Taubah, Yūnus, Hūd, Yūsuf, Ibrāhīm, al-Ḥijr, an-Naḥl, al-Ḥajj, an-Nūr, asy-Syu‘arā’, an-Naml, al-Qaṣaṣ, ar-Rūm, as-Sajdah, Saba’, Yāsīn, az-Zumar, Fuṣṣilat, asy-Syūrā, ad-Dukhān, al-Aḥqāf, al-Ḥujurāt, aṭ-Ṭūr, al-Ḥadīd, al-Mujādilah, al-Ḥasyr, al-Mumtaḥanah, at-Tagābun, at-Taḥrīm, dan al-Muzzammil.
Ar-raḥmān dan ar-raḥīm maksudnya bahwa Tuhan telah memberi nikmat yang banyak dengan murah dan telah melimpahkan karunia yang tidak terhingga, karena Dia bersifat belas kasihan kepada makhluk-Nya. Karena sifat belas kasihan itu merupakan sifat yang tetap pada-Nya, maka nikmat dan karunia Allah tidak ada putus-putusnya. | - | - |
2 | Al-Fatihah | اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ | 1:2 | Segala puji bagi Allah, Tuhan1) semesta alam | al-hamdu lillahi rabbil-'alamin | 1) Allah Swt. disebut rabb (Tuhan) seluruh alam karena Dialah yang telah menciptakan, memelihara, mendidik, mengatur, mengurus, memberi rezeki, dan sebagainya kepada semua makhluk-Nya. | Segala puji kita persembahkan hanya untuk Allah semata, Tuhan Pencipta dan Pemelihara seluruh alam, yaitu semua jenis makhluk. | Pada ayat di atas, Allah memulai firman-Nya dengan menyebut “Basmalah” untuk mengajarkan kepada hamba-Nya agar memulai suatu perbuatan yang baik dengan menyebut basmalah, sebagai pernyataan bahwa dia mengerjakan perbuatan itu karena Allah dan kepada-Nyalah dia memohonkan pertolongan dan berkah. Maka, pada ayat ini Allah mengajarkan kepada hamba-Nya agar selalu memuji-Nya.
Al-ḥamdu artinya pujian, karena kebaikan yang diberikan oleh yang dipuji, atau karena suatu sifat keutamaan yang dimilikinya. Semua nikmat yang telah dirasakan dan didapat di alam ini dari Allah, sebab Dialah yang menjadi sumber bagi semua nikmat. Hanya Allah yang mempunyai sifat-sifat kesempurnaan. Karena itu Allah sajalah yang berhak dipuji. Orang yang menyebut al-ḥamdu lillāh bukan hanya mengakui bahwa puji itu untuk Allah semata, melainkan dengan ucapannya itu dia memuji Allah.
Rabb artinya pemilik, pengelola dan pemelihara. Di dalamnya terkandung arti mendidik, yaitu menyampaikan sesuatu kepada keadaan yang sempurna dengan berangsur-angsur.
‘Ālamīn artinya seluruh alam, yakni semua jenis makhluk. Alam itu berjenis-jenis, yaitu alam tumbuh-tumbuhan, alam binatang, alam manusia, alam benda, alam makhluk halus, umpamanya malaikat, jin, dan alam yang lain. Ada mufasir mengkhususkan ‘ālamīn pada ayat ini kepada makhluk-makhluk Allah yang berakal yaitu manusia, malaikat dan jin. Tetapi ini mempersempit arti kata yang sebenarnya amat luas.
Dengan demikian, Allah itu Pendidik seluruh alam, tak ada sesuatu pun dari makhluk Allah yang terlepas dari didikan-Nya. Tuhan mendidik makhluk-Nya de-ngan seluas arti kata itu. Sebagai pendidik, Dia menumbuhkan, menjaga, mem-berikan daya (tenaga) dan senjata kepada makhluk itu, guna kesempurnaan hidupnya masing-masing.
Siapa yang memperhatikan perjalanan bintang-bintang, menyelidiki kehi-dupan tumbuh-tumbuhan dan binatang di laut dan di darat, mempelajari per-tumbuhan manusia sejak dari rahim ibunya sampai ke masa kanak-kanak, lalu menjadi manusia yang sempurna, tahulah dia bahwa tidak ada sesuatu juga dari makhluk Allah yang terlepas dari penjagaan, pemeliharaan, asuhan dan inayah-Nya. | - | - | - | - | - |
3 | Al-Fatihah | الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِۙ | 1:3 | Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, | ar-rahmanir-rahim | - | Dialah Yang Maha Pengasih, Pemilik dan sumber sifat kasih, Yang menganugerahkan segala macam karunia, baik besar maupun kecil, kepada seluruh makhluk, Maha Penyayang Yang selalu tiada henti memberi kasih dan kebaikan kepada orang-orang yang beriman. | Pada ayat dua di atas Allah swt menerangkan bahwa Dia adalah Tuhan seluruh alam. Maka untuk mengingatkan hamba kepada nikmat dan karunia yang berlipat-ganda, yang telah dilimpahkan-Nya, serta sifat dan cinta kasih sayang yang abadi pada diri-Nya, diulang-Nya sekali lagi menyebut ar-Raḥmān ar-Raḥīm. Yang demikian dimaksudkan agar gambaran keganasan dan kezaliman seperti raja-raja yang dipertuan dan bersifat sewenang-wenang lenyap dari pikiran hamba.
Allah mengingatkan dalam ayat ini bahwa sifat ketuhanan Allah terhadap hamba-Nya bukanlah sifat keganasan dan kezaliman, tetapi berdasarkan cinta dan kasih sayang. Dengan demikian manusia akan mencintai Tuhannya, dan menyembah Allah dengan hati yang aman dan tenteram, bebas dari rasa takut dan gelisah. Malah dia akan mengambil pelajaran dari sifat-sifat Allah. Dia akan mendasarkan pergaulan dan tingkah lakunya terhadap manusia sesamanya, atau terhadap orang yang di bawah pimpinannya, malah terhadap binatang yang tak pandai berbicara sekalipun, atas sifat cinta dan kasih sayang itu. Karena dengan jalan demikianlah manusia akan mendapat rahmat dan karunia dari Tuhannya.
Rasulullah bersabda:
اِنَّمَا يَرْحَمُ اللهُ مِنْ عِبَادِهِ الرُّحَمَاءَ. (رواه الطبراني)
Allah hanya sayang kepada hamba-hamba-Nya yang pengasih. (Riwayat at-Ṭabrānī)
الرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمٰنُ تَبَارَكَ وَتَعَالىَ اِرْحَمُوْا مَنْ فِى اْلأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِىالسَّمَاءِ. (رواه احمد وابو داود والترمذي والحاكم)
Orang-orang yang penyayang, akan disayangi oleh Allah yang Rahman Tabaraka wa Ta‘ala.(Oleh karena itu) sayangilah semua makhluk yang di bumi, niscaya semua makhluk yang di langit akan menyayangi kamu semua. (Riwayat Aḥmad, Abū Dāwud at-Tirmiżī dan al-Ḥākim).
Rasulullah bersabda:
مَنْ رَحِمَ وَلَوْ ذَبِيْحَةَ عُصْفُوْرٍ رَحِمَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. (رواه البخاري)
“Siapa yang kasih sayang meskipun kepada seekor burung (pipit) yang disembelih, akan disayangi Allah pada hari Kiamat. (Riwayat al-Bukhārī)
Maksud hadis yang ketiga ialah menggunakan aturan dan tata cara pada waktu menyembelih burung, misalnya memakai pisau yang tajam. Dapat pula dipahami dari urutan kata ar-Raḥmān, ar-Raḥīm, bahwa penjagaan, pemeliharaan dan asuhan Allah terhadap seluruh alam, bukanlah karena mengharapkan sesuatu dari alam itu, tetapi semata-mata karena rahmat dan kasih sayang-Nya.
Boleh jadi ada yang terlintas dalam pikiran orang, mengapa Allah membuat peraturan dan hukum, dan menghukum orang-orang yang melanggar peraturan itu? Pikiran ini akan hilang bila diketahui bahwa peraturan dan hukum, begitu juga azab di akhirat atau di dunia yang dibuat Allah untuk hamba-Nya yang melanggar tidaklah berlawanan dengan sifat Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, karena peraturan dan hukum itu rahmat dari Allah demi untuk kebaikan manusia itu sendiri. Begitu pula azab dari Allah terhadap hamba-Nya yang melanggar peraturan dan hukum itu sesuai dengan keadilan-Nya. | - | - | - | - | - |
4 | Al-Fatihah | مٰلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِۗ | 1:4 | Pemilik hari Pembalasan.2) | maliki yaumid-din | 2) Yaumid-dīn (hari Pembalasan) adalah hari ketika kelak manusia menerima balasan atas amal-amalnya yang baik dan yang buruk. Hari itu disebut juga yaumul-qiyāmah (hari Kiamat), yaumul-ḥisāb (hari Penghitungan), dan sebagainya. | Dialah satu-satunya Pemilik hari Pembalasan dan perhitungan atas segala perbuatan, yaitu hari kiamat. Kepemilikan-Nya pada hari itu bersifat mutlak dan tidak disekutui oleh suatu apa pun. | Sesudah Allah menyebutkan beberapa sifat-Nya, yaitu: Tuhan seluruh alam, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, maka diiringi-Nya dengan menyebutkan satu sifat-Nya lagi, yaitu “menguasai hari pembalasan”. Penyebutan ayat ini dimaksudkan agar kekuasaan Allah atas alam ini tak terhenti sampai di dunia ini saja, tetapi terus berkelanjutan sampai hari akhir.
Ada dua macam bacaan berkenaan dengan Mālik. Pertama, dengan meman-jangkan mā, dan kedua dengan memendekkannya. Menurut bacaan yang perta-ma, Mālik artinya “Yang memiliki” (Yang empunya). Sedang menurut bacaan yang kedua, artinya “Raja”. Kedua bacaan itu benar.
Baik menurut bacaan yang pertama ataupun bacaan yang kedua, dapat dipa-hami dari kata itu arti “berkuasa” dan bertindak dengan sepenuhnya. Sebab itulah diterjemahkan dengan “Yang menguasai”. “Yaum” artinya hari, tetapi yang dimaksud di sini ialah waktu secara mutlak.
Ad-dīn banyak artinya, di antaranya: (1) perhitungan, (2) ganjaran, pembalas-an, (3) patuh, (4) menundukkan, dan (5) syariat, agama. Yang selaras di sini ialah dengan arti “pembalasan”. Jadi, Māliki yaumiddīn maksudnya “Allah itulah yang berkuasa dan yang dapat bertindak dengan sepenuhnya terhadap semua makhluk-Nya pada hari pembalasan.”
Sebetulnya pada hari kemudian itu banyak hal yang terjadi, yaitu Kiamat, kebangkitan, berkumpul, perhitungan, pembalasan, tetapi pembalasan sajalah yang disebut oleh Allah di sini, karena itulah yang terpenting. Yang lain dari itu, umpamanya kiamat, kebangkitan dan seterusnya, merupakan pendahuluan dari pembalasan, apalagi untuk targīb dan tarhīb (menggalakkan dan menakut-nakuti), penyebutan “hari pembalasan” itu lebih tepat.
Hari Akhirat Menurut Pendapat Akal (Filsafat)
Kepercayaan tentang adanya hari akhirat, yang di hari itu akan diadakan perhitungan terhadap perbuatan manusia pada masa hidupnya dan diadakan pembalasan yang setimpal, adalah suatu kepercayaan yang sesuai dengan akal. Sebab itu adanya hidup yang lain, sesudah hidup di dunia ini, bukan saja ditetapkan oleh agama, tetapi juga ditunjukkan oleh akal.
Seseorang yang mau berpikir tentu akan merasa bahwa hidup di dunia ini belumlah sempurna, perlu disambung dengan hidup yang lain. Alangkah banyaknya orang yang teraniaya hidup di dunia ini telah pulang ke rahmatullah sebelum mendapat keadilan. Alangkah banyaknya orang yang berjasa kecil atau besar, belum mendapat penghargaan atas jasanya. Alangkah banyaknya orang yang telah berusaha, memeras keringat, membanting tulang, tetapi belum sempat lagi merasakan buah usahanya itu. Sebaliknya, alangkah banyaknya penjahat, penganiaya, pembuat onar, yang tak dapat dijangkau oleh pengadilan di dunia ini. Lebih-lebih kalau yang melakukan kejahatan atau aniaya itu orang yang berkuasa sebagai raja, pembesar dan lain-lain. Maka biarpun kejahatan dan aniaya itu telah merantai bangsa seluruhnya, tidaklah akan digugat orang, malah dia tetap dipuja dan dihormati. Maka, dimanakah akan didapat keadilan itu, seandainya nanti tidak ada mahkamah yang lebih tinggi, Mahkamah Allah di hari kemudian?
Sebab itu, para pemikir dari zaman dahulu telah ada yang sampai kepada kepercayaan tentang adanya hari akhirat itu, semata-mata dengan jalan berpikir, antara lain Pitagoras. Filsuf ini berpendapat bahwa hidup di dunia ini merupakan bekal hidup yang abadi di akhirat kelak. Sebab itu sejak dari dunia hendaklah orang bersedia untuk hidup yang abadi. Sokrates, Plato dan Aristoteles berpendapat, “Jiwa yang baik akan merasakan kenikmatan dan kelezatan di akhirat, tetapi bukan kelezatan kebendaan, karena kelezatan kebendaan itu terbatas dan mendatangkan bosan dan jemu. Hanya kelezatan rohani, yang betapa pun banyak dan lamanya, tidak menyebabkan bosan dan jemu.”
Kepercayaan Masyarakat Arab
Sebelum Islam tentang Hari Akhirat
Di antara masyarakat Arab sebelum Islam terdapat beberapa pemikir dan pujangga yang telah mempercayai adanya hari kemudian, seperti Zuhair bin Abi Sulma yang meninggal dunia setahun sebelum Nabi Muhammad saw diutus Allah sebagai rasul.
Ada pula di antara mereka yang tidak mempercayai adanya hari kemudian. Dengarlah apa yang dikatakan oleh salah seorang penyair mereka: “Hidup, sesudah itu mati, sesudah itu dibangkitkan lagi, itulah cerita dongeng, hai fulan.” Karena itu, datanglah agama Islam, membawa kepastian tentang adanya hari kemudian. Pada hari itu akan dihisab semua perbuatan yang telah dikerjakan manusia selama hidupnya, besar atau kecil. Allah berfirman:
فَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَّرَهٗۚ ٧ وَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَّرَهٗ ࣖ ٨ (الزلزلة)
(7) Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya, (8) dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. (az-Zalzalah/99: 7-8)
Tidak sedikit ayat di dalam Al-Qur’an yang menjelaskan bahwa di antara mereka memang banyak yang tidak percaya adanya hari akhirat; hidup hanya di dunia, setelah itu selesai (al-An‘ām/6: 29 ; al-Mu’minūn/23: 37). Mereka berkata, bila seorang bapak mati, maka lahir anak, bila suatu bangsa punah, maka datang bangsa lain. Mereka tidak percaya, bahwa sesudah mati manusia masih akan hidup kembali (Hūd/11: 7; al-Isrā’/17: 49) dan banyak lagi ayat senada yang menggambarkan pendirian demikian. Di dalam sejarah pemikiran tercatat bahwa sejak dahulu kala banyak anggapan yang demikian itu. | - | - | - | - | - |
5 | Al-Fatihah | اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُۗ | 1:5 | Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan. | iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in | - | Atas dasar itu semua, hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan beribadah dengan penuh ketulusan, kekhusyukan, dan tawakal, dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan dalam segala urusan dan keadaan kami, sambil kami berusaha keras. | Di dalam ayat-ayat sebelumnya disebutkan empat macam dari sifat-sifat Allah, yaitu: Pendidik seluruh alam, Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan Yang menguasai hari pembalasan. Sifat-sifat yang disebutkan itu adalah sifat-sifat kesempurnaan yang hanya Allah saja yang mempunyainya. Sebab itu pada ayat ini Allah mengajarkan kepada hamba-Nya bahwa Allah sajalah yang patut disembah, dan kepada-Nya sajalah seharusnya manusia memohon pertolongan, dan bahwa hamba-Nya haruslah mengikrarkan yang demikian itu.
Iyyāka (hanya kepada Engkau). Iyyāka adalah ḍamir untuk orang kedua dalam kedudukan manṣūb karena menjadi maf‘ūl bih (obyek). Dalam tata bahasa Arab maf‘ūl bih harus sesudah fi‘il dan fā‘il. Jika mendahulukan yang seharusnya diucapkan kemudian dalam Balagah menunjukkan qaṣr, yaitu pembatasan yang bisa diartikan “hanya“. Jadi arti ayat ini “Hanya kepada Engkau saja kami menyembah, dan hanya kepada Engkau saja kami mohon pertolongan“.
Iyyāka dalam ayat ini diulang dua kali, gunanya untuk menegaskan bahwa ibadah dan isti‘ānah (meminta pertolongan) itu masing-masing khusus dihadapkan kepada Allah serta untuk dapat mencapai kelezatan munajat (berbicara) dengan Allah. Karena bagi seorang hamba Allah yang menyembah dengan segenap jiwa dan raganya tak ada yang lebih nikmat dan lezat perasaannya daripada bermunajat dengan Allah.
Baik juga diketahui bahwa dengan memakai iyyāka itu berarti menghadapkan pembicaraan kepada Allah, dengan maksud mengingat Allah swt, seakan-akan kita berada di hadapan-Nya, dan kepada-Nya diarahkan pembicaraan dengan khusyuk dan tawaduk. Seakan-akan kita berkata:
“Ya Allah, Żat yang wājibul wujūd, Yang bersifat dengan segala sifat kesempurnaan, Yang menjaga dan memelihara seluruh alam, Yang melimpahkan rahmat dan karunia-Nya dengan berlipat ganda, Yang berkuasa di hari pembalasan, Engkau sajalah yang kami sembah, dan kepada Engkau sajalah kami minta pertolongan, karena hanya Engkau yang berhak disembah, dan hanya Engkau yang dapat menolong kami”.
Dengan cara seperti itu orang akan lebih khusyuk dalam menyembah Allah dan lebih tergambar kepadanya kebesaran yang disembahnya itu. Inilah yang dimaksud oleh Rasulullah dengan sabdanya:
أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ. (رواه البخاري ومسلم عن عمر بن الخطاب)
“Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya (Riwayat al-Bukhārī dan Muslim dari ‘Umar bin al-Khaṭṭāb).
Karena surah al-Fātiḥah mengandung ayat munajat (berbicara) dengan Allah menurut cara yang telah diterangkan maka hal itu merupakan rahasia diwajibkan membacanya pada tiap-tiap rakaat dalam salat, karena jiwanya ialah munajat, dengan menghadapkan diri dan memusatkan ingatan kepada Allah.
Na‘budu pada ayat ini didahulukan menyebutkannya daripada nasta‘īnu, karena menyembah Allah adalah suatu kewajiban manusia terhadap Tuhan-nya. Tetapi pertolongan dari Allah kepada hamba-Nya adalah hak hamba itu. Maka Allah mengajar hamba-Nya agar menunaikan kewajibannya lebih dahulu, sebelum ia menuntut haknya.
Melihat kata-kata na‘budu dan nasta‘īnu (kami menyembah, kami minta tolong), bukan a‘budu dan asta‘īnu (saya menyembah dan saya minta tolong) adalah untuk memperlihatkan kelemahan manusia, tidak selayaknya manusia mengemukakan dirinya seorang saja dalam menyembah dan memohon pertolongan kepada Allah. Seakan-akan penunaian kewajiban beribadah dan permohonan pertolongan kepada Allah itu belum lagi sempurna, kecuali kalau dikerjakan bersama-sama.
Kedudukan Tauhid di dalam Ibadah dan Sebaliknya
Ibadah secara istilah ialah semua perkataan, perbuatan dan pikiran yang bertujuan untuk mencari rida Allah. Arti “ibadah” sebagai disebutkan di atas ialah tunduk dan berserah diri kepada Allah, yang disebabkan oleh kesadaran bahwa Allah yang menciptakan alam ini, Yang menumbuhkan, Yang mengembangkan, Yang menjaga dan memelihara serta Yang membawanya dari suatu keadaan kepada keadaan yang lain, hingga tercapai kesempurnaannya.
Tegasnya, ibadah itu timbulnya dari perasaan tauhid. Oleh karenanya, orang yang suka memikirkan keadaan alam ini, yang memperhatikan perjalanan bintang-bintang, kehidupan tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia, bahkan yang mau memperhatikan dirinya sendiri, yakinlah dia bahwa di balik alam yang zahir ada Zat yang gaib yang mengendalikan alam ini, yang bersifat dengan segala sifat kesempurnaan, yakni Dialah Yang Mahakuasa, Maha Pengasih, Maha Mengetahui dan sebagainya. Maka tumbuhlah dalam sanubarinya perasaan bersyukur dan berutang budi kepada Zat Yang Mahakuasa, Maha Pengasih dan Maha Mengetahui itu.
Perasaan inilah yang menggerakkan bibirnya untuk menuturkan puji-pujian, dan yang mendorong jiwa dan raganya untuk menyembah dan merendahkan diri kepada Allah Yang Mahakuasa itu sebagai pernyataan bersyukur dan membalas budi kepada-Nya. Tetapi ada juga manusia yang tidak mau berpikir, dan selanjutnya tidak sadar akan kebesaran dan kekuasaan Allah, sering melupakan-Nya. Sebab itulah, setiap agama mensyariatkan bermacam-macam ibadah, gunanya untuk mengingatkan manusia kepada kebesaran dan kekuasaan Allah. Dengan keterangan ini terlihat bahwa tauhid dan ibadah itu saling mempengaruhi, dengan arti bahwa tauhid menumbuhkan ibadah, dan ibadah memupuk tauhid.
Pengaruh Ibadah terhadap Jiwa Manusia
Tiap-tiap ibadah yang dikerjakan karena didorong oleh perasaan yang disebutkan itu, niscaya berpengaruh kepada tabiat dan budi pekerti orang yang melakukannya. Umpamanya, orang yang melaksanakan salat karena sadar akan kebesaran dan kekuasaan Allah, dan didorong oleh perasaan bersyukur dan berutang budi kepada-Nya, akan terjauhlah dia dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik. Dengan demikian salatnya itu akan mencegahnya dari mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak baik itu, sesuai dengan firman Allah swt:
اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ
“Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar.“ (al-‘Ankabūt/29: 45)
Begitu juga ibadah puasa. Ibadah ini akan menimbulkan perasaan cinta dan kasih sayang terhadap orang-orang miskin. Demikian pula seterusnya dengan ibadah-ibadah yang lain. Ibadah yang sebenarnya adalah ibadah yang ditimbulkan oleh keyakinan kepada kebesaran dan kekuasaan Allah, serta didorong oleh perasaan bersyukur kepada Allah. Ibadah yang hanya karena ikut-ikutan, atau karena memelihara tradisi yang sudah turun-temurun, bukanlah ibadah yang sebenarnya. Kendatipun seakan-akan berupa ibadah, tetapi tidak mempunyai jiwa ibadah. Tidak ubahnya seperti patung, bagaimanapun miripnya dengan manusia, tidaklah dinamai manusia. Ibadah yang semacam itu tidak ada pengaruhnya kepada tabiat dan akhlak.
Berusaha, Berdoa dan Bertawakal
Isti‘ānah (memohon pertolongan) seperti disebutkan di atas khusus dihadapkan kepada Allah, dengan arti bahwa tidak ada yang berhak dimohonkan pertolongan kecuali Allah. Pada ayat yang lain Allah menyuruh manusia untuk tolong-menolong dalam mengerjakan kebaikan.
Allah berfirman:
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰى
“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa”. (al-Mā’idah/5: 2)
Adakah Pertentangan antara Dua Ayat itu?
Tercapainya suatu maksud, atau terlaksananya suatu pekerjaan dengan baik, tergantung kepada terpenuhinya syarat-syarat yang dibutuhkan dalam melaksanakan pekerjaan itu, dan tidak adanya rintangan-rintangan yang menghalanginya. Manusia telah diberi potensi oleh Allah, baik berupa pikiran maupun kekuatan tubuh, agar bisa mencukupkan syarat-syarat atau menolak rintangan-rintangan dalam menuju suatu maksud, atau mengerjakan suatu pekerjaan. Tetapi, ada di antara syarat-syarat itu yang manusia tidak kuasa mencukupkannya. Di samping itu, ada juga rintangan yang tidak mampu ditolaknya. Begitu pula ada di antara syarat-syarat itu atau di antara halangan-halangan itu yang tidak dapat diketahui.
Kendatipun menurut pikiran semua syarat yang diperlukan telah cukup, dan semua rintangan yang menghalangi telah berhasil diatasi, tetapi kadang-kadang hasil pekerjaan tidak seperti yang diharapkan. Ada hal-hal yang berada di luar batas kekuasaan dan kemampuan manusia. Itulah yang dimintakan pertolongan khusus kepada Allah. Sebaiknya, sesuatu yang masih dalam batas kekuasaan dan kemampuan, manusia disuruh tolong menolong, agar timbul pada masing-masing individu sifat saling mencintai, menghargai, dan gotong-royong.
Dengan perkataan lain, manusia disuruh Allah berusaha dengan sekuat tenaga, dan disuruh saling menolong, dan membantu. Di samping menjalankan ikhtiar dan usaha, dia harus pula berdoa, memohon taufik, hidayah dan ma‘ūnah. Ini hendaknya dimohonkan khusus kepada Allah, karena hanya Dia yang kuasa memberinya. Sesudah itu semua, barulah dia bertawakal kepada-Nya.
Ibadah itu sendiri pun suatu pekerjaan yang berat, sebab itu haruslah dimintakan ma‘ūnah dari Allah agar semua ibadah terlaksana sesuai dengan yang dimaksud oleh agama. Oleh karena itu, seseorang hendaknya menuturkan bahwa hanya kepada Allah sajalah kita beribadah, diikuti lagi dengan pernyataan bahwa kepada-Nya saja minta pertolongan, terutama pertolongan agar amal ibadah terlaksana sebagaimana mestinya. Ayat di atas, sebagaimana telah disebutkan, mengandung tauhid, karena beribadah semata-mata kepada Allah dan meminta ma‘ūnah khusus kepada-Nya, adalah intisari agama, dan kesempurnaan tauhid.
| - | - | - | - | - |
6 | Al-Fatihah | اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَۙ | 1:6 | Bimbinglah kami ke jalan yang lurus,3) | ihdinas-siratal-mustaqim | 3) Jalan yang lurus adalah jalan hidup yang benar dan sesuai dengan ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an dan hadis. | Kami memohon, tunjukilah kami jalan yang lurus, dan teguhkanlah kami di jalan itu, yaitu jalan hidup yang benar, yang dapat membuat kami bahagia di dunia dan di akhirat, serta dapat mengantarkan kami menuju keridaan-Mu. | Ihdi: pimpinlah, tunjukilah, berilah hidayah. Arti “hidayah” ialah menunjukkan suatu jalan atau cara menyampaikan orang kepada orang yang ditujunya, dengan baik.
Macam-macam Hidayah (Petunjuk)
Allah telah memberi manusia bermacam-macam hidayah, seperti yang juga dibahas dalam Tafsīr Al-Fātiḥah oleh Muhammad Abduh.
1. Hidayah Naluri (Garīzah)
Manusia begitu juga binatang-binatang, dilengkapi oleh Allah dengan bermacam-macam sifat, yang timbulnya bukan dari pelajaran, bukan pula dari pengalaman, melainkan telah dibawanya dari kandungan ibunya. Sifat-sifat ini namanya “naluri”, dalam bahasa Arab disebut garīzah. Umpamanya, naluri “ingin memelihara diri” (mempertahankan hidup). Seorang bayi bila merasa lapar dia menangis. Sesudah terasa di bibirnya puting susu ibunya, dihisapnya sampai hilang laparnya. Perbuatan ini dikerjakannya tanpa seorang pun yang mengajarkan kepadanya, bukan pula timbul dari pengalamannya, hanya semata-mata ilham dan petunjuk dari Allah kepadanya, untuk mempertahankan hidupnya.
Contoh lain adalah lebah membuat sarangnya, laba-laba membuat jaringnya, semut membuat lubangnya dan menimbun makanan dalam lubang itu. Semua itu dikerjakan oleh binatang-binatang itu untuk mempertahankan hidupnya dan memelihara dirinya, dengan dorongan nalurinya semata-mata. Banyak lagi naluri yang lain, umpamanya rasa “ingin tahu”, “ingin mempunyai”, “ingin berlomba-lomba”, “ingin bermain”, “ingin meniru”, “takut”, dan lain-lain.
Sifat-sifat Naluri
Naluri (garīzah), sebagaimana disebutkan, terdapat pada manusia dan binatang. Perbedaannya ialah naluri manusia bisa menerima pendidikan dan perbaikan, tetapi naluri binatang tidak. Sebab itulah manusia bisa maju, sedangkan binatang tidak, ia tetap seperti sediakala.
Naluri-naluri itu adalah dasar bagi kebaikan, dan juga dasar bagi kejahatan. Umpamanya, naluri “ingin memelihara diri”, orang berusaha, berniaga, bertani, artinya mencari nafkah secara halal. Sebaliknya karena naluri “ingin memelihara diri” itu pula orang mencuri, menipu, merampok dan lain-lain. Karena naluri “ingin tahu” orang belajar, sehingga memiliki pengetahuan yang banyak dan pendidikan yang tinggi. Sebaliknya karena naluri “ingin tahu” itu pula orang suka mencari-cari ‘aib dan rahasia’ sesamanya, yang mengakibatkan permusuhan dan persengketaan. Demikianlah seterusnya dengan naluri-naluri yang lain.
Naluri-naluri itu tidak dapat dihilangkan dan tidak ada faedahnya membunuhnya. Ada pemikir dan pendidik yang hendak memadamkan naluri, karena melihat segi yang tidak baik (jahat) itu. Sebab itu mereka membuat bermacam peraturan untuk mengikat kemerdekaan anak-anak agar naluri itu jangan tumbuh, atau mana yang telah tumbuh menjadi mati. Tetapi perbuatan mereka itu besar bahayanya terhadap pertumbuhan akal, tubuh dan akhlak anak-anak. Bagaimanapun orang berusaha hendak membunuh naluri itu, namun ia tidak akan mati.
Boleh jadi karena kerasnya tekanan dan kuatnya rintangan terhadap suatu naluri, maka kelihatan ia telah padam, tetapi manakala ada yang membangkitkannya, ia timbul kembali. Oleh karena itu, sekalipun naluri itu dasar bagi kebaikan, sebagaimana ia juga dasar bagi kejahatan, kewajiban manusia bukanlah menghilangkannya, tetapi mendidik dan melatihnya, agar dapat dimanfaatkan dan disalurkan ke arah yang baik.
Allah telah menganugerahkan kepada manusia bermacam-macam naluri untuk jadi hidayah (petunjuk) yang akan dipakainya secara bijaksana.
2. Hidayah Pancaindra
Karena naluri itu sifatnya belum pasti sebagaimana disebutkan di atas, maka ia belum cukup untuk jadi hidayah bagi kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat. Sebab itu, manusia dilengkapi lagi oleh Allah swt dengan pancaindra. Pancaindra itu sangat besar perannya terhadap pertumbuhan akal dan pikiran manusia. Sehubungan dengan itu ahli-ahli pendidikan berkata:
اَلْحَوَاسُّ أَبْوَابُ الْمَعْرِفَةِ
(Pancaindra adalah pintu-pintu pengetahuan).
Maksudnya ialah: dengan perantaraan pancaindra itulah manusia dapat berhubungan dengan alam sekitar, dengan arti bahwa sampainya sesuatu dari alam sekitar ini ke dalam otak manusia adalah melalui pintu-pintu pancaindra. Tetapi naluri ditambah dengan pancaindra, juga belum cukup untuk jadi pokok-pokok kebahagiaan manusia. Banyak lagi benda-benda dalam alam ini yang tidak dapat dilihat oleh mata. Banyak macam suara yang tidak dapat didengar oleh telinga. Malah selain dari alam maḥsūsat (yang dapat ditangkap oleh pancaindra), ada lagi alam ma‘qūlat (yang hanya dapat ditangkap oleh akal).
Indra penglihatan (mata) hanya dapat menangkap alam maḥsūsat, tangkapannya tentang yang mahḥsūsat itu pun tidak selamanya betul, kadang-kadang salah. Inilah yang dinamakan dalam ilmu jiwa “ilusi optik” (tipuan pandangan), dalam bahasa Arab disebut khidā‘ an-naẓar. Sebab itu manusia masih membutuhkan hidayah yang lain. Maka Allah menganugerahkan hidayah yang ketiga, yaitu “hidayah akal”.
3. Hidayah Akal (pikiran)
a. Akal dan kadar kesanggupannya
Dengan adanya akal manusia dapat menyalurkan naluri ke arah yang baik, agar naluri itu menjadi sumber bagi kebaikan, dan manusia dapat membetulkan kesalahan-kesalahan pancaindranya, membedakan yang buruk dengan yang baik. Akal bahkan sanggup menyusun mukadimah untuk menyampaikannya kepada natijah, mempertalikan akibat dengan sebab, memakai yang maḥsūsat sebagai tangga kepada yang ma‘qūlat, mempergunakan yang dapat dilihat, diraba dan dirasakan untuk sampai kepada yang abstrak, maknawi, dan gaib, mengambil dalil dari adanya makhluk untuk menetapkan adanya khalik, dan begitulah seterusnya.
Tetapi akal manusia juga belum memadai untuk membawanya kepada kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat di samping berbagai macam naluri dan pancaindra itu. Apalagi pendapat akal itu bermacam-macam, yang baik menurut pikiran si A belum tentu baik menurut pandangan si B, malah banyak manusia yang mempergunakan akalnya, tetapi akalnya dikalahkan oleh hawa nafsu dan sentimennya, hingga yang buruk itu menjadi baik dalam pandangannya, dan yang baik itu menjadi buruk.
Dengan demikian nyatalah bahwa naluri ditambah dengan pancaindra, dan ditambah pula dengan akal belum cukup untuk menjadi hidayah yang akan menyampaikan manusia kepada kebahagiaan hidup jasmani dan rohani, di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, manusia membutuhkan hidayah lain, di samping pancaindra dan akalnya, yaitu hidayah agama yang dibawa oleh para rasul ‘alaihimuṣ-ṣalātu was-salām.
b. Benih agama dan akidah tauhid pada jiwa manusia
Jika menilik kepada agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan yang diciptakan oleh manusia (al-adyān al-waḍ‘iyyah) terlihat bahwa pada jiwa manusia telah ada bibit-bibit kecenderungan beragama. Hal itu karena manusia mempunyai sifat merasa berutang budi, suka berterima kasih dan membalas budi kepada orang yang berbuat baik kepadanya. Maka, ketika ia memperhatikan dirinya dan alam di sekililingnya, umpamanya roti yang dimakannya, tumbuh-tumbuhan yang ditanamnya, binatang ternak yang digembalakannya, matahari yang memancarkan sinarnya, hujan yang turun dari langit yang menumbuhkan tanam-tanaman, dia akan merasa berutang budi kepada “suatu Zat” yang gaib yang telah berbuat baik dan melimpahkan nikmat yang besar itu kepadanya.
Manusia memahami dengan akalnya bahwa Zat yang gaib itulah yang menciptakannya, yang menganugerahkan kepadanya dan kepada jenis manusia seluruhnya, segala sesuatu yang dibutuhkannya yang ada di alam ini, untuk memelihara diri dan mempertahankan hidupnya. Karena merasa berutang budi kepada suatu Zat Yang Gaib itu, maka dia berpikir bagaimana cara berterima kasih dan membalas budi itu, atau dengan perkataan lain bagaimana cara “menyembah Zat Yang Gaib itu”.
Perihal bagaimana cara menyembah Zat Yang Gaib, adalah suatu masalah yang sukar, yang tidak dapat dicapai oleh akal manusia. Sebab itu, di dalam sejarah terlihat tidak pernah ada keseragaman dalam hal ini. Bahkan akal pikiran manusia akan membawanya kepada kepercayaan mengagungkan alam di samping mengagungkan Zat Yang Gaib itu.
Karena pikirannya masih bersahaja dan belum tergambarkan di otaknya bagaimana menyembah “Zat Yang Gaib”, maka dipilihlah di antara alam ini sesuatu yang besar, yang indah, yang banyak manfaatnya, atau sesuatu yang ditakutinya untuk jadi lambang bagi Zat Yang Gaib itu. Ketika dia mengagumi matahari, bulan dan bintang-bintang, sungai-sungai, binatang dan lain-lain, maka disembahnya benda-benda itu, sebagai lambang menyembah Tuhan atau Zat Yang Gaib itu, dan diciptakannya cara-cara beribadah (menyembah) benda-benda itu.
Dengan cara itu timbul suatu macam kepercayaan, yang dinamakan dengan “kepercayaan menyembah kekuatan alam”, seperti yang terdapat di Mesir, Kaldea, Babilonia, Asiria dan di tempat-tempat lain di zaman purbakala. Dengan keterangan ini: tampak bahwa manusia menurut fitrahnya cenderung beragama, acap memikirkan dari mana datangnya alam ini, dan ke manakah kembalinya.
Bila manusia mau memikirkan: “Dari mana datangnya alam ini”, akan sampai pada keyakinan tentang adanya Tuhan, bahkan akan sampai kepada keyakinan tentang keesaan Tuhan (tauhid), karena akidah (keyakinan) tentang keesaan Tuhan ini lebih mudah, dan lebih cepat dipahami oleh akal manusia. Karena itu dapat kita tegaskan bahwa manusia itu menurut nalurinya adalah beragama tauhid.
Sejarah telah menerangkan bahwa bangsa Kaldea pada mulanya adalah beragama tauhid, kemudian mereka menyembah matahari, planet-planet dan bintang-bintang yang mereka simbolkan dengan patung-patung. Sesudah raja Namruż meninggal, mereka pun mendewakan dan menyembah Namruż itu. Bangsa Asiria pun pada mulanya beragama tauhid, kemudian mereka lupa kepada akidah tauhid itu dan mereka sekutukan Tuhan dengan binatang-binatang, dan inilah yang dipusakai oleh orang-orang Babilonia.
Adapun bangsa Mesir, bila diperhatikan nyanyian-nyanyian yang mereka nyanyikan dalam upacara-upacara peribadatan, jelas bahwa tidak semua orang Mesir purbakala itu orang-orang musyrik dan waṡani (penyembah berhala), melainkan di antara mereka ada juga muwaḥḥidīn, penganut akidah tauhid. Di dalam nyanyian-nyanyian itu terdapat ungkapan sebagai berikut:
“Dialah Tuhan Yang Maha Esa, yang tiada sekutu bagi-Nya”
“Dia mencintai seluruh makhluk, sedang Dia sendiri tak ada yang menciptakan-Nya”
“Dialah Tuhan Yang Mahaagung, Pemilik langit dan bumi, Pencipta seluruh makhluk”
Dapat ditegaskan bahwa akidah tauhid ini tidak pernah lenyap sama sekali, dan tetap ada. Tuhan Yang Maha Esa adalah pencipta seluruh yang ada di alam ini. Tuhan-tuhan atau dewa-dewa yang lain itu mereka anggap hanyalah sebagai pembantu dan pelayan atau simbol bagi Yang Maha Esa.
c. Pendapat Orang-orang Arab sebelum Islam tentang Khalik (Pencipta)
Orang-orang Arab sebelum datang agama Islam, kalau ditanyakan kepada mereka, “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi ini?” Mereka menjawab, “Allah.” Kalau ditanyakan, “Adakah al-Lata dan al-Uzza itu menjadikan sesuatu yang ada pada alam ini?” Mereka menjawab, “Tidak!” Mereka sembah dewa-dewa itu hanya untuk mengharapkan perantaraan dan syafaat dari mereka terhadap Tuhan yang sebenarnya. Allah berfirman tentang perkataan musyrikin Arab itu:
مَا نَعْبُدُهُمْ اِلَّا لِيُقَرِّبُوْنَآ اِلَى اللّٰهِ زُلْفٰى
“Kami tidak menyembah mereka, melainkan (berharap) agar mereka mendekatkan kami kepada Allah, dengan sedekat-dekatnya.” (az-Zumar/39: 3)
d. Kepercayaan tentang akhirat bisa dicapai oleh akal
Manakala manusia memikirkan “kemanakah kembalinya alam ini?” akan sampailah dia pada keyakinan bahwa di balik hidup di dunia yang fana ini akan ada lagi hidup di hari kemudian yang kekal dan abadi. Tetapi dapatkah manusia dengan akal dan pikirannya semata-mata mengetahui apakah yang perlu dikerjakan atau dijauhinya sebagai persiapan untuk kebahagiaan di hari kemudian (hari akhirat) itu? Jawabnya, “Tentu saja tidak, sejarah pun telah membuktikan hal ini.”
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa manusia telah diberi akal oleh Allah untuk jadi hidayah baginya, di samping naluri dan pancaindra. Tetapi hidayah akal itu belumlah mencukupi untuk kebahagiaan hidupnya di dunia dan akhirat.
Begitu juga manusia mempunyai tabiat suka beragama, dengan akalnya dia kadang-kadang telah sampai kepada tauhid. Tetapi tauhid yang telah dicapainya dengan akalnya itu sering pula menjadi kabur dan tidak murni lagi.
Dengan mempergunakan akalnya, manusia juga dapat sampai kepada kesimpulan tentang adanya akhirat, tetapi hidayah akal itu belum mencukupi untuk kebahagiaan hidupnya di dunia dan akhirat. Maka untuk menyampai-kan manusia kepada akidah tauhid yang murni, yang tidak dicampuri sedikit pun oleh kepercayaan-kepercayaan menyembah dan membesarkan selain Allah, untuk membentangkan jalan yang benar yang akan ditempuhnya dalam perjalanan mencari kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, dan untuk jadi pedoman dalam hidupnya di dunia ini, dia membutuhkan hidayah yang lain di samping hidayah-hidayah yang telah disebutkan itu. Maka Allah mendatangkan hidayah yang keempat yaitu “agama” yang dibawa oleh para rasul ‘alaihimuṣ-ṣalātu was-salām.
4. Hidayah Agama
a. Pokok-pokok agama ketuhanan
Allah mengutus rasul-rasul untuk membawa agama yang akan menunjukkan kepada manusia jalan yang harus mereka tempuh untuk kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat. Mula-mula yang ditanamkan oleh rasul-rasul itu adalah kepercayaan tentang adanya Tuhan Yang Maha Esa dengan segala sifat-sifat kesempurnaan-Nya, guna membersihkan itikad manusia dari syirik (mempersekutukan Allah).
Rasul membawa manusia kepada kepercayaan tauhid dengan melalui akal dan logika, yaitu dengan mempergunakan dalil-dalil yang tepat dan logis. Dialog antara Nabi Ibrahim dengan Namruż, Nabi Musa dengan Fir‘aun, dan seruan-seruan Al-Qur’an kepada kaum musyrikin Quraisy semuanya mengajak agar mereka mempergunakan akal.
Di samping kepercayaan kepada adanya Tuhan Yang Maha Esa, rasul-rasul juga menyeru untuk percaya pada akhirat, dan para malaikat.
Percaya kepada adanya Tuhan Yang Maha Esa dengan segala sifat-sifat kesempurnaan-Nya, serta adanya malaikat dan hari kemudian dinamakan al-īmān bi al-gaib (percaya kepada yang gaib). Itulah yang menjadi pokok bagi semua agama samawi, dengan arti bahwa semua agama yang datangnya dari Tuhan adalah mempercayai keesaan Tuhan, para malaikat dan hari akhirat.
Di samping Akidah (kepercayaan) yang disebutkan itu, para rasul juga membawa hukum-hukum, peraturan-peraturan, akhlak dan pelajaran-pelajaran. Hukum-hukum dan peraturan-peraturan ini tidak seluruhnya sama, artinya apa yang diturunkan kepada Nabi Ibrahim tidak sama dengan yang diturunkan kepada Nabi Musa, dan apa yang dibawa oleh Nabi Isa, tidak serupa dengan yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Hal ini dikarenakan hukum-hukum dan peraturan-peraturan itu haruslah sesuai dengan keadaan tempat dan masa. Maka syariat yang dibawa oleh nabi-nabi itu adalah sesuai dengan masanya masing-masing. Jadi yang berlainan itu ialah hukum-hukum furu‘ (cabang-cabang), sedangkan pokok-pokok hukum agama seperti akidah adalah sama. Karena Muhammad saw adalah Nabi penutup maka syariat yang dibawanya, diberi oleh Allah sifat-sifat tertentu agar sesuai dengan segala masa dan keadaan.
b. Hidayah yang dimohonkan kepada Tuhan
Allah telah menganugerahkan agama Islam sebagai hidayah dan senjata hidup yang penghabisan, atau jalan kepada kebahagiaan yang terakhir, tetapi adakah semua orang, pandai mempergunakan senjata itu, dan adakah semua hamba Allah sukses dalam menempuh jalan yang telah dibentangkan oleh Tuhan?
Banyak manusia salah menerapkan agama, tidak beribadah (menyembah Allah) sesuai dengan yang diridai oleh yang disembah, tidak melaksanakan syariat sesuai dengan yang dimaksud oleh pembuat syariat itu. Karena itu Allah mengajarkan kepada manusia cara memohon kepada-Nya agar diberi-Nya ma‘ūnah, dibimbing dan dijaga selama-lamanya, serta diberi-Nya taufik agar dapat memanfaatkan semua macam hidayah yang telah dianugerahkan itu menurut semestinya. Naluri-naluri agar dapat disalurkan ke arah yang baik, pancaindra agar betul, akal agar sesuai dengan yang benar, tuntunan-tuntunan agama agar dapat dilaksanakan menurut yang dimaksudkan oleh yang menurunkan agama itu, tanpa ada cacat, janggal dan salah.
Tegasnya, manusia yang telah diberi Allah bermacam-macam hidayah yang disebutkan di atas (naluri, pancaindra, akal dan agama) belumlah cukup, tetapi dia masih membutuhkan ma‘ūnah dan bimbingan dari Allah (yaitu taufik-Nya)[1] Maka ma‘ūnah dan bimbingan itulah yang kita mohonkan, dan kepada Allah sajalah kita hadapkan permohonan itu. Dengan perkataan lain, Allah telah memberi manusia hidayah-hidayah tersebut, seakan-akan Dia telah membentangkan jalan raya yang akan menyampaikan manusia kepada kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi. Kemudian yang dimohonkan kepada-Nya lagi, ialah “agar membimbing kita dalam melalui jalan yang telah terbentang itu.”
Dengan ringkas hidayah dalam ayat ihdinaṣ-ṣirāṭal-mustaqīm ini berarti “taufik” (bimbingan), dan taufik itulah yang dimohonkan di sini kepada Allah. Taufik ini dimohonkan kepada Allah sesudah kita berusaha dengan sepenuh tenaga, pikiran dan ikhtiar, karena berusaha dengan sepenuh tenaga adalah kewajiban kita, tetapi keberhasilan suatu usaha adalah termasuk kekuasaan Allah. Dengan ini terlihat pertalian ayat ini dengan ayat yang sebelumnya. Pada ayat yang sebelumnya Allah mengajari hamba-Nya agar menyembah dan memohon pertolongan kepada-Nya, sedangkan pada ayat ini Allah menerangkan apa yang akan dimohonkan, dan bagaimana memohonkannya. Maka tidak ada pertentangan antara kedua firman Allah tersebut dan firman Allah yang ditujukan kepada Nabi:
وَاِنَّكَ لَتَهْدِيْٓ اِلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍۙ
… Dan sungguh, engkau benar-benar membimbing (manusia) kepada jalan yang lurus. (asy-Syūrā/42: 52).
اِنَّكَ لَا تَهْدِيْ مَنْ اَحْبَبْتَ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ يَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُ ۚوَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ ٥٦ (القصص)
Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. (al-Qaṣaṣ/28: 56).
Sebab yang dimaksud dengan hidayah pada ayat pertama ialah menunjukkan jalan yang harus ditempuh, dan ini memang tugas nabi. Yang dimaksud dengan hidayah pada ayat kedua ialah membimbing manusia dalam menempuh jalan itu dan memberikan taufik agar sukses dan berbahagia dalam perjalanannya, dan ini tidaklah masuk dalam kekuasaan nabi, tetapi hak Allah semata-mata.
الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ
Jalan yang lurus (yang menyampaikan kepada yang dituju).
Apakah yang dimaksud dengan jalan lurus itu? Di atas telah diterangkan bahwa rasul-rasul telah membawa aqā’id (kepercayaan-kepercayaan), hukum-hukum, peraturan-peraturan, akhlak, dan pelajaran-pelajaran. Pendeknya, para rasul telah membawa segala sesuatu yang perlu untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat.
Maka aqā’id, hukum-hukum, peraturan-peraturan, akhlak dan pelajaran-pelajaran itulah yang dimaksud dengan jalan lurus itu, karena dialah yang menyampaikan manusia kepada kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat sebagaimana disebutkan. Jadi dengan menyebut ayat ini seakan-akan kita memohon kepada Allah, “Bimbing dan berilah kami taufik, ya Allah dalam melaksanakan ajaran-ajaran agama kami. Betulkanlah kepercayaan kami. Bimbing dan berilah kami taufik dalam melaksanakan kepercayaan kami. Bimbing dan berilah kami taufik dalam melaksanakan hukum, peraturan-peraturan, serta pelajaran-pelajaran agama kami. Jadikanlah kami mempunyai akhlak yang mulia, agar berbahagia hidup kami di dunia dan akhirat.” | - | - | - | - | - |
7 | Al-Fatihah | صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ەۙ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ ࣖ | 1:7 | (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) orang-orang yang sesat. | siratallazina an'amta 'alaihim gairil-magdubi 'alaihim wa lad-dallin | - | Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya, berupa keimanan, hidayah, dan rida-Mu. Mereka itu, seperti dijelaskan dalam Surah an-Nisa' /4: 69, adalah: 1) para nabi yang telah dipilih Allah untuk memperoleh bimbingan sekaligus ditugasi untuk menuntun manusia menuju kebenaran Ilahi; 2) siddiqin, yaitu orang-orang yang selalu benar dan jujur, tidak ternodai oleh kebatilan, tidak pula mengambil sikap yang bertentangan dengan kebenaran; 3) syuhada', yaitu mereka yang bersaksi atas kebenaran dan kebajikan, melalui ucapan dan tindakan mereka, walau harus mengorbankan nyawa sekalipun, atau mereka yang disaksikan kebenaran dan kebajikannya oleh Allah, para malaikat, dan lingkungan mereka; dan 4) salihin, yaitu orang-orang saleh yang tangguh dalam kebajikan dan selalu berusaha mewujudkannya. Jalan yang kami mohon itu bukan jalan mereka yang dimurkai, yang mengetahui kebenaran tetapi tidak mengikuti dan mengamalkannya, bahkan menentangnya, seperti sebagian kelompok Yahudi dan yang mengikuti jalan mereka, dan bukan pula jalan mereka yang sesat dari jalan kebenaran dan kebaikan, seperti sebagian kelompok Nasrani dan yang sejalan dengan mereka, sebab mereka enggan beriman dan mengikuti petunjuk-Mu. | Setelah Allah swt mengajarkan kepada hamba-Nya untuk memohon agar selalu dibimbing-Nya menuju jalan yang lurus dan benar, pada ayat ini Allah menerangkan apa jalan yang lurus itu. Sebelum Al-Qur’an diturunkan, Allah telah menurunkan kitab-kitab suci-Nya yang lain, dan sebelum Nabi Muhammad diutus, Allah telah mengutus rasul-rasul, karena sebelum umat yang sekarang ini telah banyak umat terdahulu.
Di antara umat-umat yang terdahulu itu terdapat nabi-nabi, ṣiddīqīn yang membenarkan rasul-rasul dengan jujur dan patuh, syuhadā’ yang telah mengorbankan jiwa dan harta untuk kemuliaan agama Allah, dan orang-orang saleh yang telah membuat kebajikan dan menjauhi larangan Allah.
Mereka itulah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, dan kita diajari agar memohon kepada-Nya, agar diberi-Nya taufik dan bimbingan sebagaimana Dia telah memberi taufik dan membimbing mereka. Artinya sebagaimana mereka telah berbahagia dalam aqā’id, dalam menjalankan hukum-hukum dan peraturan-peraturan agama, serta telah mempunyai akhlak dan budi pekerti yang mulia, maka demikian pula kita hendaknya. Dengan perkataan lain, Allah menyuruh kita agar mengambil contoh dan teladan kepada mereka yang terdahulu.
Timbul pertanyaan: mengapa Allah menyuruh kita mengikuti jalan mereka yang terdahulu itu, padahal dalam agama kita ada pelajaran-pelajaran, hukum dan petunjuk-petunjuk yang tak ada pada mereka. Jawabnya: sebetulnya agama Allah itu adalah satu. Kendatipun ada perbedaannya, tetapi perbedaan itu pada bagian-bagiannya, sedang pokok-pokoknya serupa, sebagaimana telah disebutkan.
Sebagaimana halnya dalam umat-umat yang terdahulu itu terdapat orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, juga terdapat di antara mereka orang yang dimurkai Allah dan orang yang sesat. Orang yang dimurkai Allah itu mereka yang tak mau menerima seruan Allah yang disampaikan oleh rasul-rasul, karena berlainan dengan kebiasaan mereka, atau karena tidak sesuai dengan hawa nafsu mereka, kendatipun telah jelas bahwa yang dibawa oleh rasul-rasul itu adalah benar. Termasuk juga ke dalam golongan ini, mereka yang mulanya telah menerima apa yang disampaikan oleh rasul-rasul, tetapi kemudian karena suatu sebab mereka membelok, dan membelakangi pelajaran yang dibawa oleh rasul-rasul itu.
Di dalam sejarah banyak ditemukan orang yang dimurkai Allah, sejak di dunia mereka telah diazab Allah, sebagai balasan yang setimpal bagi keingkaran dan sifat angkara murka mereka. Umpamanya kaum ‘Ād dan Ṡamud yang telah dibinasakan oleh Allah. Sampai sekarang masih ada bekas-bekas peninggalan mereka di Jazirah (semenanjung) Arab. Begitu juga Fir‘aun dan kaumnya yang telah dibinasakan Allah di Laut Merah. Mumi Fir‘aun sampai sekarang masih tersimpan di museum di Mesir.
Orang-orang yang sesat ialah mereka yang tidak betul kepercayaannya, atau tidak betul pekerjaan dan amal ibadahnya serta rusak budi pekertinya. Bila akidah seseorang tidak betul, atau pekerjaan dan amal ibadahnya salah, dan akhlaknya telah rusak, akan celakalah dia, dan kalau suatu bangsa berada pada situasi seperti itu akan jatuhlah bangsa itu.
Maka dengan ayat ini Allah mengajari hamba-Nya untuk memohon kepada-Nya agar terjauh dari kemurkaan-Nya, dan terhindar dari kesesatan. Di dalamnya juga tersimpul perintah Allah agar manusia mengambil pelajaran dari sejarah bangsa-bangsa yang terdahulu. Alangkah banyaknya dalam sejarah kejadian-kejadian yang dapat dijadikan iktibar dan pelajaran. Di dalam Al-Qur’an banyak ayat yang berkenaan dengan kisah umat dan bangsa-bangsa yang dahulu. Memang tak ada sesuatu yang lebih besar pengaruhnya kepada jiwa manusia daripada contoh-contoh orang dan perbandingan-perbandingan yang terdapat dalam kisah-kisah dan sejarah. | - | - | - | - | Surah al-Fātiḥah ini berisi pokok-pokok isi Al-Qur’anul-Karim seluruhnya. Pokok-pokok isi Al-Qur’an yang terkandung dalam surah Al-Fātiḥah ini dijelaskan dan diperinci pada 113 surah berikutnya.
Dari penafsiran yang telah disebutkan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Pekerjaan yang baik perlu dimulai dengan Basmalah yang menunjukkan adanya akidah dan keimanan.
2. Kita perlu memuji Allah dan melaksanakan ibadah dan mohon pertolong-an hanya kepada-Nya yang memelihara dan mengatur seluruh alam.
3. Baik dalam ibadah maupun amal-amal perbuatan yang lain kita selalu mohon hidayah dan petunjuk sesuai dengan hukum-hukum yang ditetapkan Allah.
4. Kita mohon petunjuk dan hidayah kepada Allah karena Allah adalah Maha Pengasih, Maha Penyayang dan menguasai hari akhir sesuai dengan adanya janji dan ancaman.
5. Hidayah dan petunjuk yang kita mohonkan ialah hidayah sebagaimana yang Allah berikan kepada orang-orang yang diberi nikmat, bukan jalan orang-orang yang dimurkai dan sesat sebagaimana disebutkan dalam kisah-kisah Al-Qur’an. |
8 | Al-Baqarah | الۤمّۤ ۚ | 2:1 | Alif Lām Mīm. 4) | alif lam mim | 4) Dalam Al-Qur’an terdapat 29 surah yang dibuka dengan huruf Arab yang muqaṭṭa‘ah (dibaca nama hurufnya), seperti Alif lām mīm, Alif lām rā, dan sebagainya. Hanya Allah Swt. yang mengetahui makna sesungguhnya dari rangkaian huruf-huruf tersebut. Namun, dilihat dari fungsinya, ada yang berpendapat bahwa rangkaian huruf-huruf itu bertujuan untuk menarik perhatian atau untuk menunjukkan kemukjizatan Al-Qur’an. | Alif Laam miim. Beberapa surah dalam Al-Qur'an dibuka dengan huruf abjad seperti Alif Laam miim, Alif Laam Raa, dan sebagainya. Makna huruf-huruf itu hanya Allah yang tahu. Ada yang berpendapat bahwa huruf-huruf itu adalah nama surah dan ada pula yang berpendapat bahwa gunanya untuk menarik perhatian, atau untuk menunjukkan mukjizat Al-Qur'an, karena Al-Qur'an disusun dari rangkaian huruf-huruf abjad yang digunakan dalam bahasa bangsa Arab sendiri. Meskipun demikian, mereka tidak pernah mampu untuk membuat rangkaian huruf-huruf itu menjadi seperti Al-Qur'an. | Alif Lām Mīm. Ayat pertama surah Al-Baqarah ini terdiri dari huruf-huruf lepas. Sebagaimana pada surah-surah Makkiyah banyak yang dibuka dengan huruf-huruf lepas seperti Alif Lām Rā, Alif Lām Mīm Rā, Ḥā Mīm, Ṭā Hā, Kāf Hā Yā ‘Aīn ṣād, dan lain-lain.
Surah-surah yang dimulai dengan huruf-huruf singkatan (muqaṭṭa‘ah) semuanya berjumlah 29 surah. Selengkapnya sebagai berikut: al-Baqarah dengan Alif Lām Mīm, Āli ‘Imrān dimulai dengan Alif Lām Mīm, al-A‘rāf dimulai dengan Alif Lām Mīm ṣād, Yunus dengan Alif Lām Rā, Yusuf dengan Alif Lām Rā, Hūd dengan Alif Lām Rā, ar-Ra‘d dengan Alif Lām Mīm Rā; Ibrāhīm dengan Alif Lām Rā; al-Ḥijr dengan Alif Lām Rā; Maryam dengan Kāf Hā Yā ‘Aīn ṣād; Ṭāhā dengan Ṭā hā; asy-Syu‘arā’ dengan Ṭā Sīn Mīm; an-Naml dengan Ṭā Sīn; al-Qaṣaṣ dengan Ṭā Sīn Mīm; al-‘Ankabūt dengan Alif Lām Mīm; ar-Rūm dengan Alif Lām Mīm, Luqmān dengan Alif Lām Mīm, as-Sajdah dengan Alif Lām Mīm, Yasin dengan Yā Sīn; ṣād dengan ṣād; al-Mu’min dengan Ḥā Mīm; Fuṣṣilat dengan Ḥa Mīm; asy-Syūrā dengan Ḥā Mīm; az-Zukhruf dengan Ḥā Mīm; ad-Dukhān dengan Ḥā Mīm; al-Jāṡiyah dengan Ḥā Mīm; al-Aḥqāf dengan Ḥā Mīm; Qāf dengan Qāf; dan al-Qalam dengan Nūn. Huruf yang disebutkan ini berjumlah 14 huruf, yaitu setengah dari huruf hijaiyah. Huruf-huruf ini adalah huruf-huruf yang banyak terpakai dalam bahasa Arab. Huruf-huruf ini ada yang disebutkan berulang-ulang.
Ada dua hal yang perlu dibicarakan tentang huruf-huruf abjad yang disebutkan pada permulaan beberapa surah dari Al-Qur’an itu, yaitu apa yang dimaksud dengan huruf ini, dan apa hikmahnya menyebutkan huruf-huruf ini.
Tentang soal pertama, maka para mufasir berlainan pendapat:
1. Ada yang menyerahkan saja kepada Allah, dengan arti mereka tidak mau menafsirkan huruf-huruf itu. Mereka berkata, “Allah saja yang mengetahui maksudnya.” Mereka menggolongkan huruf-huruf itu ke dalam golongan ayat-ayat mutasyābihāt.
2. Ada yang menafsirkannya. Mufasir yang menafsirkannya ini berlain-lain pula pendapat mereka:
a. Ada yang berpendapat bahwa huruf-huruf itu adalah isyarat (singkatan dari kata-kata), umpamanya Alif Lām Mīm. Maka Alif adalah singkatan dari “Allah”, Lam singkatan dari “Jibril”, dan Mīm singkatan dari Muhammad, yang berarti bahwa Al-Qur’an itu datangnya dari Allah, disampaikan oleh Jibril kepada Muhammad. Pada Alif Lām Rā, Alif singkatan dari “Ana”, Lam singkatan dari “Allah” dan Ra singkatan dari “ar-Raḥmān”, yang berarti “Aku Allah Yang Maha Pengasih.”
b. Ada yang berpendapat bahwa huruf-huruf itu adalah nama dari surah yang dimulai dengan huruf-huruf itu.
c. Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan huruf-huruf abjad ini adalah huruf-huruf abjad itu sendiri. Maka yang dimaksud dengan Alif adalah “Alif”, yang dimaksud dengan Lam, adalah “Lam”, yang dimaksud dengan Nūn adalah “Nun”, dan begitu seterusnya.
d. Huruf-huruf abjad itu untuk menarik perhatian. Ada mufasir yang berpendapat bahwa huruf-huruf abjad ini didatangkan oleh Allah pada permulaan beberapa surah Al-Qur’an untuk menarik perhatian. Memulai pembicaraan dengan huruf-huruf abjad adalah suatu cara yang belum dikenal oleh Bangsa Arab pada waktu itu, karena itu maka hal ini menarik perhatian mereka.
e. Untuk tantangan. Menurut para mufasir ini, huruf-huruf singkatan itu disebut Allah pada permulaan beberapa surah dari Al-Qur’an, hikmahnya adalah untuk “menantang”. Tantangan itu bunyinya kira-kira begini: Al-Qur’an itu diturunkan dalam bahasa Arab, yaitu bahasa kamu sendiri, yang tersusun dari huruf-huruf singkatan, seperti Alif Lām Mīm Rā, Kāf Hā Yā ‘Aīn ṣād, Qāf, Ṭā Sīn dan lain-lain. Maka kalau kamu tidak percaya bahwa Al-Qur’an datangnya dari Allah dan kamu mendakwakan datangnya dari Muhammad, yakni dibuat oleh Muhammad sendiri, maka cobalah kamu buat ayat-ayat yang seperti ayat Al-Qur’an ini. Kalau Muhammad dapat membuatnya tentu kamu juga dapat membuatnya”
Maka ada “penantang”, yaitu Allah, dan ada “yang ditantang”, yaitu bangsa Arab, dan ada “alat penantang”, yaitu Al-Qur’an. Sekalipun mereka adalah orang-orang yang fasih berbahasa Arab, dan mengetahui pula seluk beluk bahasa Arab menurut naluri mereka, karena di antara mereka itu ada pujangga-pujangga, penyair-penyair dan ahli-ahli pidato, namun demikian mereka tidak bisa menjawab tantangan Al-Qur’an dengan membuat ayat-ayat seperti Al-Qur’an. Ada juga di antara mereka yang memberanikan diri untuk menjawab tantangan Al-Qur’an itu, dengan mencoba membuat kalimat-kalimat seperti ayat-ayat Al-Qur’an itu, tetapi sebelum mereka ditertawakan oleh orang-orang Arab itu, lebih dahulu mereka telah ditertawakan oleh diri mereka sendiri. | Surah al-Baqarah yang terdiri dari 286 ayat adalah termasuk golongan surah Madaniyah yang diturunkan pada tahun-tahun permulaan periode Nabi Muhammad saw di Medinah. Ia merupakan surah yang terpanjang dan terbanyak ayat-ayatnya di antara surah yang ada di dalam Al-Qur’an. Surah ini dinamai “al-Baqarah” yang berarti “seekor sapi”, karena di dalamnya disebutkan kisah penyembelihan sapi betina yang diperintahkan Allah kepada Bani Israil. Dalam pelaksanaan penyembelihan sapi betina itu tampak dengan jelas sifat dan watak orang-orang Yahudi pada umumnya.
Dinamakan juga fusṭaṭ al-Qur’ān yang berarti “puncak Al-Qur’an” karena surah ini memuat beberapa hukum yang tidak disebut di surah-surah yang lain. Juga dinamakan Alīf Lām Mīm, karena surah ini dimulai dengan huruf-huruf hijaiyah (abjad) alif lām mīm.
Di antara pokok-pokok isinya ialah:
1. Keimanan: Dakwah Islamiah yang ditujukan kepada umat Islam, Ahli Kitab dan orang-orang musyrik.
2. Hukum: Perintah mengerjakan salat, perintah menunaikan zakat, puasa, haji dan umrah, qiṣaṣ, yang halal dan yang haram, bernafkah di jalan Allah, minum arak dan berjudi, cara bergaul dengan anak yatim, prinsip-prinsip ekonomi, larangan memakan riba, utang piutang, nafkah dan yang berhak menerimanya, wasiat kepada dua orang ibu bapak dan kaum kerabat, hukum sumpah, kewajiban menyampaikan amanat, sihir, hukum merusak masjid, hukum mengubah kitab-kitab Allah, haid, idah, talak, khulu‘, ilā, hukum susuan, meminang, mahar, menikahi wanita musyrik dan sebaliknya, hukum perang, dan lain-lain.
3. Kisah: Penciptaan Nabi Adam a.s., kisah Nabi Ibrahim a.s., dan kisah Nabi Musa a.s. dengan Bani Israil.
4. Lain-lain, seperti: sifat orang yang bertakwa, sifat-sifat orang munafik, sifat-sifat Allah, perumpamaan-perumpamaan, kiblat, dan kebangkitan sesudah mati. | - | Kosakata: Al-Muttaqīn اَلْمُتَّقِيْنَ (al-Baqarah/2: 2).
Kata al-muttaqīn adalah isim fā‘il dalam bentuk jamak dari kata ittaqā-yattaqī, yang berarti menjaga diri dari segala yang membahayakan. Juga kata taqwa berarti “berjaga-jaga atau melindungi diri dari sesuatu”. Secara etimologi, kata taqwā mengandung pengertian “menjaga diri dari segala perbuatan dosa dengan meninggalkan segala yang dilarang Allah swt dan melaksanakan segala yang diperintahkan-Nya”.
Al-Qur’an menyebut orang yang bertakwa dengan muttaqī, jamaknya muttaqīn, yang berarti orang yang bertakwa. Kata al-muttaqīn disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 43 kali, yaitu pada surah al-Baqarah, Āli ‘Imrān, al-Mā’idah, al-A‘rāf, at-Taubah, Hūd, al-Ḥijr, an-Naḥl, Maryam, al-Anbiyā’, an-Nūr, al-Furqān, asy-Syu‘arā’, al-Qaṣaṣ, ṣād, az-Zumar, az-Zukhruf, ad-Dukhān, al-Jāṡiyah, Qāf, aż-Żāriyāt, aṭ-Ṭūr, al-Qalam, al-Ḥāqqah, al-Mursalāt dan an-Naba’. Kata ini digunakan Al-Qur’an untuk:
1. Menggambarkan, bahwa orang-orang bertakwa dicintai oleh Allah dan di akhirat nanti akan diberikan pahala serta tempat yang paling baik yaitu surga, seperti yang diungkapkan dalam surah Āli ‘Imrān/3: 76, aż-Żāriyāt/51: 15 dan ad-Dukhān/44: 51.
2. Menggambarkan bahwa orang-orang yang bertakwa adalah orang-orang yang mendapat kemenangan, seperti yang diungkapkan dalam surah an-Naba’/78:31.
3. Menggambarkan bahwa Allah merupakan pelindung (wali) bagi orang-orang yang bertakwa, seperti diungkapkan dalam surah al-Jāṡiyah/45: 19.
4. Menggambarkan bahwa beberapa kisah yang terjadi merupakan peringatan dan teladan bagi orang-orang yang bertakwa, seperti yang diungkapkan dalam surah al-Anbiyā’/21: 48 dan al-Ḥāqqah/69: 48. | - | - |
9 | Al-Baqarah | ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيْهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَۙ | 2:2 | Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan di dalamnya; (ia merupakan) petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa, | zalikal-kitabu la raiba fih, hudal lil-muttaqin | - | Inilah Kitab yang sempurna dan penuh keagungan, yaitu Al-Qur'an yang Kami turunkan kepada Nabi Muhammad, tidak ada keraguan padanya tentang kebenaran apa-apa yang terkandung di dalamnya, dan orang-orang yang berakal sehat tidak akan dihinggapi keraguan bahwa Al-Qur'an berasal dari Allah karena sangat jelas kebenarannya. Al-Qur'an juga menjadi petunjuk yang sempurna bagi mereka yang mempersiapkan diri untuk menerima kebenaran dengan bertakwa, yaitu mengikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya agar terhindar dari siksa Allah. Meski petunjuk Al-Qur'an diperuntukkan bagi seluruh umat manusia, hanya orang-orang bertakwa saja yang siap dan mampu mengambil manfaat darinya. | Ayat ini menerangkan bahwa Al-Qur’an tidak dapat diragukan, karena ia wahyu Allah swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw Nabi yang terakhir dengan perantaraan Jibril a.s.:
وَاِنَّهٗ لَتَنْزِيْلُ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ ۗ ١٩٢ نَزَلَ بِهِ الرُّوْحُ الْاَمِيْنُ ۙ ١٩٣ (الشعراۤء)
Dan sungguh (Al-Qur’an) ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan seluruh alam, yang dibawa oleh ar-Rūḥ al-Amīn (Jibril). (asy-Syu‘arā'/26: 192-193).
Yang dimaksud “Al-Kitab” (wahyu) di sini ialah Al-Qur’an. Disebut “Al-Kitab” sebagai isyarat bahwa Al-Qur’an harus ditulis, karena itu Nabi Muhammad saw memerintahkan para sahabat menulis ayat-ayat Al-Qur’an.
Al-Qur’an merupakan bimbingan bagi orang yang bertakwa, sehingga dia berbahagia hidup di dunia dan di akhirat nanti. Orang yang bertakwa ialah orang yang memelihara dan menjaga dirinya dari azab Allah dengan selalu melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Di antara tanda-tanda orang yang bertakwa ialah sebagaimana yang tersebut pada ayat-ayat berikut: | - | - | - | - | - |
10 | Al-Baqarah | الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ ۙ | 2:3 | (yaitu) orang-orang yang beriman pada yang gaib, menegakkan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka, | allazina yu`minuna bil-gaibi wa yuqimunas-salata wa mimma razaqnahum yunfiqun | - | Orang-orang yang bertakwa itu adalah mereka yang beriman kepada hal-hal yang gaib, yang tidak tampak dan tidak dapat dijangkau oleh akal dan indra mereka, seperti Allah, malaikat, surga, neraka, dan lainnya yang diberitakan oleh Allah dan Rasul-Nya. Pada saat yang sama, sebagai bukti keimanan itu, mereka beribadah kepada Allah dengan melaksanakan salat, secara sempurna berdasarkan tuntunan Allah dan Rasul-Nya, khusyuk serta memperhatikan waktu-waktunya, dan mereka juga menginfakkan di jalan kebaikan sebagian rezeki berupa harta, ilmu, kesehatan, kekuasaan, dan hal-hal lainnya yang bermanfaat yang Kami berikan kepada mereka, semata-mata sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dan mencari keridaan-Nya. | Pertama: Beriman kepada yang gaib. Termasuk di dalamnya beriman kepada Allah dengan sesungguhnya, menundukkan diri serta menyerahkannya sesuai dengan yang diharuskan oleh iman itu. Tanda keimanan seseorang ialah melaksanakan semua yang diperintahkan oleh imannya itu.
Gaib ialah sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh pancaindra. Pengetahuan tentang yang gaib itu semata-mata berdasar kepada petunjuk-petunjuk Allah swt. Karena kita telah beriman kepada Allah, maka kita beriman pula kepada firman-firman dan petunjuk-petunjuk-Nya. Termasuk yang gaib ialah: Allah, para malaikat, hari kiamat, surga, neraka, mahsyar dan sebagainya. Pangkal iman kepada yang gaib ialah iman kepada Allah swt. Iman kepada Allah adalah dasar dari pembentukan watak dan sifat-sifat seseorang manusia agar dia menjadi manusia yang sebenarnya, sesuai dengan maksud Allah menciptakan manusia.
صِبْغَةَ اللّٰهِ ۚ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ صِبْغَةً ۖ وَّنَحْنُ لَهٗ عٰبِدُوْنَ ١٣٨ (البقرة)
“ṣibgah Allah.” Siapa yang lebih baik ṣibgah-nya daripada Allah? Dan kepada-Nya kami menyembah. (al-Baqarah/2: 138).
Iman membentuk manusia menjadi makhluk individu dan makhluk yang menjadi anggota masyarakatnya, suka memberi, menolong, berkorban, berjihad dan sebagainya:
اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوْا وَجَاهَدُوْا بِاَمْوَالِهِمْ وَاَنْفُسِهِمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الصّٰدِقُوْنَ ١٥ (الحجرٰت)
Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu, dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar. (al-Ḥujurāt/49: 15)
Dalam mencari arti iman hendaklah kita mengikuti petunjuk Rasul. Untuk itu kita perlu mempelajari sejarah hidup Nabi Muhammad saw, merenungkan ciptaan Allah, menggunakan akal pikiran dan mempelajari ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Iman dapat bertambah dan dapat pula berkurang. Iman akan rusak bila amal seseorang rusak dan akan bertambah bila nilai dan jumlah amal ditingkatkan pula.
Kedua: Melaksanakan salat, yaitu mengerjakan dan menunaikan salat dengan menyempurnakan rukun-rukun dan syarat-syaratnya, terus-menerus mengerjakannya setiap hari sesuai dengan yang diperintahkan Allah, baik lahir maupun batin. Yang dimaksud dengan “lahir” ialah mengerjakan salat sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditentukan sunah Rasul, dan yang dimaksud dengan “batin” ialah mengerjakan salat dengan hati yang khusyuk, dengan segala ketundukan dan kepatuhan kepada Allah, dan merasakan keagungan dan kekuasaan Allah yang menguasai dan menciptakan seluruh alam ini sebagai yang dikehendaki oleh agama.
Iqāmah aṣ-ṣalāh ialah mengerjakan salat dengan sempurna; sempurna segala rukun, syarat dan ketentuan yang lain yang ditentukan oleh agama. Arti asal dari perkataan ṣalāt ialah “doa”, kemudian dipakai sebagai istilah ibadah yang dikenal di dalam agama Islam karena salat itu banyak mengandung doa.
Ketiga: Menginfakkan sebagian rezeki yang telah dianugerahkan Allah. Rezeki ialah segala sesuatu yang dapat diambil manfaatnya. “Menginfakkan sebagian rezeki” ialah memberikan sebagian rezeki atau harta yang telah dianugerahkan Allah kepada orang-orang yang telah ditentukan oleh agama.
Pengertian menginfakkan harta di jalan Allah meliputi belanja untuk kepentingan jihad, pembangunan perguruan, rumah sakit, usaha penelitian ilmiah dan lain-lain. Juga berinfak untuk semua kepentingan umum dengan niat melaksanakan perintah Allah termasuk fī sabīlillāh.
Harta yang akan diinfakkan itu ialah sebagiannya, tidak seluruh harta. Dalam ayat ini tidak dijelaskan berapa banyak yang dimaksud dengan sebagian itu, apakah seperdua, sepertiga, seperempat dan sebagainya. Dalam pada itu Allah melarang berlaku kikir dan melarang berlaku boros:
وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُوْلَةً اِلٰى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُوْمًا مَّحْسُوْرًا ٢٩ (الاسراۤء)
Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan (pula) engkau terlalu mengulurkannya (sangat pemurah), nanti kamu menjadi tercela dan menyesal. (al-Isrā’/17: 29).
Allah melarang berlebih-lebihan atau kikir dalam membelanjakan harta:
وَالَّذِيْنَ اِذَآ اَنْفَقُوْا لَمْ يُسْرِفُوْا وَلَمْ يَقْتُرُوْا وَكَانَ بَيْنَ ذٰلِكَ قَوَامًا ٦٧ (الفرقان)
Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) mereka yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, tetapi berada di antara keduanya secara wajar (al-Furqān/25: 67)
Pada firman Allah yang lain dijelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan sebagian harta itu ialah sebagaimana jawaban atas pertanyaan para sahabat:
وَيَسْـَٔلُوْنَكَ مَاذَا يُنْفِقُوْنَ ەۗ قُلِ الْعَفْوَۗ
“.... mereka menanyakan kepadamu (tentang) apa yang (harus) mereka infakkan. Katakanlah, ‘Kelebihan (dari apa yang diperlukan).’” (al-Baqarah/2: 219)
Yang dimaksud dengan “kelebihan” ialah setelah mereka cukup makan dan memiliki pakaian yang dipakai. Jadi tidak harus kaya, tetapi selain yang mereka makan dan pakai pada hari itu, adalah termasuk lebih. Allah telah menjelaskan cara-cara membelanjakan harta itu dan cara-cara menggunakannya. Dijelaskan lagi oleh hadis Rasulullah saw:
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: خَيْرُ الصَّدَقَةِ عَنْ ظَهْرِ الْغِنَى (رواه البخاري ومسلم)
Dari Nabi saw ia berkata, “Sebaik-baik sedekah adalah kelebihan dari kebutuhan pokok.” (Riwayat al-Bukhārī dan Muslim) | - | - | - | - | - |
11 | Al-Baqarah | وَالَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِمَآ اُنْزِلَ اِلَيْكَ وَمَآ اُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ ۚ وَبِالْاٰخِرَةِ هُمْ يُوْقِنُوْنَۗ | 2:4 | dan mereka yang beriman pada (Al-Qur’an) yang diturunkan kepadamu (Nabi Muhammad) dan (kitab-kitab suci) yang telah diturunkan sebelum engkau dan mereka yakin akan adanya akhirat. | wallazina yu`minuna bima unzila ilaika wa ma unzila ming qablik, wa bil-akhirati hum yuqinun | - | Dan ciri-ciri lainnya dari orang-orang yang bertakwa adalah mereka yang beriman kepada apa-apa yang diturunkan dari Allah kepadamu, wahai Nabi Muhammad, berupa Al-Qur'an dan adz-dzikr (hadis), dan kitabkitab yang telah diturunkan sebelum engkau, seperti Taurat, Zabur, Injil, dan Suhuf-suhuf (lembaran-lembaran) yang tidak seperti Kitab, dengan tidak membeda-bedakannya, sebab risalah Allah pada mulanya satu, dan mereka yakin akan adanya kehidupan di akhirat setelah kehidupan di dunia ini, dengan penuh keyakinan di dalam hati yang dibuktikan secara lisan dan perbuatan. | Keempat: Beriman kepada kitab-kitab yang telah diturunkan-Nya, yaitu beriman kepada Al-Qur’an dan kitab-kitab (wahyu) Taurat, Zabur, Injil dan ṣaḥīfah-ṣaḥīfah yang diturunkan kepada nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad saw. Meskipun dalam beriman kepada kitab-kitab selain Al-Qur’an bersifat ijmali (global), sedangkan beriman kepada Al-Qur’an harus secara tafsili (rinci). Beriman kepada kitab-kitab dan ṣaḥīfah-ṣaḥīfah tersebut berarti beriman pula kepada para rasul yang telah diutus Allah kepada umat-umat yang dahulu dengan tidak membedakan antara seseorang dengan yang lain dari rasul-rasul Allah.
Beriman kepada kitab-kitab Allah merupakan salah satu sifat dari orang-orang yang bertakwa. Orang-orang yang beriman kepada kitab-kitab Allah dan mempelajari isinya adalah para ahli waris nabi, ahli waris ajaran-ajaran Allah, baik orang-orang dahulu, maupun orang-orang sekarang sampai akhir zaman. Sifat ini akan menimbulkan rasa dalam diri seorang Muslim bahwa mereka adalah umat yang satu, agama mereka adalah satu, agama Islam. Tuhan yang mereka sembah ialah Allah Yang Maha Esa, Pengasih dan Penyayang kepada hamba-hamba-Nya. Sifat ini akan menghilangkan eksklusivisme (sifat berbeda) dalam diri seorang Muslim, yaitu meliputi semua sifat sombong, tinggi hati, fanatik golongan, rasa kedaerahan dan perasaan kebangsaan yang berlebihan. | - | - | - | - | - |
12 | Al-Baqarah | اُولٰۤىِٕكَ عَلٰى هُدًى مِّنْ رَّبِّهِمْ ۙ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ | 2:5 | Merekalah yang mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. | ula`ika 'ala hudam mir rabbihim wa ula`ika humul-muflihun | - | Mereka yang mempunyai ciri-ciri sebagaimana disebutkan itulah yang mendapat petunjuk dari Tuhannya, berada pada posisi yang sangat mulia dan agung, sebab mereka menaati semua perintah dan menjauhi segala larangan-Nya, dan hanya mereka itulah orang-orang yang beruntung memperoleh apa yang mereka inginkan, yaitu kebahagiaan hidup di dunia dan keselamatan hidup di akhirat dengan dimasukkan ke dalam surga dan terbebas dari neraka. | Kelima: Beriman kepada adanya hari akhirat. “Akhirat” lawan dari “dunia”. Akhirat ialah tempat manusia berada setelah dunia ini lenyap. “Beriman akan adanya akhirat” ialah benar-benar percaya adanya hidup yang kedua setelah dunia ini berakhir.
Orang-orang yang mempunyai sifat yang lima di atas adalah orang-orang yang mendapat petunjuk dan bimbingan Allah dan merekalah orang-orang yang akan merasakan hasil iman dan amal mereka di akhirat nanti, mereka memperoleh keridaan Allah dan tempat tinggal mereka di akhirat ialah di surga yang penuh kenikmatan. Di dalamnya mereka menikmati kebahagiaan yang abadi. | - | - | - | - | 1. Al-Qur’an tidak diragukan kebenarannya dan berfungsi sebagai petunjuk.
2. Al-Qur’an adalah petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. Di antara sifat-sifat orang yang bertakwa ialah:
a. Beriman kepada yang gaib, yaitu Allah, para malaikat, surga dan neraka.
b. Melaksanakan salat, terutama salat wajib lima waktu.
c. Menginfakkan sebagian harta yang telah dianugerahkan Allah.
d. Beriman kepada kitab-kitab yang telah diturunkan Allah kepada rasul-rasul-Nya; dan
e. beriman kepada adanya hari akhirat.
3. Orang-orang yang memiliki ciri-ciri itulah yang mendapat petunjuk dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. |
13 | Al-Baqarah | اِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا سَوَاۤءٌ عَلَيْهِمْ ءَاَنْذَرْتَهُمْ اَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُوْنَ | 2:6 | Sesungguhnya orang-orang yang kufur itu sama saja bagi mereka, apakah engkau (Nabi Muhammad) beri peringatan atau tidak engkau beri peringatan, mereka tidak akan beriman. | innallazina kafaru sawa`un 'alaihim a anzartahum am lam tunzir-hum la yu`minun | - | Sebagai kebalikan dari sikap orang mukmin terhadap Al-Qur'an, sesungguhnya orang-orang kafir yang menutupi hati dan akal pikiran mereka dari kebenaran karena enggan dan sombong, tidak akan memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya. Sama saja bagi mereka, engkau beri peringatan, berupa ancaman siksa dari Tuhanmu, atau tidak engkau beri peringatan, mereka tidak akan beriman sebab mereka lebih memilih jalan kebatilan. | Orang kafir ialah orang yang tidak beriman kepada Allah, sebagaimana yang diperintahkan-Nya. Kafir, jamaknya kuffār, yaitu orang-orang yang tidak percaya kepada Allah, rasul-rasul-Nya, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan hari kiamat. Di dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa orang-orang kafir, yaitu Ahli Kitab dan orang-orang musyrik, yang sangat ingkar kepada Rasulullah saw; mereka tidak akan beriman walaupun diberi peringatan yang disertai dengan ancaman. Bagi mereka sama saja, apakah mereka diberi peringatan keras atau tidak. | - | - | Kosakata: Kafarū كَفَرُوْا (al-Baqarah/2: 6)
Kata kafarū diambil dari kata kufr, merupakan masdar (infinitif) dari kafara-yakfuru-kufran/kufr. Dalam Al-Qur’an kata kufr dan kata yang seasal dengannya disebut 525 kali. Sedangkan kata kafir disebut hanya 5 kali, yaitu pada surah al-Baqarah, al-Furqān, at-Tagābun dan an-Naba’.
Secara bahasa, kata kufr mengandung beberapa arti, antara lain: menutupi, melepaskan diri, menghapus, kulit, dan denda (kaffārah) karena melanggar salah satu ketentuan Allah. Dalam ayat ini yang dimaksud orang kafir ialah orang yang ingkar, tidak percaya kepada adanya Allah, tidak percaya pada kekuasaan Allah, karena dia telah menutup diri dan melupakan diri dari kekuasaan Allah. Dia tidak mau tunduk dan patuh pada perintah Allah.
Dari beberapa arti secara bahasa di atas, menurut al-Asfahani dan Ibnu Manẓūr, yang dekat kepada arti secara istilah adalah “menutupi”, “menyembunyikan”. Malam hari disebut kafir karena ia menutupi siang atau tersembunyinya sesuatu oleh kegelapannya. Awan disebut kafir karena ia (dapat) menutupi atau menyembunyikan cahaya matahari. Kafir terhadap nikmat Allah berarti seseorang menutupi atau menyembunyikan nikmat Allah dengan cara tidak mensyukurinya. Demikian juga petani karena menutupi atau menyembunyikan benih dengan tanah waktu bercocok tanam. | - | - |
14 | Al-Baqarah | خَتَمَ اللّٰهُ عَلٰى قُلُوْبِهِمْ وَعَلٰى سَمْعِهِمْ ۗ وَعَلٰٓى اَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ وَّلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ ࣖ | 2:7 | Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka.5) Pada penglihatan mereka ada penutup, dan bagi mereka azab yang sangat berat. | khatamallahu 'ala qulubihim wa 'ala sam'ihim, wa 'ala absarihim gisyawatuw wa lahum 'azabun 'azim | 5) Allah Swt. telah mengunci hati dan telinga orang kafir sehingga nasihat atau hidayah tidak bisa masuk ke dalam hatinya. | Karena mereka ingkar dengan menutup diri dari kebenaran, maka seakan Allah telah mengunci hati mereka dengan sekat yang tertutup rapat sehingga nasihat atau hidayah tersebut tidak bisa masuk ke dalam hati mereka, dan pendengaran mereka juga seakan terkunci, sehingga tidak mendengar kebenaran dari Allah. Demikian pula penglihatan mereka telah tertutup, sehingga tidak melihat tanda-tanda kekuasaan Allah yang dapat mengantarkan kepada keimanan, dan sebagai akibatnya, mereka akan mendapat azab yang berat. | Hal yang menyebabkan orang-orang kafir tidak menerima peringatan adalah karena hati dan pendengaran mereka tertutup, bahkan terkunci mati, tidak dapat menerima petunjuk, dan segala macam nasihat tidak berbekas pada mereka. Karena penglihatan mereka tertutup, mereka tidak dapat melihat, memperhatikan dan memahami ayat-ayat Al-Qur’an yang telah mereka dengar, tidak dapat mengambil pelajaran dari tanda-tanda kebesaran Allah yang mereka lihat di cakrawala, di permukaan bumi dan pada diri mereka sendiri.
Terkuncinya hati dan pendengaran, serta tertutupnya penglihatan orang-orang kafir itu karena mereka selalu mengerjakan perbuatan-perbuatan yang terlarang. Tiap-tiap perbuatan terlarang yang mereka lakukan akan menambah rapat dan kuatnya kunci yang menutup hati dan pendengaran mereka. Makin banyak perbuatan itu mereka lakukan, makin bertambah kuat pula kunci dan tutup pada hati dan telinga mereka:
فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِّيْثَاقَهُمْ وَكُفْرِهِمْ بِاٰيٰتِ اللّٰهِ وَقَتْلِهِمُ الْاَنْۢبِيَاۤءَ بِغَيْرِ حَقٍّ وَّقَوْلِهِمْ قُلُوْبُنَا غُلْفٌ ۗ بَلْ طَبَعَ اللّٰهُ عَلَيْهَا بِكُفْرِهِمْ فَلَا يُؤْمِنُوْنَ اِلَّا قَلِيْلًاۖ ١٥٥ (النساۤء)
Maka (Kami hukum mereka), karena mereka melanggar perjanjian itu, dan karena kekafiran mereka terhadap keterangan-keterangan Allah, serta karena mereka telah membunuh nabi-nabi tanpa hak (alasan yang benar), dan karena mereka mengatakan, ”Hati kami tertutup.” Sebenarnya Allah telah mengunci hati mereka karena kekafirannya, karena itu hanya sebagian kecil dari mereka yang beriman (an-Nisā’/4: 155).
وَنُقَلِّبُ اَفْـِٕدَتَهُمْ وَاَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوْا بِهٖٓ اَوَّلَ مَرَّةٍ وَّنَذَرُهُمْ فِيْ طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُوْنَ ࣖ ۔ ١١٠ (الانعام)
Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti pertama kali mereka tidak beriman kepadanya (Al-Qur’an), dan Kami biarkan mereka bingung dalam kesesatan. (al-An‘ām/6: 110)
Proses bertambah kuatnya tutup dan bertambah kuatnya kunci hati dan pendengaran orang-orang kafir itu diterangkan oleh hadis :
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِنَّ الْعَبْدَ اِذَا اَذْنَبَ ذَنْباً كَانَتْ نُقْطَةٌ سَوْدَاءُ فِي قَلْبِهِ فَاِنْ تَابَ مِنْهَا صَقُلَ قَلْبُهُ وَاِنْ زَادَ زَادَتْ فَذٰلِكَ قَوْلُ اللهِ "كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلـٰى قُلُوْبِهِمْ مَّا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ (رواه الترمذي وابن جرير الطبري عن ابي هريرة)
Rasulullah saw bersabda, "Sesungguhnya seorang hamba apabila ia mengerjakan perbuatan dosa terdapatlah suatu noda hitam di dalam hatinya, maka jika ia bertobat, mengkilat hatinya, dan jika ia tambah mengerjakan perbuatan buruk, bertambahlah noda hitam ". Itulah firman Allah, "Tidak, tetapi perbuatan mereka menjadi noda hitam di hati mereka”. (Riwayat at-Tirmiżī dan Ibnu Jarīr aṭ-Ṭabari dari Abū Hurairah) | - | - | - | - | Orang-orang kafir yang ingkar kepada Allah, bagi mereka sama saja, diberi petunjuk atau tidak diberi petunjuk, mereka tidak akan beriman, karena hati, telinga dan mata mereka tertutup.
Balasan orang-orang kafir adalah siksa yang amat pedih. |
15 | Al-Baqarah | وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّقُوْلُ اٰمَنَّا بِاللّٰهِ وَبِالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِيْنَۘ | 2:8 | Di antara manusia ada yang berkata, “Kami beriman kepada Allah dan hari Akhir,” padahal sesungguhnya mereka itu bukanlah orang-orang mukmin. | wa minan-nasi may yaqulu amanna billahi wa bil-yaumil-akhiri wa ma hum bimu`minin | - | Dan selanjutnya disebutkan kelompok manusia yang ketiga dalam menyikapi kebenaran petunjuk Al-Qur'an, yaitu di antara manusia yang ingkar seperti disebut sebelumnya ada sekelompok orang yang mengatakan sesuatu yang sesungguhnya tidak lahir dari dalam hati nurani. Mereka berkata, “Kami hanya beriman kepada Allah dengan segala keagungan-Nya dan kami juga beriman kepada hari akhir yang diingkari oleh orang-orang kafir,” padahal sesungguhnya mereka itu tidak jujur dalam mengatakan itu sehingga mereka bukanlah termasuk golongan orang-orang yang beriman. Kelompok ketiga ini jauh lebih berbahaya daripada yang secara terang-terangan menolak (kafir), sebab mereka menampakkan diri seperti kawan padahal sesungguhnya mereka adalah lawan. | Pada ayat ini diterangkan golongan yang ketiga yaitu golongan munafik, golongan yang mengaku bahwa mereka beriman, tetapi sebenarnya tidak beriman. Pengakuan mereka tidaklah benar. Mereka mengakui demikian itu untuk mengelabui mata dan mempermainkan orang Islam.
Sewaktu Rasul saw hijrah dari Mekah ke Medinah, banyak penduduk Medinah masuk Islam dari kabilah 'Aus dan Khazraj dan beberapa orang Yahudi. Pada mulanya masih belum tampak golongan ini. Tetapi sesudah perang Badar tahun kedua Hijri, yang membawa kemenangan bagi kaum Muslimin, mulailah timbul golongan munafik ini.
Abdullah bin Ubay, seorang pemimpin di Medinah dari kabilah Khazraj, anak dari seorang yang pernah menjadi pemimpin suku Aus dan Khazraj, oleh pengikut-pengikutnya dijadikan calon raja di Medinah. Dia berkata kepada pengikut-pengikutnya, “Situasi sekarang jelas menunjukkan kemenangan bagi Muhammad”. Kemudian Abdullah bin Ubay dan pengikut-pengikutnya menyatakan masuk Islam tetapi hati mereka tetap membenci. Tujuan mereka hendak menghancurkan kaum Muslimin dari dalam, dengan berbagai macam usaha dan tipu daya. Di antara mereka banyak pula orang Yahudi.
Sabda Nabi saw:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَثَلُ الْمُنَافِقِ كَمَثَلِ الشَّاةِ بَيْنَ الْغَنَمَيْنِ تَعِيْرُ اِلٰى هٰذَا مَرَّةً وَاِلٰى هٰذَا مَرَّةً (رواه مسلم عن ابن عمر)
Perumpamaan orang munafik seperti seekor anak kambing (yang bingung dan ragu) di antara dua kambing, bolak-balik, kadang-kadang mengikuti yang satu ini, kadang-kadang mengikuti yang lainnya. (Riwayat Muslim dari Ibnu Umar)
Mereka bukan termasuk orang-orang yang beriman yang benar dan yang merasakan keagungan Allah swt, mereka tidak pula menyadari bahwa Allah sebenarnya mengetahui perbuatan mereka lahir dan batin. Sekiranya mereka beriman dengan iman yang benar, tentulah mereka tidak melakukan perbuatan yang menyakitkan hati Nabi saw dan kaum Muslimin. Mereka melakukan ibadah salat dan puasa, hanya untuk mengelabui mata umum, sedang hati dan jiwa mereka sesungguhnya tidak menghayati ibadah-ibadah tersebut. | - | - | Kosakata: Muhtadīn مُهْتَدِيْنَ (al-Baqarah/2: 16)
Kata muhtadīn berasal dari kata kerja ihtadā-yahtadī, dalam pengertian bahasa berarti mendapat petunjuk. Akar kata dari kalimat ini adalah Hadā-yahdī yang berarti memberi petunjuk atau petunjuk dan seterusnya. Di dalam Al-Qur’an, kata al-hudā dan kata lain yang seasal dengan itu disebut 306 kali. Kata ini muncul dalam berbagai bentuk dan dalam konteks yang bermacam-macam. Dalam ayat ini Allah mengancam orang-orang yang mengganti hidayah Allah dengan kesesatan sebagai orang yang merugi bahkan sebagai orang yang tidak akan pernah mendapat hidayah. | - | - |
16 | Al-Baqarah | يُخٰدِعُوْنَ اللّٰهَ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا ۚ وَمَا يَخْدَعُوْنَ اِلَّآ اَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُوْنَۗ | 2:9 | Mereka menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanyalah menipu diri sendiri tanpa mereka sadari. | yukhadi'unallaha wallazina amanu, wa ma yakhda'una illa anfusahum wa ma yasy'urun | - | Mereka menduga, dengan mengatakan seperti itu, telah berhasil menipu Allah dengan menganggap Allah tidak mengetahui rahasia yang mereka sembunyikan, padahal Allah Maha Mengetahui segala yang tersembunyi dan yang tampak; dan mereka juga merasa telah berhasil menipu orang-orang yang beriman, dengan berpura-pura beriman, padahal mereka hanyalah menipu diri sendiri tanpa mereka sadari. Sebab akibat buruk perbuatan mereka itu, cepat atau lambat, akan kembali kepada mereka sendiri. | Orang munafik itu menipu Allah, dengan cara menipu Rasul-Nya yaitu Muhammad saw. Menipu Allah, Rasul-Nya dan orang mukmin ialah dengan memperlihatkan iman, kasih sayang dan menyembunyikan permusuhan dalam batin. Mereka bergaul dengan kaum Muslimin, untuk memata-matai mereka dan kemudian menyampaikannya kepada musuh-musuh Islam. Mereka menyebarkan permusuhan dan fitnah, untuk melemahkan barisan kaum Muslimin. Usaha kaum munafik itu gagal dan sia-sia. Hati mereka bertambah susah, sedih dan dengki, sehingga pertimbangan-pertimbangan yang benar dan jujur untuk menilai kebenaran semakin lenyap dari mereka. Mereka sejatinya bukanlah menipu Allah, Rasul-Nya dan para mukminin, tetapi mereka menipu diri mereka sendiri. Akibatnya, perbuatan mereka itu akan menimpa diri mereka sendiri, hanya saja mereka tidak menyadarinya. Kesadaran merupakan daya jiwa untuk menanggapi sesuatu yang tersembunyi, yang tersirat dari yang nyata atau yang tidak nyata. | - | - | - | - | - |
17 | Al-Baqarah | فِيْ قُلُوْبِهِمْ مَّرَضٌۙ فَزَادَهُمُ اللّٰهُ مَرَضًاۚ وَلَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ ۢ ەۙ بِمَا كَانُوْا يَكْذِبُوْنَ | 2:10 | Dalam hati mereka ada penyakit,6) lalu Allah menambah penyakitnya dan mereka mendapat azab yang sangat pedih karena mereka selalu berdusta. | fi qulubihim maradun fa zadahumullahu marada, wa lahum 'azabun alimum bima kanu yakzibun | 6) Penyakit hati yang dimaksud adalah keraguan tentang kebenaran agama Islam, kemunafikan, atau kebencian terhadap kenabian Rasulullah saw. | Hal itu karena dalam hati mereka ada penyakit, seperti penyakit iri dan dengki kepada orang-orang yang beriman, keraguan terhadap ajaran Islam, keyakinan yang keliru, dan lainnya, lalu Allah menambah parah penyakitnya itu dengan kemenangan yang besar bagi orang-orang yang beriman. Kemenangan itu sangat menyakitkan mereka karena rasa iri, dengki, dan sombong yang ada dalam diri mereka. Keraguan mereka pun semakin menjadi. Dan, sebagai akibatnya, selain menderita di dunia, mereka akan mendapat azab yang pedih, karena mereka berdusta dengan memperlihatkan keimanan padahal hati mereka ingkar. | Pada ayat ini diterangkan keburukan dusta atau sikap berpura-pura dan akibat-akibatnya. Dendam, iri hati dan ragu-ragu termasuk penyakit jiwa. Penyakit ini akan bertambah parah, bilamana disertai dengan perbuatan nyata. Misalnya rasa sedih pada seseorang akan bertambah dalam, apabila disertainya dengan perbuatan nyata, seperti menangis, meronta-ronta dan sebagainya. Penyakit-penyakit dengki demikian itu terdapat dalam jiwa orang-orang munafik. Oleh karena itu mereka memusuhi Allah dan Rasul-Nya, menipu dengan sikap pura-pura dan berusaha mencelakakan Rasul dan umatnya. Kemudian penyakit itu bertambah-tambah setelah melihat kemenangan-kemenangan Rasul. Setiap kali Rasul memperoleh kemenangan, bertambah pulalah penyakit mereka. Terutama sekali penyakit bimbang dan ragu-ragu, menimbulkan ketegangan jiwa yang sangat pada orang-orang munafik. Akal pikiran mereka bertambah lemah untuk menanggapi kebenaran agama dan memahaminya, bahkan pancaindra mereka tidak mampu menangkap obyek dengan benar, seperti yang diungkapkan Allah dengan firman-Nya:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيْرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِۖ لَهُمْ قُلُوْبٌ لَّا يَفْقَهُوْنَ بِهَاۖ وَلَهُمْ اَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُوْنَ بِهَاۖ وَلَهُمْ اٰذَانٌ لَّا يَسْمَعُوْنَ بِهَاۗ اُولٰۤىِٕكَ كَالْاَنْعَامِ بَلْ هُمْ اَضَلُّ ۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْغٰفِلُوْنَ ١٧٩ (الاعراف)
“Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata, (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga, (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah” (al-A‘rāf/7: 179)
Bukti-bukti telah nyata, cahaya kebenaran yang terang benderang juga jelas bagi mereka, namun mereka enggan menerimanya, bahkan mereka tambah erat berpegang kepada pendiriannya yang lama. Cahaya terang menjadi gelap di mata mereka dan menjadi penyakit di hati mereka. Hati mereka bertambah susah disebabkan lenyapnya kepemimpinan mereka. Iri dan dengki tambah mendalam karena menyaksikan kukuhnya Islam dari hari ke hari. Akibat pendustaan mereka, yaitu mengaku beriman kepada Allah dan hari akhir dan tipu daya mereka terhadap Allah, mereka akan menderita azab yang pedih.
Dalam ayat ini dan ayat-ayat berikutnya, Allah menerangkan sebagian dari sifat-sifat orang munafik yang melakukan tindakan-tindakan yang merusak, antara lain membantu orang-orang kafir (musuh-musuh Islam) dengan membukakan rahasia kaum Muslimin, mendorong orang-orang kafir segera menghancurkan kaum Muslimin, mengadakan perjanjian kerja sama dengan lawan-lawan Islam, menimbulkan pertentangan-pertentangan dalam masyarakat, menghasut orang-orang Islam agar meninggalkan Nabi saw dan lain sebagainya. Firman Allah:
وَاِذَا تَوَلّٰى سَعٰى فِى الْاَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيْهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ ۗ وَاللّٰهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ ٢٠٥ (البقرة)
Dan apabila dia berpaling (dari engkau), dia berusaha untuk berbuat kerusakan di bumi, serta merusak tanam-tanaman dan ternak, sedang Allah tidak menyukai kerusakan. (al-Baqarah/2: 205). | - | - | - | - | - |
18 | Al-Baqarah | وَاِذَا قِيْلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِۙ قَالُوْٓا اِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُوْنَ | 2:11 | Apabila dikatakan kepada mereka, “Janganlah berbuat kerusakan di bumi,”7) mereka menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah orang-orang yang melakukan perbaikan.” | wa iza qila lahum la tufsidu fil ardi qalu innama nahnu muslihun | 7) Di antara bentuk kerusakan di atas bumi adalah kekufuran, kemaksiatan, menyebarkan rahasia orang mukmin, dan memberikan loyalitas kepada orang kafir. Melanggar nilai-nilai yang ditetapkan agama akan mengakibatkan alam ini rusak, bahkan hancur. | Dan apabila dikatakan dan dinasihatkan kepada mereka, “Janganlah berbuat kerusakan di bumi,” dengan melanggar nilai-nilai yang ditetapkan agama, menghalangi orang dari jalan Allah, menyebar fitnah, dan memicu konflik, mereka justru mengklaim bahwa diri mereka bersih dari perusakan dan tidak bermaksud melakukan kerusakan. Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan.” Itu semua akibat rasa bangga diri mereka yang berlebihan. Begitulah perilaku setiap perusak yang tertipu oleh dirinya: selalu merasa kerusakan yang dilakukannya sebagai kebaikan. . | Bila mereka dinasihati agar meninggalkan perbuatan yang menimbulkan kerusakan di bumi, mereka selalu membuat dalih dan alasan dengan mengatakan bahwa mereka sebenarnya berusaha mengadakan perbaikan. Mereka bahkan menganggap apa yang mereka kerjakan sebagai usaha untuk kebaikan orang-orang Islam dan untuk menciptakan perdamaian antara kaum Muslimin dengan golongan lainnya. Mereka mengatakan bahwa tindakan-tindakan mereka yang merusak itu sebagai suatu usaha perbaikan untuk menipu kaum Muslimin. | - | - | - | - | - |
19 | Al-Baqarah | اَلَآ اِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُوْنَ وَلٰكِنْ لَّا يَشْعُرُوْنَ | 2:12 | Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadari. | ala innahum humul-mufsiduna wa lakil la yasy'urun | - | Karena kelakuan mereka yang selalu menampakkan keimanan dan menyembunyikan kekufuran serta menganggap kerusakan mereka sebagai kebaikan, Allah mengingatkan orang-orang mukmin agar tidak tertipu dengan itu semua. Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan. Diri mereka telah rusak karena keyakinan yang batil dan perbuatan yang jahat. Mereka pun telah merusak orang lain dengan menyebar fitnah dan memicu konflik di tengah masyarakat. Tetapi, karena hati yang telah tertutup dan rasa bangga diri yang berlebihan, mereka tidak menyadari kerusakan tersebut dan akibat buruk yang akan menimpa mereka oleh sebab kemunafikan. | Pada ayat ini Allah membantah pernyataan orang munafik bahwa mereka mengadakan perbaikan, tetapi mereka betul-betul membuat kerusakan di bumi. Sebenarnya mereka adalah kaum perusak, tetapi mereka tidak menyadari kerusakan yang telah mereka lakukan karena setan membuat mereka memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan. | - | - | - | - | - |
20 | Al-Baqarah | وَاِذَا قِيْلَ لَهُمْ اٰمِنُوْا كَمَآ اٰمَنَ النَّاسُ قَالُوْٓا اَنُؤْمِنُ كَمَآ اٰمَنَ السُّفَهَاۤءُ ۗ اَلَآ اِنَّهُمْ هُمُ السُّفَهَاۤءُ وَلٰكِنْ لَّا يَعْلَمُوْنَ | 2:13 | Apabila dikatakan kepada mereka, “Berimanlah kamu sebagaimana orang lain telah beriman,” mereka menjawab, “Apakah kami akan beriman seperti orang-orang yang picik akalnya itu beriman?” Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang picik akalnya, tetapi mereka tidak tahu. | wa iza qila lahum aminu kama amanan-nasu qalu a nu`minu kama amanas-sufaha`, ala innahum humus-sufaha`u wa lakil la ya'lamun | - | Dan apabila dikatakan dan dinasihatkan kepada mereka, “Berimanlah kamu dengan tulus ikhlas sebagaimana orang lain yang menyambut suara dan seruan akal sehat telah beriman, seperti yang dilakukan para sahabat pengikut Nabi Muhammad, mereka menjawab dengan penuh kesombongan dan nada menghina, "Apakah kami akan beriman seperti orang-orang yang kurang akal itu beriman? Tidak pantas bagi kami untuk mengikuti orang-orang bodoh itu, sebab dengan begitu berarti kami sama bodohnya dengan mereka". Allah membantah kecongkakan mereka dengan mengingatkan orang-orang mukmin, "Ingatlah, sesungguhnya hanya mereka itulah orang-orang yang kurang akal dan bodoh, tetapi mereka tidak tahu dan tidak sadar bahwa kebodohan dan sifat kurang akal itu ada dalam diri mereka, dan mereka juga tidak menyadari kesesatan mereka itu. | Ayat ini melanjutkan keterangan sifat dan sikap orang munafik pada ayat yang dahulu. Kaum munafik itu bila diajak beriman, melaksanakan amar makruf, dan nahi mungkar, mereka menolak dengan alasan bahwa orang-orang yang beriman itu orang-orang yang lemah akalnya, padahal kenyataannya tidak demikian.
Orang-orang munafik memandang orang-orang yang beriman itu bodoh dan lemah akal, seperti terhadap orang Muhajirin yang meninggalkan keluarga dan kampung halaman, bahkan mereka bermusuhan terhadap keluarga-keluarga mereka sendiri dan hamba sahaya seperti Suhaib, Bilal, dan Khabbab. Orang-orang Ansar dipandang mereka juga bodoh karena mereka membagikan harta dan kekayaan mereka kepada orang muhajirin.
Allah menandaskan bahwa merekalah sebenarnya orang-orang yang lemah akalnya, karena mereka tidak menggunakan akal untuk menanggapi kebenaran dan mereka terpengaruh oleh kedudukan mereka dalam kaumnya. Mereka tidak mengetahui iman dan hakikatnya, karenanya mereka tidak mengetahui pula apakah orang-orang mukmin itu bodoh-bodoh atau pintar-pintar. Iman itu tidak akan sempurna diperoleh kecuali dengan ilmu yang yakin. Demikian pula kebahagiaan dunia dan akhirat sebagai tujuan dari iman itu tidaklah dapat dimengerti kecuali oleh orang yang mengetahui hakikat iman. | - | - | - | - | - |
21 | Al-Baqarah | وَاِذَا لَقُوا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قَالُوْٓا اٰمَنَّا ۚ وَاِذَا خَلَوْا اِلٰى شَيٰطِيْنِهِمْ ۙ قَالُوْٓا اِنَّا مَعَكُمْ ۙاِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِءُوْنَ | 2:14 | Apabila mereka berjumpa dengan orang yang beriman, mereka berkata, “Kami telah beriman.” Akan tetapi apabila mereka menyendiri dengan setan-setan (para pemimpin) mereka, mereka berkata, “Sesungguhnya kami bersama kamu, kami hanya pengolok-olok.” | wa iza laqullazina amanu qalu amanna, wa iza khalau ila syayatinihim qalu inna ma'akum innama nahnu mustahzi`un | - | Dan apabila mereka, orang-orang munafik, berjumpa dengan orang yang beriman, mereka berkata, "Kami telah beriman seperti yang kalian yakini tentang kebenaran Rasul dan dakwahnya.” Mereka menyatakan beriman secara lisan untuk melindungi diri dan meraih keuntungan material. Tetapi apabila mereka kembali kepada teman-teman dan para pemimpin mereka yang menyerupai setan-setan dalam perilaku mereka yang selalu berbuat kerusakan dan kejahatan, mereka berkata, “Sesungguhnya kami tidak berubah dan tetap bersama kamu di satu jalan dan satu perbuatan, kami hanya berolok-olok ketika kami mengatakan beriman di hadapan orang-orang mukmin.” | Di antara sifat-sifat orang-orang munafik ialah bermuka dua. Jika mereka bertemu dengan orang-orang Islam mereka menyatakan keislamannya, dengan demikian mereka memperoleh segala apa yang diperoleh kaum Muslimin pada umumnya. Tapi bila berada di tengah teman-teman (setan-setan) mereka, mereka pun menjelaskan apa yang telah mereka lakukan itu sebenarnya hanyalah untuk memperdaya dan memperolok-olokkan kaum Muslimin. Itikad mereka tidak berubah, mereka tetap dalam agama mereka.
Kata “setan” berasal dari kata syaṭana artinya “jauh”, setan berarti “yang amat jauh”. Orang-orang munafik itu dikatakan setan karena mereka amat jauh dari petunjuk Allah, jauh dari kebajikan dan kebaikan. Setan itu mungkin berupa manusia atau jin, seperti tersebut dalam firman Allah swt:
وَكَذٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيٰطِيْنَ الْاِنْسِ وَالْجِنِّ يُوْحِيْ بَعْضُهُمْ اِلٰى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوْرًا ۗوَلَوْ شَاۤءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوْهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُوْنَ ١١٢ (الانعام)
Dan demikianlah untuk setiap nabi Kami menjadikan musuh yang terdiri dari setan-setan manusia dan jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan yang indah sebagai tipuan. (al-An‘ām/6: 112) | - | - | - | - | - |
22 | Al-Baqarah | اَللّٰهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ وَيَمُدُّهُمْ فِيْ طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُوْنَ | 2:15 | Allah akan memperolok-olokkan dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan. | allahu yastahzi`u bihim wa yamudduhum fi tugyanihim ya'mahun | - | Sebagai balasan atas perbuatan mereka itu, Allah akan memperlakukan mereka seperti orang yang memperolok-olokkan dan merendahkan mereka, dan membiarkan mereka dengan menangguhkan siksa-Nya beberapa saat sehingga mereka semakin jauh terombang-ambing dalam kesesatan dan semakin buta dari kebenaran, sampai akhirnya datang saat yang tepat untuk menyiksa mereka, seperti yang akan dijelaskan pada Surah ali Imran/3: 87. | Ayat ini menegaskan hukuman bagi orang munafik sebagai akibat perbuatan mereka yang tersebut pada ayat di atas. Allah membalas olok-olokan mereka dengan menimpakan kehinaan atas mereka dan Allah membiarkan mereka bergelimang terus dalam kesesatan, dan mereka kelak akan diazab pada hari Kiamat.
Pada ayat lain Allah berfirman:
وَنُقَلِّبُ اَفْـِٕدَتَهُمْ وَاَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوْا بِهٖٓ اَوَّلَ مَرَّةٍ وَّنَذَرُهُمْ فِيْ طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُوْنَ ࣖ ۔ ١١٠ (الانعام)
Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti pertama kali mereka tidak beriman kepadanya (Al-Qur’an), dan Kami biarkan mereka bingung dalam kesesatan. (al-An‘ām/6: 110)
Orang-orang munafik itu tidak dapat keluar dari lingkaran kesesatan yang mengurung mereka. Rasa sombong, sifat mementingkan diri sendiri dan penyakit lainnya yang bersarang di hati mereka, menyebabkan mereka tidak dapat melihat kenyataan yang ada di hadapan mereka, yakni bahwa Islam dan umatnya semakin kuat di kota Medinah.
Kegagalan mereka dalam menghambat kemajuan Islam menambah parah penyakit dalam hati mereka sehingga mereka tidak mampu lagi menemukan dan menerima kebenaran yang dibawa Nabi Muhammad saw. Oleh sebab itu mereka terus menerus dalam kebingungan, keragu-raguan serta keras kepala dan tidak menemukan jalan keluar dari lingkaran kesesatan itu. Firman Allah swt:
اَفَلَمْ يَسِيْرُوْا فِى الْاَرْضِ فَتَكُوْنَ لَهُمْ قُلُوْبٌ يَّعْقِلُوْنَ بِهَآ اَوْ اٰذَانٌ يَّسْمَعُوْنَ بِهَاۚ فَاِنَّهَا لَا تَعْمَى الْاَبْصَارُ وَلٰكِنْ تَعْمَى الْقُلُوْبُ الَّتِيْ فِى الصُّدُوْرِ ٤٦ (الحج)
“..... Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.“ (al-Ḥajj/22: 46) | - | - | - | - | - |
23 | Al-Baqarah | اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ اشْتَرَوُا الضَّلٰلَةَ بِالْهُدٰىۖ فَمَا رَبِحَتْ تِّجَارَتُهُمْ وَمَا كَانُوْا مُهْتَدِيْنَ | 2:16 | Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk. Maka, tidaklah beruntung perniagaannya dan mereka bukanlah orang-orang yang mendapatkan petunjuk. | ula`ikallazinasytarawud-dalalata bil-huda fa ma rabihat tijaratuhum wa ma kanu muhtadin | - | Mereka itulah orang-orang yang jauh dari kebenaran yang membeli kesesatan dengan petunjuk. Sikap mereka yang memilih kesesatan dan mengabaikan kebenaran diumpamakan seperti pedagang yang memilih barang-barang rusak untuk dijual dalam perdagangannya. Maka perdagangan mereka itu tidak beruntung. Jangankan untung yang didapat, modal pun hilang. Dan mereka tidak mendapat petunjuk yang dapat mengantarkan kepada kebenaran, sebab yang ada pada mereka hanyalah kesesatan. | Ayat ini menegaskan ayat-ayat sebelumnya tentang orang munafik dan menerangkan kebodohan mereka dengan mengemukakan keburukan tingkah laku dan perkataan mereka.
Orang-orang munafik dengan sifat-sifat yang buruk seperti tersebut pada ayat-ayat di atas merupakan orang-orang yang salah pilih. Mereka menolak petunjuk jalan yang lurus, dan memilih jalan kesesatan dan hawa nafsu. Akhirnya pilihan itu merugikan mereka sendiri, karena mereka tidak mau menerima kebenaran.
Dalam ayat ini Allah mempergunakan kata “membeli” untuk ganti kata “menukar”. Jadi orang munafik itu menukarkan hidayah (petunjuk) dengan ḍalālah (kesesatan), hasilnya mereka kehilangan petunjuk dan memperoleh kesesatan. Petunjuk yang semula mereka miliki itu berupa kesediaan manusia untuk menanggapi kebenaran dan mencapai kesempurnaan. Kesediaan ini bagaikan modal pokok. Modal inilah yang lenyap dari tangan mereka, oleh karena itu mereka tidak akan mendapat untung dan tidak dapat petunjuk lagi. | - | - | - | - | - |
24 | Al-Baqarah | مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِى اسْتَوْقَدَ نَارًا ۚ فَلَمَّآ اَضَاۤءَتْ مَا حَوْلَهٗ ذَهَبَ اللّٰهُ بِنُوْرِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِيْ ظُلُمٰتٍ لَّا يُبْصِرُوْنَ | 2:17 | Perumpamaan mereka seperti orang yang menyalakan api. Setelah (api itu) menerangi sekelilingnya, Allah melenyapkan cahaya (yang menyinari) mereka dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. | masaluhum kamasalillazistauqada nara, fa lamma ada`at ma haulahu zahaballahu binurihim wa tarakahum fi zulumatil la yubsirun | - | Perumpamaan keadaan mereka orang-orang munafik yang sungguh mengherankan itu seperti keadaan yang aneh dari orang-orang yang menyalakan api. Setelah api itu menerangi apa-apa yang ada di sekelilingnya dan memberikan kehangatan, rasa nyaman, dan manfaat lainnya bagi mereka, tiba-tiba Allah melenyapkan cahaya yang menyinari mereka dan membiarkan mereka dalam kegelapan yang kelam, tidak dapat melihat suatu apa pun. Allah telah memberikan kepada mereka petunjuk kebenaran, tetapi mereka tidak berpegang teguh pada petunjuk tersebut, sehingga mata mereka menjadi tertutup, dan mereka pantas berada dalam kebimbangan dan kesesatan. | Ayat ini memberikan gambaran lain tentang orang-orang munafik seperti disebutkan pada ayat-ayat terdahulu dengan perumpamaan yang nyata. Orang-orang munafik yang dimaksud dalam ayat ini ialah orang-orang munafik dari ahli kitab (orang-orang Yahudi). Mereka itu telah beriman kepada kitab-kitab dan rasul-rasul yang telah lalu, maka seharusnya mereka beriman pula kepada Al-Qur’an dan Nabi Muhammad saw, karena kedatangan Nabi Muhammad itu telah disebutkan dalam kitab-kitab mereka. Akan tetapi disebabkan mereka dipengaruhi oleh kebesaran mereka di masa lampau, mereka tidak mau beriman. Tak ubahnya mereka itu seperti orang yang menyalakan api untuk menyinari tempat sekitarnya, tiba-tiba api itu padam, sehingga mereka berada dalam gelap gulita.
ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ اٰمَنُوْا ثُمَّ كَفَرُوْا فَطُبِعَ عَلٰى قُلُوْبِهِمْ فَهُمْ لَا يَفْقَهُوْنَ ٣ (المنٰفقون)
Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir, maka hati mereka dikunci, sehingga mereka tidak dapat mengerti. (al-Munāfiqūn/63: 3) | - | - | - | - | - |
25 | Al-Baqarah | صُمٌّ ۢ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَرْجِعُوْنَۙ | 2:18 | (Mereka) tuli, bisu, lagi buta, sehingga mereka tidak dapat kembali. | summum bukmun 'umyun fa hum la yarji'un | - | Mereka seperti orang tuli, sebab mereka telah kehilangan fungsi pendengaran dengan tidak mengikuti kebenaran yang didengar. Mereka juga seperti orang bisu karena tidak mengucapkan kebenaran oleh sebab hati mereka tertutup, sehingga tidak tergerak melakukan itu. Dan mereka juga seperti orang buta, karena kehilangan fungsi penglihatan, baik melalui mata kepala (basar) ataupun mata hati (basirah), dengan tidak mengambil pelajaran dari hal-hal yang mereka lihat, sehingga pada akhirnya mereka tidak dapat kembali dari kesesatan itu kepada kebenaran yang telah mereka jual dan tinggalkan. | Ayat ini menerangkan orang-orang munafik itu tidak hanya seperti orang yang kehilangan cahaya terang, tetapi juga seperti orang yang kehilangan beberapa indra yang pokok. Tidak dapat mendengar, bicara dan melihat. Orang yang seperti ini tentu akhirnya mengalami kebinasaan.
Mereka dikatakan tuli karena tidak mendengarkan nasihat dan petunjuk bahkan mereka tidak paham, meskipun mendengar. Dikatakan bisu, karena mereka tidak mau menanyakan hal-hal yang kabur bagi mereka, tidak meminta penjelasan dan petunjuk sehingga mereka kehilangan kesempatan untuk mengambil manfaat dari segala pelajaran dan ilmu pengetahuan yang dikemukakan rasul. Dikatakan buta, karena mereka kehilangan manfaat pengamatan dan manfaat pelajaran. Mereka tidak dapat mengambil pelajaran dari segala kejadian yang mereka alami, dan pengalaman bangsa-bangsa lain.
Mereka tidak dapat kembali ke jalan yang benar, karena sifat-sifat tersebut di atas dan mereka tetap membeku di tempatnya. | - | - | - | - | - |
26 | Al-Baqarah | اَوْ كَصَيِّبٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ فِيْهِ ظُلُمٰتٌ وَّرَعْدٌ وَّبَرْقٌۚ يَجْعَلُوْنَ اَصَابِعَهُمْ فِيْٓ اٰذَانِهِمْ مِّنَ الصَّوَاعِقِ حَذَرَ الْمَوْتِۗ وَاللّٰهُ مُحِيْطٌۢ بِالْكٰفِرِيْنَ | 2:19 | Atau, seperti (orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit yang disertai berbagai kegelapan, petir, dan kilat. Mereka menyumbat telinga dengan jari-jarinya (untuk menghindari) suara petir itu karena takut mati. Allah meliputi orang-orang yang kafir.8) | au kasayyibim minas-sama`i fihi zulumatuw wa ra'duw wa barq, yaj'aluna asabi'ahum fi azanihim minas-sawa'iqi hazaral-maut, wallahu muhitum bil-kafirin | 8) Maksudnya adalah bahwa pengetahuan dan kekuasaan Allah Swt. meliputi orang-orang kafir. | Atau keadaan mereka yang penuh kebimbangan, kesulitan, dan ketidaktahuan akan manfaat dan bahaya seperti keadaan orang yang ditimpa hujan lebat dari langit, yang disertai kegelapan karena tebal dan pekatnya awan, petir yang menggelegar dan kilat yang menyambar cepat. Mereka menyumbat telinga dengan ujung jari-jarinya, untuk menghindari suara petir itu karena takut mati. Mereka mengira dengan berbuat demikian akan terhindar dari kematian. Mereka itu bila diturunkan Al-Qur'an yang berisi penjelasan tentang kegelapan akibat kekufuran dan siksa yang akan diterima, penjelasan tentang keimanan dan cahayanya yang kemilau, dan penjelasan tentang macam-macam siksaan yang menakutkan, mereka berpaling dan berusaha menghindar darinya dengan harapan terbebas dari siksa. Allah meliputi dan mengetahui orang-orang yang kafir dengan ilmu dan kekuasaan-Nya. | Ayat ini memberikan perumpamaan yang lain tetang hal ihwal orang-orang munafik itu. Mereka diumpamakan seperti keadaan orang yang ditimpa hujan lebat dalam gelap gulita, penuh dengan suara gemuruh yang menakutkan dan kadang-kadang cahaya kilat menyambar sehingga mereka menutup telinga karena takut binasa.
Demikian halnya orang-orang munafik selalu dalam keragu-raguan dan kecemasan dalam menghadapi cahaya Islam. Menurut anggapan mereka, Islam itu hanyalah membawa kemelaratan, kesengsaraan dan penderitaan. Kadangkala pikiran mereka menyebabkan mereka tidak dapat melihat apa yang ada di balik hujan lebat itu (Islam), yaitu unsur yang membawa kehidupan di atas bumi. | - | - | - | - | - |
27 | Al-Baqarah | يَكَادُ الْبَرْقُ يَخْطَفُ اَبْصَارَهُمْ ۗ كُلَّمَآ اَضَاۤءَ لَهُمْ مَّشَوْا فِيْهِ ۙ وَاِذَآ اَظْلَمَ عَلَيْهِمْ قَامُوْا ۗوَلَوْ شَاۤءَ اللّٰهُ لَذَهَبَ بِسَمْعِهِمْ وَاَبْصَارِهِمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ ࣖ | 2:20 | Hampir saja kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali (kilat itu) menyinari, mereka berjalan di bawah (sinar) itu. Apabila gelap menerpa mereka, mereka berdiri (tidak bergerak). Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia menghilangkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. | yakadul-barqu yakhtafu absarahum, kullama ada`a lahum masyau fihi wa iza azlama 'alaihim qamu, walau sya`allahu lazahaba bisam'ihim wa absarihim, innallaha 'ala kulli syai`ing qadir | - | Karena amat cepat dan terangnya, hampir saja kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari, mereka berjalan beberapa langkah di bawah sinar itu, dan apabila kilat itu menghilang dan gelap kembali menerpa mereka, mereka berhenti di tempat dengan penuh kebimbangan. Orang-orang munafik itu ketika melihat bukti-bukti dan tanda-tanda kekuasaan Allah terkagum-kagum dengan itu semua sehingga mereka berkeinginan mengikuti kebenaran tersebut. Akan tetapi, tidak beberapa lama kemudian mereka kembali kepada kekufuran dan kemunafikan. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia hilangkan pendengaran mereka dengan suara halilintar yang memekakkan telinga, dan Dia hilangkan penglihatan mereka dengan sambaran kilat yang sangat cepat dan terang, tetapi Allah menangguhkan itu semua sampai tiba saatnya nanti. Sungguh, Allah yang memiliki sifat-sifat kesempurnaan Mahakuasa atas segala sesuatu, dengan atau tanpa sebab apa pun. | Ayat ini berhubungan erat dengan ayat sebelumnya, seolah-olah ayat ini menyambung pertanyaan, “Bagaimanakah keadaan mereka dengan kilat itu?” Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Betapa besar kesulitan yang mereka hadapi. Mereka melangkah bilamana ada sinar kilat, dan berhenti bila cahaya itu hilang.
Demikianlah orang-orang munafik itu, mereka mendapatkan sinar iman karena kesaksian mereka pada kebenaran-kebenaran ayat Ilahi dan timbul keinginan untuk mengikuti dakwah Rasul. Tetapi karena kefanatikan yang kuat, kecemasan terhadap tantangan orang banyak, menghilangkan sinar iman itu, dan akhirnya tetap membeku kebingungan di tempatnya.
Allah berkuasa menghilangkan pendengaran dan penglihatan mereka sehingga mereka tidak dapat memahami suatu pelajaran dan tidak dapat memanfaatkan suatu petunjuk. Namun Allah tidak berbuat demikian, meskipun Dia Mahakuasa. | - | - | - | - | 1. Golongan munafik ialah orang-orang yang pura-pura beriman padahal mereka sangat benci kepada Islam.
2. Orang munafik baik yang berasal dari Ahli Kitab maupun yang berasal dari musyrik Arab, selalu berusaha mengadakan tindakan-tindakan permusuhan dan tipu daya untuk menghambat kemajuan Islam, namun usaha mereka sia-sia.
3. Tindakan-tindakan mereka itu timbul dari penyakit yang ada di dalam jiwa mereka. Penyakit yang semakin lama makin parah itu mengakibatkan penderitaan dunia dan akhirat.
4. Orang-orang munafik mengaku berbuat baik padahal sebenarnya mereka membuat kerusakan di atas bumi.
5. Di antara ciri orang munafik ialah mereka berjuang hanya karena ingin memperoleh keuntungan materi.
6. Orang-orang munafik itu tidak memperoleh hidayah atau petunjuk dari Allah dan mereka senantiasa berada dalam kesesatan. |
28 | Al-Baqarah | يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ وَالَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ | 2:21 | Wahai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu agar kamu bertakwa. | ya ayyuhan-nasu'budu rabbakumullazi khalaqakum wallazina ming qablikum la'allakum tattaqun | - | Setelah menjelaskan tiga golongan manusia dalam menyikapi kebenaran Al-Qur'an, yaitu orang-orang bertakwa, kafir, dan munafik, selanjutnya Allah menyeru kepada manusia secara umum agar beragama secara benar melalui tiga hal: hanya beribadah kepada Allah (ayat 21-22), percaya kepada risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad, yakni Al-Qur'an, (ayat 23-24), dan beriman kepada hari kebangkitan (ayat 25). Wahai manusia! Sembahlah dan beribadahlah secara tulus kepada Tuhanmu sebab Dia yang telah menciptakan dan memelihara kamu dan orang-orang yang sebelum kamu dari yang sebelumnya tiada. Dia adalah satu-satunya Pencipta segala sesuatu. Perintah beribadah itu ditujukan agar kamu bertakwa dan dapat memelihara diri serta terhindar dari murka dan siksa Allah. Dengan beribadah, berarti kita telah mempersiapkan diri untuk mengagungkan Allah, sehingga jiwa menjadi suci dan tunduk kepada kebenaran. | Ayat-ayat ini memerintahkan beribadah dan menyembah kepada Allah. Perintah beribadah ini ditujukan oleh Allah kepada seluruh manusia sejak zaman dahulu dengan perantaraan rasul-rasul-Nya. Allah berfirman:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِيْ كُلِّ اُمَّةٍ رَّسُوْلًا اَنِ اعْبُدُوا اللّٰهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَۚ ٣٦ (النحل)
Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), ”Sembahlah Allah, dan jauhilah Ṭāgūt.” (an-Naḥl/16: 36).
Tiap-tiap rasul memulai dakwahnya dengan seruan kepada kaumnya agar menyembah Allah saja. Misalnya, Allah swt berfirman:
فَقَالَ يٰقَوْمِ اعْبُدُوا اللّٰهَ مَا لَكُمْ مِّنْ اِلٰهٍ غَيْرُهٗۗ
“.... Lalu dia (Nuh) berkata, ”Wahai kaumku! Sembahlah Allah! Tidak ada tuhan (sembahan) bagimu selain Dia. …” (al-A‘rāf/7: 59)
Beribadah kepada Allah ialah menghambakan diri kepada-Nya, dengan penuh kekhusyukan, memurnikan ketaatan hanya kepada-Nya, karena merasakan bahwa hanya Allah-lah yang menciptakan, menguasai, memelihara dan mendidik seluruh makhluk. Ibadah seorang hamba sebagaimana yang disebutkan itu akan dinilai Allah swt menurut niat hamba yang melakukannya.
Pada ayat ini Allah swt disebut dengan “rabb”, kemudian diiringi dengan perkataan “…yang telah menciptakan kamu dan orang-orang sebelummu…” Hal ini memberi pengertian bahwa Allah menciptakan manusia, mengembangbiakkannya, memberi taufik, menjaga dan memelihara, dan memberi nikmat agar dengan nikmat itu manusia dapat melaksanakan tugas-tugasnya sebagai hamba Allah. Semua rahmat tersebut diberikan kepada manusia sejak permulaan adanya, sampai akhir kehidupannya di dunia ini. Barang siapa yang mensyukuri nikmat Allah maka akan ditambahkan-Nya nikmat itu, sebaliknya barang siapa yang mengingkari nikmat Allah, maka ia akan menerima azab di dunia sebagaimana yang telah ditimpakan-Nya kepada umat-umat yang terdahulu dan di akhirat nanti akan disediakan azab yang pedih.
Allah swt berfirman:
وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ ٧ (ابرٰهيم)
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, ”Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (Ibrāhīm/14: 7).
Dengan beribadah kepada Allah sebagaimana yang diperintahkan itu, manusia akan terhindar dari azab Allah dan ia akan mencapai derajat yang tinggi lagi sempurna. | - | - | Kosakata: U‘budū اُعْبُدُوْا (al-Baqarah/2: 21)
Ibadah berasal dari akar kata (Arab) ‘abada yang berarti merendahkan diri, taat, tunduk, patuh, dan mengikuti. Secara istilah, ibadah ialah suatu sebutan bagi semua ucapan, sikap, dan perbuatan yang dapat mendatangkan cinta dan keridaan Allah. Ibadah merupakan salah satu hak Allah. Tidak ada yang berhak menerima ibadah makhluk melainkan Zat Yang Mahaagung yaitu Allah swt. Oleh karena itu Allah menegaskan, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku,” (aż-Żāriyāt/51:56). Para ulama fikih mengartikan ibadah sebagai segala sesuatu yang dikerjakan untuk mendapatkan keridaan Allah dan mengharapkan pahala di akhirat. Di dalam Al-Qur’an terdapat 274 kata yang diturunkan dari kata ‘abada. Di antaranya ada yang bermakna beribadah kepada selain Allah, antara lain kepada ṭāgūt (al-Mā’idah/5: 60), kepada setan (Maryam/19: 44). Kalimat-kalimat dalam bentuk perintah menunjukkan wajibnya beribadah hanya kepada Allah, dan agar jangan beribadah kepada selain Allah. Dalam ayat ini manusia diperintahkan untuk beribadah kepada Allah yang telah menciptakannya. | - | - |
29 | Al-Baqarah | الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ الْاَرْضَ فِرَاشًا وَّالسَّمَاۤءَ بِنَاۤءً ۖوَّاَنْزَلَ مِنَ السَّمَاۤءِ مَاۤءً فَاَخْرَجَ بِهٖ مِنَ الثَّمَرٰتِ رِزْقًا لَّكُمْ ۚ فَلَا تَجْعَلُوْا لِلّٰهِ اَنْدَادًا وَّاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ | 2:22 | (Dialah) yang menjadikan bagimu bumi (sebagai) hamparan dan langit sebagai atap, dan Dialah yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan (hujan) itu buah-buahan sebagai rezeki untuk kamu. Oleh karena itu, janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu mengetahui. | allazi ja'ala lakumul-arda firasyaw was-sama`a bina`aw wa anzala minas-sama`i ma`an fa akhraja bihi minas-samarati rizqal lakum, fa la taj'alu lillahi andadaw wa antum ta'lamun | - | Sesungguhnya Dialah yang dengan kekuasaan-Nya menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu sehingga layak dan nyaman untuk dihuni, dan menjadikan di atas kamu langit dan benda-benda yang ada padanya sebagai atap, atau sebagai bangunan yang cermat, indah, dan kukuh. Dan Dialah yang menurunkan sebagian dari air, yaitu air hujan, dari langit yang menjadi sumber kehidupan. Lalu Dia hasilkan dengan air itu sebagian dari buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah yang telah menciptakan sedemikian rupa dan telah memberimu rezeki, padahal kamu dengan fitrah kesucian yang ada dalam diri mengetahui bahwa Allah tidak ada yang menyerupai-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan tidak ada yang memberi rezeki selain-Nya, maka janganlah kamu menyimpang dari fitrah itu. | Allah swt menerangkan bahwa Dia menciptakan bumi sebagai hamparan dan langit sebagai atap, menurunkan air hujan, menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan menjadikan tumbuh-tumbuhan itu berbuah. Semuanya diciptakan Allah untuk manusia, agar manusia memperhatikan proses penciptaan itu, merenungkan, mempelajari dan mengolahnya sehingga bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan sesuai dengan yang telah diturunkan Allah. Dengan jelas Allah menerangkan dalam ayat ini terutama pada bagian yang mengungkapkan ’’Dan Dialah yang menurunkan air (hujan) dari langit lalu Dia hasilkan dengan (hujan) itu buah-buahan.’’
Dengan terang Allah menyebutkan bumi, langit dan benda-benda langit, seperti matahari dan bintang-bintang adalah ciptaan Allah yang merupakan satu kesatuan dan semuanya diatur dengan satu kesatuan sitem yang dalam ilmu pengetahuan modern disebut ekosistem. Selama belum dirusak oleh tangan-tangan manusia yang memperturutkan hawa nafsunya, semua berjalan dengan tertib dan teratur.
Laut yang luas yang disinari panas matahari kemudian menyebabkan uap air yang banyak. Uap air ini naik ke atas menjadi awan dan mendung, kemudian disebarkan oleh angin ke seluruh permukaan bumi, sehingga uap air yang banyak sekali ini di atas gunung-gunung menjadi dingin dan kemudian menjadi titik-titik dan menjadi hujan dapat mengairi permukaan bumi yang luas, bukan hanya timbul hujan di atas laut, tetapi juga di darat, karena bantuan angin yang menyebarkannya.
Disebabkan hujan yang turun dari langit itu kemudian bumi menjadi subur, berbagai tanaman buah, sayur, biji-bijian serta ubi dan sebagainya tumbuh dan memberikan banyak manfaat bagi manusia dan semua makhluk di bumi. Di samping itu, turunnya hujan juga menimbulkan sungai, danau dan sumur terisi air serta memperluas kesuburan bumi. Hutan yang lebat juga membantu menyalurkan air dalam bumi, membantu menyalurkan udara segar, menyejukkan udara yang panas dan memelihara kesuburan bumi.
Manusia dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat mengetahui kapan banyak turun hujan dan kapan jarang hujan atau bahkan sama sekali tidak ada hujan, berdasarkan letak bintang di langit maupun peredaran angin. Juga dapat diketahui di mana berkumpulnya ikan-ikan di laut yang banyak sekali jenis dan ragamnya, bahkan ke mana burung-burung pergi pada musim-musim tertentu dapat diketahuinya.
Berikut penjelasan saintis/ilmuan tentang langit sebagai atap: Atap untuk sebuah bangunan terutama diperlukan agar penghuni yang tinggal di dalamnya terhindar dari hujan dan panas matahari. Dalam konteks ayat di atas langit sebagai atap adalah perumpamaan yang ditujukan untuk bumi tempat kita hidup.
Setiap saat, bumi dihujani benda angkasa yang antara lain adalah meteorit. Akan tetapi, sampai saat ini bumi tidak porak poranda. Hal ini disebabkan bumi diselimuti oleh gas atau udara yang bernama atmosfer. Sebelum sampai ke bumi, meteorid akan terpecah belah dan hancur saat memasuki atmosfer. Sebelum sampai ke atmosfer sinar yang dipancarkan matahari pun memecahkan meteorid yang ada. Radiasi sinar matahari inilah yang dapat meledakkan meteorid dalam perjalanannya ke bumi dan kemudian diserap oleh lapisan ozon. Dengan demikian atmosfer dan lapisan ozon merupakan selubung pengaman atau dengan kata lain boleh disebut sebagai atap bagi bumi. Bumi tidak mungkin dihuni oleh makhluk hidup tanpa adanya atap tersebut. Ayat lain yang menyatakan hal yang sama adalah al-Anbiyā’/21: 32 yang artinya:
Dan Kami menjadikan langit sebagai atap yang terpelihara, namun mereka tetap berpaling dari tanda-tanda (kebesaran Allah) itu (matahari, bulan, angin, awan dan lain-lainnya). (al-Anbiyā’/21: 32).
Tebal atmosfer mencapai 560 kilometer, diukur dari permukaan bumi. Penelitian mengenai atmosfer dimulai dengan menggunakan fenomena alam yang dapat dilihat dari bumi, seperti warna-warna indah saat matahari terbit dan terbenam, dan kilapan cahaya bintang. Dalam tahun-tahun belakangan ini, dengan menggunakan peralatan canggih yang ditaruh dalam satelit di luar angkasa, kita dapat mengerti lebih baik mengenai atmosfer dan fungsinya untuk bumi.
Secara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa kehidupan di bumi didukung oleh tiga hal, yaitu adanya atmosfer, adanya energi yang datang dari sinar matahari, dan hadirnya medan magnet bumi.
Atmosfer diketahui menyerap sebagian besar energi sinar matahari, mendaur ulang air dan beberapa komponen kimia lainnya, dan bekerjasama dengan muatan listrik dan magnet yang ada untuk menghasilkan cuaca yang nyaman. Atmosfer juga melindungi kehidupan bumi dari ruang angkasa yang hampa udara dan bersuhu rendah.
Atmosfer terdiri atas lapisan-lapisan gas yang berbeda-beda. Empat lapisan dapat dibedakan berdasarkan perbedaan suhu, perbedaan komposisi bahan kimia, pergerakan-pergerakan bahan kimia di dalamnya, dan perbedaan kepadatan udara. Keempat lapisan tersebut adalah Troposfer, Stratosfer, Mesosfer, dan Thermosfer, atau dapat pula dibagi menjadi tujuh seperti yang dijelaskan pada al-Baqarah/2: 29.
Komposisi gas di atmosfer terutama terdiri atas nitrogen (78%), oksigen (21%) dan argon (1%). Beberapa komponen yang sangat berpengaruh pada iklim dan cuaca juga hadir, meski dalam jumlah yang sangat kecil seperti uap air (0,25%), karbondioksida (0,036%) dan ozone (0,015%)
Perihal angin, awan dan air hujan
Hubungan angin dan awan yang kemudian menghasilkan hujan dapat dijelaskan dengan melihat pada siklus air. Siklus air berlangsung mulai penguapan air laut yang membubung ke atas menjadi awan lalu turun ke bumi dalam bentuk tetes air hujan, kemudian air yang turun dalam bentuk hujan itu kembali lagi ke laut melalui sungai dan air bawah tanah. Al-Qur’an tidak menyebut secara rinci siklus air seperti itu, akan tetapi, banyak ayat yang menjelaskan beberapa bagian dari proses keseluruhannya secara sangat akurat. Antara lain dua ayat di bawah ini.
Allah-lah yang mengirimkan angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang Dia kehendaki, dan menjadikannya bergumpal-gumpal, lalu engkau lihat hujan keluar dari celah-celahnya, maka apabila Dia menurunkannya kepada kepada hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki tiba-tiba mereka gembira. (ar-Rūm/30: 48).
Tidakkah engkau melihat bahwa Allah menjadikan awan bergerak perlahan, kemudian mengumpulkannya, lalu Dia menjadikannya bertumpuk-tumpuk, lalu engkau melihat hujan keluar dari celah-celahnya, dan Dia (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung, maka ditimpakan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki dan dihindarkan-Nya dari siapa yang Dia kehendaki. Kilauan kilatnya hampir-hampir menghilangkan penglihatan. (an-Nūr/24: 43).
Kedua ayat di atas menggambarkan tahapan-tahapan pembentukan awan yang menghasilkan hujan, yang dalam gilirannya, merupakan salah satu tahap dalam siklus air. Dengan melihat lebih cermat kedua ayat di atas maka tampak nyata adanya dua fenomena. Pertama adalah penyebaran awan dan lainnya adalah penyatuan awan. Dua proses yang berlawanan terjadi sehingga awan hujan dapat dibentuk. Dua proses yang disebutkan dalam Al-Qur’an ini baru ditemukan oleh ilmu meteorologi modern sekitar 200 tahun yang lalu.
Ada dua tipe awan yang dapat menghasilkan hujan. Keduanya dapat diklasifikasikan berdasarkan bentuknya, yaitu stratus (tipe berlapis) dan cumulus (tipe menumpuk).
Pada tipe awan yang berlapis, dua tahapan penting yang terjadi adalah tahap awan tipe stratus dan nimbostratus (nimbo artinya hujan). Ayat pertama di atas (ar-Rūm/30: 48), secara sangat jelas memberikan informasi mengenai formasi awan yang berlapis. Tipe awan semacam itu hanya akan terbentuk dalam kondisi angin yang bertiup secara bertahap dan secara perlahan menaikan awan ke atas. Selanjutnya, awan tersebut akan berbentuk seperti lapisan-lapisan yang melebar (“Allah-lah yang mengirimkan angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit.....”).
Apabila kondisinya cocok, (antara lain jika suhu cukup rendah dan kadar air cukup tinggi) maka butir-butir air akan menyatu dan menjadi butiran-butiran air yang lebih besar. Kita dapat melihat proses tersebut sebagai menghitamnya awan. Dalam terjemahan Quraish Shihab, bagian ini disebutkan sebagai: “......dan menjadikannya bergumpal-gumpal....”. Namun dalam terjemahan Al-Qur'an dalam bahasa Inggris, bagian ini diterjemahkan sebagai: “.... and makes them dark...". Akhirnya, butiran air hujan akan jatuh dari awan: “.....lalu engkau lihat hujan keluar dari celah-celahnya....”.
Tipe awan yang kedua yang dapat menghasilkan hujan adalah tipe awan yang bertumpuk-tumpuk. Awan ini terbagi berdasarkan bentuknya dalam beberapa nama, yaitu cumulus, cumulonimbus dan stratocumulus. Awan ini ditandai oleh bentuknya yang bergumpal-gumpal dan saling bertumpuk. Cumulus dan cumulonimbus adalah tipe awan yang bergumpal-gumpal, sedangkan stratocumulus tidak bergumpal, sedikit menipis dan melebar. Ayat kedua (an-Nūr/24: 43) menjelaskan pembentukan tipe awan ini.
Awan tipe ini dibentuk oleh angin keras yang mengarah ke atas dan ke bawah (“....bahwa Allah menggerakkan awan...”). Dalam terjemahan Al-Qur’an bahasa Inggris, bagian ayat ini diterjemahkan sebagai: "...drives clouds with force...". Mendorong awan dengan kuat. Ketika gumpalan awan terjadi, mereka menyatu menjadi gumpalan awan raksasa, bertumpuk-tumpuk satu sama lain. Pada titik ini, awan cumulus atau cumulonimbus sudah dapat menghasilkan air hujan.
Kalimat selanjutnya dari ayat ini, nampaknya menggambarkan secara khusus terjadinya cumulonimbus, suatu keadaan awan yang dikenal dengan nama awan badai. Tumpukan gumpalan awan yang menjulang ke atas ini apabila di lihat dari bawah mirip dengan bentuk gunung. Dengan menjulang tinggi ke angkasa maka butir air yang sudah terbentuk akan membeku menjadi butiran es (“..... .lalu Dia menjadikannya bertumpuk-tumpuk, lalu engkau melihat hujan keluar dari celah-celahnya, dan Dia (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung....”), Awan cumulonimbus juga menghasilkan ciptaan Tuhan yang sangat berharga, yaitu halilintar (“...kilauan kilatnya hampir-hampir menghilangkan penglihatan.”)
Ayat lain yang terkait dengan siklus air yang bertalian dengan tahap lain di luar hujan adalah Surah Gāfir/23: 18 yang artinya sebagai berikut:
Dan Kami turunkan air dari langit dengan suatu ukuran; lalu Kami jadikan air itu menetap di bumi, dan pasti Kami berkuasa melenyapkannya. (Gāfir/23: 18).
Ayat ini menyatakan dengan jelas bahwa air hujan diserap oleh tanah tapi tidak hilang. Artinya air tanah masih dapat dialirkan. Dua ayat di bawah ini juga menggambarkan cara aliran air, yaitu aliran permukaan (ar-Ra‘d/13: 17) dan aliran air tanah (az-Zumar/39: 21) yang artinya demikian:
Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah ia (air) di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengambang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti (buih arus) itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan tentang yang benar dan yang batil. Adapun buih, akan hilang sebagai sesuatu yang tidak ada gunanya; tetapi yang bermanfaat bagi manusia, akan tetap ada di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan. (ar-Ra‘d/13 : 17).
Apakah engkau tidak memperhatikan, bahwa Allah menurunkan air dari langit, lalu diatur-Nya menjadi sumber-sumber air di bumi, kemudian dengan air itu ditumbuhkannya –tanaman tanaman yang bermacam-macam warnanya, kemudian dijadikan-Nya hancur, berderai-derai. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi yang mempunyai akal sehat. (az-Zumar/39: 21).
Banyak ayat lainnya dalam Al-Qur’an yang membicarakan mengenai siklus air, seperti Gāfir /40:13; al-Mu’minūn /23: 18; al-Furqān/25: 48; al-‘Ankabūt/29: 63, dan lainnya. Semua ayat-ayat tersebut menyatakan hal yang bersinggungan dengan berbagai ayat yang diacu di muka. Beberapa ayat lainnya juga berbicara mengenai air, namun dengan konteks yang berbeda, seperti yang dapat dilihat dalam surah al-Wāqi‘ah/56: 68-70 yang artinya:
Pernahkah kamu memperhatikan air yang kamu minum? Kamukah yang menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkan? Sekiranya Kami menghendaki, niscaya Kami menjadikannya asin. Mengapa kamu tidak bersyukur? (al-Wāqi‘ah/56: 68-70).
Ayat yang berupa kalimat pertanyaan ini menekankan akan ketidak berdayaan manusia dalam mimpi yang paling tua yaitu mengontrol hujan. Fakta memperlihatkan bahwa hujan buatan tidak akan dapat diadakan apabila awan dengan kondisi tertentu tidak tersedia. Awan tersebut harus memiliki berbagai partikel dalam kadar tertentu, kadar air yang tinggi yang dibawa angin yang naik ke atas, dan terdapat perkembangan tumpukan awan yang mengarah ke atas. Apabila semua karakter ini terdapat pada awan tersebut, barulah hujan buatan dapat dilaksanakan. Akan tetapi, para ahli meteorologi masih mempertanyakan efektivitas cara ini.
Ayat yang berkenaan dengan siklus air selanjutnya adalah ayat yang menjelaskan mengenai sungai-sungai besar dan lautan.
Dan Dialah yang membiarkan dua laut mengalir (berdampingan); yang ini tawar dan segar dan yang lain asin lagi pahit, dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang tidak tertembus. (al-Furqān/25: 53).
Deskripsi sungai besar, muara sungai besar dan laut diwartakan dalam bentuk rasa airnya oleh ayat di atas. Di muara sungai atau estuari, terjadi penggabungan air tawar dan air asin. Namun cara bercampurnya sangat unik. Air tawar yang ditumpahkan ke laut akan tetap tawar sampai jauh ke tengah laut, sebelum benar-benar bercampur dengan air asin. Percampuran terjadi jauh dari mulut sungai di tengah laut.
Satu ayat lagi terkait (tidak langsung) dengan turunnya hujan adalah aṭ-Ṭūr/52: 44 yang artinya:
Dan jika mereka melihat gumpalan-gumpalan awan berjatuhan dari langit, mereka berkata: Itu adalah awan yang bergumpal-gumpal. (aṭ-Ṭūr /52: 44)
Ayat ini turun untuk menjawab tantangan dari beberapa orang kafir agar Nabi Muhammad menjatuhkan langit di kepala mereka. Mereka menduga bahwa langit adalah lempengan atau kepingan yang menjadi atap dunia. Allah tidak menjawab tantangan mereka di sini dan menjelaskan bahwa mereka hanya akan menemukan awan. Sesuatu yang tidak akan dapat dimengerti oleh mereka pada saat itu.
Orang-orang beriman hanya diperintahkan Allah untuk menjaga konservasi alam ini, karena banyak orang-orang kafir dan durhaka yang menyalahgunakan ilmu pengetahuan untuk merusak alam. Orang beriman sebagai khalīfatullāh fil arḍ bertugas memelihara lingkungan hidup dan memanfaatkannya untuk mencapai kemanfaatan hidup sehingga kesejahteraan dan kebahagiaan dapat dinikmati dan disyukuri oleh setiap manusia. Karena Allah yang memberikan nikmat-nikmat itu, maka manusia wajib menyembah Allah saja.
Allah memberikan semua nikmat itu agar manusia bertakwa dan melaksana¬kan tugas-tugasnya sebagai seorang hamba Allah.
Tugas-tugas itu dapat dipahami dari firman Allah:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ ٥٦ (الذّٰريٰت)
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. (aż-Żāriyāt/51: 56)
Allah swt menguji manusia dalam melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya, dengan firman-Nya:
الَّذِيْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيٰوةَ لِيَبْلُوَكُمْ اَيُّكُمْ اَحْسَنُ عَمَلًاۗ
Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.…( al-Mulk/67: 2).
Karena manusia telah mengetahui perintah-perintah itu dan mengetahui tentang keesaan dan kekuasaan Allah, maka Allah memberi peringatan, “Janganlah manusia menjadikan tuhan-tuhan yang lain di samping Allah dan jangan mengatakan bahwa Allah berbilang.” | - | - | - | - | 1. Allah ini memerintahkan agar manusia beribadah kepada-Nya, memurni-kan ketaatan hanya kepada-Nya saja, dan tidak mempersekutukan-Nya dengan yang lain.
2. Bila manusia menyadari bahwa alam ini diciptakan Allah untuknya, maka manusia wajib menyembah hanya kepada-Nya, melaksanakan perintah dan menghentikan larangan-Nya.
3. Orang-orang beriman wajib menjaga alam dan lingkungan hidup untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan serta dapat dinikmati dan disyukuri oleh semuanya.
4. Manusia hendaklah selalu mengingat dan memikirkan segala nikmat Allah itu dan hendaklah mereka mensyukuri nikmat itu. |
30 | Al-Baqarah | وَاِنْ كُنْتُمْ فِيْ رَيْبٍ مِّمَّا نَزَّلْنَا عَلٰى عَبْدِنَا فَأْتُوْا بِسُوْرَةٍ مِّنْ مِّثْلِهٖ ۖ وَادْعُوْا شُهَدَاۤءَكُمْ مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ | 2:23 | Jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang apa (Al-Qur’an) yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Nabi Muhammad), buatlah satu surah yang semisal dengannya dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. | wa ing kuntum fi raibim mimma nazzalna 'ala 'abdina fa`tu bisuratim mim mislihi wad'u syuhada`akum min dunillahi ing kuntum sadiqin | - | Dan jika kamu tetap meragukan kebenaran Al-Qur'an yang telah Kami nyatakan tidak ada keraguan di dalamnya, yang Kami turunkan secara berangsur-angsur kepada hamba Kami Nabi Muhammad, maka sebenarnya ada bukti nyata di antara kamu yang dapat menjelaskan kebenarannya, yaitu: buatlah satu surah yang semisal dengannya, baik dari segi sastra, kandungan hukum, nilai-nilai moral, maupun petunjuk lainnya yang ada dalam Al-Qur'an; dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah untuk membantumu dalam menyusun yang serupa, kamu tidak akan mampu melakukan itu. Ini semua hendak-nya kamu lakukan jika kamu menganggap dirimu sebagai orang-orang yang benar pernyataannya bahwa Al-Qur'an hanyalah karya buatan Nabi Muhammad. | Dalam ayat ini Allah swt menyatakan: Jika kamu sekalian masih ragu-ragu tentang kebenaran Al-Qur’an dan mendakwakan Al-Qur’an buatan Muhammad, cobalah buat satu surah saja semisal[2] ayat-ayat Al-Qur’an itu.[3] Kalau benar Muhammad yang membuatnya, niscaya kamu tentu sanggup pula membuatnya karena kamu pasti sanggup melakukan segala perbuatan yang sanggup dibuat oleh manusia. Ajak pulalah berhala-berhala yang kamu sembah dan pembesar-pembesarmu untuk bersama-sama dengan kamu membuatnya, karena kamu mengakui kekuasaan dan kebesaran mereka.
Kemudian Allah menegaskan, jika kamu benar dalam pengakuanmu itu, tentu kamu sanggup membuatnya, tetapi kamu adalah orang-orang pendusta. Al-Qur’an itu benar-benar diturunkan dari Allah, karena itu mustahil manusia dapat membuatnya. Ayat ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an itu adalah mukjizat yang paling besar bagi Muhammad saw. | - | - | Kosakata: Fa’tū bi Sūrah فَأْتُوْا بِسُوْرَةٍ (al-Baqarah/2: 23)
Dalam ayat ini Allah memerintahkan atau menantang orang-orang yang meragukan kebenaran Al-Qur’an untuk membuat satu surah (ityān as-sūrah). Tantangan (at-taḥaddi) untuk membuat satu surah yang dapat menyamai surah Al-Qur’an pastilah tidak dapat dipenuhi oleh siapa pun, mengingat Al-Qur’an diciptakan Allah di samping sebagai petunjuk bagi manusia juga sebagai mukjizat Nabi Muhammad saw. Menurut Al-Qur’an, tantangan Allah kepada manusia diberlakukan secara berjenjang. Pertama, jin dan manusia seandainya mereka bersatu-padu untuk membuat semisal Al-Qur’an pastilah mereka tidak mampu (al-Isrā’/17:88), (aṭ-Ṭūr/52:34). Kedua, tantangan lalu diturunkan, agar mereka membuat sepuluh surah yang menyamai Al-Qur’an (Hūd/11:13). Ketiga, tantangan diturunkan lagi menjadi hanya satu surah, seperti dalam ayat ini (al-Baqarah/2:23) dan juga seperti dalam surah Yūnus/10:38. Semua tantangan itu tidak ada yang dapat dipenuhi oleh mereka yang meragukan Al-Qur’an. | - | - |
31 | Al-Baqarah | فَاِنْ لَّمْ تَفْعَلُوْا وَلَنْ تَفْعَلُوْا فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِيْ وَقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ ۖ اُعِدَّتْ لِلْكٰفِرِيْنَ | 2:24 | Jika kamu tidak (mampu) membuat(-nya) dan (pasti) kamu tidak akan (mampu) membuat(-nya), takutlah pada api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu yang disediakan bagi orang-orang kafir. | fa il lam taf'alu wa lan taf'alu fattaqun-narallati waquduhan-nasu wal-hijaratu u'iddat lil-kafirin | - | Jika kamu tidak mampu membuat surah yang serupa dengan-nya, dan kamu pasti tidak akan mampu melakukannya, sebab hal itu berada di luar kemampuanmu sebagai manusia, maka takutlah kamu akan api neraka dengan memelihara diri dari hal-hal yang dapat menjerumuskan kamu ke dalamnya yang bahan bakarnya manusia yang ingkar/kufur dan batu yang berasal dari patung-patung sembahan dan lainnya, yang disediakan bagi orang-orang kafir dan setiap orang yang bersikap seperti mereka, yaitu menutupi kebenaran tanda kekuasaan Allah. | Ayat ini menegaskan bahwa semua makhluk Allah tidak akan sanggup membuat tandingan terhadap satu ayat pun dari ayat-ayat Al-Qur’an. Karena itu hendaklah manusia memelihara dirinya dari api neraka dengan mengikuti petunjuk-petunjuk Al-Qur’an. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah swt:
قُلْ لَّىِٕنِ اجْتَمَعَتِ الْاِنْسُ وَالْجِنُّ عَلٰٓى اَنْ يَّأْتُوْا بِمِثْلِ هٰذَا الْقُرْاٰنِ لَا يَأْتُوْنَ بِمِثْلِهٖ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيْرًا ٨٨ (الاسراۤء)
Katakanlah, ”Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa (dengan) Al-Qur’an ini, mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun mereka saling membantu satu sama lain.” (al-Isrā’/17: 88) | - | - | - | - | 1. Al-Qur’an adalah Kitab Allah. Seandainya Al-Qur’an itu buatan manusia, tentu manusia yang lain dapat pula membuat yang serupa dengan Al-Qur’an.
2. Ayat-ayat ini merupakan tantangan bagi setiap manusia yang meragukan kebenaran Al-Qur’an pada setiap zaman.
3. Al-Qur’an adalah mukjizat yang paling besar bagi Nabi Muhammad saw. |
32 | Al-Baqarah | وَبَشِّرِ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ اَنَّ لَهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ ۗ كُلَّمَا رُزِقُوْا مِنْهَا مِنْ ثَمَرَةٍ رِّزْقًا ۙ قَالُوْا هٰذَا الَّذِيْ رُزِقْنَا مِنْ قَبْلُ وَاُتُوْا بِهٖ مُتَشَابِهًا ۗوَلَهُمْ فِيْهَآ اَزْوَاجٌ مُّطَهَّرَةٌ وَّهُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ | 2:25 | Sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh bahwa untuk mereka (disediakan) surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Setiap kali diberi rezeki buah-buahan darinya, mereka berkata, “Inilah rezeki yang diberikan kepada kami sebelumnya.” Mereka telah diberi (buah-buahan) yang serupa dan di sana mereka (memperoleh) pasangan-pasangan yang disucikan. Mereka kekal di dalamnya. | wa basysyirillazina amanu wa 'amilus-salihati anna lahum jannatin tajri min tahtihal-an-har, kullama ruziqu min-ha min samaratir rizqang qalu hazallazi ruziqna ming qablu wa utu bihi mutasyabiha, wa lahum fiha azwajum mutahharatuw wa hum fiha khalidun | - | Dan jika demikian balasan yang akan diterima oleh orang-orang kafir, maka tidak demikian halnya dengan orang-orang yang beriman. Surga yang nyaman dan indah adalah tempat bagi mereka. Sampaikanlah kabar gembira yang menenteramkan jiwa kepada orang-orang yang beriman kepada Allah, Rasul, dan kitab-Nya tanpa keraguan sedikit pun, dan berbuat amal-amal kebajikan, bahwa untuk mereka Allah menyediakan di sisi-Nya surga-surga dengan kebun-kebun yang rindang dan berbuah, serta istana-istana yang menjulang tinggi, yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Setiap kali mereka diberi rezeki oleh Allah berupa buah-buahan dari surga, mereka berkata, “Inilah rezeki yang serupa dengan yang pernah diberikan kepada kami dahulu.” Mereka telah diberi buah-buahan yang serupa dari segi nama, bentuk, dan jenisnya, meski rasa dan kelezatannya jauh berbeda. Dan di sana mereka juga memperoleh pasangan-pasangan yang suci, tanpa cacat dan kekurangan sedikit pun. Mereka kekal hidup di dalamnya untuk selama-lamanya, tidak akan pernah mati, dan tidak akan pernah keluar darinya. | Allah swt memerintahkan Nabi Muhammad saw agar menyampaikan “berita gembira” kepada orang-orang yang beriman. Sifat-sifat berita gembira itu ialah berita yang dapat menimbulkan kegembiraan dalam arti yang sebenarnya bagi orang-orang yang menerima atau mendengar berita itu. “Berita gembira” hanya ditujukan kepada mereka yang bekerja dan berusaha dengan sebaik-baiknya sesuai dengan tujuan yang digariskan oleh agama. Karena itulah Allah menyuruh Nabi Muhammad menyampaikan berita gembira itu kepada mereka yang beriman dan berbuat baik.
Iman yang dihargai Allah adalah iman yang hidup, yakni iman yang dibuktikan dengan amal kebajikan. Sebaliknya, Allah tidak menghargai amal apabila tidak berdasarkan iman yang benar.
“Amal” (perbuatan) ialah mewujudkan suatu perbuatan atau pekerjaan, baik berupa perkataan, perbuatan atau pun ikrar hati, tetapi yang biasa dipahami dari perkataan “amal” ialah perbuatan anggota badan. Amal baik mewujudkan perbuatan yang baik seperti yang telah ditentukan oleh agama.
Pada ayat di atas Allah swt menyebut perkataan “beriman” dan “berbuat baik”, karena “berbuat baik” itu adalah hasil daripada “iman”. Pada ayat di atas ini juga disebut balasan yang akan diterima oleh orang-orang yang beriman, yaitu surga dengan segala kenikmatan yang terdapat di dalamnya.
“Surga” menurut bahasa berarti “taman” yang indah dengan tanam-tanaman yang beraneka warna, menarik hati orang yang memandangnya. Yang dimaksud dengan “surga” di sini tempat yang disediakan bagi orang yang beriman di akhirat nanti.
Surga termasuk alam gaib, tidak diketahui hakikatnya oleh manusia, hanya Allah saja yang mengetahuinya. Yang perlu dipercaya adalah bahwa surga merupakan tempat yang penuh kenikmatan jasmani dan rohani yang disediakan bagi orang yang beriman. Bentuk kenikmatan itu tidak dapat dibandingkan dengan kenikmatan duniawi. | - | - | Kosakata: Jannah جَنَّةٌ (al-Baqarah/2: 25)
Kata jannah berakar dari janna, sinonim kata satara (menutupi), dan bentuk jamaknya adalah jinan. Kata jannah menurut bahasa berarti kebun yang terdapat pohon-pohon yang lebat di dalamnya, sehingga orang yang ada di dalamnya tidak bisa terlihat karena tertutup oleh pepohonan. Jin dinamakan demikian karena ia tertutup dari pandangan manusia. Mijann yang artinya tameng karena ia menutupi orang yang memakainya dari serangan musuh. Janan yang artinya hati, karena tertutup oleh rongga dada. Junun artinya gila karena akalnya tertutup. Di dalam Al-Qur’an terdapat kata jannah yang menunjukkan arti kebun. Di antaranya adalah surah al-Baqarah/2:265. Tetapi, mayoritas kata jannah menunjuk arti surga abadi yang menjadi balasan bagi orang-orang mukmin yang beramal saleh. Dalam ayat ini Allah memberi kabar gembira kepada orang yang beriman dan beramal saleh berupa surga, jannah yang dialiri sungai.
Ulama berbeda pendapat mengenai surga yang ditempati Nabi Adam. Pendapat pertama mengatakan bahwa surga yang ditempati Nabi Adam adalah surga abadi yang ada di langit. Pendapat kedua mengatakan bahwa surga dimaksud berada di bumi. Kata yang digunakan Allah saat mengeluarkan Adam dari surga adalah ihbiṭū yang berarti “turunlah”. Pendapat pertama berargumen bahwa perintah turun dimaksud adalah turun dari langit. Karenanya, surga yang ditempati Adam adalah surga abadi yang ada di langit. Sedangkan pendapat kedua berpegang pada surah al-Baqarah/2: 61 di mana kata ihbiṭū menunjukkan perintah turun dari taman yang indah ke suatu tempat lain di bumi. Dengan demikian, surga yang ditempati Adam menurut pendapat kedua berada di bumi pada dataran tinggi. Wallāhu a‘lam. | - | Ayat ini memberi kabar gembira kepada orang yang beriman dan beramal saleh, bahwa bagi mereka di akhirat disediakan surga dengan segala kenikmatannya. |
33 | Al-Baqarah | ۞ اِنَّ اللّٰهَ لَا يَسْتَحْيٖٓ اَنْ يَّضْرِبَ مَثَلًا مَّا بَعُوْضَةً فَمَا فَوْقَهَا ۗ فَاَمَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا فَيَعْلَمُوْنَ اَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَّبِّهِمْ ۚ وَاَمَّا الَّذِيْنَ كَفَرُوْا فَيَقُوْلُوْنَ مَاذَآ اَرَادَ اللّٰهُ بِهٰذَا مَثَلًا ۘ يُضِلُّ بِهٖ كَثِيْرًا وَّيَهْدِيْ بِهٖ كَثِيْرًا ۗ وَمَا يُضِلُّ بِهٖٓ اِلَّا الْفٰسِقِيْنَۙ | 2:26 | Sesungguhnya Allah tidak segan membuat perumpamaan seekor nyamuk atau yang lebih kecil daripada itu.9) Adapun orang-orang yang beriman mengetahui bahwa itu kebenaran dari Tuhannya. Akan tetapi, orang-orang kafir berkata, “Apa maksud Allah dengan perumpamaan ini?” Dengan (perumpamaan) itu banyak orang yang disesatkan-Nya.10) Dengan itu pula banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Namun, tidak ada yang Dia sesatkan dengan (perumpamaan) itu, selain orang-orang fasik,11) | innallaha la yastahyi ay yadriba masalam ma ba'udatan fa ma fauqaha, fa ammallazina amanu fa ya'lamuna annahul-haqqu mir rabbihim, wa ammallazina kafaru fa yaquluna maza aradallahu bihaza masala, yudillu bihi kasiraw wa yahdi bihi kasira, wa ma yudillu bihi illal-fasiqin | 9) Makhluk yang kecil yang dikira lemah, seperti nyamuk, semut, lebah, laba-laba, atau lainnya, sebenarnya banyak menyimpan hikmah untuk menjadi pelajaran bagi manusia.
10) Seseorang menjadi sesat karena keingkarannya dan tidak mau memahami petunjuk-petunjuk Allah Swt. Dalam ayat ini dijelaskan bahwa mereka ingkar dan tidak mau memahami mengapa Allah Swt. menjadikan nyamuk sebagai perumpamaan. Akibatnya, mereka menjadi sesat.
11) Orang fasik adalah orang yang melanggar ketentuan-ketentuan agama, baik dengan ucapan maupun perbuatan. | Allah sering membuat perumpamaan untuk menjelaskan kebe-naran dan hakikat yang luhur, dengan bermacam makhluk hidup, baik kecil maupun besar. Orang-orang kafir mencibir ketika Allah mengambil perumpamaan berupa makhluk kecil yang dipandang remeh seperti lalat dan laba-laba. Di sini dijelaskan sesungguhnya Allah tidak merasa segan atau malu untuk membuat perumpamaan bagi sebu-ah kebenaran dengan seekor nyamuk atau kutu yang sangat kecil atau yang lebih kecil dari itu. Kendati kecil, belalainya dapat menembus kulit gajah, kerbau, dan unta, dan menggigitnya, serta menyebabkan kematian. Adapun orang-orang yang beriman, ketika mendengar perumpamaan itu mereka tahu maksud perumpamaan itu dan tahu bahwa perumpamaan itu adalah kebenaran dari Tuhan yang tidak diragukan lagi. Tetapi sebaliknya, mereka yang kafir menyikapi itu dengan sikap ingkar dan berkata, “Apa maksud Allah dengan perumpamaan yang remeh ini?” Allah menjawab bahwa perumpamaan itu dibuat untuk menguji siapa di antara mereka yang mukmin dan yang kafir. Oleh karenanya, dengan perumpamaan itu banyak orang yang dibiarkan-Nya sesat, karena mereka tidak mencari dan menginginkan kebenaran, dan dengan perumpamaan itu banyak pula orang yang diberi-Nya petunjuk karena mereka memang mencari dan menginginkannya. Tetapi Allah tidak akan menzalimi hamba-Nya, sehingga tidak ada yang Dia sesatkan dengan perumpamaan itu selain orang-orang fasik, yang melanggar ketentuan-ketentuan agama, baik berupa ucapan maupun perbuatan. | Sesungguhnya Allah tidak segan untuk membuat contoh dan perumpamaan dalam penjelasan informasinya dengan seekor nyamuk atau bahkan lebih kecil dari itu. Orang-orang yang beriman yakin akan kebenaran dan kebijaksanaan Allah, mereka pasti dapat menerima keterangan ini. tetapi orang kafir dan orang munafik tidak mau memahami tujuan Allah swt membuat perumpamaan di dalam Al-Qur’an. Perumpamaan itu tujuannya memperjelas arti suatu perkataan atau kalimat dengan membandingkan isi atau pengertian perkataan atau kalimat itu dengan sesuatu yang sudah dikenal dan dimengerti.
Dalam ilmu biologi, binatang, tumbuh-tumbuhan dan bahkan organ tubuh manusia banyak dibahas dan semuanya itu perlu diketahui oleh manusia, ada yang bermanfaat dan ada yang berbahaya bagi manusia. Bukan hanya binatang-binatang besar seperti gajah, harimau dan singa yang perlu diketahui, tetapi binatang kecil seperti lalat, nyamuk, dan ulat juga perlu diketahui manfaat dan bahayanya.
Nyamuk misalnya ada yang berbahaya anapheks yang menyebarkan penyakit malaria dan aedes aegypti yang menyebarkan penyakit demam berdarah, tetapi ada nyamuk yang memang tidak berbahaya seperti culex. Nyamuk anapheks hidupnya di air kotor tetapi nyamuk aedes aegypti hidup di air bersih.
Allah sungguh Mahakuasa dan Mahabijaksana. Pada setiap makhluk yang berbahaya telah diciptakan predator yaitu jenis binatang lain yang suka memangsa dan membunuhnya. Terhadap nyamuk misalnya ada beberapa predator seperti katak, cecak, tokek dan lain-lain. Kita tidak boleh membunuh predatornya dan kita sebaiknya mengetahui di mana nyamuk berkembang biak, kita perlu memahami kebijaksanaan dan kekuasaan Allah.
Saat manusia diundang untuk memperhatikan penciptaan atas dirinya, Al-Qur’an dalam banyak ayatnya mendorong manusia untuk meneliti alam dan melihat tanda-tanda Tuhan di dalamnya. Alam semesta, dengan elemen benda-benda hidup dan tidak hidupnya, merupakan tanda-tanda adanya penciptaan. Semua ciptaan itu ada hanya untuk memperlihatkan kekuasaan, pengetahuan dan seni yang dimiliki oleh “pencipta” tersebut, Allah swt. Semua ciptaan memperlihatkan tanda-tanda yang demikian. Termasuk di dalamnya binatang kecil seperti nyamuk, sebagaimana dapat dilihat pada ayat di atas.
Ketika kita mencoba memahami perikehidupan nyamuk, kita akan mengetahui betapa rumit dan kompleksnya sistem yang berjalan. Secara umum kita mengetahui bahwa mahluk ini adalah penghisap darah manusia dan binatang lainnya. Akan tetapi, pengetahuan demikian ini tidak sepenuhnya benar. Karena tidak semua individu nyamuk hidup dari mengisap darah. Hanya nyamuk betina saja yang memerlukan darah dalam dietnya. Keperluan tentang darah tidak berkaitan dengan kebiasaan makan jenis ini. Kaitan pokoknya adalah dengan perkembangbiakannya. Nyamuk betina memerlukan protein dari darah dalam proses akhir pembentukan telur. Dengan kata lain, nyamuk betina mengisap darah untuk meyakinkan akan berlanjutnya kehidupan jenisnya.
Proses perkembangan nyamuk merupakan salah satu aspek yang mengagumkan. Binatang ini berubah dari larva menjadi nyamuk setelah melalui beberapa fase yang berbeda-beda. Nyamuk betina akan meletakkan telurnya pada daun yang lembab atau dikawasan lembab sekitar genangan air. Sebelum melakukan itu, nyamuk betina akan memeriksa kawasan itu dengan menggunakan organ yang terletak di bagian perutnya. Organ ini mampu mendeteksi kelembaban dan suhu. Setelah menemukan daerah yang cocok, barulah nyamuk betina itu meletakkan telurnya. Telur dengan panjang kurang dari 1 milimeter, diletakkan dalam kelompok atau satuan. Beberapa jenis nyamuk ada yang merangkaikan sampai dengan 300 telur dalam bentuk rakit, dan diletakkan di atas air tergenang.
Telur yang diletakkan dengan sangat hati-hati itu akan berubah warna. Perubahan warna terjadi hanya beberapa jam setelah diletakkan. Warnanya menjadi hitam. Dengan warna ini, nilai kamuflase telur cukup tinggi dan lepas dari pengamatan pemangsa, seperti burung atau serangga pemangsa lainnya
Setelah menetas, anak nyamuk langsung berenang di dalam air. Masa kehidupan di dalam air dimulai untuk larva nyamuk. Anakan ini akan semakin besar. Kulit yang ada tidak lagi dapat menutupi tubuhnya. Mereka melepaskan kulit atau cangkang ini, dan membetuk cangkang baru. Pergantian kulit atau cangkang ini berjalan dua atau tiga kali pada masa ini.
Dalam kehidupan di air, larva nyamuk memilki organ-organ yang sama sekali berbeda saat sudah menjadi nyamuk. Pada kehidupan di air, mereka memiliki semacam rambut yang tumbuh di sekitar bagian mulut. Dengan gerakan rambut ini, larva dapat mengarahkan jasad renik yang ada di perairan ke bagian mulutnya. Untuk bernapas, mereka menggunakan alat pernafasan yang berbentuk tabung yang terletak di bagian punggungnya. Mereka mengambil oksigen saat mereka pada posisi jungkir balik di permukaan air. Untuk mencegah air masuk ke dalam tabung, larva nyamuk mengeluarkan cairan lengket yang dapat mencegah masuknya air. Tanpa keberadaan alat-alat ini, larva tidak akan dapat bertahan hidup di dalam air.
Pada pergantian kulit terakhir, bentuk larva berubah drastis, menjadi suatu bentuk yang lain sama sekali. Masa ini disebut sebagai masa “pupa”. Mereka sudah siap menjadi nyamuk yang “sebenarnya”. Perubahannya sedemikian rupa sehingga sulit untuk dipercaya bahwa hal ini dilakukan oleh individu dan jenis yang satu. Perubahannya begitu kompleks, sehingga rasanya tidak dapat dilakukan dengan sempurna oleh mahluk itu sendiri.
Pada masa ini, akan tumbuh dua tabung atau pipa pernafasan baru di bagian kepala untuk menggantikan tabung yang ada di bagian punggung. Apabila tidak ada tabung baru di kepala, dengan berubahnya bentuk dan posisi mahluk di air, maka apabila hanya ada tabung di punggung, jelas “pupa” nyamuk akan mati. Hal ini disebabkan karena posisinya yang demikian ini maka air akan masuk ke dalam tabung di punggungnya.
Selama berlangsungnya masa “pupa”, sekitar tiga sampai empat hari, larva nyamuk yang hidup dalam kepompong akan berpuasa. Dalam kepompong ini, bentuk larva berubah menjadi nyamuk dewasa seutuhnya, lengkap dengan sayap, dada, perut, kaki, antena, mata, dan seterusnya. Kemudian kepompong akan terpecah di bagian atas. Masa ini adalah masa yang sangat rentan bagi nyamuk. Syarat agar nyamuk dapat terbang adalah tidak boleh terkena air. Hanya bagian bawah kaki saja yang akan menyentuh air. Itulah sebabnya, kepompong yang terbuka di bagian atasnya akan dilapisi oleh cairan yang lengket, yang mencegah air masuk ke dalam kepompong. Setengah jam setelah keluar dari kepompong, nyamuk akan melakukan terbang perdananya.
Saat jentik-jentik bermetamorfose menjadi nyamuk, mereka dilengkapi dengan seperangkat sistem yang canggih guna dapat hidup dan meneruskan keturunannya. Nyamuk dilengkapi dengan organ yang dapat digunakan untuk mendeteksi perubahan suhu, udara, kelembaban dan juga bau. Bahkan, nyamuk mempunyai kemampuan untuk “melihat melalui perubahan suhu” yang menolongnya saat mencari mangsanya, walaupun keadaan sangat gelap.
Teknik nyamuk dalam “mengisap darah” ternyata merupakan seperangkat sistem yang sangat kompleks dan rumit. Untuk mengiris kulit mangsanya, digunakan enam “pisau” pengiris yang bekerja seperti gergaji. Pada saat proses pengirisan berlangsung, nyamuk menyiramkan suatu cairan ke luka yang dibuatnya. Cairan ini membuat bagian tubuh mangsa yang luka tersebut menjadi mati rasa, sekaligus mencegah darah membeku. Dengan demikian, mangsa tidak akan merasa terganggu, di samping proses pengisapan darah berjalan lancar.
Apabila salah satu saja organ tidak bekerja baik, maka nyamuk akan memperoleh kesulitan dalam memperoleh pakannya serta meneruskan dan mempertahankan jenisnya. Dengan rancangan tubuh yang demikian, walaupun “hanya” ada pada nyamuk yang kecil, ini merupakan bukti akan kerja penciptaan. Di dalam Al-Qur’an, nyamuk yang kecil ini dijadikan contoh untuk memperlihatkan kekuasaan Allah. Mereka yang beriman mengerti, sedangkan mereka yang kafir menyangkalnya.
Menurut Ibnu ‘Abbās, ayat ini diturunkan berhubungan dengan tuduhan orang Yahudi bahwa perumpamaan yang ada dalam Al-Qur’an itu tidak mempunyai nilai yang berarti, karena dalam perumpamaan itu disebut sesuatu yang tidak berarti bahkan termasuk binatang kecil lagi hina, seperti żubāb yang berarti lalat (al-Ḥajj/22:73) dan ankabūt yang berarti laba-laba (al-‘Ankabūt/29:41). Tetapi seandainya orang Yahudi itu mengetahui maksud perumpamaan itu, tentu mereka akan menyatakan bahwa perumpamaan-perumpamaan yang ada dalam Al-Qur’an merupakan perumpamaan yang tepat dan benar seperti pada al-‘Ankabūt/29:41:
مَثَلُ الَّذِيْنَ اتَّخَذُوْا مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ اَوْلِيَاۤءَ كَمَثَلِ الْعَنْكَبُوْتِۚ اِتَّخَذَتْ بَيْتًاۗ وَاِنَّ اَوْهَنَ الْبُيُوْتِ لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوْتِۘ لَوْ كَانُوْا يَعْلَمُوْنَ ٤١ (العنكبوت)
Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba, kalau mereka mengetahui.
Pada ayat ini orang musyrik disamakan dengan laba-laba, iman mereka terhadap apa yang mereka sembah disamakan dengan sarang laba-laba yang rapuh yang mereka jadikan sebagai tempat berlindung dari segala bahaya. Padahal sedikit saja kena angin sarang itu akan rusak dan hancur.
Dalam membuat perumpamaan bagi Allah tidak ada perbedaan antara yang kecil dan besar, hina dan murka, semua adalah makhluk ciptaan Allah. Yang penting ialah perumpamaan itu mencapai tujuannya. Dengan turunnya ayat ini, ternyata tuduhan orang Yahudi itu tidak mempunyai alasan yang kuat.
Adapun orang-orang mukmin hati mereka telah dipenuhi taufik dan hidayah Allah dan mereka mengetahui bahwa perumpamaan-perumpamaan itu adalah dari Allah, tetapi orang-orang kafir mengingkarinya bahkan mereka tercengang mendengar perumpamaan-perumpamaan itu, orang-orang kafir dan munafik itu bertambah sombong dan ingkar karenanya.
Allah menyesatkan orang-orang kafir dan munafik dengan membiarkan mereka memilih jalan kesesatan sesudah diterangkan kepada mereka jalan kebenaran. Oleh karena mereka ingkar dan tidak mau memahami dan memikirkan petunjuk-petunjuk Allah, mereka mengikuti jalan-jalan yang tidak diridai-Nya. Akibatnya mereka ditimpa azab yang pedih, karena kefasikan mereka.
Orang-orang yang tidak menggunakan pikiran dan ilmu pengetahuan terhadap perumpamaan yang diberikan Allah swt, mereka menghadapinya dengan angkuh yang menyebabkan mereka bertambah sesat. Mereka tidak mendapat petunjuk dan menjadi sesat karena kefasikannya. Sebaliknya, orang-orang yang iman di dalam hatinya, mempergunakan akal dan pikirannya, akan mendapat petunjuk dari perumpamaan-perumpamaan itu. | - | - | - | - | - |
End of preview.
- Downloads last month
- 59