id
int64 1
6.24k
| surah_id
int64 1
114
| surah_arabic
stringclasses 114
values | surah_latin
stringclasses 114
values | surah_transliteration
stringclasses 114
values | surah_translation
stringclasses 110
values | surah_num_ayah
int64 3
286
| surah_page
int64 1
604
| surah_location
stringclasses 2
values | ayah
int64 1
286
| page
int64 1
604
| quarter_hizb
int64 0
61
| juz
int64 1
30
| manzil
int64 1
7
| arabic
stringlengths 6
1.22k
| latin
stringlengths 6
1k
| translation
stringlengths 6
1.62k
| no_footnote
stringclasses 678
values | footnotes
stringclasses 678
values | tafsir_wajiz
stringlengths 6
3.62k
| tafsir_tahlili
stringlengths 63
19.5k
| tafsir_intro_surah
stringclasses 114
values | tafsir_outro_surah
stringclasses 113
values | tafsir_munasabah_prev_surah
stringclasses 113
values | tafsir_munasabah_prev_theme
stringlengths 126
2.63k
⌀ | tafsir_theme_group
stringlengths 6
130
⌀ | tafsir_kosakata
stringlengths 52
23k
⌀ | tafsir_sabab_nuzul
stringclasses 172
values | tafsir_conclusion
stringlengths 127
3.71k
⌀ |
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
6,201 | 107 | الماعون | Al-Mā‘ūn | Al-Ma‘un | Bantuan | 7 | 602 | Makkiyah | 4 | 602 | 61 | 30 | 7 | فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّيْنَۙ | Fawailul lil-muṣallīn(a). | Celakalah orang-orang yang melaksanakan salat, | null | null | Maka binasa dan celakalah orang yang salat yang memiliki sifat-sifat tercela berikut. | Dalam ayat-ayat ini, Allah mengungkapkan satu ancaman yaitu celakalah orang-orang yang mengerjakan salat dengan tubuh dan lidahnya, tidak sampai ke hatinya. Dia lalai dan tidak menyadari apa yang diucapkan lidahnya dan yang dikerjakan oleh anggota tubuhnya. Ia rukuk dan sujud dalam keadaan lalai, ia mengucapkan takbir tetapi tidak menyadari apa yang diucapkannya. Semua itu adalah hanya gerak biasa dan kata-kata hafalan semata-mata yang tidak mempengaruhi apa-apa, tidak ubahnya seperti robot.
Perilaku tersebut ditujukan kepada orang-orang yang mendustakan agama, yaitu orang munafik. Ancaman itu tidak ditujukan kepada orang-orang muslim yang awam, tidak mengerti bahasa Arab, dan tidak tahu tentang arti dari apa yang dibacanya. Jadi orang-orang awam yang tidak memahami makna dari apa yang dibacanya dalam salat tidak termasuk orang-orang yang lalai seperti yang disebut dalam ayat ini. | Surah ini terdiri dari 7 ayat, termasuk kelompok surah Makkiyyah, diturunkan sesudah Surah at-Takāṡur. Nama al-Mā‘ūn diambil dari kata al-mā‘ūn yang terdapat pada ayat 7, artinya barang-barang yang berguna.
Pokok-pokok Isinya:
Beberapa sifat manusia yang dipandang sebagai mendustakan agama; ancaman terhadap orang-orang yang melalaikan salat dan ria. | null | 1. Dalam Surah Quraisy, Allah mengatakan bahwa Dia membebaskan manusia dari kelaparan, maka dalam Surah al-Mā‘ūn, Allah mencela orang yang tidak menganjurkan dan tidak memberi makan orang miskin.
2. Dalam Surah Quraisy, Allah memerintahkan menyembah-Nya, maka dalam Surah al-Mā‘ūn, Allah mencela orang yang salat dengan lalai dan ria. | Pada akhir surah yang lalu dijelaskan anugerah Allah berupa kemakmuran dan keamanan karena berbakti kepada-Nya. Pada awal ayat ini, Allah menjelaskan orang yang mengingkari ajaran-Nya. | BEBERAPA SIFAT YANG DIPANDANG
SEBAGAI MENDUSTAKAN AGAMA | Kosakata:
1. Yurā’ūna يُرآءُوْنَ (al-Mā‘ūn/107: 6)
Yurā’ūna merupakan kata kerja yang terambil dari ra’a-yarā yang artinya melihat. Dari akar kata ini muncul pula term riyā’, yang makna aslinya merupakan istilah untuk menyebut orang yang melakukan sesuatu sambil melihat adakah manusia yang memperhatikannya, sehingga bila tidak ada yang melihatnya, ia tidak melakukannya. Ia bersikap demikian karena mengharap orang yang melihatnya akan memberikan pujian padanya. Dengan kata lain, orang yang bersikap riyā’ adalah yang bila ia melakukan sesuatu selalu berusaha atau berkeinginan agar dilihat atau diperhatikan orang lain untuk mendapat pujian. Dari makna ini, kata riyā’ atau yurā’ūna diartikan sebagai melakukan suatu pekerjaan bukan karena Allah semata, tetapi juga mendapatkan pujian atau popularitas.
Riyā’ adalah suatu sifat yang sangat abstrak. Keberadaannya sulit atau bahkan mustahil untuk dideteksi orang lain. Bahkan orang yang bersangkutan juga sering tidak menyadari akan keberadaan sifat ini pada dirinya. Lebih-lebih bila ia sedang asyik atau disibukkan oleh kegiatan yang dilakukannya. Karena itulah, setiap orang dianjurkan untuk memulai pekerjaannya dengan membaca basmalah, yang manfaatnya antara lain untuk menghindarkan diri dari sikap riyā’ ini.
2. Al-Mā‘ūn الْمَاعُوْنَ (al-Mā‘ūn/107: 7)
Al-Mā‘ūn berasal dari kata kerja a‘āna-yu‘īnu, yang artinya membantu dengan sesuatu yang jelas, baik dengan menggunakan alat atau fasilitas sehingga memudahkan tercapainya sesuatu yang diharapkan. Pendapat lain mengatakan bahwa term ini berasal dari kata ma‘ūnah yang berarti bantuan. Selain itu ada pula yang berpendapat bahwa istilah ini berasal dari kata al-ma‘n, yang artinya sedikit.
Dalam berbagai tafsir dijelaskan bahwa makna yang dituju dari kata ini bermacam-macam. Ada yang menafsirkannya sebagai zakat, harta benda, alat-alat rumah tangga, air, barang keperluan sehari-hari, dan lainnya. Bila diperhatikan, semuanya menunjuk pada sesuatu yang sangat diperlukan walau hanya sedikit. Dengan makna ini dapat dipahami betapa tercelanya orang yang menghalangi orang lain untuk memberikan bantuan kepada yang memerlukan, walau hanya sedikit. | null | null |
6,202 | 107 | الماعون | Al-Mā‘ūn | Al-Ma‘un | Bantuan | 7 | 602 | Makkiyah | 5 | 602 | 61 | 30 | 7 | الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُوْنَۙ | Allażīna hum ‘an ṣalātihim sāhūn(a). | (yaitu) yang lalai terhadap salatnya,761) | 761 | 761) Melalaikan salat mencakup lalai akan waktu dan tujuan salat serta bermalasan dalam mengerjakannya. | Yaitu orang-orang yang lalai terhadap salatnya, di antaranya dengan tidak memenuhi ketentuannya, mengerjakannya di luar waktunya, bermalas-malasan, dan lalai akan tujuan pelaksanaanya. | Dalam ayat-ayat ini, Allah mengungkapkan satu ancaman yaitu celakalah orang-orang yang mengerjakan salat dengan tubuh dan lidahnya, tidak sampai ke hatinya. Dia lalai dan tidak menyadari apa yang diucapkan lidahnya dan yang dikerjakan oleh anggota tubuhnya. Ia rukuk dan sujud dalam keadaan lalai, ia mengucapkan takbir tetapi tidak menyadari apa yang diucapkannya. Semua itu adalah hanya gerak biasa dan kata-kata hafalan semata-mata yang tidak mempengaruhi apa-apa, tidak ubahnya seperti robot.
Perilaku tersebut ditujukan kepada orang-orang yang mendustakan agama, yaitu orang munafik. Ancaman itu tidak ditujukan kepada orang-orang muslim yang awam, tidak mengerti bahasa Arab, dan tidak tahu tentang arti dari apa yang dibacanya. Jadi orang-orang awam yang tidak memahami makna dari apa yang dibacanya dalam salat tidak termasuk orang-orang yang lalai seperti yang disebut dalam ayat ini. | Surah ini terdiri dari 7 ayat, termasuk kelompok surah Makkiyyah, diturunkan sesudah Surah at-Takāṡur. Nama al-Mā‘ūn diambil dari kata al-mā‘ūn yang terdapat pada ayat 7, artinya barang-barang yang berguna.
Pokok-pokok Isinya:
Beberapa sifat manusia yang dipandang sebagai mendustakan agama; ancaman terhadap orang-orang yang melalaikan salat dan ria. | null | 1. Dalam Surah Quraisy, Allah mengatakan bahwa Dia membebaskan manusia dari kelaparan, maka dalam Surah al-Mā‘ūn, Allah mencela orang yang tidak menganjurkan dan tidak memberi makan orang miskin.
2. Dalam Surah Quraisy, Allah memerintahkan menyembah-Nya, maka dalam Surah al-Mā‘ūn, Allah mencela orang yang salat dengan lalai dan ria. | Pada akhir surah yang lalu dijelaskan anugerah Allah berupa kemakmuran dan keamanan karena berbakti kepada-Nya. Pada awal ayat ini, Allah menjelaskan orang yang mengingkari ajaran-Nya. | BEBERAPA SIFAT YANG DIPANDANG
SEBAGAI MENDUSTAKAN AGAMA | Kosakata:
1. Yurā’ūna يُرآءُوْنَ (al-Mā‘ūn/107: 6)
Yurā’ūna merupakan kata kerja yang terambil dari ra’a-yarā yang artinya melihat. Dari akar kata ini muncul pula term riyā’, yang makna aslinya merupakan istilah untuk menyebut orang yang melakukan sesuatu sambil melihat adakah manusia yang memperhatikannya, sehingga bila tidak ada yang melihatnya, ia tidak melakukannya. Ia bersikap demikian karena mengharap orang yang melihatnya akan memberikan pujian padanya. Dengan kata lain, orang yang bersikap riyā’ adalah yang bila ia melakukan sesuatu selalu berusaha atau berkeinginan agar dilihat atau diperhatikan orang lain untuk mendapat pujian. Dari makna ini, kata riyā’ atau yurā’ūna diartikan sebagai melakukan suatu pekerjaan bukan karena Allah semata, tetapi juga mendapatkan pujian atau popularitas.
Riyā’ adalah suatu sifat yang sangat abstrak. Keberadaannya sulit atau bahkan mustahil untuk dideteksi orang lain. Bahkan orang yang bersangkutan juga sering tidak menyadari akan keberadaan sifat ini pada dirinya. Lebih-lebih bila ia sedang asyik atau disibukkan oleh kegiatan yang dilakukannya. Karena itulah, setiap orang dianjurkan untuk memulai pekerjaannya dengan membaca basmalah, yang manfaatnya antara lain untuk menghindarkan diri dari sikap riyā’ ini.
2. Al-Mā‘ūn الْمَاعُوْنَ (al-Mā‘ūn/107: 7)
Al-Mā‘ūn berasal dari kata kerja a‘āna-yu‘īnu, yang artinya membantu dengan sesuatu yang jelas, baik dengan menggunakan alat atau fasilitas sehingga memudahkan tercapainya sesuatu yang diharapkan. Pendapat lain mengatakan bahwa term ini berasal dari kata ma‘ūnah yang berarti bantuan. Selain itu ada pula yang berpendapat bahwa istilah ini berasal dari kata al-ma‘n, yang artinya sedikit.
Dalam berbagai tafsir dijelaskan bahwa makna yang dituju dari kata ini bermacam-macam. Ada yang menafsirkannya sebagai zakat, harta benda, alat-alat rumah tangga, air, barang keperluan sehari-hari, dan lainnya. Bila diperhatikan, semuanya menunjuk pada sesuatu yang sangat diperlukan walau hanya sedikit. Dengan makna ini dapat dipahami betapa tercelanya orang yang menghalangi orang lain untuk memberikan bantuan kepada yang memerlukan, walau hanya sedikit. | null | null |
6,203 | 107 | الماعون | Al-Mā‘ūn | Al-Ma‘un | Bantuan | 7 | 602 | Makkiyah | 6 | 602 | 61 | 30 | 7 | الَّذِيْنَ هُمْ يُرَاۤءُوْنَۙ | Allażīna hum yurā'ūn(a). | yang berbuat riya,762) | 762 | 762) Riya adalah melakukan sesuatu perbuatan tidak untuk mencari keridaan Allah, tetapi untuk mencari pujian atau kemasyhuran di masyarakat. | Tidak hanya itu, mereka jugalah orang-orang yang berbuat ria, baik dalam salatnya maupun semua perbuatan baiknya. Dia beramal tanpa rasa ikhlas, melainkan demi mendapat pujian dan penilaian baik dari orang lain. | Allah selanjutnya menambah penjelasan tentang sifat orang pendusta agama, yaitu mereka melakukan perbuatan-perbuatan lahir hanya semata karena ria, tidak terkesan pada jiwanya untuk meresapi rahasia dan hikmahnya. | Surah ini terdiri dari 7 ayat, termasuk kelompok surah Makkiyyah, diturunkan sesudah Surah at-Takāṡur. Nama al-Mā‘ūn diambil dari kata al-mā‘ūn yang terdapat pada ayat 7, artinya barang-barang yang berguna.
Pokok-pokok Isinya:
Beberapa sifat manusia yang dipandang sebagai mendustakan agama; ancaman terhadap orang-orang yang melalaikan salat dan ria. | null | 1. Dalam Surah Quraisy, Allah mengatakan bahwa Dia membebaskan manusia dari kelaparan, maka dalam Surah al-Mā‘ūn, Allah mencela orang yang tidak menganjurkan dan tidak memberi makan orang miskin.
2. Dalam Surah Quraisy, Allah memerintahkan menyembah-Nya, maka dalam Surah al-Mā‘ūn, Allah mencela orang yang salat dengan lalai dan ria. | Pada akhir surah yang lalu dijelaskan anugerah Allah berupa kemakmuran dan keamanan karena berbakti kepada-Nya. Pada awal ayat ini, Allah menjelaskan orang yang mengingkari ajaran-Nya. | BEBERAPA SIFAT YANG DIPANDANG
SEBAGAI MENDUSTAKAN AGAMA | Kosakata:
1. Yurā’ūna يُرآءُوْنَ (al-Mā‘ūn/107: 6)
Yurā’ūna merupakan kata kerja yang terambil dari ra’a-yarā yang artinya melihat. Dari akar kata ini muncul pula term riyā’, yang makna aslinya merupakan istilah untuk menyebut orang yang melakukan sesuatu sambil melihat adakah manusia yang memperhatikannya, sehingga bila tidak ada yang melihatnya, ia tidak melakukannya. Ia bersikap demikian karena mengharap orang yang melihatnya akan memberikan pujian padanya. Dengan kata lain, orang yang bersikap riyā’ adalah yang bila ia melakukan sesuatu selalu berusaha atau berkeinginan agar dilihat atau diperhatikan orang lain untuk mendapat pujian. Dari makna ini, kata riyā’ atau yurā’ūna diartikan sebagai melakukan suatu pekerjaan bukan karena Allah semata, tetapi juga mendapatkan pujian atau popularitas.
Riyā’ adalah suatu sifat yang sangat abstrak. Keberadaannya sulit atau bahkan mustahil untuk dideteksi orang lain. Bahkan orang yang bersangkutan juga sering tidak menyadari akan keberadaan sifat ini pada dirinya. Lebih-lebih bila ia sedang asyik atau disibukkan oleh kegiatan yang dilakukannya. Karena itulah, setiap orang dianjurkan untuk memulai pekerjaannya dengan membaca basmalah, yang manfaatnya antara lain untuk menghindarkan diri dari sikap riyā’ ini.
2. Al-Mā‘ūn الْمَاعُوْنَ (al-Mā‘ūn/107: 7)
Al-Mā‘ūn berasal dari kata kerja a‘āna-yu‘īnu, yang artinya membantu dengan sesuatu yang jelas, baik dengan menggunakan alat atau fasilitas sehingga memudahkan tercapainya sesuatu yang diharapkan. Pendapat lain mengatakan bahwa term ini berasal dari kata ma‘ūnah yang berarti bantuan. Selain itu ada pula yang berpendapat bahwa istilah ini berasal dari kata al-ma‘n, yang artinya sedikit.
Dalam berbagai tafsir dijelaskan bahwa makna yang dituju dari kata ini bermacam-macam. Ada yang menafsirkannya sebagai zakat, harta benda, alat-alat rumah tangga, air, barang keperluan sehari-hari, dan lainnya. Bila diperhatikan, semuanya menunjuk pada sesuatu yang sangat diperlukan walau hanya sedikit. Dengan makna ini dapat dipahami betapa tercelanya orang yang menghalangi orang lain untuk memberikan bantuan kepada yang memerlukan, walau hanya sedikit. | null | null |
6,204 | 107 | الماعون | Al-Mā‘ūn | Al-Ma‘un | Bantuan | 7 | 602 | Makkiyah | 7 | 602 | 61 | 30 | 7 | وَيَمْنَعُوْنَ الْمَاعُوْنَ ࣖ | Wa yamna‘ūnal-mā‘ūn(a). | dan enggan (memberi) bantuan. | null | null | Dan di samping itu, mereka juga enggan memberikan bantuan kepada sesama, bahkan untuk sekadar meminjamkan barang keperluan sehari-hari yang sepele. Hal ini mengindikasikan buruknya akhlak mereka kepada orang lain. Dengan begitu, lengkaplah keburukan mereka. Selain tidak beridabah kepada Tuhan dengan sempurna, mereka pun tidak berbuat baik kepada manusia. | Allah menambahkan lagi dalam ayat ini sifat pendusta itu, yaitu mereka tidak mau memberikan barang-barang yang diperlukan oleh orang-orang yang membutuhkannya, sedang barang itu tak pantas ditahan, seperti periuk, kapuk, cangkul, dan lain-lain.
Keadaan orang yang membesarkan agama berbeda dengan keadaan orang yang mendustakan agama, karena yang pertama tampak dalam tata hidupnya yang jujur, adil, kasih sayang, pemurah, dan lain-lain. Sedangkan sifat pendusta agama ialah ria, curang, aniaya, takabur, kikir, memandang rendah orang lain, tidak mementingkan yang lain kecuali dirinya sendiri, bangga dengan harta dan kedudukan, serta tidak mau mengeluarkan sebahagian dari hartanya, baik untuk keperluan perseorangan maupun untuk masyarakat. | Surah ini terdiri dari 7 ayat, termasuk kelompok surah Makkiyyah, diturunkan sesudah Surah at-Takāṡur. Nama al-Mā‘ūn diambil dari kata al-mā‘ūn yang terdapat pada ayat 7, artinya barang-barang yang berguna.
Pokok-pokok Isinya:
Beberapa sifat manusia yang dipandang sebagai mendustakan agama; ancaman terhadap orang-orang yang melalaikan salat dan ria. | Surah al-Mā‘ūn menjelaskan sifat-sifat manusia yang buruk yang membawa mereka ke dalam kesengsaraan. | 1. Dalam Surah Quraisy, Allah mengatakan bahwa Dia membebaskan manusia dari kelaparan, maka dalam Surah al-Mā‘ūn, Allah mencela orang yang tidak menganjurkan dan tidak memberi makan orang miskin.
2. Dalam Surah Quraisy, Allah memerintahkan menyembah-Nya, maka dalam Surah al-Mā‘ūn, Allah mencela orang yang salat dengan lalai dan ria. | Pada akhir surah yang lalu dijelaskan anugerah Allah berupa kemakmuran dan keamanan karena berbakti kepada-Nya. Pada awal ayat ini, Allah menjelaskan orang yang mengingkari ajaran-Nya. | BEBERAPA SIFAT YANG DIPANDANG
SEBAGAI MENDUSTAKAN AGAMA | Kosakata:
1. Yurā’ūna يُرآءُوْنَ (al-Mā‘ūn/107: 6)
Yurā’ūna merupakan kata kerja yang terambil dari ra’a-yarā yang artinya melihat. Dari akar kata ini muncul pula term riyā’, yang makna aslinya merupakan istilah untuk menyebut orang yang melakukan sesuatu sambil melihat adakah manusia yang memperhatikannya, sehingga bila tidak ada yang melihatnya, ia tidak melakukannya. Ia bersikap demikian karena mengharap orang yang melihatnya akan memberikan pujian padanya. Dengan kata lain, orang yang bersikap riyā’ adalah yang bila ia melakukan sesuatu selalu berusaha atau berkeinginan agar dilihat atau diperhatikan orang lain untuk mendapat pujian. Dari makna ini, kata riyā’ atau yurā’ūna diartikan sebagai melakukan suatu pekerjaan bukan karena Allah semata, tetapi juga mendapatkan pujian atau popularitas.
Riyā’ adalah suatu sifat yang sangat abstrak. Keberadaannya sulit atau bahkan mustahil untuk dideteksi orang lain. Bahkan orang yang bersangkutan juga sering tidak menyadari akan keberadaan sifat ini pada dirinya. Lebih-lebih bila ia sedang asyik atau disibukkan oleh kegiatan yang dilakukannya. Karena itulah, setiap orang dianjurkan untuk memulai pekerjaannya dengan membaca basmalah, yang manfaatnya antara lain untuk menghindarkan diri dari sikap riyā’ ini.
2. Al-Mā‘ūn الْمَاعُوْنَ (al-Mā‘ūn/107: 7)
Al-Mā‘ūn berasal dari kata kerja a‘āna-yu‘īnu, yang artinya membantu dengan sesuatu yang jelas, baik dengan menggunakan alat atau fasilitas sehingga memudahkan tercapainya sesuatu yang diharapkan. Pendapat lain mengatakan bahwa term ini berasal dari kata ma‘ūnah yang berarti bantuan. Selain itu ada pula yang berpendapat bahwa istilah ini berasal dari kata al-ma‘n, yang artinya sedikit.
Dalam berbagai tafsir dijelaskan bahwa makna yang dituju dari kata ini bermacam-macam. Ada yang menafsirkannya sebagai zakat, harta benda, alat-alat rumah tangga, air, barang keperluan sehari-hari, dan lainnya. Bila diperhatikan, semuanya menunjuk pada sesuatu yang sangat diperlukan walau hanya sedikit. Dengan makna ini dapat dipahami betapa tercelanya orang yang menghalangi orang lain untuk memberikan bantuan kepada yang memerlukan, walau hanya sedikit. | null | 1. Orang yang mendustakan agama adalah orang yang tidak menyayangi anak yatim dan tidak mengajak orang lain untuk membantu orang-orang miskin.
2. Celakalah orang yang salat dalam keadaan lalai, tidak menyadari gerak dan bacaannya dalam salat.
3. Termasuk golongan yang celaka juga orang yang ria dalam mengerjakan amal kebajikan dan orang-orang yang tidak mau meminjamkan atau memberikan barang-barang yang tidak diperlukannya, tetapi orang lain sangat memerlukannya. |
6,205 | 108 | الكوثر | Al-Kauṡar | Al-Kausar | Nikmat Yang Banyak | 3 | 602 | Makkiyah | 1 | 602 | 61 | 30 | 7 | اِنَّآ اَعْطَيْنٰكَ الْكَوْثَرَۗ | Innā a‘ṭainākal-kauṡar(a). | Sesungguhnya Kami telah memberimu (Nabi Muhammad) nikmat yang banyak. | null | null | Wahai Nabi Muhammad, sungguh Kami telah memberimu nikmat yang banyak dan langgeng, meliputi kenikmatan duniawi maupun ukhrawi, seperti kenabian, Al-Qur’an, syafaat, telaga di surga, dan sebagainya. | Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa Dia telah memberi Nabi Muhammad nikmat dan anugerah yang tidak dapat dihitung banyaknya dan tidak dapat dinilai tinggi mutunya, walaupun (orang musyrik) memandang hina dan tidak menghargai pemberian itu disebabkan kekurangan akal dan pengertian mereka. Pemberian itu berupa kenabian, agama yang benar, petunjuk-petunjuk dan jalan yang lurus yang membawa kepada kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Orang-orang musyrik di Mekah dan orang-orang munafik di Medinah mencemoohkan dan mencaci-maki Nabi saw sebagai berikut:
a. Pengikut-pengikut Muhammad saw terdiri dari orang-orang biasa yang tidak mempunyai kedudukan. Kalau agama yang dibawanya itu benar, tentu yang menjadi pengikut-pengikutnya orang-orang mulia yang berkedudukan di antara mereka. Ucapan ini bukanlah suatu keanehan, karena kaum Nuh juga dahulu kala telah menyatakan yang demikian kepada Nabi Nuh as sebagaimana firman Allah:
فَقَالَ الْمَلَاُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ قَوْمِهٖ مَا نَرٰىكَ اِلَّا بَشَرًا مِّثْلَنَا وَمَا نَرٰىكَ اتَّبَعَكَ اِلَّا الَّذِيْنَ هُمْ اَرَاذِلُنَا بَادِيَ الرَّأْيِۚ وَمَا نَرٰى لَكُمْ عَلَيْنَا مِنْ فَضْلٍۢ بَلْ نَظُنُّكُمْ كٰذِبِيْنَ
Maka berkatalah para pemuka yang kafir dari kaumnya, “Kami tidak melihat engkau, melainkan hanyalah seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang yang mengikuti engkau, melainkan orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya. Kami tidak melihat kamu memiliki suatu kelebihan apa pun atas kami, bahkan kami menganggap kamu adalah orang pendusta.” (Hūd/11 : 27)
Sunnatullah yang berlaku di antara hamba-hamba Allah bahwa mereka yang cepat menerima panggilan para rasul adalah orang-orang biasa atau orang lemah karena mereka tidak takut kehilangan pangkat atau kedudukan, karena tidak mempunyai keduanya. Dari itu pertentangan terus-menerus terjadi antara yang merasa terpandang dengan para rasul, tetapi Allah senantiasa membantu para rasul-Nya dan menunjang dakwah mereka.
Begitulah sikap penduduk Mekah terhadap dakwah Nabi Muhammad. Pembesar-pembesar dan orang-orang yang berkedudukan tidak mau mengikuti Nabi karena benci kepada beliau dan terhadap orang-orang biasa yang menjadi pengikut beliau.
b. Orang-orang Mekah bila melihat anak-anak Nabi Muhammad meninggal dunia, mereka berkata, “Sebutan Muhammad akan lenyap dan ia akan mati punah.” Mereka mengira bahwa kematian itu suatu kekurangan lalu mereka mengejek Nabi dan berusaha menjauhkan manusia dari beliau.
c. Orang-orang Mekah bila melihat suatu musibah atau kesulitan yang menimpa pengikut-pengikut Nabi, bergembira dan bersenang hati. Mereka menunggu kehancuran para pengikut Nabi, sehingga kedudukan mereka semula yang telah diguncangkan oleh agama baru itu kembali mereka peroleh.
Pada surah ini, Allah menyampaikan kepada rasul-Nya, bahwa tuduhan-tuduhan yang dilontarkan oleh orang-orang musyrik itu adalah suatu prasangka yang tidak ada artinya sama sekali. Namun semua itu adalah untuk membersihkan jiwa-jiwa yang masih dapat dipengaruhi oleh isu-isu tersebut dan untuk mematahkan tipu daya orang-orang musyrik, agar mereka mengetahui bahwa perjuangan Nabi saw pasti akan menang dan pengikut-pengikut beliau pasti akan bertambah banyak.
Al-Kauṡar diartikan sebagai sungai di surga yang dianugerahkan Allah kepada Nabi Muhammad, dan ada pula yang berpendapat bahwa al-kauṡar bermakna kebaikan yang banyak. | Surah al-Kauṡar terdiri dari 3 ayat, termasuk kelompok surah Makkiyyah, diturunkan sesudah Surah al-‘Ādiyāt. Nama al-Kauṡar (nikmat yang banyak) diambil dari perkataan al-kauṡar yang terdapat pada ayat pertama surah ini. Surah ini sebagai penghibur hati Nabi Muhammad.
Pokok-pokok Isinya:
Allah telah melimpahkan nikmat yang banyak, oleh karena itu dirikanlah salat dan berkorbanlah; Nabi Muhammad akan mempunyai pengikut yang banyak sampai hari Kiamat dan akan mempunyai nama yang baik di dunia dan di akhirat, tidak seperti yang dituduhkan pembenci-pembencinya. | null | Dalam Surah al-Mā‘ūn dikemukakan sifat-sifat manusia yang lebih buruk, sedang dalam Surah al-Kauṡar ditunjukkan sifat-sifat yang mulia yang diperintahkan untuk mengerjakannya. | Pada akhir surah yang lalu dijelaskan tanda orang yang ingkar terhadap agama, yaitu tidak mau membantu memberi pertolongan. Pada surah ini dijelaskan tentang nikmat yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad yang tiada terkira. | ALAT DAN BERKORBAN TANDA SYUKUR
KEPADA NIKMAT ALLAH | Kosakata: Al-Kauṡar الْكَوْثَر (al-Kauṡar/108: 1)
Al-Kauṡar terambil dari kata kaṡīr, yang artinya banyak. Dengan demikian, kata ini diartikan sebagai nikmat atau anugerah Allah yang banyak. Mengenai maknanya secara pasti, banyak pendapat yang dikemukakan para ulama atau mufasir. Di antaranya ada yang mengartikannya sebagai sungai di surga yang dianugerahkan Allah kepada Nabi Muhammad. Pendapat ini sangat populer karena didasarkan pada hadis yang diriwayatkan Imam Aḥmad dan Muslim dari sahabat Anas bin Mālik, yang menginformasikan keterangan Rasulullah saw, yaitu bahwa al-kauṡar itu adalah sungai yang dianugerahkan Allah kepadanya di surga.
Pendapat kedua tentang makna al-kauṡar yang juga banyak disebut para mufasir adalah keturunan Nabi Muhammad. Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh Abū Ḥayyān, al-Alūsī, Muhammad ‘Abduh, al-Qāsimī, dan lainnya. Namun demikian, ada pula yang menentang pendapat ini. Alasan yang tidak sepakat adalah bahwa keturunan itu selalu dimulai dari anak laki-laki. Padahal anak laki-laki Rasulullah saw semuanya meninggal ketika masih kecil, sehingga beliau tidak mempunyai cucu dari anak laki-laki. Sedangkan cucu dari anak perempuan biasanya mengikuti keluarga menantunya. Kenyataannya, Rasulullah saw hanya mempunyai cucu dari anak perempuannya yang bernama Fatimah. Namun demikian, kritik ini dijawab bahwa anak perempuan juga dapat dinisbahkan kepada bapaknya, sehingga anaknya juga dinilai sebagai cucu dari bapak tersebut. Oleh karena itu, anak-anak Fatimah yang kemudian menurunkan sekian banyak orang, dapat juga disebut sebagai keturunan Rasulullah saw.
Pendapat ketiga menyatakan bahwa yang dimaksud dengan al-kauṡar adalah anugerah atau nikmat Allah yang banyak. Pendapat ini disimpulkan dari diskusi seorang sahabat dengan Ibnu ‘Abbās mengenai maknanya. Ketika dikatakan bahwa al-kauṡar itu adalah sungai di surga, maka Ibnu ‘Abbās menjawab bahwa makna itu merupakan sebagian dari al-kauṡar yang dijanjikan Allah kepada Nabi Muhammad. | null | null |
6,206 | 108 | الكوثر | Al-Kauṡar | Al-Kausar | Nikmat Yang Banyak | 3 | 602 | Makkiyah | 2 | 602 | 61 | 30 | 7 | فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْۗ | Faṣalli lirabbika wanḥar. | Maka, laksanakanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah! | null | null | Karena itu, sebagai rasa syukurmu kepada Tuhanmu, maka laksanakanlah salat dengan ikhlas semata-mata karena Tuhanmu, bukan dengan tujuan ria; dan berkurbanlah demi Allah dengan menyembelih hewan sebagai ibadah dan sarana mendekatkan diri kepada Allah. | Dalam ayat ini, Allah memerintahkan Nabi Muhammad agar mengerjakan salat dan menyembelih hewan kurban karena Allah semata, karena Dia sajalah yang mendidiknya dan melimpahkan karunia-Nya. Dalam ayat lain, Allah berfirman:
قُلْ اِنَّ صَلَاتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ ١٦٢ لَا شَرِيْكَ لَهٗ ۚوَبِذٰلِكَ اُمِرْتُ وَاَنَا۠ اَوَّلُ الْمُسْلِمِيْنَ ١٦٣
Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (muslim).” (al-An‘ām/6: 162-163) | Surah al-Kauṡar terdiri dari 3 ayat, termasuk kelompok surah Makkiyyah, diturunkan sesudah Surah al-‘Ādiyāt. Nama al-Kauṡar (nikmat yang banyak) diambil dari perkataan al-kauṡar yang terdapat pada ayat pertama surah ini. Surah ini sebagai penghibur hati Nabi Muhammad.
Pokok-pokok Isinya:
Allah telah melimpahkan nikmat yang banyak, oleh karena itu dirikanlah salat dan berkorbanlah; Nabi Muhammad akan mempunyai pengikut yang banyak sampai hari Kiamat dan akan mempunyai nama yang baik di dunia dan di akhirat, tidak seperti yang dituduhkan pembenci-pembencinya. | null | Dalam Surah al-Mā‘ūn dikemukakan sifat-sifat manusia yang lebih buruk, sedang dalam Surah al-Kauṡar ditunjukkan sifat-sifat yang mulia yang diperintahkan untuk mengerjakannya. | Pada akhir surah yang lalu dijelaskan tanda orang yang ingkar terhadap agama, yaitu tidak mau membantu memberi pertolongan. Pada surah ini dijelaskan tentang nikmat yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad yang tiada terkira. | ALAT DAN BERKORBAN TANDA SYUKUR
KEPADA NIKMAT ALLAH | Kosakata: Al-Kauṡar الْكَوْثَر (al-Kauṡar/108: 1)
Al-Kauṡar terambil dari kata kaṡīr, yang artinya banyak. Dengan demikian, kata ini diartikan sebagai nikmat atau anugerah Allah yang banyak. Mengenai maknanya secara pasti, banyak pendapat yang dikemukakan para ulama atau mufasir. Di antaranya ada yang mengartikannya sebagai sungai di surga yang dianugerahkan Allah kepada Nabi Muhammad. Pendapat ini sangat populer karena didasarkan pada hadis yang diriwayatkan Imam Aḥmad dan Muslim dari sahabat Anas bin Mālik, yang menginformasikan keterangan Rasulullah saw, yaitu bahwa al-kauṡar itu adalah sungai yang dianugerahkan Allah kepadanya di surga.
Pendapat kedua tentang makna al-kauṡar yang juga banyak disebut para mufasir adalah keturunan Nabi Muhammad. Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh Abū Ḥayyān, al-Alūsī, Muhammad ‘Abduh, al-Qāsimī, dan lainnya. Namun demikian, ada pula yang menentang pendapat ini. Alasan yang tidak sepakat adalah bahwa keturunan itu selalu dimulai dari anak laki-laki. Padahal anak laki-laki Rasulullah saw semuanya meninggal ketika masih kecil, sehingga beliau tidak mempunyai cucu dari anak laki-laki. Sedangkan cucu dari anak perempuan biasanya mengikuti keluarga menantunya. Kenyataannya, Rasulullah saw hanya mempunyai cucu dari anak perempuannya yang bernama Fatimah. Namun demikian, kritik ini dijawab bahwa anak perempuan juga dapat dinisbahkan kepada bapaknya, sehingga anaknya juga dinilai sebagai cucu dari bapak tersebut. Oleh karena itu, anak-anak Fatimah yang kemudian menurunkan sekian banyak orang, dapat juga disebut sebagai keturunan Rasulullah saw.
Pendapat ketiga menyatakan bahwa yang dimaksud dengan al-kauṡar adalah anugerah atau nikmat Allah yang banyak. Pendapat ini disimpulkan dari diskusi seorang sahabat dengan Ibnu ‘Abbās mengenai maknanya. Ketika dikatakan bahwa al-kauṡar itu adalah sungai di surga, maka Ibnu ‘Abbās menjawab bahwa makna itu merupakan sebagian dari al-kauṡar yang dijanjikan Allah kepada Nabi Muhammad. | null | null |
6,207 | 108 | الكوثر | Al-Kauṡar | Al-Kausar | Nikmat Yang Banyak | 3 | 602 | Makkiyah | 3 | 602 | 61 | 30 | 7 | اِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْاَبْتَرُ ࣖ | Inna syāni'aka huwal-abtar(u). | Sesungguhnya orang yang membencimu, dialah yang terputus (dari rahmat Allah). | null | null | Sungguh orang-orang yang membencimu dan mengacuhkan hidayah yang engkau bawa, dialah orang yang terputus. Tidak hanya terputus jejaknya, mereka pun dijauhkan dari rahmat Allah dan segala kebaikan. Keteladanan dan kebaikanmu akan terus menjadi pembicaraan sepanjang zaman dan keturunanmu akan terus mewarisi kebaikanmu. | Sesudah Allah menghibur dan menggembirakan Nabi Muhammad serta memerintahkan supaya mensyukuri anugerah-anugerah-Nya dan sebagai kesempurnaan nikmat-Nya, maka Allah menjadikan musuh-musuh Nabi itu jadi hina dan tidak berdaya. Siapa saja yang membenci dan mencaci Nabi akan hilang pengaruhnya dan tidak ada kebahagiaan baginya di dunia dan di akhirat. Sedang kebaikan dan hasil perjuangan akan tetap jaya sampai hari Kiamat.
Orang-orang kafir Mekah mencaci Nabi Muhammad bukanlah karena mereka tidak senang kepada pribadi Nabi, tetapi karena beliau mencela kebodohan mereka dan mencaci berhala-berhala yang mereka sembah serta mengajak mereka untuk meninggalkan penyembahan berhala-berhala itu.
Sungguh Allah telah menepati janji-Nya dengan menghinakan dan menjatuhkan martabat orang-orang yang mencaci Nabi Muhammad, sehingga nama mereka hanya diingat ketika membicarakan orang-orang jahat dan kejahatannya. Adapun kedudukan Nabi saw dan orang-orang yang menerima petunjuk beliau serta nama harum mereka diangkat setinggi-tingginya oleh Allah sepanjang masa. | Surah al-Kauṡar terdiri dari 3 ayat, termasuk kelompok surah Makkiyyah, diturunkan sesudah Surah al-‘Ādiyāt. Nama al-Kauṡar (nikmat yang banyak) diambil dari perkataan al-kauṡar yang terdapat pada ayat pertama surah ini. Surah ini sebagai penghibur hati Nabi Muhammad.
Pokok-pokok Isinya:
Allah telah melimpahkan nikmat yang banyak, oleh karena itu dirikanlah salat dan berkorbanlah; Nabi Muhammad akan mempunyai pengikut yang banyak sampai hari Kiamat dan akan mempunyai nama yang baik di dunia dan di akhirat, tidak seperti yang dituduhkan pembenci-pembencinya. | Surah ini menganjurkan agar orang selalu beribadah kepada Allah dan berkurban sebagai tanda bersyukur atas nikmat yang telah dilimpahkan-Nya. | Dalam Surah al-Mā‘ūn dikemukakan sifat-sifat manusia yang lebih buruk, sedang dalam Surah al-Kauṡar ditunjukkan sifat-sifat yang mulia yang diperintahkan untuk mengerjakannya. | Pada akhir surah yang lalu dijelaskan tanda orang yang ingkar terhadap agama, yaitu tidak mau membantu memberi pertolongan. Pada surah ini dijelaskan tentang nikmat yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad yang tiada terkira. | ALAT DAN BERKORBAN TANDA SYUKUR
KEPADA NIKMAT ALLAH | Kosakata: Al-Kauṡar الْكَوْثَر (al-Kauṡar/108: 1)
Al-Kauṡar terambil dari kata kaṡīr, yang artinya banyak. Dengan demikian, kata ini diartikan sebagai nikmat atau anugerah Allah yang banyak. Mengenai maknanya secara pasti, banyak pendapat yang dikemukakan para ulama atau mufasir. Di antaranya ada yang mengartikannya sebagai sungai di surga yang dianugerahkan Allah kepada Nabi Muhammad. Pendapat ini sangat populer karena didasarkan pada hadis yang diriwayatkan Imam Aḥmad dan Muslim dari sahabat Anas bin Mālik, yang menginformasikan keterangan Rasulullah saw, yaitu bahwa al-kauṡar itu adalah sungai yang dianugerahkan Allah kepadanya di surga.
Pendapat kedua tentang makna al-kauṡar yang juga banyak disebut para mufasir adalah keturunan Nabi Muhammad. Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh Abū Ḥayyān, al-Alūsī, Muhammad ‘Abduh, al-Qāsimī, dan lainnya. Namun demikian, ada pula yang menentang pendapat ini. Alasan yang tidak sepakat adalah bahwa keturunan itu selalu dimulai dari anak laki-laki. Padahal anak laki-laki Rasulullah saw semuanya meninggal ketika masih kecil, sehingga beliau tidak mempunyai cucu dari anak laki-laki. Sedangkan cucu dari anak perempuan biasanya mengikuti keluarga menantunya. Kenyataannya, Rasulullah saw hanya mempunyai cucu dari anak perempuannya yang bernama Fatimah. Namun demikian, kritik ini dijawab bahwa anak perempuan juga dapat dinisbahkan kepada bapaknya, sehingga anaknya juga dinilai sebagai cucu dari bapak tersebut. Oleh karena itu, anak-anak Fatimah yang kemudian menurunkan sekian banyak orang, dapat juga disebut sebagai keturunan Rasulullah saw.
Pendapat ketiga menyatakan bahwa yang dimaksud dengan al-kauṡar adalah anugerah atau nikmat Allah yang banyak. Pendapat ini disimpulkan dari diskusi seorang sahabat dengan Ibnu ‘Abbās mengenai maknanya. Ketika dikatakan bahwa al-kauṡar itu adalah sungai di surga, maka Ibnu ‘Abbās menjawab bahwa makna itu merupakan sebagian dari al-kauṡar yang dijanjikan Allah kepada Nabi Muhammad. | null | 1. Allah menjanjikan kepada Nabi Muhammad untuk memberinya nikmat yang tidak ternilai harganya dan janji itu ditepati-Nya.
2. Allah memerintahkan Nabi Muhammad agar mengerjakan salat dan menyembelih hewan kurban sebagai tanda syukur kepada nikmat tersebut.
3. Orang yang mencaci dan mencela Nabi Muhammad tidak akan disebut-sebut kecuali kejahatannya saja. |
6,208 | 109 | الكٰفرون | Al-Kāfirūn | Al-Kafirun | Orang-Orang kafir | 6 | 603 | Makkiyah | 1 | 603 | 61 | 30 | 7 | قُلْ يٰٓاَيُّهَا الْكٰفِرُوْنَۙ | Qul yā ayyuhal-kāfirūn(a). | Katakanlah (Nabi Muhammad), “Wahai orang-orang kafir, | null | null | Wahai Nabi Muhammad, katakanlah, “Wahai orang-orang yang me-milih kafir sebagai jalan hidup! | Dalam ayat-ayat ini, Allah memerintahkan Nabi Muhammad agar menyatakan kepada orang-orang kafir bahwa “Tuhan” yang mereka sembah bukanlah “Tuhan” yang ia sembah, karena mereka menyembah “Tuhan” yang memerlukan pembantu dan mempunyai anak atau menjelma dalam suatu bentuk atau dalam sesuatu rupa atau bentuk-bentuk lain yang mereka dakwakan. Sedang Nabi saw menyembah Tuhan yang tidak ada tandingan-Nya dan tidak ada sekutu bagi-Nya; tidak mempunyai anak dan istri. Akal tidak sanggup menerka bagaimana Dia, tidak ditentukan oleh tempat dan tidak terikat oleh masa, tidak memerlukan perantaraan dan tidak pula memerlukan penghubung.
Maksud pernyataan itu adalah terdapat perbedaan sangat besar antara “Tuhan” yang disembah orang-orang kafir dengan “Tuhan” yang disembah Nabi Muhammad. Mereka menyifati tuhannya dengan sifat-sifat yang tidak layak sama sekali bagi Tuhan yang disembah Nabi. | Surah al-Kāfirūn terdiri dari 6 ayat, termasuk kelompok surah Makkiyyah, diturunkan sesudah Surah al-Mā‘ūn.
Dinamai al-Kāfirūn (orang-orang kafir) diambil dari kata al-kāfirūn yang terdapat dalam ayat pertama surah ini.
Pokok-pokok Isinya:
Pernyataan bahwa Tuhan yang disembah Nabi Muhammad dan pengikut-pengikutnya bukanlah apa yang disembah oleh orang-orang kafir dan Nabi Muhammad tidak akan menyembah apa yang disembah oleh orang-orang kafir. | null | Dalam Surah al-Kauṡar, Allah memerintahkan agar beribadah hanya kepada Allah, sedang dalam Surah al-Kāfirūn perintah tersebut ditandaskan lagi. | Pada akhir Surah al-Kauṡar dijelaskan bahwa orang yang membenci Nabi Muhammad akan terputus. Pada awal Surah al-Kāfirūn, Rasulullah saw diperintahkan bersikap tegas kepada orang yang ingkar kepada Allah. | TIDAK ADA TOLERANSI DALAM HAL
KEIMANAN DAN PERIBADATAN | Kosakata: ‘Ābid عَابِدٌ (al-Kāfirūn/109: 4)
Kata ‘ābid merupakan bentuk fā‘il (kata yang menunjuk pelaku) dari kata kerja ‘abada-ya‘budu, yang artinya menyembah atau beribadah. Dengan demikian, ‘ābid diartikan sebagai penyembah. Bila dikaitkan dengan subjek atau pelaku yang dimaksud dari kata ini, maka hal itu menunjuk kepada Rasulullah saw. Ada mufasir yang berpendapat bahwa antara kandungan ayat 4 ini tidak berbeda dari makna yang terdapat pada ayat 2. Pendapat ini jelas tidak tepat, sebab pada keduanya terdapat perbedaan penyebutan kata kerja ibadahnya. Pada ayat dua ungkapan yang dipergunakan untuk menunjuk pada penyembahan mempergunakan kata kerja lampau (fi‘il māḍī) yang berfungsi menerangkan sesuatu yang lalu, sedangkan sekarang atau yang akan datang tidak seperti itu. Sedang pada ayat 4 yang digunakan kata kerja bentuk sekarang (fi‘il muḍāri‘). Ini mengisyaratkan bahwa yang disembah orang musyrik pada waktu yang lalu ada kemungkinan berbeda dari yang disembah saat ini atau yang akan datang. Sedang ‘ābid, yang terdapat pada ayat 4 ini menyatakan konsistensi Nabi dalam beribadah, seperti yang ditunjukkan pada ayat 3 dan 5, yang menggunakan bentuk sama, yaitu fi‘il muḍāri‘ atau kata kerja masa kini dan yang akan datang (a‘budu). | Telah diriwayatkan bahwa al-Walīd bin al-Mugīrah, al-‘Āṣ bin Wā'il as-Sahmī, al-Aswad bin Abdul Muṭalib, dan Umaiyyah bin Khalaf bersama rombongan pembesar-pembesar Quraisy datang menemui Nabi saw dan menyatakan, “Hai Muhammad! Marilah engkau mengikuti agama kami dan kami mengikuti agamamu dan engkau bersama kami dalam semua masalah yang kami hadapi, engkau menyembah Tuhan kami setahun dan kami menyembah Tuhanmu setahun. Jika agama yang engkau bawa itu benar, maka kami berada bersamamu dan mendapat bagian darinya, dan jika ajaran yang ada pada kami itu benar, maka engkau telah bersekutu pula dengan kami dan engkau akan mendapat bagian pula daripadanya.” Beliau menjawab, “Aku berlindung kepada Allah dari mempersekutukan-Nya.” Lalu turunlah Surah al-Kāfirūn sebagai jawaban terhadap ajakan mereka.
Kemudian Nabi saw pergi ke Masjidil Haram menemui orang-orang Quraisy yang sedang berkumpul di sana dan membaca Surah al-Kāfirūn ini, maka mereka berputus asa untuk dapat bekerja sama dengan Nabi saw. Sejak itu mulailah orang-orang Quraisy meningkatkan permusuhan mereka kepada Nabi dengan menyakiti beliau dan para sahabatnya, sehingga tiba masanya hijrah ke Medinah. | null |
6,209 | 109 | الكٰفرون | Al-Kāfirūn | Al-Kafirun | Orang-Orang kafir | 6 | 603 | Makkiyah | 2 | 603 | 61 | 30 | 7 | لَآ اَعْبُدُ مَا تَعْبُدُوْنَۙ | Lā a‘budu mā ta‘budūn(a). | aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. | null | null | Sampai kapan pun aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah selain Allah, seperti berhala-berhala itu. Tuhan bukanlah ciptaan manusia dan Dia tidak menjelma menjadi suatu yang kasat mata sebagaimana sembahanmu itu. | Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa jika manusia tidak mau hidupnya merugi, maka ia harus beriman kepada-Nya, melaksanakan ibadah sebagaimana yang diperintahkannya, berbuat baik untuk dirinya sendiri, dan berusaha menimbulkan manfaat kepada orang lain.
Di samping beriman dan beramal saleh, mereka harus saling nasihat-menasihati untuk menaati kebenaran dan tetap berlaku sabar, menjauhi perbuatan maksiat yang setiap orang cenderung kepadanya, karena dorongan hawa nafsunya. | Surah al-Kāfirūn terdiri dari 6 ayat, termasuk kelompok surah Makkiyyah, diturunkan sesudah Surah al-Mā‘ūn.
Dinamai al-Kāfirūn (orang-orang kafir) diambil dari kata al-kāfirūn yang terdapat dalam ayat pertama surah ini.
Pokok-pokok Isinya:
Pernyataan bahwa Tuhan yang disembah Nabi Muhammad dan pengikut-pengikutnya bukanlah apa yang disembah oleh orang-orang kafir dan Nabi Muhammad tidak akan menyembah apa yang disembah oleh orang-orang kafir. | null | Dalam Surah al-Kauṡar, Allah memerintahkan agar beribadah hanya kepada Allah, sedang dalam Surah al-Kāfirūn perintah tersebut ditandaskan lagi. | Pada akhir Surah al-Kauṡar dijelaskan bahwa orang yang membenci Nabi Muhammad akan terputus. Pada awal Surah al-Kāfirūn, Rasulullah saw diperintahkan bersikap tegas kepada orang yang ingkar kepada Allah. | TIDAK ADA TOLERANSI DALAM HAL
KEIMANAN DAN PERIBADATAN | Kosakata: ‘Ābid عَابِدٌ (al-Kāfirūn/109: 4)
Kata ‘ābid merupakan bentuk fā‘il (kata yang menunjuk pelaku) dari kata kerja ‘abada-ya‘budu, yang artinya menyembah atau beribadah. Dengan demikian, ‘ābid diartikan sebagai penyembah. Bila dikaitkan dengan subjek atau pelaku yang dimaksud dari kata ini, maka hal itu menunjuk kepada Rasulullah saw. Ada mufasir yang berpendapat bahwa antara kandungan ayat 4 ini tidak berbeda dari makna yang terdapat pada ayat 2. Pendapat ini jelas tidak tepat, sebab pada keduanya terdapat perbedaan penyebutan kata kerja ibadahnya. Pada ayat dua ungkapan yang dipergunakan untuk menunjuk pada penyembahan mempergunakan kata kerja lampau (fi‘il māḍī) yang berfungsi menerangkan sesuatu yang lalu, sedangkan sekarang atau yang akan datang tidak seperti itu. Sedang pada ayat 4 yang digunakan kata kerja bentuk sekarang (fi‘il muḍāri‘). Ini mengisyaratkan bahwa yang disembah orang musyrik pada waktu yang lalu ada kemungkinan berbeda dari yang disembah saat ini atau yang akan datang. Sedang ‘ābid, yang terdapat pada ayat 4 ini menyatakan konsistensi Nabi dalam beribadah, seperti yang ditunjukkan pada ayat 3 dan 5, yang menggunakan bentuk sama, yaitu fi‘il muḍāri‘ atau kata kerja masa kini dan yang akan datang (a‘budu). | null | null |
6,210 | 109 | الكٰفرون | Al-Kāfirūn | Al-Kafirun | Orang-Orang kafir | 6 | 603 | Makkiyah | 3 | 603 | 61 | 30 | 7 | وَلَآ اَنْتُمْ عٰبِدُوْنَ مَآ اَعْبُدُۚ | Wa lā antum ‘ābidūna mā a‘bud(u). | Kamu juga bukan penyembah apa yang aku sembah. | null | null | Dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, Penguasa alam semesta. Berhala sembahanmu itu sifat-sifat-nya sangat berbeda dari sifat-sifat sempurna Tuhan yang aku sembah. | Selanjutnya Allah menambahkan lagi pernyataan yang diperintahkan untuk disampaikan kepada orang-orang kafir dengan menyatakan bahwa mereka tidak menyembah Tuhan yang didakwahkan Nabi Muhammad, karena sifat-sifat-Nya berlainan dengan sifat-sifat “Tuhan” yang mereka sembah dan tidak mungkin dipertemukan antara kedua macam sifat tersebut. | Surah al-Kāfirūn terdiri dari 6 ayat, termasuk kelompok surah Makkiyyah, diturunkan sesudah Surah al-Mā‘ūn.
Dinamai al-Kāfirūn (orang-orang kafir) diambil dari kata al-kāfirūn yang terdapat dalam ayat pertama surah ini.
Pokok-pokok Isinya:
Pernyataan bahwa Tuhan yang disembah Nabi Muhammad dan pengikut-pengikutnya bukanlah apa yang disembah oleh orang-orang kafir dan Nabi Muhammad tidak akan menyembah apa yang disembah oleh orang-orang kafir. | null | Dalam Surah al-Kauṡar, Allah memerintahkan agar beribadah hanya kepada Allah, sedang dalam Surah al-Kāfirūn perintah tersebut ditandaskan lagi. | Pada akhir Surah al-Kauṡar dijelaskan bahwa orang yang membenci Nabi Muhammad akan terputus. Pada awal Surah al-Kāfirūn, Rasulullah saw diperintahkan bersikap tegas kepada orang yang ingkar kepada Allah. | TIDAK ADA TOLERANSI DALAM HAL
KEIMANAN DAN PERIBADATAN | Kosakata: ‘Ābid عَابِدٌ (al-Kāfirūn/109: 4)
Kata ‘ābid merupakan bentuk fā‘il (kata yang menunjuk pelaku) dari kata kerja ‘abada-ya‘budu, yang artinya menyembah atau beribadah. Dengan demikian, ‘ābid diartikan sebagai penyembah. Bila dikaitkan dengan subjek atau pelaku yang dimaksud dari kata ini, maka hal itu menunjuk kepada Rasulullah saw. Ada mufasir yang berpendapat bahwa antara kandungan ayat 4 ini tidak berbeda dari makna yang terdapat pada ayat 2. Pendapat ini jelas tidak tepat, sebab pada keduanya terdapat perbedaan penyebutan kata kerja ibadahnya. Pada ayat dua ungkapan yang dipergunakan untuk menunjuk pada penyembahan mempergunakan kata kerja lampau (fi‘il māḍī) yang berfungsi menerangkan sesuatu yang lalu, sedangkan sekarang atau yang akan datang tidak seperti itu. Sedang pada ayat 4 yang digunakan kata kerja bentuk sekarang (fi‘il muḍāri‘). Ini mengisyaratkan bahwa yang disembah orang musyrik pada waktu yang lalu ada kemungkinan berbeda dari yang disembah saat ini atau yang akan datang. Sedang ‘ābid, yang terdapat pada ayat 4 ini menyatakan konsistensi Nabi dalam beribadah, seperti yang ditunjukkan pada ayat 3 dan 5, yang menggunakan bentuk sama, yaitu fi‘il muḍāri‘ atau kata kerja masa kini dan yang akan datang (a‘budu). | null | null |
6,211 | 109 | الكٰفرون | Al-Kāfirūn | Al-Kafirun | Orang-Orang kafir | 6 | 603 | Makkiyah | 4 | 603 | 61 | 30 | 7 | وَلَآ اَنَا۠ عَابِدٌ مَّا عَبَدْتُّمْۙ | Wa lā ana ‘ābidum mā ‘abattum. | Aku juga tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. | null | null | Jika dua ayat sebelumnya menerangkan ketidaksamaan Tuhan Nabi Muhammad dan Tuhan orang kafir, dua ayat berikut menjelaskan ketidaksamaan peribadahan kepada keduanya. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah karena kamu adalah orang-orang musyrik. Aku menyembah Tuhanku dengan bertauhid seperti yang Dia ajarkan kepadaku. | Sesudah Allah menyatakan tentang tidak mungkin ada persamaan sifat antara Tuhan yang disembah oleh Nabi saw dengan yang disembah oleh orang-orang kafir, maka dengan sendirinya tidak ada pula persamaan dalam hal ibadah. Tuhan yang disembah Nabi Muhammad adalah Tuhan yang Mahasuci dari sekutu dan tandingan, tidak menjelma pada seseorang atau memihak kepada suatu bangsa atau orang tertentu. Sedangkan “Tuhan” yang mereka sembah itu berbeda dari Tuhan yang tersebut di atas. Lagi pula ibadah nabi hanya untuk Allah saja, sedang ibadah mereka bercampur dengan syirik dan dicampuri dengan kelalaian dari Allah, maka yang demikian itu tidak dinamakan ibadah.
Pengulangan pernyataan yang sama seperti yang terdapat dalam ayat 3 dan 5 adalah untuk memperkuat dan membuat orang yang mengusulkan kepada Nabi saw berputus asa terhadap penolakan Nabi menyembah tuhan mereka selama setahun. Pengulangan seperti ini juga terdapat dalam Surah ar-Raḥmān/55 dan al-Mursalāt/77. Hal ini adalah biasa dalam bahasa Arab. | Surah al-Kāfirūn terdiri dari 6 ayat, termasuk kelompok surah Makkiyyah, diturunkan sesudah Surah al-Mā‘ūn.
Dinamai al-Kāfirūn (orang-orang kafir) diambil dari kata al-kāfirūn yang terdapat dalam ayat pertama surah ini.
Pokok-pokok Isinya:
Pernyataan bahwa Tuhan yang disembah Nabi Muhammad dan pengikut-pengikutnya bukanlah apa yang disembah oleh orang-orang kafir dan Nabi Muhammad tidak akan menyembah apa yang disembah oleh orang-orang kafir. | null | Dalam Surah al-Kauṡar, Allah memerintahkan agar beribadah hanya kepada Allah, sedang dalam Surah al-Kāfirūn perintah tersebut ditandaskan lagi. | Pada akhir Surah al-Kauṡar dijelaskan bahwa orang yang membenci Nabi Muhammad akan terputus. Pada awal Surah al-Kāfirūn, Rasulullah saw diperintahkan bersikap tegas kepada orang yang ingkar kepada Allah. | TIDAK ADA TOLERANSI DALAM HAL
KEIMANAN DAN PERIBADATAN | Kosakata: ‘Ābid عَابِدٌ (al-Kāfirūn/109: 4)
Kata ‘ābid merupakan bentuk fā‘il (kata yang menunjuk pelaku) dari kata kerja ‘abada-ya‘budu, yang artinya menyembah atau beribadah. Dengan demikian, ‘ābid diartikan sebagai penyembah. Bila dikaitkan dengan subjek atau pelaku yang dimaksud dari kata ini, maka hal itu menunjuk kepada Rasulullah saw. Ada mufasir yang berpendapat bahwa antara kandungan ayat 4 ini tidak berbeda dari makna yang terdapat pada ayat 2. Pendapat ini jelas tidak tepat, sebab pada keduanya terdapat perbedaan penyebutan kata kerja ibadahnya. Pada ayat dua ungkapan yang dipergunakan untuk menunjuk pada penyembahan mempergunakan kata kerja lampau (fi‘il māḍī) yang berfungsi menerangkan sesuatu yang lalu, sedangkan sekarang atau yang akan datang tidak seperti itu. Sedang pada ayat 4 yang digunakan kata kerja bentuk sekarang (fi‘il muḍāri‘). Ini mengisyaratkan bahwa yang disembah orang musyrik pada waktu yang lalu ada kemungkinan berbeda dari yang disembah saat ini atau yang akan datang. Sedang ‘ābid, yang terdapat pada ayat 4 ini menyatakan konsistensi Nabi dalam beribadah, seperti yang ditunjukkan pada ayat 3 dan 5, yang menggunakan bentuk sama, yaitu fi‘il muḍāri‘ atau kata kerja masa kini dan yang akan datang (a‘budu). | null | null |
6,212 | 109 | الكٰفرون | Al-Kāfirūn | Al-Kafirun | Orang-Orang kafir | 6 | 603 | Makkiyah | 5 | 603 | 61 | 30 | 7 | وَلَآ اَنْتُمْ عٰبِدُوْنَ مَآ اَعْبُدُۗ | Wa lā antum ‘ābidūna mā a‘bud(u). | Kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. | null | null | Dan kamu tidak pernah pula menjadi penyembah apa yang aku sembah. Kamu tidak tunduk pada perintah dan syariat Allah dalam menyembah-Nya. Kamu bahkan menyembah tuhan dengan penuh kemusyrikan dan cara-cara yang kamu buat-buat berdasarkan hawa nafsumu. | Sesudah Allah menyatakan tentang tidak mungkin ada persamaan sifat antara Tuhan yang disembah oleh Nabi saw dengan yang disembah oleh orang-orang kafir, maka dengan sendirinya tidak ada pula persamaan dalam hal ibadah. Tuhan yang disembah Nabi Muhammad adalah Tuhan yang Mahasuci dari sekutu dan tandingan, tidak menjelma pada seseorang atau memihak kepada suatu bangsa atau orang tertentu. Sedangkan “Tuhan” yang mereka sembah itu berbeda dari Tuhan yang tersebut di atas. Lagi pula ibadah nabi hanya untuk Allah saja, sedang ibadah mereka bercampur dengan syirik dan dicampuri dengan kelalaian dari Allah, maka yang demikian itu tidak dinamakan ibadah.
Pengulangan pernyataan yang sama seperti yang terdapat dalam ayat 3 dan 5 adalah untuk memperkuat dan membuat orang yang mengusulkan kepada Nabi saw berputus asa terhadap penolakan Nabi menyembah tuhan mereka selama setahun. Pengulangan seperti ini juga terdapat dalam Surah ar-Raḥmān/55 dan al-Mursalāt/77. Hal ini adalah biasa dalam bahasa Arab. | Surah al-Kāfirūn terdiri dari 6 ayat, termasuk kelompok surah Makkiyyah, diturunkan sesudah Surah al-Mā‘ūn.
Dinamai al-Kāfirūn (orang-orang kafir) diambil dari kata al-kāfirūn yang terdapat dalam ayat pertama surah ini.
Pokok-pokok Isinya:
Pernyataan bahwa Tuhan yang disembah Nabi Muhammad dan pengikut-pengikutnya bukanlah apa yang disembah oleh orang-orang kafir dan Nabi Muhammad tidak akan menyembah apa yang disembah oleh orang-orang kafir. | null | Dalam Surah al-Kauṡar, Allah memerintahkan agar beribadah hanya kepada Allah, sedang dalam Surah al-Kāfirūn perintah tersebut ditandaskan lagi. | Pada akhir Surah al-Kauṡar dijelaskan bahwa orang yang membenci Nabi Muhammad akan terputus. Pada awal Surah al-Kāfirūn, Rasulullah saw diperintahkan bersikap tegas kepada orang yang ingkar kepada Allah. | TIDAK ADA TOLERANSI DALAM HAL
KEIMANAN DAN PERIBADATAN | Kosakata: ‘Ābid عَابِدٌ (al-Kāfirūn/109: 4)
Kata ‘ābid merupakan bentuk fā‘il (kata yang menunjuk pelaku) dari kata kerja ‘abada-ya‘budu, yang artinya menyembah atau beribadah. Dengan demikian, ‘ābid diartikan sebagai penyembah. Bila dikaitkan dengan subjek atau pelaku yang dimaksud dari kata ini, maka hal itu menunjuk kepada Rasulullah saw. Ada mufasir yang berpendapat bahwa antara kandungan ayat 4 ini tidak berbeda dari makna yang terdapat pada ayat 2. Pendapat ini jelas tidak tepat, sebab pada keduanya terdapat perbedaan penyebutan kata kerja ibadahnya. Pada ayat dua ungkapan yang dipergunakan untuk menunjuk pada penyembahan mempergunakan kata kerja lampau (fi‘il māḍī) yang berfungsi menerangkan sesuatu yang lalu, sedangkan sekarang atau yang akan datang tidak seperti itu. Sedang pada ayat 4 yang digunakan kata kerja bentuk sekarang (fi‘il muḍāri‘). Ini mengisyaratkan bahwa yang disembah orang musyrik pada waktu yang lalu ada kemungkinan berbeda dari yang disembah saat ini atau yang akan datang. Sedang ‘ābid, yang terdapat pada ayat 4 ini menyatakan konsistensi Nabi dalam beribadah, seperti yang ditunjukkan pada ayat 3 dan 5, yang menggunakan bentuk sama, yaitu fi‘il muḍāri‘ atau kata kerja masa kini dan yang akan datang (a‘budu). | null | null |
6,213 | 109 | الكٰفرون | Al-Kāfirūn | Al-Kafirun | Orang-Orang kafir | 6 | 603 | Makkiyah | 6 | 603 | 61 | 30 | 7 | لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ ࣖ | Lakum dīnukum wa liya dīn(i). | Untukmu agamamu dan untukku agamaku.” | null | null | Tidak ada tukar-menukar dengan pengikut agama lain dalam hal peribadahan kepada Tuhan. Wahai orang kafir, untukmu agamamu, yakni kemusyrikan yang kamu yakini, dan untukku agamaku yang telah Allah pilihkan untukku sehingga aku tidak akan berpaling ke agama lain. Inilah jalan terbaik dalam hal toleransi antar umat beragama dalam urusan peribadahan kepada Tuhan. | Kemudian dalam ayat ini, Allah mengancam orang-orang kafir dengan firman-Nya yaitu, “Bagi kamu balasan atas amal perbuatanmu dan bagiku balasan atas amal perbuatanku.” Dalam ayat lain Allah berfirman:
وَلَنَآ اَعْمَالُنَا وَلَكُمْ اَعْمَالُكُمْ
Bagi kami amalan kami, bagi kamu amalan kamu. (al-Baqarah/2: 139) | Surah al-Kāfirūn terdiri dari 6 ayat, termasuk kelompok surah Makkiyyah, diturunkan sesudah Surah al-Mā‘ūn.
Dinamai al-Kāfirūn (orang-orang kafir) diambil dari kata al-kāfirūn yang terdapat dalam ayat pertama surah ini.
Pokok-pokok Isinya:
Pernyataan bahwa Tuhan yang disembah Nabi Muhammad dan pengikut-pengikutnya bukanlah apa yang disembah oleh orang-orang kafir dan Nabi Muhammad tidak akan menyembah apa yang disembah oleh orang-orang kafir. | Surah al-Kāfirūn mengisyaratkan habisnya semua harapan orang-orang kafir dalam usaha mereka agar Nabi Muhammad meninggalkan dakwahnya. | Dalam Surah al-Kauṡar, Allah memerintahkan agar beribadah hanya kepada Allah, sedang dalam Surah al-Kāfirūn perintah tersebut ditandaskan lagi. | Pada akhir Surah al-Kauṡar dijelaskan bahwa orang yang membenci Nabi Muhammad akan terputus. Pada awal Surah al-Kāfirūn, Rasulullah saw diperintahkan bersikap tegas kepada orang yang ingkar kepada Allah. | TIDAK ADA TOLERANSI DALAM HAL
KEIMANAN DAN PERIBADATAN | Kosakata: ‘Ābid عَابِدٌ (al-Kāfirūn/109: 4)
Kata ‘ābid merupakan bentuk fā‘il (kata yang menunjuk pelaku) dari kata kerja ‘abada-ya‘budu, yang artinya menyembah atau beribadah. Dengan demikian, ‘ābid diartikan sebagai penyembah. Bila dikaitkan dengan subjek atau pelaku yang dimaksud dari kata ini, maka hal itu menunjuk kepada Rasulullah saw. Ada mufasir yang berpendapat bahwa antara kandungan ayat 4 ini tidak berbeda dari makna yang terdapat pada ayat 2. Pendapat ini jelas tidak tepat, sebab pada keduanya terdapat perbedaan penyebutan kata kerja ibadahnya. Pada ayat dua ungkapan yang dipergunakan untuk menunjuk pada penyembahan mempergunakan kata kerja lampau (fi‘il māḍī) yang berfungsi menerangkan sesuatu yang lalu, sedangkan sekarang atau yang akan datang tidak seperti itu. Sedang pada ayat 4 yang digunakan kata kerja bentuk sekarang (fi‘il muḍāri‘). Ini mengisyaratkan bahwa yang disembah orang musyrik pada waktu yang lalu ada kemungkinan berbeda dari yang disembah saat ini atau yang akan datang. Sedang ‘ābid, yang terdapat pada ayat 4 ini menyatakan konsistensi Nabi dalam beribadah, seperti yang ditunjukkan pada ayat 3 dan 5, yang menggunakan bentuk sama, yaitu fi‘il muḍāri‘ atau kata kerja masa kini dan yang akan datang (a‘budu). | null | 1. Tuhan yang disembah oleh orang-orang mukmin bukan tuhan yang disembah oleh orang-orang kafir, karena sifat keduanya berbeda.
2. Cara ibadah yang dilakukan oleh Nabi saw tidak sama dengan cara yang dilakukan oleh orang-orang kafir.
3. Tidak ada toleransi dalam iman dan ibadah kepada Allah. |
6,214 | 110 | النّصر | An-Naṣr | An-Nasr | Pertolongan | 3 | 603 | Madaniyah | 1 | 603 | 61 | 30 | 7 | اِذَا جَاۤءَ نَصْرُ اللّٰهِ وَالْفَتْحُۙ | Iżā jā'a naṣrullāhi wal-fatḥ(u). | Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan | null | null | Wahai Nabi Muhammad, apabila telah datang pertolongan Allah kepadamu dan pengikutmu dalam menghadapi kaum kafir Quraisy, dan telah datang pula kemenangan kepadamu dengan penaklukan Mekah menjadi kota yang suci kembali dari kesyirikan dan kekafiran, | Dalam ayat-ayat ini, Allah memerintahkan apa yang harus dilakukan Nabi Muhammad pada saat pembebasan Mekah, yaitu apabila ia telah melihat pertolongan Allah terhadap agama-Nya telah tiba, dengan kekalahan orang-orang musyrik dan kemenangan di pihak Nabi, dan melihat pula orang-orang masuk agama Allah beramai-ramai dan berduyun-duyun, bukan perseorangan sebagaimana halnya pada permulaan dakwah.
Orang-orang Arab berkata, “Manakala Muhammad menang atas penduduk Mekah yang mana Allah telah selamatkan mereka dari pasukan bergajah, maka kalian tidak berdaya melawannya.” Akhirnya mereka masuk Islam berduyun-duyun, berkelompok-kelompok dan satu kelompok 40 orang. | Surah an-Naṣr terdiri dari 3 ayat, termasuk kelompok surah Madaniyyah yang diturunkan di Mekah sesudah Surah at-Taubah.
Nama an-Naṣr (pertolongan) diambil dari perkataan an-naṣr yang terdapat pada ayat pertama surah ini.
Pokok-pokok Isinya:
Janji bahwa pertolongan Allah akan datang dan Islam akan mendapat kemenangan; perintah dari Tuhan agar bertasbih memuji-Nya, dan minta ampun kepada-Nya di kala terjadi peristiwa yang menggembirakan. | null | Surah al-Kāfirūn menerangkan bahwa Rasulullah saw tidak akan mengikuti agama orang-orang kafir, sedang dalam Surah an-Naṣr diterangkan bahwa agama yang dibawa Nabi Muhammad akan berkembang dan menang. | Akhir Surah al-Kāfirūn menerangkan bahwa tidak ada toleransi dalam ibadah. Oleh karenanya, Rasulullah tidak akan mengikuti agama orang kafir. Awal Surah an-Naṣr menerangkan bahwa agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad akan berkibar dan menang. | MEMUJI ALLAH KETIKA MENDAPAT KEMENANGAN ITU | Kosakata:
1. Al-Fatḥ الفَتْحُ (an-Naṣr/110: 1)
Kata al-fatḥ dalam bahasa sebagaimana kata Rāgib al-Asfahānī adalah membuka sesuatu yang tertutup dan yang sukar. Ada yang berarti hissi atau yang bisa diketahui dan dilihat oleh mata, seperti membuka pintu. Ada yang maknawi seperti menghilangkan kesusahan. Al-Fātiḥah menjadi nama surat pertama dari Al-Qur’an, karena setelah itu terbuka surat-surat berikutnya. dari sekian banyak arti, salah satu arti dari al-Fatḥ berarti “kemenangan” seperti dimaksud dalam ayat ini.
Surah yang hanya tiga ayat pendek ini termasuk kelompok surah-surah Madaniyyah walaupun turunnya di Mekah, karena surah ini turun sesudah Nabi hijrah ke Medinah. Rasulullah dan sahabat-sahabat mengalami berbagai macam kekerasan, dan semuanya itu diterimanya dengan sabar dan tabah serta keimanannya kepada Allah bertambah kuat. Kalangan mufasir mengatakan bahwa ayat ini ditujukan kepada Rasulullah untuk mengingatkannya tentang kenikmatan dan karunia Allah kepadanya dan kepada orang-orang beriman. Penaklukan Mekah tanpa kekerasan menjadi harapannya sejak semula dan ini pula rencananya. Bila hal ini kemudian terlaksana, ini pula yang merupakan balasan dan karunia Allah atas kesabaran dan perjuangannya yang tak kunjung henti. Tetapi sekarang setelah mendapatkan kemenangan gemilang, apa yang akan dilakukannya terhadap mereka yang dulu menganiaya dan menghina dirinya, keluarganya, dan sahabat-sahabatnya, serta merencanakan pembunuhan terhadap dirinya ketika di Mekah.
Guna menghindari kekerasan itu, Rasulullah dan para sahabat hijrah ke Medinah. Tetapi kaum musyrik Mekah masih juga mengejarnya sampai ke Medinah, berulang kali melancarkan perang besar-besaran, di Badar, Uhud, dan di tempat-tempat lain. Setelah mendapat kemenangan, tak sedikit pun di hati Rasulullah hendak membalas dendam atas segala perbuatan mereka itu. Bahkan ia menyerukan kepada sahabat-sahabatnya jangan sampai terjadi pertumpahan darah, dan ia memaafkan semua penjahat perang dan pemuka-pemuka Mekah.
Dalam peristiwa ini ada dua kemenangan yang telah dicapainya, (1) kemenangan fisik, karena telah dapat membebaskan Mekah dan sekitar tanpa pertumpahan darah setetes pun, sesuai dengan rencana, (2) kemenangan dakwah yang luar biasa dengan masuknya orang ke dalam Islam beramai-ramai dan berbondong-bondong datang dari segenap penjuru.
Memang setelah itu, orang-orang Arab pedalaman dan penduduk kota Mekah berduyun-duyun datang menyatakan kesetiaannya kepada Rasulullah dan ajarannya. Mereka memang menunggu penaklukan Mekah itu, dengan mengatakan bahwa kalau dia dapat mengalahkan mereka semua, benarlah dia nabi. Dan sekarang ini sudah menjadi kenyataan. Setelah itu, tak sampai dua tahun setelah penaklukan Mekah, semua kabilah dan semua kawasan negeri itu secara sukarela juga menyatakan beriman dan setia kepadanya.
Peristiwa yang berlangsung dalam waktu begitu singkat itu adalah pelajaran yang sangat berharga yang diberikan kepada kita. Artinya, bila orang berhasil dalam usahanya, dalam perjuangannya, bukan harus bersorak-sorai, merasa bangga dan menepuk dada lalu menempatkan diri sebagai orang yang berjasa sukses, sebagai pahlawan. Karenanya lalu terselip rasa bangga, lalu jadi sombong dan congkak. Dan inilah sifat manusia umumnya sepanjang sejarah, siapapun dan dari mana pun dia. Mungkin saja dalam pembebasan Mekah yang luar biasa gemilang itu, tanpa disadari ada dari kalangan orang beriman itu yang merasa demikian. Dalam hal biasa mungkin itu dianggap wajar saja, sifat manusia. Tetapi semua itu terjadi, di tengah-tengah mereka ada Rasulullah. Maka pada penutup surah ini, Rasulullah diingatkan, orang-orang beriman itu jangan terbawa arus yang akan menyesatkan mereka. Sebaliknya, hendaklah ingat kepada Allah yang Mahakuasa, dengan mengingat-ingat, berzikir, dengan memuji kekuasaan dan kebesaran Allah, memohonkan ampun dan bertobat, karena Allah Maha Pengampun. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat.
2. Afwājan اَفْوَاجًا (an-Naṣr/110: 2)
Term afwāj merupakan bentuk jamak (plural) dari kata fauj, yang artinya sekelompok manusia. Dengan demikian, afwāj dapat diartikan sebagai kelompok-kelompok manusia yang banyak. Pada ayat ini, istilah tersebut digunakan untuk menunjukkan betapa banyak penduduk Mekah yang datang berbondong-bondong untuk masuk Islam. Kedatangan mereka untuk menyatakan keislaman itu terjadi dengan sendirinya setelah mereka mengetahui kebenaran agama ini dan keadaan yang mendorong untuk mengakuinya. Kondisi demikian berbeda sekali dari masa lalu, ketika Rasulullah saw mengajak atau berdakwah kepada mereka. Pada saat itu, dakwah Nabi saw disambut dengan kritikan, cacian, lemparan batu, atau gangguan. Bahkan ada pula yang berkonspirasi untuk membunuhnya. Saat penaklukan Mekah, keadaannya sudah lain. Tanpa diminta, penduduk kota yang dulu memusuhinya berbondong-bondong datang kepada Rasulullah saw untuk menyatakan keislamannya. | null | null |
6,215 | 110 | النّصر | An-Naṣr | An-Nasr | Pertolongan | 3 | 603 | Madaniyah | 2 | 603 | 61 | 30 | 7 | وَرَاَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُوْنَ فِيْ دِيْنِ اللّٰهِ اَفْوَاجًاۙ | Wa ra'aitan-nāsa yadkhulūna fī dīnillāhi afwājā(n). | dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah, | null | null | dan engkau lihat manusia dari seluruh penjuru Jazirah Arab berbondong-bondong masuk agama Allah, yakni agama Islam, setelah sebelumnya mereka masuk Islam secara perorangan, | Dalam ayat-ayat ini, Allah memerintahkan apa yang harus dilakukan Nabi Muhammad pada saat pembebasan Mekah, yaitu apabila ia telah melihat pertolongan Allah terhadap agama-Nya telah tiba, dengan kekalahan orang-orang musyrik dan kemenangan di pihak Nabi, dan melihat pula orang-orang masuk agama Allah beramai-ramai dan berduyun-duyun, bukan perseorangan sebagaimana halnya pada permulaan dakwah.
Orang-orang Arab berkata, “Manakala Muhammad menang atas penduduk Mekah yang mana Allah telah selamatkan mereka dari pasukan bergajah, maka kalian tidak berdaya melawannya.” Akhirnya mereka masuk Islam berduyun-duyun, berkelompok-kelompok dan satu kelompok 40 orang. | Surah an-Naṣr terdiri dari 3 ayat, termasuk kelompok surah Madaniyyah yang diturunkan di Mekah sesudah Surah at-Taubah.
Nama an-Naṣr (pertolongan) diambil dari perkataan an-naṣr yang terdapat pada ayat pertama surah ini.
Pokok-pokok Isinya:
Janji bahwa pertolongan Allah akan datang dan Islam akan mendapat kemenangan; perintah dari Tuhan agar bertasbih memuji-Nya, dan minta ampun kepada-Nya di kala terjadi peristiwa yang menggembirakan. | null | Surah al-Kāfirūn menerangkan bahwa Rasulullah saw tidak akan mengikuti agama orang-orang kafir, sedang dalam Surah an-Naṣr diterangkan bahwa agama yang dibawa Nabi Muhammad akan berkembang dan menang. | Akhir Surah al-Kāfirūn menerangkan bahwa tidak ada toleransi dalam ibadah. Oleh karenanya, Rasulullah tidak akan mengikuti agama orang kafir. Awal Surah an-Naṣr menerangkan bahwa agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad akan berkibar dan menang. | MEMUJI ALLAH KETIKA MENDAPAT KEMENANGAN ITU | Kosakata:
1. Al-Fatḥ الفَتْحُ (an-Naṣr/110: 1)
Kata al-fatḥ dalam bahasa sebagaimana kata Rāgib al-Asfahānī adalah membuka sesuatu yang tertutup dan yang sukar. Ada yang berarti hissi atau yang bisa diketahui dan dilihat oleh mata, seperti membuka pintu. Ada yang maknawi seperti menghilangkan kesusahan. Al-Fātiḥah menjadi nama surat pertama dari Al-Qur’an, karena setelah itu terbuka surat-surat berikutnya. dari sekian banyak arti, salah satu arti dari al-Fatḥ berarti “kemenangan” seperti dimaksud dalam ayat ini.
Surah yang hanya tiga ayat pendek ini termasuk kelompok surah-surah Madaniyyah walaupun turunnya di Mekah, karena surah ini turun sesudah Nabi hijrah ke Medinah. Rasulullah dan sahabat-sahabat mengalami berbagai macam kekerasan, dan semuanya itu diterimanya dengan sabar dan tabah serta keimanannya kepada Allah bertambah kuat. Kalangan mufasir mengatakan bahwa ayat ini ditujukan kepada Rasulullah untuk mengingatkannya tentang kenikmatan dan karunia Allah kepadanya dan kepada orang-orang beriman. Penaklukan Mekah tanpa kekerasan menjadi harapannya sejak semula dan ini pula rencananya. Bila hal ini kemudian terlaksana, ini pula yang merupakan balasan dan karunia Allah atas kesabaran dan perjuangannya yang tak kunjung henti. Tetapi sekarang setelah mendapatkan kemenangan gemilang, apa yang akan dilakukannya terhadap mereka yang dulu menganiaya dan menghina dirinya, keluarganya, dan sahabat-sahabatnya, serta merencanakan pembunuhan terhadap dirinya ketika di Mekah.
Guna menghindari kekerasan itu, Rasulullah dan para sahabat hijrah ke Medinah. Tetapi kaum musyrik Mekah masih juga mengejarnya sampai ke Medinah, berulang kali melancarkan perang besar-besaran, di Badar, Uhud, dan di tempat-tempat lain. Setelah mendapat kemenangan, tak sedikit pun di hati Rasulullah hendak membalas dendam atas segala perbuatan mereka itu. Bahkan ia menyerukan kepada sahabat-sahabatnya jangan sampai terjadi pertumpahan darah, dan ia memaafkan semua penjahat perang dan pemuka-pemuka Mekah.
Dalam peristiwa ini ada dua kemenangan yang telah dicapainya, (1) kemenangan fisik, karena telah dapat membebaskan Mekah dan sekitar tanpa pertumpahan darah setetes pun, sesuai dengan rencana, (2) kemenangan dakwah yang luar biasa dengan masuknya orang ke dalam Islam beramai-ramai dan berbondong-bondong datang dari segenap penjuru.
Memang setelah itu, orang-orang Arab pedalaman dan penduduk kota Mekah berduyun-duyun datang menyatakan kesetiaannya kepada Rasulullah dan ajarannya. Mereka memang menunggu penaklukan Mekah itu, dengan mengatakan bahwa kalau dia dapat mengalahkan mereka semua, benarlah dia nabi. Dan sekarang ini sudah menjadi kenyataan. Setelah itu, tak sampai dua tahun setelah penaklukan Mekah, semua kabilah dan semua kawasan negeri itu secara sukarela juga menyatakan beriman dan setia kepadanya.
Peristiwa yang berlangsung dalam waktu begitu singkat itu adalah pelajaran yang sangat berharga yang diberikan kepada kita. Artinya, bila orang berhasil dalam usahanya, dalam perjuangannya, bukan harus bersorak-sorai, merasa bangga dan menepuk dada lalu menempatkan diri sebagai orang yang berjasa sukses, sebagai pahlawan. Karenanya lalu terselip rasa bangga, lalu jadi sombong dan congkak. Dan inilah sifat manusia umumnya sepanjang sejarah, siapapun dan dari mana pun dia. Mungkin saja dalam pembebasan Mekah yang luar biasa gemilang itu, tanpa disadari ada dari kalangan orang beriman itu yang merasa demikian. Dalam hal biasa mungkin itu dianggap wajar saja, sifat manusia. Tetapi semua itu terjadi, di tengah-tengah mereka ada Rasulullah. Maka pada penutup surah ini, Rasulullah diingatkan, orang-orang beriman itu jangan terbawa arus yang akan menyesatkan mereka. Sebaliknya, hendaklah ingat kepada Allah yang Mahakuasa, dengan mengingat-ingat, berzikir, dengan memuji kekuasaan dan kebesaran Allah, memohonkan ampun dan bertobat, karena Allah Maha Pengampun. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat.
2. Afwājan اَفْوَاجًا (an-Naṣr/110: 2)
Term afwāj merupakan bentuk jamak (plural) dari kata fauj, yang artinya sekelompok manusia. Dengan demikian, afwāj dapat diartikan sebagai kelompok-kelompok manusia yang banyak. Pada ayat ini, istilah tersebut digunakan untuk menunjukkan betapa banyak penduduk Mekah yang datang berbondong-bondong untuk masuk Islam. Kedatangan mereka untuk menyatakan keislaman itu terjadi dengan sendirinya setelah mereka mengetahui kebenaran agama ini dan keadaan yang mendorong untuk mengakuinya. Kondisi demikian berbeda sekali dari masa lalu, ketika Rasulullah saw mengajak atau berdakwah kepada mereka. Pada saat itu, dakwah Nabi saw disambut dengan kritikan, cacian, lemparan batu, atau gangguan. Bahkan ada pula yang berkonspirasi untuk membunuhnya. Saat penaklukan Mekah, keadaannya sudah lain. Tanpa diminta, penduduk kota yang dulu memusuhinya berbondong-bondong datang kepada Rasulullah saw untuk menyatakan keislamannya. | null | null |
6,216 | 110 | النّصر | An-Naṣr | An-Nasr | Pertolongan | 3 | 603 | Madaniyah | 3 | 603 | 61 | 30 | 7 | فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُۗ اِنَّهٗ كَانَ تَوَّابًا ࣖ | Fasabbiḥ biḥamdi rabbika wastagfirh(u), innahū kāna tawwābā(n). | bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima tobat. | null | null | maka sebagai ungkapan syukur kepada Allah atas karunia-Nya yang agung itu, bertasbihlah dan sucikanlah Tuhanmu dari sifat-sifat yang tak layak bagi-Nya, dan sertailah tasbihmu itu dengan memuji Tuhan-mu yang telah menyokongmu dalam menaklukkan Mekah, dan mohonlah ampunan kepada-Nya untukmu dan umatmu. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat hamba-hamba-Nya yang bertasbih dan beristigfar. Membaca tasbih, tahmid, dan istighfar adalah cara yang mulia ketika seseorang meraih kesuksesan karena pada hakikatnya Allah-lah yang memberi kesuksesan itu kepadanya, bukan dengan berpesta dan berfoya-foya. | Bila yang demikian itu telah terjadi, Nabi diperintahkan untuk mengagungkan dan mensucikan Tuhannya dari hal-hal yang tidak layak bagi-Nya, seperti menganggap terlambat datangnya pertolongan dan mengira bahwa Tuhan tidak menepati janji-Nya menolong Nabi atas orang-orang kafir.
Menyucikan Allah hendaknya dengan memuji-Nya atas nikmat-nikmat yang dianugerahkan-Nya dan mensyukuri segala kebaikan-kebaikan yang telah dilimpahkan-Nya dan menyanjung-Nya dengan sepantasnya. Bila Allah Yang Mahakuasa dan Mahabijaksana memberi kesempatan kepada orang-orang kafir, bukanlah berarti Dia telah menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beramal baik.
Kemudian Nabi Muhammad dianjurkan untuk meminta ampun kepada Allah untuk dirinya dan sahabat-sahabatnya yang telah memperlihatkan kesedihan dan keputusasaan karena merasa pertolongan Allah terlambat datangnya. Bertobat dari keluh-kesah adalah dengan mempercayai penuh akan janji-janji Allah dan membersihkan jiwa dari pemikiran yang bukan-bukan bila menghadapi kesulitan. Hal ini walaupun berat untuk jiwa manusia biasa, tetapi ringan untuk Nabi Muhammad sebagai insān kāmil (manusia sempurna). Oleh sebab itu, Allah menyuruh Nabi saw memohon ampunan-Nya.
Keadaan ini terjadi pula pada para sahabat yang memiliki jiwa yang sempurna dan menerima tobat mereka, karena Allah selalu menerima tobat hamba-hamba-Nya. Allah mendidik hamba-hamba-Nya melalui bermacam-macam cobaan dan bila merasa tidak sanggup menghadapinya harus memohon bantuan-Nya serta yakin akan datangnya bantuan itu. Bila ia selalu melakukan yang demikian niscaya menjadi kuat dan sempurnalah jiwanya.
Maksudnya, bila pertolongan telah tiba dan telah mencapai kemenangan serta manusia berbondong-bondong masuk Islam, hilanglah ketakutan dan hendaklah Nabi saw bertasbih menyucikan Tuhannya dan mensyukuri-Nya serta membersihkan jiwa dari pemikiran-pemikiran yang terjadi pada masa kesulitan. Dengan demikian, keluh-kesah dan rasa kecewa tidak lagi akan mempengaruhi jiwa orang-orang yang ikhlas selagi mereka memiliki keikhlasan dan berada dalam persesuaian kata dan cinta sama cinta.
Dengan turunnya Surah an-Naṣr ini, Nabi memahami bahwa tugas risalahnya telah selesai dan selanjutnya ia hanya menunggu panggilan pulang ke rahmatullah.
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: لَمَّا نَزَلَتْ ﴿اِذَا جَاۤءَ نَصْرُ اللّٰهِ وَالْفَتْحُ﴾ دَعَا رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاطِمَةَ فَقَالَ: قَدْ نُعِيَتْ إِلَيَّ نَفْسِيْ فَبَكَتْ فَقَالَ لَا تَبْكِيْ فَإِنَّكِ أَوَّلُ أَهْلِي لِحَاقًا بِيْ فَضَحِكَتْ فَرَآهَا بَعْضُ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْنَ يَا فَاطِمَةُ رَأَيْنَاكِ بَكَيْتِ ثُمَّ ضَحِكْتِ قَالَتْ اِنَّهُ أَخْبَرَنِي اَنَّهُ قَدْ نُعِيَتْ إِلَيْهِ نَفْسُهُ فَبَكَيْتُ فَقَالَ لِيْ لَا تَبْكِيْ فَإِنَّكِ أَوَّلُ أَهْلِيْ لَاحِقٌ بِيْ فَضَحِكْتُ. (رواه الدارمي)
Ibnu ‘Abbās berkata: “Ketika turun ayat Iża jā’a naṣrullāhi wal fatḥ, Rasulullah saw memanggil Fatimah, lalu berkata: “Kematian diriku sudah dekat.” Fatimah pun menangis. Rasulullah saw berkata, “Jangan menangis, karea kamu adalah anggota pertama dari keluargaku yang akan menyusulku.” Fatimah pun tertawa bahagia (mendengarnya). Para istri Nabi saw yang melihat hal itu berkata, “Wahai Fatimah, kami melihatmu menangis lalu tertawa.” Fatimah berkata, “Rasulullah saw memberitahuku bahwa kematian dirinya telah dekat, maka aku menangis. Namun, beliau mengatakan, “Jangan menangis, karena kamu adalah anggota pertama dari keluargaku yang akan menyusulku.” Maka aku pun tertawa bahagia. (Riwayat ad-Dārimī)
Ibnu ‘Umar berkata, “Surah ini turun di Mina ketika Nabi mengerjakan Haji Wada’, sesudah itu turun firman Allah:
اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًا
Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu. (al-Mā’idah/5: 3)
Nabi hidup hanya delapan puluh hari setelah turun ayat ini. Kemudian setelah itu, turun ayat Kalalah, dan Nabi hidup sesudahnya lima puluh hari. Setelah itu turun ayat:
لَقَدْ جَاۤءَكُمْ رَسُوْلٌ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ
Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri. (at-Taubah/9:128)
Maka Nabi saw hidup sesudahnya tiga puluh lima hari. Kemudian turun firman Allah:
وَاتَّقُوْا يَوْمًا تُرْجَعُوْنَ فِيْهِ اِلَى اللّٰهِ
Dan takutlah pada hari (ketika) kamu semua dikembalikan kepada Allah. (al-Baqarah/2: 281)
Maka Nabi saw hidup sesudahnya hanya dua puluh satu hari saja. | Surah an-Naṣr terdiri dari 3 ayat, termasuk kelompok surah Madaniyyah yang diturunkan di Mekah sesudah Surah at-Taubah.
Nama an-Naṣr (pertolongan) diambil dari perkataan an-naṣr yang terdapat pada ayat pertama surah ini.
Pokok-pokok Isinya:
Janji bahwa pertolongan Allah akan datang dan Islam akan mendapat kemenangan; perintah dari Tuhan agar bertasbih memuji-Nya, dan minta ampun kepada-Nya di kala terjadi peristiwa yang menggembirakan. | Surah ini mengisyaratkan bahwa tugas Nabi Muhammad sebagai seorang rasul telah mendekati akhirnya. | Surah al-Kāfirūn menerangkan bahwa Rasulullah saw tidak akan mengikuti agama orang-orang kafir, sedang dalam Surah an-Naṣr diterangkan bahwa agama yang dibawa Nabi Muhammad akan berkembang dan menang. | Akhir Surah al-Kāfirūn menerangkan bahwa tidak ada toleransi dalam ibadah. Oleh karenanya, Rasulullah tidak akan mengikuti agama orang kafir. Awal Surah an-Naṣr menerangkan bahwa agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad akan berkibar dan menang. | MEMUJI ALLAH KETIKA MENDAPAT KEMENANGAN ITU | Kosakata:
1. Al-Fatḥ الفَتْحُ (an-Naṣr/110: 1)
Kata al-fatḥ dalam bahasa sebagaimana kata Rāgib al-Asfahānī adalah membuka sesuatu yang tertutup dan yang sukar. Ada yang berarti hissi atau yang bisa diketahui dan dilihat oleh mata, seperti membuka pintu. Ada yang maknawi seperti menghilangkan kesusahan. Al-Fātiḥah menjadi nama surat pertama dari Al-Qur’an, karena setelah itu terbuka surat-surat berikutnya. dari sekian banyak arti, salah satu arti dari al-Fatḥ berarti “kemenangan” seperti dimaksud dalam ayat ini.
Surah yang hanya tiga ayat pendek ini termasuk kelompok surah-surah Madaniyyah walaupun turunnya di Mekah, karena surah ini turun sesudah Nabi hijrah ke Medinah. Rasulullah dan sahabat-sahabat mengalami berbagai macam kekerasan, dan semuanya itu diterimanya dengan sabar dan tabah serta keimanannya kepada Allah bertambah kuat. Kalangan mufasir mengatakan bahwa ayat ini ditujukan kepada Rasulullah untuk mengingatkannya tentang kenikmatan dan karunia Allah kepadanya dan kepada orang-orang beriman. Penaklukan Mekah tanpa kekerasan menjadi harapannya sejak semula dan ini pula rencananya. Bila hal ini kemudian terlaksana, ini pula yang merupakan balasan dan karunia Allah atas kesabaran dan perjuangannya yang tak kunjung henti. Tetapi sekarang setelah mendapatkan kemenangan gemilang, apa yang akan dilakukannya terhadap mereka yang dulu menganiaya dan menghina dirinya, keluarganya, dan sahabat-sahabatnya, serta merencanakan pembunuhan terhadap dirinya ketika di Mekah.
Guna menghindari kekerasan itu, Rasulullah dan para sahabat hijrah ke Medinah. Tetapi kaum musyrik Mekah masih juga mengejarnya sampai ke Medinah, berulang kali melancarkan perang besar-besaran, di Badar, Uhud, dan di tempat-tempat lain. Setelah mendapat kemenangan, tak sedikit pun di hati Rasulullah hendak membalas dendam atas segala perbuatan mereka itu. Bahkan ia menyerukan kepada sahabat-sahabatnya jangan sampai terjadi pertumpahan darah, dan ia memaafkan semua penjahat perang dan pemuka-pemuka Mekah.
Dalam peristiwa ini ada dua kemenangan yang telah dicapainya, (1) kemenangan fisik, karena telah dapat membebaskan Mekah dan sekitar tanpa pertumpahan darah setetes pun, sesuai dengan rencana, (2) kemenangan dakwah yang luar biasa dengan masuknya orang ke dalam Islam beramai-ramai dan berbondong-bondong datang dari segenap penjuru.
Memang setelah itu, orang-orang Arab pedalaman dan penduduk kota Mekah berduyun-duyun datang menyatakan kesetiaannya kepada Rasulullah dan ajarannya. Mereka memang menunggu penaklukan Mekah itu, dengan mengatakan bahwa kalau dia dapat mengalahkan mereka semua, benarlah dia nabi. Dan sekarang ini sudah menjadi kenyataan. Setelah itu, tak sampai dua tahun setelah penaklukan Mekah, semua kabilah dan semua kawasan negeri itu secara sukarela juga menyatakan beriman dan setia kepadanya.
Peristiwa yang berlangsung dalam waktu begitu singkat itu adalah pelajaran yang sangat berharga yang diberikan kepada kita. Artinya, bila orang berhasil dalam usahanya, dalam perjuangannya, bukan harus bersorak-sorai, merasa bangga dan menepuk dada lalu menempatkan diri sebagai orang yang berjasa sukses, sebagai pahlawan. Karenanya lalu terselip rasa bangga, lalu jadi sombong dan congkak. Dan inilah sifat manusia umumnya sepanjang sejarah, siapapun dan dari mana pun dia. Mungkin saja dalam pembebasan Mekah yang luar biasa gemilang itu, tanpa disadari ada dari kalangan orang beriman itu yang merasa demikian. Dalam hal biasa mungkin itu dianggap wajar saja, sifat manusia. Tetapi semua itu terjadi, di tengah-tengah mereka ada Rasulullah. Maka pada penutup surah ini, Rasulullah diingatkan, orang-orang beriman itu jangan terbawa arus yang akan menyesatkan mereka. Sebaliknya, hendaklah ingat kepada Allah yang Mahakuasa, dengan mengingat-ingat, berzikir, dengan memuji kekuasaan dan kebesaran Allah, memohonkan ampun dan bertobat, karena Allah Maha Pengampun. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat.
2. Afwājan اَفْوَاجًا (an-Naṣr/110: 2)
Term afwāj merupakan bentuk jamak (plural) dari kata fauj, yang artinya sekelompok manusia. Dengan demikian, afwāj dapat diartikan sebagai kelompok-kelompok manusia yang banyak. Pada ayat ini, istilah tersebut digunakan untuk menunjukkan betapa banyak penduduk Mekah yang datang berbondong-bondong untuk masuk Islam. Kedatangan mereka untuk menyatakan keislaman itu terjadi dengan sendirinya setelah mereka mengetahui kebenaran agama ini dan keadaan yang mendorong untuk mengakuinya. Kondisi demikian berbeda sekali dari masa lalu, ketika Rasulullah saw mengajak atau berdakwah kepada mereka. Pada saat itu, dakwah Nabi saw disambut dengan kritikan, cacian, lemparan batu, atau gangguan. Bahkan ada pula yang berkonspirasi untuk membunuhnya. Saat penaklukan Mekah, keadaannya sudah lain. Tanpa diminta, penduduk kota yang dulu memusuhinya berbondong-bondong datang kepada Rasulullah saw untuk menyatakan keislamannya. | null | 1. Perintah Allah kepada Nabi Muhammad untuk bertasbih mengagungkan, menyucikan, dan mohon ampunan Allah bila pertolongan telah datang dan kemenangan telah tercapai.
2. Surah an-Naṣr adalah surah yang paling akhir turunnya. |
6,217 | 111 | اللّهب | Al-Lahab | Al-Lahab | Gejolak Api | 5 | 603 | Makkiyah | 1 | 603 | 61 | 30 | 7 | تَبَّتْ يَدَآ اَبِيْ لَهَبٍ وَّتَبَّۗ | Tabbat yadā abī lahabiw wa tabb(a). | Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar binasa dia.763) | 763 | 763) Yang dimaksud dengan kedua tangan Abu Lahab adalah Abu Lahab itu sendiri. | Karena kebenciannya kepada Nabi dan penentangannya terhadap dakwah beliau dengan cara yang menyakitkan, maka celaka dan binasalah kedua tangan Abu Lahab yakni diri Abu Lahab, yang bernama ‘Abdul Uzz bin Abdul Muttalib; dan benar-benar binasa dia! | Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa Abū Lahab akan rugi dan binasa dan kata-kata ini sebagai kutukan dari Allah baginya. Binasa pada kedua belah tangannya karena tangan adalah alat bekerja dan bertindak. Bila kedua belah tangan seseorang telah binasa, berarti ia telah binasa. Dikatakan Abū Lahab, padahal namanya Abdul-‘Uzza, karena ia berwajah tampan menawan. Namun para ulama berpendapat bahwa dikatakan Abū Lahab karena ia pasti menjadi penghuni neraka yang bergejolak apinya. Hal itu seperti golongan kiri karena golongan kiri adalah aṣḥāb asy-syimāl. Permulaan ayat ini adalah kutukan atas kebinasaan Abū Lahab dan penutupnya adalah sebagai keterangan dari Allah bahwa kutukan tersebut telah terbukti dan Abū Lahab pasti rugi di dunia dan di akhirat. لَمَّا نَزَلَتْ ﴿تَبَّتْ يَدَآ اَبِيْ لَهَبٍ﴾ أَقْبَلَتِ اْلعَوْرَاءُ أُمُّ جَمِيْلٍ بِنْتُ حَرْبٍ وَلَهَا وَلْوَلَةٌ وَفِيْ يَدِهَا فِهْرٌ وَهِيَ تَقُوْلُ: مُذَمِّمًا أَبَيْنَا وَدِيْنَهُ قَلَيْنَا وَأَمْرَهُ عَصَيْنَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ فِي الْمَسْجِدِ وَمَعَهُ أَبُوْ بَكْرٍ فَلَمَّا رَآهَا أَبُوْ بَكْرٍ قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللّٰهِ قَدْ أَقْبَلَتْ وَأَنَا أَخَافُ أَنْ تَرَاكَ فَقَالَ رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّهَا لَنْ تَرَانِيْ وَقَرَأَ قُرْآنًا فَاعْتَصَمَ بِهِ كَمَا قَالَ وَقَرَأَ ﴿وَاِذَا قَرَأْتَ الْقُرْاٰنَ جَعَلْنَا بَيْنَكَ وَبَيْنَ الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ بِالْاٰخِرَةِ حِجَابًا مَّسْتُوْرًا﴾ فَوَقَفَتْ عَلَى أَبِيْ بَكْرٍ وَلَمْ تَرَ رَسُوْلَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: يَا أَبَا بَكْرٍ إِنِّي أُخْبِرْتُ أَنَّ صَاحِبَكَ هَجَانِيْ فَقَالَ: لَا وَرَبِّ هٰذَا اْلبَيْتِ مَا هَجَاكَ فَوَلَّتْ وَهِيَ تَقُوْلُ: قَدْ عَلِمَتْ قُرَيْشٌ أَنِّي بِنْتُ سَيِّدِهَا. (رواه الحاكم) Ketika ayat tabbat yadā abī lahabin watabba turun, Ummu Jamīl al-‘Aurā (wanita yang sebelah matanya buta) binti Ḥarb datang sambil berteriak-teriak. Ia membawa batu sekepalan tangan, seraya berkata. “Dia mencela (agama kami), kami menolak. Agamanya kami benci dan perintahnya kami bantah.” Ketika itu Nabi saw. duduk di dalam masjid bersama Abu Bakar. Ketika Abu Bakar melihat wanita itu, beliau berkata, Wahai Rasulullah, wanita itu telah datang. Saya khawatir dia melihatmu.” Maka Rasulullah saw. berkata “Dia tidak akan melihatku.” Kemudian Nabi membaca sebuah ayat dan berlindung dengan menggunakan ayat itu. Beliau membaca “Dan apabila kamu membaca Al-Qur’an, kami jadikan diantara kamu dan orang-orang yang tidak beriman itu penghalang yang tertutup.” Wanita itu berdiri di depan Abu Bakar, namum ia tidak bisa melihat Rasulullah saw. Ia berkata, “Hai Abu Bakar, aku mendapat kabar bahwa temanmu itu telah menghinaku.” Abu Bakar berkata, “Tidak. Demi Tuhan Pemilik Ka‘bah. Dia tidak mencelamu.” Lalu wanita itu berpaling sambil berkata, “Kaum Quraisy telah tahu kalau aku adalah putri pembesarnya.” (Riwayat al-Ḥākim) | Surah ini terdiri dari 5 ayat, termasuk kelompok surah Makkiyyah, diturunkan sesudah Surah al-Fatḥ. Nama al-Lahab diambil dari kata lahab yang terdapat pada ayat ketiga surah ini yang artinya “gejolak api”.
Pokok-pokok Isinya:
Cerita Abū Lahab dan istrinya yang menentang Rasulullah saw; keduanya akan celaka dan masuk neraka; harta Abū Lahab tak berguna untuk keselamatannya demikian pula segala usahanya. | null | Surah an-Naṣr menerangkan kemenangan yang diperoleh Nabi Muhammad dan pengikut-pengikutnya, sedang Surah al-Lahab menerangkan tentang kebinasaan dan siksaan yang diderita oleh Abū Lahab dan istrinya sebagai orang-orang yang menentang Nabi saw. | Pada akhir Surah an-Naṣr Nabi saw diperintahkan untuk bertasbih, bertahmid, dan istighfar karena kemenangan yang diraihnya dan kejayaan Islam. Pada awal Surah al-Lahab diterangkan kebinasaan penentang dakwah sebagaimana yang diderita Abū Lahab. | TUKANG FITNAH PASTI AKAN CELAKA | Kosakata: Abī Lahab اَبِيْ لَهَبٍ (al-Lahab/111: 1)
Ada tiga nama yang biasa dipakai sebagai judul surah Makkiyyah ini: al-Masad, al-Lahab, dan Tabbat, yang semua mengacu pada Abū Lahab, julukan yang biasa dikenakan kepadanya. Judul ini diambil dari kata-katanya sendiri yang memaki-maki kemenakannya, Muhammad saw. Abū Lahab adalah salah seorang paman Nabi Muhammad. Abū Lahab adalah gelarnya, yang berarti “bapak nyala api,” atau “si nyala api”. Diberi gelar demikian karena warna kulitnya yang putih terang kemerah-merahan seperti nyala api dan berwajah tampan, serta wataknya yang keras berapi-api. Nama yang sebenarnya Abdul-‘Uzza, salah seorang dari sepuluh anak ‘Abdul Muṭallib, anak tunggal dari ibu yang lain. Di antara mereka bersaudara yang terbilang kaya hanya ‘Abbās dan Abū Lahab, dan keduanya pedagang besar. Abū Lahab sangat beringas, jarang dapat bergaul baik dengan orang, saudara-saudaranya sendiri pun menjauhinya. Sejak awal sampai akhir hayatnya, ia paling keras memusuhi kemenakannya itu, lebih-lebih setelah Nabi membawa ajaran bahwa semua sama di hadapan Tuhan, dan yang akan dinilai hanya yang sesuai dengan perbuatannya. Keangkuhan memang sudah menjadi bawaannya sejak dulu, ditambah lagi karena kekayaannya, ia menjadi sangat sombong.
Ketika Nabi saw mengundang kaum Quraisy dan sanak saudaranya sendiri untuk mendengarkan ajakannya dan memperingatkan mereka terhadap segala perbuatan dosa kaumnya, kemarahan laki-laki yang berbadan gemuk, “Si Nyala Api,” yang cepat naik darah itu pun meledak dan mengutuk Nabi, “Celaka engkau!” Setelah itu turunlah Surah al-Lahab ayat 1-3.
Abū Jahal adalah teman dekat Abū Lahab, dan keduanya termasuk penghasut perang yang paling bersemangat. Mereka memusuhi Islam dan Nabi secara pribadi. Abū Jahal terbunuh dalam Perang Badar, tetapi Abū Lahab yang bertubuh besar dan gemuk tidak ikut terjun ke medan pertempuran, hanya tinggal di Mekah. Istri Abū Lahab, Ummu Jamīl, perempuan yang sama bengisnya dengan suaminya, menyimpan kebencian dan kedengkian kepada Nabi, orang yang begitu ramah terhadap siapapun, rendah hati, dan berhati bersih. Ia mengumpulkan ranting-ranting berduri yang diikat dengan tali serat kurma yang sudah dipintal, malam harinya membawa dan menyebarkannya ke tempat-tempat yang diperkirakan akan dilalui oleh Nabi, yang disebutkan di atas sebagai “pembawa kayu bakar” serta berbagai perbuatan keji semacamnya.
Setelah Abū Lahab tahu pasukan Quraisy yang dibina dan dibanggakannya mengalami kekalahan telak dalam perang itu, pemuka-pemuka mereka banyak yang terbunuh, seminggu kemudian ia pun mati mendadak di rumahnya, digerogoti oleh api dendam, kemarahan, dan kedengkiannya sendiri. Sumber lain menyebutkan, tak lama setelah peristiwa di Badar itu, ia jatuh sakit, terserang penyakit kulit sejenis bisul yang sangat menular. Penyakit mematikan ini yang mengakhiri hidupnya. Ia dibiarkan selama tiga hari tidak dikuburkan hingga membusuk. Karena takut tertular, anaknya sendiri pun memandikannya dengan menyiramkan air dari kejauhan. Akhirnya oleh orang-orang Quraisy yang juga mau menjauhkannya, mayatnya dibawa ke luar kota Mekah, lalu dibaringkan dan ditimbun dengan batu-batuan. | Diriwayatkan oleh al-Bukhārī bahwa Nabi Muhammad keluar menuju suatu lapangan yang luas, lalu beliau mendaki bukit dan berseru, “Ya Ṣabāḥah (wahai waktu Subuh)!” Kemudian berdatanganlah orang-orang Quraisy mengerumuninya, beliau bersabda, “Bagaimana pendapatmu, jika saya katakan kepadamu bahwa di seberang bukit ini ada musuh yang sedang mengintai untuk menyerbu di waktu pagi atau petang, apakah kamu percaya?” Mereka menjawab, “Kami percaya!” Seterusnya beliau bersabda, “Sesungguhnya aku ini adalah pemberi peringatan kepadamu tentang azab yang sangat dahsyat pada hari Kiamat.” Abū Lahab berkata, “Hanya untuk ini sajakah engkau mengumpulkan kami, celaka bagimu!” Menurut riwayat lain, Abū Lahab terus berdiri, menghempaskan kedua tangannya sambil berkata, “Celaka bagimu sepanjang hari, hanya untuk inikah engkau mengumpulkan kami?” Lalu Allah menurunkan, “Binasalah kedua tangan Abū Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.” | null |
6,218 | 111 | اللّهب | Al-Lahab | Al-Lahab | Gejolak Api | 5 | 603 | Makkiyah | 2 | 603 | 61 | 30 | 7 | مَآ اَغْنٰى عَنْهُ مَالُهٗ وَمَا كَسَبَۗ | Mā agnā ‘anhu māluhū wa mā kasab(a). | Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan. | null | null | Ketika azab Allah menimpanya maka tidaklah berguna baginya hartanya yang dia kumpulkan dan banggakan, dan tidak pula bermanfaat apa yang dia usahakan seperti jabatan dan keturunan untuk menyelamatkan dirinya dari azab itu. Hanya iman dan amal saleh yang dapat menyelamatkan seseorang dari murka Allah. | Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa apa yang menjadi kebanggaan Abū Lahab dalam hidup, yaitu harta dan kedudukan, ternyata sama sekali tidak dapat menyelamatkannya dari azab Allah pada hari Kiamat. Begitu pula usahanya untuk memusuhi dan mengalahkan Nabi Muhammad tidak berhasil sama sekali.
Abū Lahab sangat membenci Nabi saw dan paling gigih mengajak orang untuk menentangnya dan paling kasar menghadapinya. Rabā‘ah bin ‘Ubbād berkata:
رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى الْجَاهِلِيَّةِ فِى سُوْقِ ذِي الْمَجَازِ وَهُوَ يَقُوْلُ: قُوْلُوْا لَا إِلٰهَ اِلاَّ اللّٰهُ تُفْلِحُوْا، وَالنَّاسُ مُجْتَمِعُوْنَ عَلَيْهِ، وَرَاءَهُ رَجُلٌ وَضِيْءُ الْوَجْهِ اَحْوَلُ الْعَيْنَيْنِ ذُوْ غَدِيْرَتَيْنِ يَقُوْلُ إِنَّهُ صَابِئٌ كَاذِبٌ، يَتْبَعَهُ حَيْثُ ذَهَبَ فَسَأَلْتُ عَنْهُ فَقَالُوْا: هٰذَا عَمُّهُ أَبُوْ لَهَبٍ. (رواه أحمد)
Saya melihat Nabi Muhammad saw pada masa Jahiliah di pasar Żū al-Majāz bersabda, “Ucapkanlah tiada Tuhan melainkan Allah niscaya kamu akan berbahagia!” Orang-orang berkumpul di sekitar beliau. Di belakang beliau seorang laki-laki, putih warna mukanya, juling matanya, mempunyai dua untaian rambut di kepalanya, berkata, “Dia (Muhammad) beragama Ṣābi' dan pembohong.” Ia mengikuti Nabi ke mana saja beliau pergi, lalu saya bertanya, “Siapakah orang itu?” Mereka menjawab, “Itu adalah pamannya sendiri Abū Lahab.” (Riwayat Aḥmad)
Dengan ini dijelaskan bahwa Abū Lahab selalu menentang kebenaran dan menjauhkan orang dari mengikuti kebenaran. Ia menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw adalah seorang pendusta. Ia juga menentang beliau dan merendahkan nilai agama serta petunjuk yang beliau bawa. | Surah ini terdiri dari 5 ayat, termasuk kelompok surah Makkiyyah, diturunkan sesudah Surah al-Fatḥ. Nama al-Lahab diambil dari kata lahab yang terdapat pada ayat ketiga surah ini yang artinya “gejolak api”.
Pokok-pokok Isinya:
Cerita Abū Lahab dan istrinya yang menentang Rasulullah saw; keduanya akan celaka dan masuk neraka; harta Abū Lahab tak berguna untuk keselamatannya demikian pula segala usahanya. | null | Surah an-Naṣr menerangkan kemenangan yang diperoleh Nabi Muhammad dan pengikut-pengikutnya, sedang Surah al-Lahab menerangkan tentang kebinasaan dan siksaan yang diderita oleh Abū Lahab dan istrinya sebagai orang-orang yang menentang Nabi saw. | Pada akhir Surah an-Naṣr Nabi saw diperintahkan untuk bertasbih, bertahmid, dan istighfar karena kemenangan yang diraihnya dan kejayaan Islam. Pada awal Surah al-Lahab diterangkan kebinasaan penentang dakwah sebagaimana yang diderita Abū Lahab. | TUKANG FITNAH PASTI AKAN CELAKA | Kosakata: Abī Lahab اَبِيْ لَهَبٍ (al-Lahab/111: 1)
Ada tiga nama yang biasa dipakai sebagai judul surah Makkiyyah ini: al-Masad, al-Lahab, dan Tabbat, yang semua mengacu pada Abū Lahab, julukan yang biasa dikenakan kepadanya. Judul ini diambil dari kata-katanya sendiri yang memaki-maki kemenakannya, Muhammad saw. Abū Lahab adalah salah seorang paman Nabi Muhammad. Abū Lahab adalah gelarnya, yang berarti “bapak nyala api,” atau “si nyala api”. Diberi gelar demikian karena warna kulitnya yang putih terang kemerah-merahan seperti nyala api dan berwajah tampan, serta wataknya yang keras berapi-api. Nama yang sebenarnya Abdul-‘Uzza, salah seorang dari sepuluh anak ‘Abdul Muṭallib, anak tunggal dari ibu yang lain. Di antara mereka bersaudara yang terbilang kaya hanya ‘Abbās dan Abū Lahab, dan keduanya pedagang besar. Abū Lahab sangat beringas, jarang dapat bergaul baik dengan orang, saudara-saudaranya sendiri pun menjauhinya. Sejak awal sampai akhir hayatnya, ia paling keras memusuhi kemenakannya itu, lebih-lebih setelah Nabi membawa ajaran bahwa semua sama di hadapan Tuhan, dan yang akan dinilai hanya yang sesuai dengan perbuatannya. Keangkuhan memang sudah menjadi bawaannya sejak dulu, ditambah lagi karena kekayaannya, ia menjadi sangat sombong.
Ketika Nabi saw mengundang kaum Quraisy dan sanak saudaranya sendiri untuk mendengarkan ajakannya dan memperingatkan mereka terhadap segala perbuatan dosa kaumnya, kemarahan laki-laki yang berbadan gemuk, “Si Nyala Api,” yang cepat naik darah itu pun meledak dan mengutuk Nabi, “Celaka engkau!” Setelah itu turunlah Surah al-Lahab ayat 1-3.
Abū Jahal adalah teman dekat Abū Lahab, dan keduanya termasuk penghasut perang yang paling bersemangat. Mereka memusuhi Islam dan Nabi secara pribadi. Abū Jahal terbunuh dalam Perang Badar, tetapi Abū Lahab yang bertubuh besar dan gemuk tidak ikut terjun ke medan pertempuran, hanya tinggal di Mekah. Istri Abū Lahab, Ummu Jamīl, perempuan yang sama bengisnya dengan suaminya, menyimpan kebencian dan kedengkian kepada Nabi, orang yang begitu ramah terhadap siapapun, rendah hati, dan berhati bersih. Ia mengumpulkan ranting-ranting berduri yang diikat dengan tali serat kurma yang sudah dipintal, malam harinya membawa dan menyebarkannya ke tempat-tempat yang diperkirakan akan dilalui oleh Nabi, yang disebutkan di atas sebagai “pembawa kayu bakar” serta berbagai perbuatan keji semacamnya.
Setelah Abū Lahab tahu pasukan Quraisy yang dibina dan dibanggakannya mengalami kekalahan telak dalam perang itu, pemuka-pemuka mereka banyak yang terbunuh, seminggu kemudian ia pun mati mendadak di rumahnya, digerogoti oleh api dendam, kemarahan, dan kedengkiannya sendiri. Sumber lain menyebutkan, tak lama setelah peristiwa di Badar itu, ia jatuh sakit, terserang penyakit kulit sejenis bisul yang sangat menular. Penyakit mematikan ini yang mengakhiri hidupnya. Ia dibiarkan selama tiga hari tidak dikuburkan hingga membusuk. Karena takut tertular, anaknya sendiri pun memandikannya dengan menyiramkan air dari kejauhan. Akhirnya oleh orang-orang Quraisy yang juga mau menjauhkannya, mayatnya dibawa ke luar kota Mekah, lalu dibaringkan dan ditimbun dengan batu-batuan. | null | null |
6,219 | 111 | اللّهب | Al-Lahab | Al-Lahab | Gejolak Api | 5 | 603 | Makkiyah | 3 | 603 | 61 | 30 | 7 | سَيَصْلٰى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍۙ | Sayaṣlā nāran żāta lahab(in). | Kelak dia akan memasuki api yang bergejolak (neraka), | null | null | Sebagai balasan atas kekejiannya kepada Nabi Muhammad dan dosa-dosanya yang lain, kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak dan membakar seluruh tubuhnya secara terus-menerus. Dia tidak akan pernah mati di dalamnya dan tidak pula akan keluar darinya. | Dalam ayat ini, Allah menegaskan bahwa Abū Lahab akan masuk neraka yang bergejolak dan merasakan panasnya azab neraka. Maksud pernyataan ini adalah bahwa sesungguhnya Abū Lahab akan mengalami kerugian, usahanya tidak akan berhasil dalam menentang agama Allah. Tidak ada gunanya harta, usaha, dan daya upaya untuk itu, karena Allah yang meninggikan kalimah Rasul-Nya, dan menyebarluaskan dakwahnya. Abū Lahab akan diazab pada hari Kiamat dengan neraka yang menyemburkan bunga api dan suhunya yang sangat panas, Azab itu disediakan Allah untuk orang-orang seperti Abū Lahab dari kalangan orang-orang kafir yang menentang Nabi, selain azab di dunia dengan kegagalan usahanya. Istrinya sebagai pembantu utama dalam usaha menentang dan menyakiti Rasulullah saw akan diazab juga bersama-sama. Selain daripada itu, istrinya juga menyebar fitnah ke mana-mana, menyebar berita-berita bohong, dan menghidupkan api permusuhan. | Surah ini terdiri dari 5 ayat, termasuk kelompok surah Makkiyyah, diturunkan sesudah Surah al-Fatḥ. Nama al-Lahab diambil dari kata lahab yang terdapat pada ayat ketiga surah ini yang artinya “gejolak api”.
Pokok-pokok Isinya:
Cerita Abū Lahab dan istrinya yang menentang Rasulullah saw; keduanya akan celaka dan masuk neraka; harta Abū Lahab tak berguna untuk keselamatannya demikian pula segala usahanya. | null | Surah an-Naṣr menerangkan kemenangan yang diperoleh Nabi Muhammad dan pengikut-pengikutnya, sedang Surah al-Lahab menerangkan tentang kebinasaan dan siksaan yang diderita oleh Abū Lahab dan istrinya sebagai orang-orang yang menentang Nabi saw. | Pada akhir Surah an-Naṣr Nabi saw diperintahkan untuk bertasbih, bertahmid, dan istighfar karena kemenangan yang diraihnya dan kejayaan Islam. Pada awal Surah al-Lahab diterangkan kebinasaan penentang dakwah sebagaimana yang diderita Abū Lahab. | TUKANG FITNAH PASTI AKAN CELAKA | Kosakata: Abī Lahab اَبِيْ لَهَبٍ (al-Lahab/111: 1)
Ada tiga nama yang biasa dipakai sebagai judul surah Makkiyyah ini: al-Masad, al-Lahab, dan Tabbat, yang semua mengacu pada Abū Lahab, julukan yang biasa dikenakan kepadanya. Judul ini diambil dari kata-katanya sendiri yang memaki-maki kemenakannya, Muhammad saw. Abū Lahab adalah salah seorang paman Nabi Muhammad. Abū Lahab adalah gelarnya, yang berarti “bapak nyala api,” atau “si nyala api”. Diberi gelar demikian karena warna kulitnya yang putih terang kemerah-merahan seperti nyala api dan berwajah tampan, serta wataknya yang keras berapi-api. Nama yang sebenarnya Abdul-‘Uzza, salah seorang dari sepuluh anak ‘Abdul Muṭallib, anak tunggal dari ibu yang lain. Di antara mereka bersaudara yang terbilang kaya hanya ‘Abbās dan Abū Lahab, dan keduanya pedagang besar. Abū Lahab sangat beringas, jarang dapat bergaul baik dengan orang, saudara-saudaranya sendiri pun menjauhinya. Sejak awal sampai akhir hayatnya, ia paling keras memusuhi kemenakannya itu, lebih-lebih setelah Nabi membawa ajaran bahwa semua sama di hadapan Tuhan, dan yang akan dinilai hanya yang sesuai dengan perbuatannya. Keangkuhan memang sudah menjadi bawaannya sejak dulu, ditambah lagi karena kekayaannya, ia menjadi sangat sombong.
Ketika Nabi saw mengundang kaum Quraisy dan sanak saudaranya sendiri untuk mendengarkan ajakannya dan memperingatkan mereka terhadap segala perbuatan dosa kaumnya, kemarahan laki-laki yang berbadan gemuk, “Si Nyala Api,” yang cepat naik darah itu pun meledak dan mengutuk Nabi, “Celaka engkau!” Setelah itu turunlah Surah al-Lahab ayat 1-3.
Abū Jahal adalah teman dekat Abū Lahab, dan keduanya termasuk penghasut perang yang paling bersemangat. Mereka memusuhi Islam dan Nabi secara pribadi. Abū Jahal terbunuh dalam Perang Badar, tetapi Abū Lahab yang bertubuh besar dan gemuk tidak ikut terjun ke medan pertempuran, hanya tinggal di Mekah. Istri Abū Lahab, Ummu Jamīl, perempuan yang sama bengisnya dengan suaminya, menyimpan kebencian dan kedengkian kepada Nabi, orang yang begitu ramah terhadap siapapun, rendah hati, dan berhati bersih. Ia mengumpulkan ranting-ranting berduri yang diikat dengan tali serat kurma yang sudah dipintal, malam harinya membawa dan menyebarkannya ke tempat-tempat yang diperkirakan akan dilalui oleh Nabi, yang disebutkan di atas sebagai “pembawa kayu bakar” serta berbagai perbuatan keji semacamnya.
Setelah Abū Lahab tahu pasukan Quraisy yang dibina dan dibanggakannya mengalami kekalahan telak dalam perang itu, pemuka-pemuka mereka banyak yang terbunuh, seminggu kemudian ia pun mati mendadak di rumahnya, digerogoti oleh api dendam, kemarahan, dan kedengkiannya sendiri. Sumber lain menyebutkan, tak lama setelah peristiwa di Badar itu, ia jatuh sakit, terserang penyakit kulit sejenis bisul yang sangat menular. Penyakit mematikan ini yang mengakhiri hidupnya. Ia dibiarkan selama tiga hari tidak dikuburkan hingga membusuk. Karena takut tertular, anaknya sendiri pun memandikannya dengan menyiramkan air dari kejauhan. Akhirnya oleh orang-orang Quraisy yang juga mau menjauhkannya, mayatnya dibawa ke luar kota Mekah, lalu dibaringkan dan ditimbun dengan batu-batuan. | null | null |
6,220 | 111 | اللّهب | Al-Lahab | Al-Lahab | Gejolak Api | 5 | 603 | Makkiyah | 4 | 603 | 61 | 30 | 7 | وَّامْرَاَتُهٗ ۗحَمَّالَةَ الْحَطَبِۚ | Wamra'atuh(ū), ḥammālatal-ḥaṭab(i). | (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah). | null | null | Abu Lahab akan masuk neraka, dan demikian pula istrinya, Ummu Jamil Arwa binti Harb bin Umayyah, sang pembawa kayu bakar berduri. Dia meletakkannya di sepanjang jalan yang dilalui Nabi untuk menjebak beliau. Dia juga gemar menyebar fitnah kepada Nabi dan para pengikutnya. | Allah menegaskan bahwa istri Abū Lahab akan diazab sebagaimana suaminya. Istrinya bernama Arwā binti Harb, saudara perempuan Abū Sufyān bin Harb. Dia diazab karena usahanya menyebarkan fitnah dan memadamkan dakwah Nabi Muhammad. Orang Arab mengatakan bahwa orang yang berusaha menyebarkan dan merusak hubungan antara manusia seolah-olah ia membawa kayu api antara manusia, seakan-akan dia membakar silaturrahim antara mereka.
Ada pula yang mengatakan bahwa istri Abū Lahab menaruh duri, pecahan kaca, dan kotoran di jalan yang biasa dilalui Nabi Muhammad dengan maksud untuk menyakiti beliau. | Surah ini terdiri dari 5 ayat, termasuk kelompok surah Makkiyyah, diturunkan sesudah Surah al-Fatḥ. Nama al-Lahab diambil dari kata lahab yang terdapat pada ayat ketiga surah ini yang artinya “gejolak api”.
Pokok-pokok Isinya:
Cerita Abū Lahab dan istrinya yang menentang Rasulullah saw; keduanya akan celaka dan masuk neraka; harta Abū Lahab tak berguna untuk keselamatannya demikian pula segala usahanya. | null | Surah an-Naṣr menerangkan kemenangan yang diperoleh Nabi Muhammad dan pengikut-pengikutnya, sedang Surah al-Lahab menerangkan tentang kebinasaan dan siksaan yang diderita oleh Abū Lahab dan istrinya sebagai orang-orang yang menentang Nabi saw. | Pada akhir Surah an-Naṣr Nabi saw diperintahkan untuk bertasbih, bertahmid, dan istighfar karena kemenangan yang diraihnya dan kejayaan Islam. Pada awal Surah al-Lahab diterangkan kebinasaan penentang dakwah sebagaimana yang diderita Abū Lahab. | TUKANG FITNAH PASTI AKAN CELAKA | Kosakata: Abī Lahab اَبِيْ لَهَبٍ (al-Lahab/111: 1)
Ada tiga nama yang biasa dipakai sebagai judul surah Makkiyyah ini: al-Masad, al-Lahab, dan Tabbat, yang semua mengacu pada Abū Lahab, julukan yang biasa dikenakan kepadanya. Judul ini diambil dari kata-katanya sendiri yang memaki-maki kemenakannya, Muhammad saw. Abū Lahab adalah salah seorang paman Nabi Muhammad. Abū Lahab adalah gelarnya, yang berarti “bapak nyala api,” atau “si nyala api”. Diberi gelar demikian karena warna kulitnya yang putih terang kemerah-merahan seperti nyala api dan berwajah tampan, serta wataknya yang keras berapi-api. Nama yang sebenarnya Abdul-‘Uzza, salah seorang dari sepuluh anak ‘Abdul Muṭallib, anak tunggal dari ibu yang lain. Di antara mereka bersaudara yang terbilang kaya hanya ‘Abbās dan Abū Lahab, dan keduanya pedagang besar. Abū Lahab sangat beringas, jarang dapat bergaul baik dengan orang, saudara-saudaranya sendiri pun menjauhinya. Sejak awal sampai akhir hayatnya, ia paling keras memusuhi kemenakannya itu, lebih-lebih setelah Nabi membawa ajaran bahwa semua sama di hadapan Tuhan, dan yang akan dinilai hanya yang sesuai dengan perbuatannya. Keangkuhan memang sudah menjadi bawaannya sejak dulu, ditambah lagi karena kekayaannya, ia menjadi sangat sombong.
Ketika Nabi saw mengundang kaum Quraisy dan sanak saudaranya sendiri untuk mendengarkan ajakannya dan memperingatkan mereka terhadap segala perbuatan dosa kaumnya, kemarahan laki-laki yang berbadan gemuk, “Si Nyala Api,” yang cepat naik darah itu pun meledak dan mengutuk Nabi, “Celaka engkau!” Setelah itu turunlah Surah al-Lahab ayat 1-3.
Abū Jahal adalah teman dekat Abū Lahab, dan keduanya termasuk penghasut perang yang paling bersemangat. Mereka memusuhi Islam dan Nabi secara pribadi. Abū Jahal terbunuh dalam Perang Badar, tetapi Abū Lahab yang bertubuh besar dan gemuk tidak ikut terjun ke medan pertempuran, hanya tinggal di Mekah. Istri Abū Lahab, Ummu Jamīl, perempuan yang sama bengisnya dengan suaminya, menyimpan kebencian dan kedengkian kepada Nabi, orang yang begitu ramah terhadap siapapun, rendah hati, dan berhati bersih. Ia mengumpulkan ranting-ranting berduri yang diikat dengan tali serat kurma yang sudah dipintal, malam harinya membawa dan menyebarkannya ke tempat-tempat yang diperkirakan akan dilalui oleh Nabi, yang disebutkan di atas sebagai “pembawa kayu bakar” serta berbagai perbuatan keji semacamnya.
Setelah Abū Lahab tahu pasukan Quraisy yang dibina dan dibanggakannya mengalami kekalahan telak dalam perang itu, pemuka-pemuka mereka banyak yang terbunuh, seminggu kemudian ia pun mati mendadak di rumahnya, digerogoti oleh api dendam, kemarahan, dan kedengkiannya sendiri. Sumber lain menyebutkan, tak lama setelah peristiwa di Badar itu, ia jatuh sakit, terserang penyakit kulit sejenis bisul yang sangat menular. Penyakit mematikan ini yang mengakhiri hidupnya. Ia dibiarkan selama tiga hari tidak dikuburkan hingga membusuk. Karena takut tertular, anaknya sendiri pun memandikannya dengan menyiramkan air dari kejauhan. Akhirnya oleh orang-orang Quraisy yang juga mau menjauhkannya, mayatnya dibawa ke luar kota Mekah, lalu dibaringkan dan ditimbun dengan batu-batuan. | null | null |
6,221 | 111 | اللّهب | Al-Lahab | Al-Lahab | Gejolak Api | 5 | 603 | Makkiyah | 5 | 603 | 61 | 30 | 7 | فِيْ جِيْدِهَا حَبْلٌ مِّنْ مَّسَدٍ ࣖ | Fī jīdihā ḥablum mim masad(in). | Di lehernya ada tali dari sabut yang dipintal. | null | null | Bentuk azab yang akan diterimanya di neraka sesuai dengan perilakunya sendiri. Di lehernya ada tali dari sabut yang dipintal. Dengan tali itu Allah menjerat lehernya dan mengangkatnya tinggi-tinggi, lalu mencampakkannya ke dasar neraka. | Dalam ayat ini, Allah menyatakan keburukan perbuatan istri Abū Lahab, kerendahan budi dan kejelekan amal perbuatannya. Pada lehernya selalu ada seutas tali yang kuat, digunakannya untuk memikul duri-duri yang akan diletakkannya pada jalan yang dilalui Nabi. Pernyataan ini merupakan penghinaan bagi dirinya dan suaminya.
Usaha istri Abū Lahab begitu keras untuk menyalakan permusuhan antara manusia, sehingga Allah mengisahkan dia sebagai seorang perempuan yang membawa kayu bakar yang digantungkan pada lehernya ke mana saja ia pergi. Ini adalah seburuk-buruknya perumpamaan bagi seorang perempuan.
Telah diriwayatkan dari Sa‘īd bin Musayyab bahwa Ummu Jamīl (panggilan istri Abū Lahab) mempunyai sebuah kalung yang sangat mahal, dan ia berkata, “Sesungguhnya aku akan mempergunakan harga kalung ini untuk memusuhi Muhammad.” Lalu Allah mengganti kalung tersebut dengan kalung dari api neraka. | Surah ini terdiri dari 5 ayat, termasuk kelompok surah Makkiyyah, diturunkan sesudah Surah al-Fatḥ. Nama al-Lahab diambil dari kata lahab yang terdapat pada ayat ketiga surah ini yang artinya “gejolak api”.
Pokok-pokok Isinya:
Cerita Abū Lahab dan istrinya yang menentang Rasulullah saw; keduanya akan celaka dan masuk neraka; harta Abū Lahab tak berguna untuk keselamatannya demikian pula segala usahanya. | Surah al-Lahab menjelaskan kegagalan lawan-lawan Nabi Muhammad. | Surah an-Naṣr menerangkan kemenangan yang diperoleh Nabi Muhammad dan pengikut-pengikutnya, sedang Surah al-Lahab menerangkan tentang kebinasaan dan siksaan yang diderita oleh Abū Lahab dan istrinya sebagai orang-orang yang menentang Nabi saw. | Pada akhir Surah an-Naṣr Nabi saw diperintahkan untuk bertasbih, bertahmid, dan istighfar karena kemenangan yang diraihnya dan kejayaan Islam. Pada awal Surah al-Lahab diterangkan kebinasaan penentang dakwah sebagaimana yang diderita Abū Lahab. | TUKANG FITNAH PASTI AKAN CELAKA | Kosakata: Abī Lahab اَبِيْ لَهَبٍ (al-Lahab/111: 1)
Ada tiga nama yang biasa dipakai sebagai judul surah Makkiyyah ini: al-Masad, al-Lahab, dan Tabbat, yang semua mengacu pada Abū Lahab, julukan yang biasa dikenakan kepadanya. Judul ini diambil dari kata-katanya sendiri yang memaki-maki kemenakannya, Muhammad saw. Abū Lahab adalah salah seorang paman Nabi Muhammad. Abū Lahab adalah gelarnya, yang berarti “bapak nyala api,” atau “si nyala api”. Diberi gelar demikian karena warna kulitnya yang putih terang kemerah-merahan seperti nyala api dan berwajah tampan, serta wataknya yang keras berapi-api. Nama yang sebenarnya Abdul-‘Uzza, salah seorang dari sepuluh anak ‘Abdul Muṭallib, anak tunggal dari ibu yang lain. Di antara mereka bersaudara yang terbilang kaya hanya ‘Abbās dan Abū Lahab, dan keduanya pedagang besar. Abū Lahab sangat beringas, jarang dapat bergaul baik dengan orang, saudara-saudaranya sendiri pun menjauhinya. Sejak awal sampai akhir hayatnya, ia paling keras memusuhi kemenakannya itu, lebih-lebih setelah Nabi membawa ajaran bahwa semua sama di hadapan Tuhan, dan yang akan dinilai hanya yang sesuai dengan perbuatannya. Keangkuhan memang sudah menjadi bawaannya sejak dulu, ditambah lagi karena kekayaannya, ia menjadi sangat sombong.
Ketika Nabi saw mengundang kaum Quraisy dan sanak saudaranya sendiri untuk mendengarkan ajakannya dan memperingatkan mereka terhadap segala perbuatan dosa kaumnya, kemarahan laki-laki yang berbadan gemuk, “Si Nyala Api,” yang cepat naik darah itu pun meledak dan mengutuk Nabi, “Celaka engkau!” Setelah itu turunlah Surah al-Lahab ayat 1-3.
Abū Jahal adalah teman dekat Abū Lahab, dan keduanya termasuk penghasut perang yang paling bersemangat. Mereka memusuhi Islam dan Nabi secara pribadi. Abū Jahal terbunuh dalam Perang Badar, tetapi Abū Lahab yang bertubuh besar dan gemuk tidak ikut terjun ke medan pertempuran, hanya tinggal di Mekah. Istri Abū Lahab, Ummu Jamīl, perempuan yang sama bengisnya dengan suaminya, menyimpan kebencian dan kedengkian kepada Nabi, orang yang begitu ramah terhadap siapapun, rendah hati, dan berhati bersih. Ia mengumpulkan ranting-ranting berduri yang diikat dengan tali serat kurma yang sudah dipintal, malam harinya membawa dan menyebarkannya ke tempat-tempat yang diperkirakan akan dilalui oleh Nabi, yang disebutkan di atas sebagai “pembawa kayu bakar” serta berbagai perbuatan keji semacamnya.
Setelah Abū Lahab tahu pasukan Quraisy yang dibina dan dibanggakannya mengalami kekalahan telak dalam perang itu, pemuka-pemuka mereka banyak yang terbunuh, seminggu kemudian ia pun mati mendadak di rumahnya, digerogoti oleh api dendam, kemarahan, dan kedengkiannya sendiri. Sumber lain menyebutkan, tak lama setelah peristiwa di Badar itu, ia jatuh sakit, terserang penyakit kulit sejenis bisul yang sangat menular. Penyakit mematikan ini yang mengakhiri hidupnya. Ia dibiarkan selama tiga hari tidak dikuburkan hingga membusuk. Karena takut tertular, anaknya sendiri pun memandikannya dengan menyiramkan air dari kejauhan. Akhirnya oleh orang-orang Quraisy yang juga mau menjauhkannya, mayatnya dibawa ke luar kota Mekah, lalu dibaringkan dan ditimbun dengan batu-batuan. | null | 1. Abū Lahab bersama istrinya binasa di dunia dan di akhirat, harta dan usahanya tidak berguna sedikit pun baginya.
2. Di akhirat, dia dan istrinya sudah pasti menjadi penghuni neraka.
3. Istri Abū Lahab akan diazab dengan kalung api di lehernya karena ketika di dunia selalu menyakiti Nabi saw dengan membawa kayu bakar berduri yang diikatkan di leher.
4. Orang yang menentang agama Allah akan binasa seperti yang menimpa Abū Lahab dan istrinya.
5. Kekerabatan tidak ada manfaatnya di akhirat kecuali dengan iman. |
6,222 | 112 | الاخلاص | Al-Ikhlāṣ | Al-Ikhlas | Ikhlas | 4 | 604 | Makkiyah | 1 | 604 | 61 | 30 | 7 | قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ | Qul huwallāhu aḥad(un). | Katakanlah (Nabi Muhammad), “Dialah Allah Yang Maha Esa. | null | null | Wahai Nabi Muhammad, Katakanlah kepada kaum musyrik yang menanyakan sifat dan nasab Allah dengan tujuan mengejek, “Dia lah Allah, Yang Maha Esa. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia tidak berbilang dalam nama, sifat, dan ketuhanan-Nya. | Pada ayat ini, Allah menyuruh Nabi Muhammad menjawab pertanyaan orang-orang yang menanyakan tentang sifat Tuhannya, bahwa Dia adalah Allah Yang Maha Esa, tidak tersusun dan tidak berbilang, karena berbilang dalam susunan zat berarti bahwa bagian kumpulan itu memerlukan bagian yang lain, sedang Allah sama sekali tidak memerlukan suatu apa pun. Keesaan Allah itu meliputi tiga hal: Dia Maha Esa pada Zat-Nya, Maha Esa pada sifat-Nya dan Maha Esa pada perbuatan-Nya.
Maha Esa pada zat-Nya berarti zat-Nya tidak tersusun dari beberapa zat atau bagian. Maha Esa pada sifat-Nya berarti tidak ada satu sifat makhluk pun yang menyamai-Nya dan Maha Esa pada perbuatan-Nya berarti Dialah yang membuat semua perbuatan sesuai dengan firman-Nya:
اِنَّمَآ اَمْرُهٗٓ اِذَآ اَرَادَ شَيْـًٔاۖ اَنْ يَّقُوْلَ لَهٗ كُنْ فَيَكُوْنُ
Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu Dia hanya berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka jadilah sesuatu itu. (Yāsīn/36 : 82) | Surah ini terdiri dari 4 ayat, termasuk kelompok surah Makkiyyah, diturunkan sesudah Surah an-Nās. Dinamakan Surah al-Ikhlāṣ karena surah ini sepenuhnya menegaskan kemurnian keesaan Allah.
Pokok-pokok Isinya:
Penegasan tentang kemurnian keesaan Allah dan menolak segala macam kemusyrikan dan menerangkan bahwa tidak ada sesuatu yang menyamai-Nya. | null | Surah al-Lahab mengisyaratkan bahwa kemusyrikan itu tak dapat dipertahankan dan tidak akan menang walaupun pendukung-pendukungnya bekerja keras. Surah al-Ikhlāṣ mengemukakan bahwa tauhid dalam Islam adalah tauhid yang semurni-murninya. | Pada akhir Surah al-Lahab diterangkan bahwa kekafiran dan penentangan terhadap Islam akan hancur karena mendapatkan kutukan Allah. Pada awal Surah al-Ikhlāṣ diterangkan bahwa seluruh manusia bergantung kepada Allah dalam segala urusannya. | KEESAAN ALLAH | Kosakata:
1. Aḥad اَحَد (al-Ikhlāṣ/112: 1)
Kata aḥad terambil dari kata waḥdah, yang artinya kesatuan. Kata aḥad menurut pendapat sebagian ulama berbeda dari wāḥid, yang artinya satu. Kata ini merupakan kata bilangan yang selalu akan diikuti dengan bilangan selanjutnya, yaitu dua, tiga, dan seterusnya. Sedangkan aḥad bukan kata bilangan, yang hanya menunjuk kepada sesuatu yang khusus dan tidak dapat menerima penambahan, baik dalam pikiran maupun dalam kenyataan. Oleh karena itu, makna aḥad yang tepat adalah esa atau tunggal.
Kata ini dapat digunakan sebagai nama atau yang menunjuk sifat. Bila digunakan dalam fungsi yang kedua, yaitu sifat, maka hal itu hanya tepat untuk menyifati Allah saja. Pada ayat ini, kata aḥad digunakan untuk menunjuk pada sifat, yaitu sifat Allah. Hal ini berarti bahwa Allah memiliki sifat tersendiri yang unik dan tidak dimiliki oleh yang lain.
Dalam Al-Qur’an Allah juga disifati dengan term wāḥid (lihat al-Baqarah ayat 163). Ulama berpendapat bahwa sifat ini menunjukkan keesaan Zat-Nya yang disertai dengan keragaman sifat-sifat-Nya, seperti Maha Pengasih, Maha Pemurah, Mahakuat, dan lainnya. Sedang kata aḥad (seperti dalam ayat ini) menunjuk hanya pada keesaan Zat tanpa disertai dengan keragaman sifat.
2. Aṣ-Ṣamad الصَّمَد (al-Ikhlāṣ/112: 2)
Kata aṣ-ṣamad terambil dari kata kerja ṣamada-yaṣmadu, yang artinya menuju. Sedang aṣ-ṣamad sendiri maknanya adalah yang dituju. Ada dua pengertian yang populer dari kata ini yang banyak dimaksudkan oleh para penggunanya, yaitu sesuatu yang tidak memiliki rongga, dan sesuatu yang paling tinggi yang menjadi tumpuan harapan. Para ulama yang cenderung pada makna pertama selanjutnya mengembangkan pengertiannya agar sesuai dengan kebesaran yang ada pada Allah. Mereka mengatakan bahwa hal ini berarti sesuatu itu sedemikian padat sehingga ia tidak membutuhkan sesuatu lain untuk dimasukkan ke dalam dirinya, seperti makanan atau minuman. Sedang yang lebih memilih makna kedua kemudian merujuk pada riwayat yang disandarkan kepada Ibnu ‘Abbās yang mengatakan bahwa sesuatu itu merupakan tokoh yang telah sempurna ketokohannya, mulia dan telah mencapai puncak kemuliaan, yang agung dan telah mencapai puncak keagungan, yang penyantun dan telah mencapai puncak kesantunan, yang mengetahui dan telah sempurna pengetahuannya, yang bijaksana dan tidak ada cacat pada kebijaksanaannya.
Di antara kedua makna ini, yang lebih disepakati oleh mayoritas ulama dan mufasir adalah pengertian yang kedua, yaitu bahwa Allah adalah Zat yang menjadi tujuan harapan semua makhluk, Dia yang didambakan dalam pemenuhan kebutuhan semua makhluk dan penanggulangan semua kesulitan mereka. | Aḍ-Ḍaḥḥāk meriwayatkan bahwa orang-orang musyrik mengutus ‘Āmir bin aṭ-Ṭufail kepada Nabi Muhammad untuk menyampaikan amanah mereka kepada Nabi. ‘Āmir bin aṭ-Ṭufail berkata, “Engkau telah memecah-belah keutuhan kami, memaki-maki “tuhan” kami, dan mengubah agama nenek moyangmu. Jika engkau miskin dan mau kaya, kami berikan engkau harta. Jika engkau gila, kami obati. Jika engkau ingin wanita cantik, akan kami kawinkan engkau dengannya.” Nabi menjawab, “Aku tidak miskin, tidak gila, dan tidak ingin wanita. Aku adalah rasul Allah yang mengajak kamu meninggalkan penyembahan berhala dan mulai menyembah Allah Yang Maha Esa.” Kemudian mereka mengutus utusan yang kedua dan bertanya kepada Rasulullah, “Terangkanlah kepada kami, seperti Tuhan yang engkau sembah itu. Apakah Dia dari emas atau perak?” Lalu Allah menurunkan surah ini.
Diriwayatkan oleh Ubay bin Ka‘ab bahwa orang-orang musyrik bertanya kepada Nabi Muhammad, “Ya Muhammad, apakah Tuhanmu ada hubungan nasab dengan kami?” maka turunlah surah ini. | null |
6,223 | 112 | الاخلاص | Al-Ikhlāṣ | Al-Ikhlas | Ikhlas | 4 | 604 | Makkiyah | 2 | 604 | 61 | 30 | 7 | اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ | Allāhuṣ-ṣamad(u). | Allah tempat meminta segala sesuatu. | null | null | Allah tempat meminta segala sesuatu. Dia Maha Pencipta, Mahakaya, dan Mahakuasa. Dia tidak memerlukan yang lain, sedangkan semua makhluk bergantung kepada-Nya. | Allah menambahkan dalam ayat ini penjelasan tentang sifat Tuhan Yang Maha Esa itu, yaitu Dia adalah Tuhan tempat meminta dan memohon. | Surah ini terdiri dari 4 ayat, termasuk kelompok surah Makkiyyah, diturunkan sesudah Surah an-Nās. Dinamakan Surah al-Ikhlāṣ karena surah ini sepenuhnya menegaskan kemurnian keesaan Allah.
Pokok-pokok Isinya:
Penegasan tentang kemurnian keesaan Allah dan menolak segala macam kemusyrikan dan menerangkan bahwa tidak ada sesuatu yang menyamai-Nya. | null | Surah al-Lahab mengisyaratkan bahwa kemusyrikan itu tak dapat dipertahankan dan tidak akan menang walaupun pendukung-pendukungnya bekerja keras. Surah al-Ikhlāṣ mengemukakan bahwa tauhid dalam Islam adalah tauhid yang semurni-murninya. | Pada akhir Surah al-Lahab diterangkan bahwa kekafiran dan penentangan terhadap Islam akan hancur karena mendapatkan kutukan Allah. Pada awal Surah al-Ikhlāṣ diterangkan bahwa seluruh manusia bergantung kepada Allah dalam segala urusannya. | KEESAAN ALLAH | Kosakata:
1. Aḥad اَحَد (al-Ikhlāṣ/112: 1)
Kata aḥad terambil dari kata waḥdah, yang artinya kesatuan. Kata aḥad menurut pendapat sebagian ulama berbeda dari wāḥid, yang artinya satu. Kata ini merupakan kata bilangan yang selalu akan diikuti dengan bilangan selanjutnya, yaitu dua, tiga, dan seterusnya. Sedangkan aḥad bukan kata bilangan, yang hanya menunjuk kepada sesuatu yang khusus dan tidak dapat menerima penambahan, baik dalam pikiran maupun dalam kenyataan. Oleh karena itu, makna aḥad yang tepat adalah esa atau tunggal.
Kata ini dapat digunakan sebagai nama atau yang menunjuk sifat. Bila digunakan dalam fungsi yang kedua, yaitu sifat, maka hal itu hanya tepat untuk menyifati Allah saja. Pada ayat ini, kata aḥad digunakan untuk menunjuk pada sifat, yaitu sifat Allah. Hal ini berarti bahwa Allah memiliki sifat tersendiri yang unik dan tidak dimiliki oleh yang lain.
Dalam Al-Qur’an Allah juga disifati dengan term wāḥid (lihat al-Baqarah ayat 163). Ulama berpendapat bahwa sifat ini menunjukkan keesaan Zat-Nya yang disertai dengan keragaman sifat-sifat-Nya, seperti Maha Pengasih, Maha Pemurah, Mahakuat, dan lainnya. Sedang kata aḥad (seperti dalam ayat ini) menunjuk hanya pada keesaan Zat tanpa disertai dengan keragaman sifat.
2. Aṣ-Ṣamad الصَّمَد (al-Ikhlāṣ/112: 2)
Kata aṣ-ṣamad terambil dari kata kerja ṣamada-yaṣmadu, yang artinya menuju. Sedang aṣ-ṣamad sendiri maknanya adalah yang dituju. Ada dua pengertian yang populer dari kata ini yang banyak dimaksudkan oleh para penggunanya, yaitu sesuatu yang tidak memiliki rongga, dan sesuatu yang paling tinggi yang menjadi tumpuan harapan. Para ulama yang cenderung pada makna pertama selanjutnya mengembangkan pengertiannya agar sesuai dengan kebesaran yang ada pada Allah. Mereka mengatakan bahwa hal ini berarti sesuatu itu sedemikian padat sehingga ia tidak membutuhkan sesuatu lain untuk dimasukkan ke dalam dirinya, seperti makanan atau minuman. Sedang yang lebih memilih makna kedua kemudian merujuk pada riwayat yang disandarkan kepada Ibnu ‘Abbās yang mengatakan bahwa sesuatu itu merupakan tokoh yang telah sempurna ketokohannya, mulia dan telah mencapai puncak kemuliaan, yang agung dan telah mencapai puncak keagungan, yang penyantun dan telah mencapai puncak kesantunan, yang mengetahui dan telah sempurna pengetahuannya, yang bijaksana dan tidak ada cacat pada kebijaksanaannya.
Di antara kedua makna ini, yang lebih disepakati oleh mayoritas ulama dan mufasir adalah pengertian yang kedua, yaitu bahwa Allah adalah Zat yang menjadi tujuan harapan semua makhluk, Dia yang didambakan dalam pemenuhan kebutuhan semua makhluk dan penanggulangan semua kesulitan mereka. | null | null |
6,224 | 112 | الاخلاص | Al-Ikhlāṣ | Al-Ikhlas | Ikhlas | 4 | 604 | Makkiyah | 3 | 604 | 61 | 30 | 7 | لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ | Lam yalid wa lam yūlad. | Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan | null | null | Dia tidak beranak; tidak ada yang sejenis dengan Allah sehingga bisa menikah dengan-Nya dan melahirkan anak; dan Dia tidak pula diperanakkan karena Dia kekal dan tidak bermula. Sesatlah orang Yahudi yang meyakini ‘Uzair sebagai putra Allah, orang Nasrani yang meyakini Nabi Isa sebagai putra Allah, dan orang musyrik Arab yang meyakini malaikat sebagai putri Allah. | Allah lalu menegaskan bahwa Mahasuci Ia dari mempunyai anak. Ayat ini juga menentang dakwaan orang-orang musyrik Arab yang mengatakan bahwa malaikat-malaikat adalah anak perempuan Allah dan dakwaan orang Nasrani bahwa Isa anak laki-laki Allah. Dalam ayat lain, Allah berfirman:
فَاسْتَفْتِهِمْ اَلِرَبِّكَ الْبَنَاتُ وَلَهُمُ الْبَنُوْنَۚ ١٤٩ اَمْ خَلَقْنَا الْمَلٰۤىِٕكَةَ اِنَاثًا وَّهُمْ شٰهِدُوْنَ ١٥٠ اَلَآ اِنَّهُمْ مِّنْ اِفْكِهِمْ لَيَقُوْلُوْنَۙ ١٥١ وَلَدَ اللّٰهُ ۙوَاِنَّهُمْ لَكٰذِبُوْنَۙ ١٥٢
Maka tanyakanlah (Muhammad) kepada mereka (orang-orang kafir Mekah), “Apakah anak-anak perempuan itu untuk Tuhanmu sedangkan untuk mereka anak-anak laki-laki?” Atau apakah Kami menciptakan malaikat-malaikat berupa perempuan sedangkan mereka menyaksikan(nya)? Ingatlah, sesungguhnya di antara kebohongannya mereka benar-benar mengatakan, “Allah mempunyai anak.” Dan sungguh, mereka benar-benar pendusta. (aṣ-Ṣāffāt/37: 149-152)
Allah tidak beranak, dan tidak pula diperanakkan. Dengan demikian, Dia tidak sama dengan makhluk. Dia berada tidak didahului oleh tidak ada. Mahasuci Allah dari apa yang mereka sebutkan.
Ibnu ‘Abbās berkata, “Dia tidak beranak sebagaimana Maryam melahirkan Isa dan tidak pula diperanakkan. Ini adalah bantahan terhadap orang-orang Nasrani yang mengatakan Isa al-Masih adalah anak Allah dan bantahan terhadap orang-orang Yahudi yang mengatakan Uzair adalah anak Allah. | Surah ini terdiri dari 4 ayat, termasuk kelompok surah Makkiyyah, diturunkan sesudah Surah an-Nās. Dinamakan Surah al-Ikhlāṣ karena surah ini sepenuhnya menegaskan kemurnian keesaan Allah.
Pokok-pokok Isinya:
Penegasan tentang kemurnian keesaan Allah dan menolak segala macam kemusyrikan dan menerangkan bahwa tidak ada sesuatu yang menyamai-Nya. | null | Surah al-Lahab mengisyaratkan bahwa kemusyrikan itu tak dapat dipertahankan dan tidak akan menang walaupun pendukung-pendukungnya bekerja keras. Surah al-Ikhlāṣ mengemukakan bahwa tauhid dalam Islam adalah tauhid yang semurni-murninya. | Pada akhir Surah al-Lahab diterangkan bahwa kekafiran dan penentangan terhadap Islam akan hancur karena mendapatkan kutukan Allah. Pada awal Surah al-Ikhlāṣ diterangkan bahwa seluruh manusia bergantung kepada Allah dalam segala urusannya. | KEESAAN ALLAH | Kosakata:
1. Aḥad اَحَد (al-Ikhlāṣ/112: 1)
Kata aḥad terambil dari kata waḥdah, yang artinya kesatuan. Kata aḥad menurut pendapat sebagian ulama berbeda dari wāḥid, yang artinya satu. Kata ini merupakan kata bilangan yang selalu akan diikuti dengan bilangan selanjutnya, yaitu dua, tiga, dan seterusnya. Sedangkan aḥad bukan kata bilangan, yang hanya menunjuk kepada sesuatu yang khusus dan tidak dapat menerima penambahan, baik dalam pikiran maupun dalam kenyataan. Oleh karena itu, makna aḥad yang tepat adalah esa atau tunggal.
Kata ini dapat digunakan sebagai nama atau yang menunjuk sifat. Bila digunakan dalam fungsi yang kedua, yaitu sifat, maka hal itu hanya tepat untuk menyifati Allah saja. Pada ayat ini, kata aḥad digunakan untuk menunjuk pada sifat, yaitu sifat Allah. Hal ini berarti bahwa Allah memiliki sifat tersendiri yang unik dan tidak dimiliki oleh yang lain.
Dalam Al-Qur’an Allah juga disifati dengan term wāḥid (lihat al-Baqarah ayat 163). Ulama berpendapat bahwa sifat ini menunjukkan keesaan Zat-Nya yang disertai dengan keragaman sifat-sifat-Nya, seperti Maha Pengasih, Maha Pemurah, Mahakuat, dan lainnya. Sedang kata aḥad (seperti dalam ayat ini) menunjuk hanya pada keesaan Zat tanpa disertai dengan keragaman sifat.
2. Aṣ-Ṣamad الصَّمَد (al-Ikhlāṣ/112: 2)
Kata aṣ-ṣamad terambil dari kata kerja ṣamada-yaṣmadu, yang artinya menuju. Sedang aṣ-ṣamad sendiri maknanya adalah yang dituju. Ada dua pengertian yang populer dari kata ini yang banyak dimaksudkan oleh para penggunanya, yaitu sesuatu yang tidak memiliki rongga, dan sesuatu yang paling tinggi yang menjadi tumpuan harapan. Para ulama yang cenderung pada makna pertama selanjutnya mengembangkan pengertiannya agar sesuai dengan kebesaran yang ada pada Allah. Mereka mengatakan bahwa hal ini berarti sesuatu itu sedemikian padat sehingga ia tidak membutuhkan sesuatu lain untuk dimasukkan ke dalam dirinya, seperti makanan atau minuman. Sedang yang lebih memilih makna kedua kemudian merujuk pada riwayat yang disandarkan kepada Ibnu ‘Abbās yang mengatakan bahwa sesuatu itu merupakan tokoh yang telah sempurna ketokohannya, mulia dan telah mencapai puncak kemuliaan, yang agung dan telah mencapai puncak keagungan, yang penyantun dan telah mencapai puncak kesantunan, yang mengetahui dan telah sempurna pengetahuannya, yang bijaksana dan tidak ada cacat pada kebijaksanaannya.
Di antara kedua makna ini, yang lebih disepakati oleh mayoritas ulama dan mufasir adalah pengertian yang kedua, yaitu bahwa Allah adalah Zat yang menjadi tujuan harapan semua makhluk, Dia yang didambakan dalam pemenuhan kebutuhan semua makhluk dan penanggulangan semua kesulitan mereka. | null | null |
6,225 | 112 | الاخلاص | Al-Ikhlāṣ | Al-Ikhlas | Ikhlas | 4 | 604 | Makkiyah | 4 | 604 | 61 | 30 | 7 | وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ ࣖ | Wa lam yakul lahū kufuwan aḥad(un). | serta tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya.” | null | null | Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia, baik dari segi zat, sifat, maupun tidakan-Nya. | Dalam ayat ini, Allah menjelaskan lagi bahwa tidak ada yang setara dan sebanding dengan Dia dalam zat, sifat, dan perbuatan-Nya. Ini adalah tantangan terhadap orang-orang yang beritikad bahwa ada yang setara dan menyerupai Allah dalam perbuatannya, sebagaimana pendirian orang-orang musyrik Arab yang menyatakan bahwa malaikat itu adalah sekutu Allah.
Surah ini meliputi dasar yang paling penting dari risalah Nabi Muhammad yaitu menauhidkan dan menyucikan Allah serta meletakkan pedoman umum dalam beramal sambil menerangkan amal perbuatan yang baik dan yang jahat, menyatakan keadaan manusia sesudah mati mulai dari sejak berbangkit sampai dengan menerima balasannya berupa pahala atau dosa. Telah diriwayatkan dalam hadis bahwa surah ini sebanding dengan sepertiga Al-Qur’an, karena barang siapa menyelami artinya dengan bertafakur yang mendalam, akan menjadi jelas baginya bahwa semua penjelasan dan keterangan yang terdapat dalam Islam tentang tauhid dan kesucian Allah dari segala macam kekurangan merupakan perincian dari isi surah ini.
Dalam sebuah hadis disebutkan:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ رَجُلًا عَلَى سَرِيَّةٍ وَكَانَ يَقْرَأُ لِأَصْحَابِهِ فِيْ صَلاَتِهِمْ فَيَخْتِمُ بِـ ﴿قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌ﴾ فَلَمَّا رَجَعُوْا ذُكِرَ ذٰلِكَ لِرَسُوْلِ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ سَلُوْهُ لِأَيِّ شَيْءٍ يَصْنَعُ ذٰلِكَ فَسَأَلُوْهُ فَقَالَ لِأَنَّهَا صِفَةُ الرَّحْمٰنِ فَأَنَا أُحِبُّ أَنْ أَقْرَأَ بِهَا فَقَالَ رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبِرُوْهُ أَنَّ اللّٰهَ يُحِبُّهُ. (رواه مسلم)
Dari ‘Aisyah, bahwasanya Rasulullah saw. pernah mengutus seorang laki-laki dalam suatu peperangan. Ketika salat bersama sahabat-sahabatnya, laki-laki itu membaca surah dan mengakhirinya dengan “Qul Huwallahu Aḥad.” Pada saat mereka kembali, hal itu disampaikan kepada Rasulullah saw. Rasul berkata, “Tanyakan kepadanya apa maksud dari perbuatannya itu.” Mereka pun menanyakannya. Laki-laki itu menjawab, “Itu adalah sifat Allah Yang Maha Penyayang. Saya suka membacanya.” Rasulullah saw. bersabda, “beritahukanlah dia, bahwa Allah mencintainya.” (Riwayat Muslim) | Surah ini terdiri dari 4 ayat, termasuk kelompok surah Makkiyyah, diturunkan sesudah Surah an-Nās. Dinamakan Surah al-Ikhlāṣ karena surah ini sepenuhnya menegaskan kemurnian keesaan Allah.
Pokok-pokok Isinya:
Penegasan tentang kemurnian keesaan Allah dan menolak segala macam kemusyrikan dan menerangkan bahwa tidak ada sesuatu yang menyamai-Nya. | Surah al-Ikhlāṣ ini menegaskan kemurnian keesaan Allah. | Surah al-Lahab mengisyaratkan bahwa kemusyrikan itu tak dapat dipertahankan dan tidak akan menang walaupun pendukung-pendukungnya bekerja keras. Surah al-Ikhlāṣ mengemukakan bahwa tauhid dalam Islam adalah tauhid yang semurni-murninya. | Pada akhir Surah al-Lahab diterangkan bahwa kekafiran dan penentangan terhadap Islam akan hancur karena mendapatkan kutukan Allah. Pada awal Surah al-Ikhlāṣ diterangkan bahwa seluruh manusia bergantung kepada Allah dalam segala urusannya. | KEESAAN ALLAH | Kosakata:
1. Aḥad اَحَد (al-Ikhlāṣ/112: 1)
Kata aḥad terambil dari kata waḥdah, yang artinya kesatuan. Kata aḥad menurut pendapat sebagian ulama berbeda dari wāḥid, yang artinya satu. Kata ini merupakan kata bilangan yang selalu akan diikuti dengan bilangan selanjutnya, yaitu dua, tiga, dan seterusnya. Sedangkan aḥad bukan kata bilangan, yang hanya menunjuk kepada sesuatu yang khusus dan tidak dapat menerima penambahan, baik dalam pikiran maupun dalam kenyataan. Oleh karena itu, makna aḥad yang tepat adalah esa atau tunggal.
Kata ini dapat digunakan sebagai nama atau yang menunjuk sifat. Bila digunakan dalam fungsi yang kedua, yaitu sifat, maka hal itu hanya tepat untuk menyifati Allah saja. Pada ayat ini, kata aḥad digunakan untuk menunjuk pada sifat, yaitu sifat Allah. Hal ini berarti bahwa Allah memiliki sifat tersendiri yang unik dan tidak dimiliki oleh yang lain.
Dalam Al-Qur’an Allah juga disifati dengan term wāḥid (lihat al-Baqarah ayat 163). Ulama berpendapat bahwa sifat ini menunjukkan keesaan Zat-Nya yang disertai dengan keragaman sifat-sifat-Nya, seperti Maha Pengasih, Maha Pemurah, Mahakuat, dan lainnya. Sedang kata aḥad (seperti dalam ayat ini) menunjuk hanya pada keesaan Zat tanpa disertai dengan keragaman sifat.
2. Aṣ-Ṣamad الصَّمَد (al-Ikhlāṣ/112: 2)
Kata aṣ-ṣamad terambil dari kata kerja ṣamada-yaṣmadu, yang artinya menuju. Sedang aṣ-ṣamad sendiri maknanya adalah yang dituju. Ada dua pengertian yang populer dari kata ini yang banyak dimaksudkan oleh para penggunanya, yaitu sesuatu yang tidak memiliki rongga, dan sesuatu yang paling tinggi yang menjadi tumpuan harapan. Para ulama yang cenderung pada makna pertama selanjutnya mengembangkan pengertiannya agar sesuai dengan kebesaran yang ada pada Allah. Mereka mengatakan bahwa hal ini berarti sesuatu itu sedemikian padat sehingga ia tidak membutuhkan sesuatu lain untuk dimasukkan ke dalam dirinya, seperti makanan atau minuman. Sedang yang lebih memilih makna kedua kemudian merujuk pada riwayat yang disandarkan kepada Ibnu ‘Abbās yang mengatakan bahwa sesuatu itu merupakan tokoh yang telah sempurna ketokohannya, mulia dan telah mencapai puncak kemuliaan, yang agung dan telah mencapai puncak keagungan, yang penyantun dan telah mencapai puncak kesantunan, yang mengetahui dan telah sempurna pengetahuannya, yang bijaksana dan tidak ada cacat pada kebijaksanaannya.
Di antara kedua makna ini, yang lebih disepakati oleh mayoritas ulama dan mufasir adalah pengertian yang kedua, yaitu bahwa Allah adalah Zat yang menjadi tujuan harapan semua makhluk, Dia yang didambakan dalam pemenuhan kebutuhan semua makhluk dan penanggulangan semua kesulitan mereka. | null | 1. Allah itu adalah Tuhan Yang Maha Esa dan semua makhluk tergantung kepada-Nya dalam segala urusan.
2. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.
3. Tiada satu makhluk pun yang setara atau serupa dengan Allah. |
6,226 | 113 | الفلق | Al-Falaq | Al-Falaq | Fajar | 5 | 604 | Madaniyah | 1 | 604 | 61 | 30 | 7 | قُلْ اَعُوْذُ بِرَبِّ الْفَلَقِۙ | Qul a‘ūżu birabbil-falaq(i). | Katakanlah (Nabi Muhammad), “Aku berlindung kepada Tuhan yang (menjaga) fajar (subuh) | null | null | Wahai Nabi Muhammad, katakanlah kepada umatmu, “Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh, waktu yang membelah kegelapan malam. Allah Mahakuasa menyingkirkan segala kejahatan dari hamba-Nya karena semua makhluk berada dalam genggaman-Nya. | Dalam ayat-ayat berikut ini, Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad dan seluruh kaum Muslimin supaya selalu berlindung kepada Tuhan Pencipta semua makhluk agar terpelihara dari segala macam kejahatan atau akibat kejahatan yang ditimbulkan oleh makhluk-makhluk yang telah diciptakan-Nya. | Surah ini terdiri dari lima ayat, termasuk kelompok surah Makkiyyah, diturunkan sesudah Surah al-Fīl. Nama al-Falaq diambil dari kata al-falaq yang terdapat pada ayat pertama surah ini yang artinya waktu subuh.
Diriwayatkan oleh Abū Dāwūd, at-Tirmiżī, dan an-Nasā’ī dari Utbah bin Amir bahwa Rasulullah saw salat dengan membaca Surah al-Falaq dan Surah an-Nās dalam perjalanan.
Pokok-pokok Isinya:
Perintah agar kita berlindung kepada Allah dari segala macam kejahatan. | null | Surah al-Ikhlāṣ menegaskan kemurnian keesaan Allah sedang Surah al-Falaq memerintahkan agar hanya kepada-Nya orang memohon perlindungan dari segala macam kejahatan. | Pada akhir Surah al-Ikhlāṣ diterangkan bahwa tidak satu makhluk pun yang setara dengan Allah. Pada awal Surah al-Falaq, Rasulullah diperintah agar berlindung kepada Allah, Tuhan yang menguasai subuh dari kejahatan yang diciptakan. | ALLAH PELINDUNG MANUSIA DARI KEJAHATAN
BISIKAN SETAN DAN MANUSIA | Kosakata:
1. Al-Falaq الْفَلَق (al-Falaq/113: 1)
Kata al-falaq berasal dari kata kerja falaqa-yafluqu, yang artinya membelah. Kata al-falaq dapat berfungsi sebagai isim fā‘il yang artinya pembelah, dan dapat pula dalam posisi isim maf‘ūl yang maknanya yang dibelah.
Ada dua pendapat paling tidak tentang makna al-falaq ini. Pertama, kata ini diartikan sebagai pagi. Malam dengan kegelapannya diibaratkan sebagai sesuatu yang tertutup rapat. Kehadiran cahaya pagi dari celah-celah kegelapan malam menjadikannya bagaikan terbelah. Keadaan demikian menjadikan fajar atau pagi hari dinamakan falaq karena ia bagaikan sesuatu yang membelah kegelapan atau yang terbelah.
Makna kedua dari kata ini adalah segala sesuatu yang terbelah, dan ini tidak terbatas hanya pada pagi saja. Mereka yang memahami dengan makna ini mengungkap bahwa arti ini mencakup banyak hal, seperti tanah terbelah oleh tumbuhan dan mata air, biji-bijian terbelah pada saat waktunya tiba, dan lainnya.
2. Al-‘Uqad الْعُقَدِ (Surat al-Falaq/113: 4)
Kata al-‘uqad merupakan bentuk jamak dari kata ‘uqdah. Kata ini berasal dari kata kerja ‘aqada-ya‘qudu yang maknanya mengikat. Dengan demikian, ‘uqdah dapat diartikan sebagai ikatan dan ‘uqad yang merupakan bentuk jamaknya dimaknai ikatan-ikatan. Secara bahasa dan makna yang sebenarnya dari kata ini adalah ikatan itu, sehingga mereka yang cenderung padanya akan memberikan arti pada kata ini dengan tali-tali ikatan atau simpul-simpul tali. Namun demikian, ada pula yang memberikan arti majazi atau kiasan untuk kata ini, yaitu bahwa maknanya adalah kesungguhan dan tekad untuk mempertahankan kesepakatan. Mayoritas mufasir menggunakan makna sebenarnya dari kata ini ketika mereka menjelaskan pengertian ayat tersebut. Dengan makna seperti ini, maka ayat tersebut mengisyaratkan permohonan perlindungan dari kegiatan tukang sihir yang meniup pada simpul tali ikatan untuk menyantet atau perilaku buruk dari tukang tenung. | null | null |
6,227 | 113 | الفلق | Al-Falaq | Al-Falaq | Fajar | 5 | 604 | Madaniyah | 2 | 604 | 61 | 30 | 7 | مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَۙ | Min syarri mā khalaq(a). | dari kejahatan (makhluk yang) Dia ciptakan, | null | null | Aku berlindung kepada Allah dari kejahatan semua makhluk yang Dia ciptakan, baik yang tampak maupun tidak, yang tidak dapat menolak kejahatannya selain Sang Pencipta. | Dalam ayat-ayat berikut ini, Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad dan seluruh kaum Muslimin supaya selalu berlindung kepada Tuhan Pencipta semua makhluk agar terpelihara dari segala macam kejahatan atau akibat kejahatan yang ditimbulkan oleh makhluk-makhluk yang telah diciptakan-Nya. | Surah ini terdiri dari lima ayat, termasuk kelompok surah Makkiyyah, diturunkan sesudah Surah al-Fīl. Nama al-Falaq diambil dari kata al-falaq yang terdapat pada ayat pertama surah ini yang artinya waktu subuh.
Diriwayatkan oleh Abū Dāwūd, at-Tirmiżī, dan an-Nasā’ī dari Utbah bin Amir bahwa Rasulullah saw salat dengan membaca Surah al-Falaq dan Surah an-Nās dalam perjalanan.
Pokok-pokok Isinya:
Perintah agar kita berlindung kepada Allah dari segala macam kejahatan. | null | Surah al-Ikhlāṣ menegaskan kemurnian keesaan Allah sedang Surah al-Falaq memerintahkan agar hanya kepada-Nya orang memohon perlindungan dari segala macam kejahatan. | Pada akhir Surah al-Ikhlāṣ diterangkan bahwa tidak satu makhluk pun yang setara dengan Allah. Pada awal Surah al-Falaq, Rasulullah diperintah agar berlindung kepada Allah, Tuhan yang menguasai subuh dari kejahatan yang diciptakan. | ALLAH PELINDUNG MANUSIA DARI KEJAHATAN
BISIKAN SETAN DAN MANUSIA | Kosakata:
1. Al-Falaq الْفَلَق (al-Falaq/113: 1)
Kata al-falaq berasal dari kata kerja falaqa-yafluqu, yang artinya membelah. Kata al-falaq dapat berfungsi sebagai isim fā‘il yang artinya pembelah, dan dapat pula dalam posisi isim maf‘ūl yang maknanya yang dibelah.
Ada dua pendapat paling tidak tentang makna al-falaq ini. Pertama, kata ini diartikan sebagai pagi. Malam dengan kegelapannya diibaratkan sebagai sesuatu yang tertutup rapat. Kehadiran cahaya pagi dari celah-celah kegelapan malam menjadikannya bagaikan terbelah. Keadaan demikian menjadikan fajar atau pagi hari dinamakan falaq karena ia bagaikan sesuatu yang membelah kegelapan atau yang terbelah.
Makna kedua dari kata ini adalah segala sesuatu yang terbelah, dan ini tidak terbatas hanya pada pagi saja. Mereka yang memahami dengan makna ini mengungkap bahwa arti ini mencakup banyak hal, seperti tanah terbelah oleh tumbuhan dan mata air, biji-bijian terbelah pada saat waktunya tiba, dan lainnya.
2. Al-‘Uqad الْعُقَدِ (Surat al-Falaq/113: 4)
Kata al-‘uqad merupakan bentuk jamak dari kata ‘uqdah. Kata ini berasal dari kata kerja ‘aqada-ya‘qudu yang maknanya mengikat. Dengan demikian, ‘uqdah dapat diartikan sebagai ikatan dan ‘uqad yang merupakan bentuk jamaknya dimaknai ikatan-ikatan. Secara bahasa dan makna yang sebenarnya dari kata ini adalah ikatan itu, sehingga mereka yang cenderung padanya akan memberikan arti pada kata ini dengan tali-tali ikatan atau simpul-simpul tali. Namun demikian, ada pula yang memberikan arti majazi atau kiasan untuk kata ini, yaitu bahwa maknanya adalah kesungguhan dan tekad untuk mempertahankan kesepakatan. Mayoritas mufasir menggunakan makna sebenarnya dari kata ini ketika mereka menjelaskan pengertian ayat tersebut. Dengan makna seperti ini, maka ayat tersebut mengisyaratkan permohonan perlindungan dari kegiatan tukang sihir yang meniup pada simpul tali ikatan untuk menyantet atau perilaku buruk dari tukang tenung. | null | null |
6,228 | 113 | الفلق | Al-Falaq | Al-Falaq | Fajar | 5 | 604 | Madaniyah | 3 | 604 | 61 | 30 | 7 | وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ اِذَا وَقَبَۙ | Wa min syarri gāsiqin iżā waqab(a). | dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita, | null | null | Dan aku berlindung pula dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita pada waktu malam muncul hewan-hewan yang membahayakan dan pada waktu itu pula rencana jahat biasa disusun. | Kemudian Allah menerangkan bahwa sebagian makhluk-Nya sering menimbulkan kejahatan pada waktu malam bila segala sesuatu telah diliputi oleh kegelapan. Sementara itu, keadaan malam yang gelap gulita menimbulkan rasa takut dan gelisah, seakan-akan ada sesuatu yang tersembunyi dalam kegelapan malam itu yang akan menyakiti manusia. | Surah ini terdiri dari lima ayat, termasuk kelompok surah Makkiyyah, diturunkan sesudah Surah al-Fīl. Nama al-Falaq diambil dari kata al-falaq yang terdapat pada ayat pertama surah ini yang artinya waktu subuh.
Diriwayatkan oleh Abū Dāwūd, at-Tirmiżī, dan an-Nasā’ī dari Utbah bin Amir bahwa Rasulullah saw salat dengan membaca Surah al-Falaq dan Surah an-Nās dalam perjalanan.
Pokok-pokok Isinya:
Perintah agar kita berlindung kepada Allah dari segala macam kejahatan. | null | Surah al-Ikhlāṣ menegaskan kemurnian keesaan Allah sedang Surah al-Falaq memerintahkan agar hanya kepada-Nya orang memohon perlindungan dari segala macam kejahatan. | Pada akhir Surah al-Ikhlāṣ diterangkan bahwa tidak satu makhluk pun yang setara dengan Allah. Pada awal Surah al-Falaq, Rasulullah diperintah agar berlindung kepada Allah, Tuhan yang menguasai subuh dari kejahatan yang diciptakan. | ALLAH PELINDUNG MANUSIA DARI KEJAHATAN
BISIKAN SETAN DAN MANUSIA | Kosakata:
1. Al-Falaq الْفَلَق (al-Falaq/113: 1)
Kata al-falaq berasal dari kata kerja falaqa-yafluqu, yang artinya membelah. Kata al-falaq dapat berfungsi sebagai isim fā‘il yang artinya pembelah, dan dapat pula dalam posisi isim maf‘ūl yang maknanya yang dibelah.
Ada dua pendapat paling tidak tentang makna al-falaq ini. Pertama, kata ini diartikan sebagai pagi. Malam dengan kegelapannya diibaratkan sebagai sesuatu yang tertutup rapat. Kehadiran cahaya pagi dari celah-celah kegelapan malam menjadikannya bagaikan terbelah. Keadaan demikian menjadikan fajar atau pagi hari dinamakan falaq karena ia bagaikan sesuatu yang membelah kegelapan atau yang terbelah.
Makna kedua dari kata ini adalah segala sesuatu yang terbelah, dan ini tidak terbatas hanya pada pagi saja. Mereka yang memahami dengan makna ini mengungkap bahwa arti ini mencakup banyak hal, seperti tanah terbelah oleh tumbuhan dan mata air, biji-bijian terbelah pada saat waktunya tiba, dan lainnya.
2. Al-‘Uqad الْعُقَدِ (Surat al-Falaq/113: 4)
Kata al-‘uqad merupakan bentuk jamak dari kata ‘uqdah. Kata ini berasal dari kata kerja ‘aqada-ya‘qudu yang maknanya mengikat. Dengan demikian, ‘uqdah dapat diartikan sebagai ikatan dan ‘uqad yang merupakan bentuk jamaknya dimaknai ikatan-ikatan. Secara bahasa dan makna yang sebenarnya dari kata ini adalah ikatan itu, sehingga mereka yang cenderung padanya akan memberikan arti pada kata ini dengan tali-tali ikatan atau simpul-simpul tali. Namun demikian, ada pula yang memberikan arti majazi atau kiasan untuk kata ini, yaitu bahwa maknanya adalah kesungguhan dan tekad untuk mempertahankan kesepakatan. Mayoritas mufasir menggunakan makna sebenarnya dari kata ini ketika mereka menjelaskan pengertian ayat tersebut. Dengan makna seperti ini, maka ayat tersebut mengisyaratkan permohonan perlindungan dari kegiatan tukang sihir yang meniup pada simpul tali ikatan untuk menyantet atau perilaku buruk dari tukang tenung. | null | null |
6,229 | 113 | الفلق | Al-Falaq | Al-Falaq | Fajar | 5 | 604 | Madaniyah | 4 | 604 | 61 | 30 | 7 | وَمِنْ شَرِّ النَّفّٰثٰتِ فِى الْعُقَدِۙ | Wa min syarrin-naffāṡāti fil-‘uqad(i). | dari kejahatan perempuan-perempuan (penyihir) yang meniup pada buhul-buhul (talinya), | null | null | Dan aku berlindung pula dari kejahatan perempuan-perempuan penyihir yang meniup pada buhul-buhul dengan rapalan-rapalan yang dilafalkannya. Mereka bekerja sama dengan setan untuk menimpakan keburukan kepada orang yang di sihir melalui cara cara tertentu, di antaranya dengan meniup buhul-buhul. | Dalam ayat ini, Allah memerintahkan agar manusia berlindung kepada-Nya dari kejahatan tukang sihir yang meniupkan mantra-mantra dengan maksud memutuskan tali kasih sayang dan mengoyak-ngoyak ikatan persaudaraan, seperti ikatan nikah dan lain-lain.
Perbuatan sihir itu dapat mengubah kasih sayang antara dua teman yang akrab menjadi permusuhan. Penghasut membawa berita yang tampaknya benar dan sulit dibantah, sebagaimana dilakukan oleh tukang sihir dalam usahanya memisahkan suami istri. Jumhur ulama berdasarkan hadis sahih yang menerangkan bahwa Rasulullah saw disihir oleh Labīd al-A‘ṣam. Hal ini tidak mempengaruhi wahyu yang diturunkan Allah kepadanya, namun hanya jasmani dan perasaan yang tidak berhubungan dengan syariat.
Syekh Muhammad ‘Abduh berkata, “Berkenaan dengan keterangan tersebut di atas, telah diriwayatkan hadis tentang Nabi saw yang disihir oleh Labīd bin al-A‘ṣam, yang sangat mengesankan pada pribadi Nabi, sehingga seakan-akan beliau mengerjakan sesuatu padahal beliau tidak mengerjakannya, atau mengambil sesuatu padahal beliau tidak mengambilnya. Lalu Allah memberitahukan kepadanya tentang tukang sihir itu. Kemudian dikeluarkan sihir itu dalam hatinya, lalu Nabi saw menjadi sehat kembali, dan turunlah surah ini.
Nabi saw kena sihir sehingga menyentuh akal yang berhubungan langsung dengan jiwa beliau, karena itu orang-orang musyrik berkata, sebagaimana firman Allah:
اِنْ تَتَّبِعُوْنَ اِلَّا رَجُلًا مَّسْحُوْرًا
Kamu hanyalah mengikuti seorang laki-laki yang kena sihir. (al-Isrā'/17: 47)
Di sisi lain, yang wajib kita yakini bahwa Al-Qur’an adalah mutawatir dan menyangkal bahwa Nabi saw kena sihir, karena yang menyatakan demikian itu adalah orang-orang musyrik. Al-Qur’an mencela ucapan mereka itu.
Hadis tersebut seandainya termasuk di antara hadis-hadis sahih, tetapi tergolong hadis Ahad yang tidak cukup untuk dijadikan dasar dalam akidah. Sedangkan kemaksuman nabi-nabi adalah merupakan akidah yang telah dipegangi dengan yakin. Terhindarnya Nabi saw dari sihir bukanlah berarti mematikan sihir secara keseluruhan. Mungkin seseorang yang kena sihir menjadi gila akan tetapi mustahil terjadi pada Nabi saw karena Allah menjaga dan melindunginya.
Menurut ‘Aṭa’, Al-Ḥasan, dan Jābir, Surah al-Falaq ini adalah surah Makkiyyah yang diturunkan sebelum hijrah, sedangkan yang mereka tuduhkan bahwa Nabi saw kena sihir di Medinah. Oleh karena itu, sangat lemah untuk berpegang pada hadis tersebut dan untuk menyatakannya sebagai hadis sahih. Umat Islam harus berpegang pada nas Al-Qur’an, tidak perlu berpegang kepada hadis ahad tersebut. | Surah ini terdiri dari lima ayat, termasuk kelompok surah Makkiyyah, diturunkan sesudah Surah al-Fīl. Nama al-Falaq diambil dari kata al-falaq yang terdapat pada ayat pertama surah ini yang artinya waktu subuh.
Diriwayatkan oleh Abū Dāwūd, at-Tirmiżī, dan an-Nasā’ī dari Utbah bin Amir bahwa Rasulullah saw salat dengan membaca Surah al-Falaq dan Surah an-Nās dalam perjalanan.
Pokok-pokok Isinya:
Perintah agar kita berlindung kepada Allah dari segala macam kejahatan. | null | Surah al-Ikhlāṣ menegaskan kemurnian keesaan Allah sedang Surah al-Falaq memerintahkan agar hanya kepada-Nya orang memohon perlindungan dari segala macam kejahatan. | Pada akhir Surah al-Ikhlāṣ diterangkan bahwa tidak satu makhluk pun yang setara dengan Allah. Pada awal Surah al-Falaq, Rasulullah diperintah agar berlindung kepada Allah, Tuhan yang menguasai subuh dari kejahatan yang diciptakan. | ALLAH PELINDUNG MANUSIA DARI KEJAHATAN
BISIKAN SETAN DAN MANUSIA | Kosakata:
1. Al-Falaq الْفَلَق (al-Falaq/113: 1)
Kata al-falaq berasal dari kata kerja falaqa-yafluqu, yang artinya membelah. Kata al-falaq dapat berfungsi sebagai isim fā‘il yang artinya pembelah, dan dapat pula dalam posisi isim maf‘ūl yang maknanya yang dibelah.
Ada dua pendapat paling tidak tentang makna al-falaq ini. Pertama, kata ini diartikan sebagai pagi. Malam dengan kegelapannya diibaratkan sebagai sesuatu yang tertutup rapat. Kehadiran cahaya pagi dari celah-celah kegelapan malam menjadikannya bagaikan terbelah. Keadaan demikian menjadikan fajar atau pagi hari dinamakan falaq karena ia bagaikan sesuatu yang membelah kegelapan atau yang terbelah.
Makna kedua dari kata ini adalah segala sesuatu yang terbelah, dan ini tidak terbatas hanya pada pagi saja. Mereka yang memahami dengan makna ini mengungkap bahwa arti ini mencakup banyak hal, seperti tanah terbelah oleh tumbuhan dan mata air, biji-bijian terbelah pada saat waktunya tiba, dan lainnya.
2. Al-‘Uqad الْعُقَدِ (Surat al-Falaq/113: 4)
Kata al-‘uqad merupakan bentuk jamak dari kata ‘uqdah. Kata ini berasal dari kata kerja ‘aqada-ya‘qudu yang maknanya mengikat. Dengan demikian, ‘uqdah dapat diartikan sebagai ikatan dan ‘uqad yang merupakan bentuk jamaknya dimaknai ikatan-ikatan. Secara bahasa dan makna yang sebenarnya dari kata ini adalah ikatan itu, sehingga mereka yang cenderung padanya akan memberikan arti pada kata ini dengan tali-tali ikatan atau simpul-simpul tali. Namun demikian, ada pula yang memberikan arti majazi atau kiasan untuk kata ini, yaitu bahwa maknanya adalah kesungguhan dan tekad untuk mempertahankan kesepakatan. Mayoritas mufasir menggunakan makna sebenarnya dari kata ini ketika mereka menjelaskan pengertian ayat tersebut. Dengan makna seperti ini, maka ayat tersebut mengisyaratkan permohonan perlindungan dari kegiatan tukang sihir yang meniup pada simpul tali ikatan untuk menyantet atau perilaku buruk dari tukang tenung. | null | null |
6,230 | 113 | الفلق | Al-Falaq | Al-Falaq | Fajar | 5 | 604 | Madaniyah | 5 | 604 | 61 | 30 | 7 | وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ اِذَا حَسَدَ ࣖ | Wa min syarri ḥāsidin iżā ḥasad(a). | dan dari kejahatan orang yang dengki apabila dia dengki.” | null | null | Dan aku berlindung pula dari kejahatan orang yang dengki apabila dia dengki, yang selalu menginginkan hilangnya kenikmatan dari orang lain.” | Dalam ayat ini, Allah memerintahkan kaum Muslimin untuk berlindung kepada-Nya dari kejahatan orang-orang yang dengki bila ia melaksanakan kedengkiannya dengan usaha yang sungguh-sungguh dan berbagai cara untuk menghilangkan nikmat orang yang dijadikan objek kedengkiannya dan dengan mengadakan jebakan untuk menjerumuskan orang yang didengkinya jatuh ke dalam kemudaratan. Tipu muslihat yang dijalankannya itu sangat licik sehingga sulit diketahui. Tidak ada jalan untuk menghindarinya kecuali dengan memohon bantuan kepada Allah Maha Pencipta karena Dia-lah yang dapat menolak tipu dayanya, menghindari kejahatannya, atau menggagalkan usahanya. Hasad haram hukumnya, dan merupakan dosa yang pertama kali ketika iblis dengki kepada Nabi Adam, dan Qabil dengki kepada Habil. | Surah ini terdiri dari lima ayat, termasuk kelompok surah Makkiyyah, diturunkan sesudah Surah al-Fīl. Nama al-Falaq diambil dari kata al-falaq yang terdapat pada ayat pertama surah ini yang artinya waktu subuh.
Diriwayatkan oleh Abū Dāwūd, at-Tirmiżī, dan an-Nasā’ī dari Utbah bin Amir bahwa Rasulullah saw salat dengan membaca Surah al-Falaq dan Surah an-Nās dalam perjalanan.
Pokok-pokok Isinya:
Perintah agar kita berlindung kepada Allah dari segala macam kejahatan. | Surah al-Falaq memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk memohon perlindungan kepada Allah dari segala kejahatan. | Surah al-Ikhlāṣ menegaskan kemurnian keesaan Allah sedang Surah al-Falaq memerintahkan agar hanya kepada-Nya orang memohon perlindungan dari segala macam kejahatan. | Pada akhir Surah al-Ikhlāṣ diterangkan bahwa tidak satu makhluk pun yang setara dengan Allah. Pada awal Surah al-Falaq, Rasulullah diperintah agar berlindung kepada Allah, Tuhan yang menguasai subuh dari kejahatan yang diciptakan. | ALLAH PELINDUNG MANUSIA DARI KEJAHATAN
BISIKAN SETAN DAN MANUSIA | Kosakata:
1. Al-Falaq الْفَلَق (al-Falaq/113: 1)
Kata al-falaq berasal dari kata kerja falaqa-yafluqu, yang artinya membelah. Kata al-falaq dapat berfungsi sebagai isim fā‘il yang artinya pembelah, dan dapat pula dalam posisi isim maf‘ūl yang maknanya yang dibelah.
Ada dua pendapat paling tidak tentang makna al-falaq ini. Pertama, kata ini diartikan sebagai pagi. Malam dengan kegelapannya diibaratkan sebagai sesuatu yang tertutup rapat. Kehadiran cahaya pagi dari celah-celah kegelapan malam menjadikannya bagaikan terbelah. Keadaan demikian menjadikan fajar atau pagi hari dinamakan falaq karena ia bagaikan sesuatu yang membelah kegelapan atau yang terbelah.
Makna kedua dari kata ini adalah segala sesuatu yang terbelah, dan ini tidak terbatas hanya pada pagi saja. Mereka yang memahami dengan makna ini mengungkap bahwa arti ini mencakup banyak hal, seperti tanah terbelah oleh tumbuhan dan mata air, biji-bijian terbelah pada saat waktunya tiba, dan lainnya.
2. Al-‘Uqad الْعُقَدِ (Surat al-Falaq/113: 4)
Kata al-‘uqad merupakan bentuk jamak dari kata ‘uqdah. Kata ini berasal dari kata kerja ‘aqada-ya‘qudu yang maknanya mengikat. Dengan demikian, ‘uqdah dapat diartikan sebagai ikatan dan ‘uqad yang merupakan bentuk jamaknya dimaknai ikatan-ikatan. Secara bahasa dan makna yang sebenarnya dari kata ini adalah ikatan itu, sehingga mereka yang cenderung padanya akan memberikan arti pada kata ini dengan tali-tali ikatan atau simpul-simpul tali. Namun demikian, ada pula yang memberikan arti majazi atau kiasan untuk kata ini, yaitu bahwa maknanya adalah kesungguhan dan tekad untuk mempertahankan kesepakatan. Mayoritas mufasir menggunakan makna sebenarnya dari kata ini ketika mereka menjelaskan pengertian ayat tersebut. Dengan makna seperti ini, maka ayat tersebut mengisyaratkan permohonan perlindungan dari kegiatan tukang sihir yang meniup pada simpul tali ikatan untuk menyantet atau perilaku buruk dari tukang tenung. | null | Nabi dan umatnya diperintahkan untuk selalu berlindung kepada Allah yang menguasai subuh dari kejahatan-kejahatan yang datang dari makhluk-makhluk itu, dari malam di waktu gelap gulita, dari tukang-tukang sihir, dan dari orang-orang yang dengki. |
6,231 | 114 | النّاس | An-Nās | An-Nas | Manusia | 6 | 604 | Madaniyah | 1 | 604 | 61 | 30 | 7 | قُلْ اَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِۙ | Qul a‘ūżu birabbin-nās(i). | Katakanlah (Nabi Muhammad), “Aku berlindung kepada Tuhan manusia, | null | null | Wahai Nabi Muhammad, katakanlah kepada umatmu, “Aku berlindung kepada Tuhan yang menciptakan, memelihara, dan mengurus manusia. | Dalam ayat ini, Allah memerintahkan Nabi Muhammad termasuk pula di dalamnya seluruh umatnya agar memohon perlindungan kepada Tuhan yang menciptakan, menjaga, menumbuhkan, mengembangkan, dan menjaga kelangsungan hidup manusia dengan nikmat dan kasih sayang-Nya serta memberi peringatan kepada mereka dengan ancaman-ancaman-Nya. | Surah ini terdiri dari 6 ayat, termasuk golongan surah Makkiyyah, diturunkan sesudah Surah al-Falaq. Nama an-Nās diambil dari kata an-nās yang berulang kali disebut dalam surah ini yang artinya manusia.
Pokok-pokok Isinya:
Perintah kepada manusia agar berlindung kepada Allah dari segala macam kejahatan yang datang ke dalam jiwa manusia dari jin dan manusia | null | 1. Kedua-duanya sama-sama mengajarkan kepada manusia bahwa hanya kepada Allah-lah menyerahkan perlindungan diri dari segala kejahatan.
2. Surah al-Falaq memerintahkan untuk memohon perlindungan dari segala bentuk kejahatan, sedang Surah an-Nās memerintahkan untuk memohon perlindungan dari jin dan manusia. | Pada akhir Surah al-Falaq, Allah memerintahkan kaum Muslimin untuk berlindung kepada-Nya dari kejahatan hasud. Pada awal Surah an-Nās, Allah memerintahkan kepada Nabi saw agar berlindung kepada-Nya, Tuhan manusia, dari kejahatan jin dan manusia. | ALLAH PELINDUNG MANUSIA DARI KEJAHATAN
BISIKAN SETAN DAN MANUSIA | Kosakata:
1. An-Nās اَلنَّاسِ (an-Nās/114: 1)
Kata an-nās artinya kelompok manusia. Kata ini terambil dari kata an-naus yang berarti gerak. Dengan demikian, yang disebut manusia itu adalah makhluk yang selalu bergerak untuk mencapai keinginan atau cita-citanya. Sebaliknya bila tidak ada gerak atau usaha, maka ia tidak layak disebut sebagai manusia. Selain itu ada pula yang mengatakan bahwa kata ini terambil dari kata unās, yang artinya tampak. Ini berarti sesuatu disebut nās, karena ia tampak dan dapat dilihat, ia bukan merupakan makhluk halus yang tidak dapat diindra (dilihat) atau tidak tampak.
Dalam Al-Qur’an, kata an-nās terulang sebanyak 241 kali. Sedang dalam surat ini disebut sebanyak lima kali, dan tiga di antaranya diungkapkan dalam tiga ayat secara berurutan. Penyebutannya yang demikian memiliki arti bahwa pengungkapan sifat-sifat Allah yang dikaitkan dengan an-nās menunjukkan keserasian makna. Surah ini berisi permohonan perlindungan dari segala bencana yang menimpa manusia, karena itu sangat wajar bila yang diingat pertama adalah tujuan atau kepada siapa permohonan itu ditujukan, yaitu kepada Allah sebagai Zat yang memelihara manusia, karena hanya Dia yang Sang Pencipta yang dapat melindungi dan membimbing manusia. Kemudian pengertian ini akan membawa pada pengertian bahwa Zat yang mampu memelihara dan melindungi itu pasti memiliki kekuasaan yang tidak ada taranya, baik terhadap manusia maupun pada makhluk lainnya. Dari pengertian ini disebutlah Malikin-nās, seperti yang tercantum pada ayat selanjutnya. Selanjutnya, karena Allah adalah Maha Raja yang menguasai manusia, maka sangat wajar jika Dia dijadikan sebagai tujuan ibadah atau satu-satunya Zat yang disembah dan dipatuhi manusia. Dari pengertian ini, disebutlah ayat ketiga, yaitu Ilāhin-nās.
2. Al-Khannās الخَنَّاس (an-Nās/114: 4)
Kata al-khannās berasal dari kata kerja khanasa, yang artinya kembali, mundur, lembek, atau bersembunyi. Dengan demikian, al-khannās dapat diartikan sebagai kembali, kemunduran, kelembekan, atau persembunyian. Namun demikian, makna yang dituju dari kata ini sering kali hanya untuk menyebut arti banyak sekali atau sering kali. Dengan makna demikian, maka kata ini dalam tafsir diungkapkan dengan makna bahwa setan sering kali dan berulang-ulang akan kembali menggoda manusia pada saat ia lengah dan melalaikan Allah. Makna lain dari pengungkapannya juga dapat ditujukan untuk menyatakan bahwa setan sering kali dan berulang-ulang akan menjadi lembek dan mundur saat manusia berzikir atau mengingat Allah. Pendapat ini didukung oleh sebuah hadis yang mengungkapkan informasi Rasulullah yang diriwayatkan oleh al-Bukhārī dari Ibnu ‘Abbās, yaitu bahwa sesungguhnya setan itu bercokol atau bersemayam di hati keturunan Adam. Bila ia berzikir, setan itu akan mundur menjauh, dan bila ia lengah, maka setan akan berbisik (untuk menjerumuskannya). | null | null |
6,232 | 114 | النّاس | An-Nās | An-Nas | Manusia | 6 | 604 | Madaniyah | 2 | 604 | 61 | 30 | 7 | مَلِكِ النَّاسِۙ | Malikin-nās(i). | raja manusia, | null | null | Raja manusia, yang mengatur semua urusan mereka, dan Dia Mahakaya sehingga tidak membutuhkan mereka. | Allah menjelaskan bahwa Tuhan yang mendidik manusia itu adalah yang memiliki dan yang mengatur semua syariat, yang membuat undang-undang, peraturan-peraturan, dan hukum-hukum agama. Barang siapa yang mematuhinya akan berbahagia hidup di dunia dan di akhirat. | Surah ini terdiri dari 6 ayat, termasuk golongan surah Makkiyyah, diturunkan sesudah Surah al-Falaq. Nama an-Nās diambil dari kata an-nās yang berulang kali disebut dalam surah ini yang artinya manusia.
Pokok-pokok Isinya:
Perintah kepada manusia agar berlindung kepada Allah dari segala macam kejahatan yang datang ke dalam jiwa manusia dari jin dan manusia | null | 1. Kedua-duanya sama-sama mengajarkan kepada manusia bahwa hanya kepada Allah-lah menyerahkan perlindungan diri dari segala kejahatan.
2. Surah al-Falaq memerintahkan untuk memohon perlindungan dari segala bentuk kejahatan, sedang Surah an-Nās memerintahkan untuk memohon perlindungan dari jin dan manusia. | Pada akhir Surah al-Falaq, Allah memerintahkan kaum Muslimin untuk berlindung kepada-Nya dari kejahatan hasud. Pada awal Surah an-Nās, Allah memerintahkan kepada Nabi saw agar berlindung kepada-Nya, Tuhan manusia, dari kejahatan jin dan manusia. | ALLAH PELINDUNG MANUSIA DARI KEJAHATAN
BISIKAN SETAN DAN MANUSIA | Kosakata:
1. An-Nās اَلنَّاسِ (an-Nās/114: 1)
Kata an-nās artinya kelompok manusia. Kata ini terambil dari kata an-naus yang berarti gerak. Dengan demikian, yang disebut manusia itu adalah makhluk yang selalu bergerak untuk mencapai keinginan atau cita-citanya. Sebaliknya bila tidak ada gerak atau usaha, maka ia tidak layak disebut sebagai manusia. Selain itu ada pula yang mengatakan bahwa kata ini terambil dari kata unās, yang artinya tampak. Ini berarti sesuatu disebut nās, karena ia tampak dan dapat dilihat, ia bukan merupakan makhluk halus yang tidak dapat diindra (dilihat) atau tidak tampak.
Dalam Al-Qur’an, kata an-nās terulang sebanyak 241 kali. Sedang dalam surat ini disebut sebanyak lima kali, dan tiga di antaranya diungkapkan dalam tiga ayat secara berurutan. Penyebutannya yang demikian memiliki arti bahwa pengungkapan sifat-sifat Allah yang dikaitkan dengan an-nās menunjukkan keserasian makna. Surah ini berisi permohonan perlindungan dari segala bencana yang menimpa manusia, karena itu sangat wajar bila yang diingat pertama adalah tujuan atau kepada siapa permohonan itu ditujukan, yaitu kepada Allah sebagai Zat yang memelihara manusia, karena hanya Dia yang Sang Pencipta yang dapat melindungi dan membimbing manusia. Kemudian pengertian ini akan membawa pada pengertian bahwa Zat yang mampu memelihara dan melindungi itu pasti memiliki kekuasaan yang tidak ada taranya, baik terhadap manusia maupun pada makhluk lainnya. Dari pengertian ini disebutlah Malikin-nās, seperti yang tercantum pada ayat selanjutnya. Selanjutnya, karena Allah adalah Maha Raja yang menguasai manusia, maka sangat wajar jika Dia dijadikan sebagai tujuan ibadah atau satu-satunya Zat yang disembah dan dipatuhi manusia. Dari pengertian ini, disebutlah ayat ketiga, yaitu Ilāhin-nās.
2. Al-Khannās الخَنَّاس (an-Nās/114: 4)
Kata al-khannās berasal dari kata kerja khanasa, yang artinya kembali, mundur, lembek, atau bersembunyi. Dengan demikian, al-khannās dapat diartikan sebagai kembali, kemunduran, kelembekan, atau persembunyian. Namun demikian, makna yang dituju dari kata ini sering kali hanya untuk menyebut arti banyak sekali atau sering kali. Dengan makna demikian, maka kata ini dalam tafsir diungkapkan dengan makna bahwa setan sering kali dan berulang-ulang akan kembali menggoda manusia pada saat ia lengah dan melalaikan Allah. Makna lain dari pengungkapannya juga dapat ditujukan untuk menyatakan bahwa setan sering kali dan berulang-ulang akan menjadi lembek dan mundur saat manusia berzikir atau mengingat Allah. Pendapat ini didukung oleh sebuah hadis yang mengungkapkan informasi Rasulullah yang diriwayatkan oleh al-Bukhārī dari Ibnu ‘Abbās, yaitu bahwa sesungguhnya setan itu bercokol atau bersemayam di hati keturunan Adam. Bila ia berzikir, setan itu akan mundur menjauh, dan bila ia lengah, maka setan akan berbisik (untuk menjerumuskannya). | null | null |
6,233 | 114 | النّاس | An-Nās | An-Nas | Manusia | 6 | 604 | Madaniyah | 3 | 604 | 61 | 30 | 7 | اِلٰهِ النَّاسِۙ | Ilāhin-nās(i). | sembahan manusia | null | null | Sembahan manusia, Tuhan yang tidak ada sekutu bagi-Nya. Itulah Tuhan yang patut disembah dan dimintai perlindungan. | Allah menambah keterangan tentang Tuhan pendidik manusia ialah yang menguasai jiwa mereka dengan kebesaran-Nya. Mereka tidak mengetahui kekuasaan Allah itu secara keseluruhan, tetapi mereka tunduk kepada-Nya dengan sepenuh hati dan mereka tidak mengetahui bagaimana datangnya dorongan hati kepada mereka itu, sehingga dapat mempengaruhi seluruh jiwa raga mereka.
Ayat-ayat ini mendahulukan kata Rabb (pendidik) dari kata Malik dan Ilāh karena pendidikan adalah nikmat Allah yang paling utama dan terbesar bagi manusia. Kemudian yang kedua diikuti dengan kata Malik (Raja) karena manusia harus tunduk kepada kerajaan Allah sesudah mereka dewasa dan berakal. Kemudian diikuti dengan kata Ilāh (sembahan), karena manusia sesudah berakal menyadari bahwa hanya kepada Allah mereka harus tunduk dan hanya Dia saja yang berhak untuk disembah.
Allah menyatakan dalam ayat-ayat ini bahwa Dia Raja manusia. Pemilik manusia dan Tuhan manusia, bahkan Dia adalah Tuhan segala sesuatu. Tetapi di lain pihak, manusialah yang membuat kesalahan dan kekeliruan dalam menyifati Allah sehingga mereka tersesat dari jalan lurus. Mereka menjadikan tuhan-tuhan lain yang mereka sembah dengan anggapan bahwa tuhan-tuhan itulah yang memberi nikmat dan bahagia serta menolak bahaya dari mereka, yang mengatur hidup mereka, menggariskan batas-batas yang boleh atau tidak boleh mereka lakukan. Mereka memberi nama tuhan-tuhan itu dengan pembantu-pembantunya dan menyangka bahwa tuhan-tuhan itulah yang mengatur segala gerak-gerik mereka. Dalam ayat lain, Allah berfirman:
اِتَّخَذُوْٓا اَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ اَرْبَابًا مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ وَالْمَسِيْحَ ابْنَ مَرْيَمَۚ وَمَآ اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوْٓا اِلٰهًا وَّاحِدًاۚ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۗ سُبْحٰنَهٗ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ
Mereka menjadikan orang-orang alim (Yahudi), dan rahib-rahibnya (Nasrani) sebagai tuhan selain Allah, dan (juga) Al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada tuhan selain Dia. Mahasuci Dia dari apa yang mereka persekutukan. (at-Taubah/9: 31)
وَلَا يَأْمُرَكُمْ اَنْ تَتَّخِذُوا الْمَلٰۤىِٕكَةَ وَالنَّبِيّٖنَ اَرْبَابًا ۗ اَيَأْمُرُكُمْ بِالْكُفْرِ بَعْدَ اِذْ اَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ ࣖ
Dan tidak (mungkin pula baginya) menyuruh kamu menjadikan para malaikat dan para nabi sebagai Tuhan. Apakah (patut) dia menyuruh kamu menjadi kafir setelah kamu menjadi Muslim? (Āli ‘Imrān/3: 80)
Maksudnya, dengan ini Allah memperingatkan manusia bahwa Dia-lah yang mendidik mereka sedang mereka adalah manusia-manusia yang suka berpikir dan Dia Raja mereka dan Dia pula Tuhan mereka menurut pikiran mereka. Maka tidak benarlah apa yang mereka ada-adakan untuk mendewa-dewakan diri mereka padahal mereka manusia biasa. | Surah ini terdiri dari 6 ayat, termasuk golongan surah Makkiyyah, diturunkan sesudah Surah al-Falaq. Nama an-Nās diambil dari kata an-nās yang berulang kali disebut dalam surah ini yang artinya manusia.
Pokok-pokok Isinya:
Perintah kepada manusia agar berlindung kepada Allah dari segala macam kejahatan yang datang ke dalam jiwa manusia dari jin dan manusia | null | 1. Kedua-duanya sama-sama mengajarkan kepada manusia bahwa hanya kepada Allah-lah menyerahkan perlindungan diri dari segala kejahatan.
2. Surah al-Falaq memerintahkan untuk memohon perlindungan dari segala bentuk kejahatan, sedang Surah an-Nās memerintahkan untuk memohon perlindungan dari jin dan manusia. | Pada akhir Surah al-Falaq, Allah memerintahkan kaum Muslimin untuk berlindung kepada-Nya dari kejahatan hasud. Pada awal Surah an-Nās, Allah memerintahkan kepada Nabi saw agar berlindung kepada-Nya, Tuhan manusia, dari kejahatan jin dan manusia. | ALLAH PELINDUNG MANUSIA DARI KEJAHATAN
BISIKAN SETAN DAN MANUSIA | Kosakata:
1. An-Nās اَلنَّاسِ (an-Nās/114: 1)
Kata an-nās artinya kelompok manusia. Kata ini terambil dari kata an-naus yang berarti gerak. Dengan demikian, yang disebut manusia itu adalah makhluk yang selalu bergerak untuk mencapai keinginan atau cita-citanya. Sebaliknya bila tidak ada gerak atau usaha, maka ia tidak layak disebut sebagai manusia. Selain itu ada pula yang mengatakan bahwa kata ini terambil dari kata unās, yang artinya tampak. Ini berarti sesuatu disebut nās, karena ia tampak dan dapat dilihat, ia bukan merupakan makhluk halus yang tidak dapat diindra (dilihat) atau tidak tampak.
Dalam Al-Qur’an, kata an-nās terulang sebanyak 241 kali. Sedang dalam surat ini disebut sebanyak lima kali, dan tiga di antaranya diungkapkan dalam tiga ayat secara berurutan. Penyebutannya yang demikian memiliki arti bahwa pengungkapan sifat-sifat Allah yang dikaitkan dengan an-nās menunjukkan keserasian makna. Surah ini berisi permohonan perlindungan dari segala bencana yang menimpa manusia, karena itu sangat wajar bila yang diingat pertama adalah tujuan atau kepada siapa permohonan itu ditujukan, yaitu kepada Allah sebagai Zat yang memelihara manusia, karena hanya Dia yang Sang Pencipta yang dapat melindungi dan membimbing manusia. Kemudian pengertian ini akan membawa pada pengertian bahwa Zat yang mampu memelihara dan melindungi itu pasti memiliki kekuasaan yang tidak ada taranya, baik terhadap manusia maupun pada makhluk lainnya. Dari pengertian ini disebutlah Malikin-nās, seperti yang tercantum pada ayat selanjutnya. Selanjutnya, karena Allah adalah Maha Raja yang menguasai manusia, maka sangat wajar jika Dia dijadikan sebagai tujuan ibadah atau satu-satunya Zat yang disembah dan dipatuhi manusia. Dari pengertian ini, disebutlah ayat ketiga, yaitu Ilāhin-nās.
2. Al-Khannās الخَنَّاس (an-Nās/114: 4)
Kata al-khannās berasal dari kata kerja khanasa, yang artinya kembali, mundur, lembek, atau bersembunyi. Dengan demikian, al-khannās dapat diartikan sebagai kembali, kemunduran, kelembekan, atau persembunyian. Namun demikian, makna yang dituju dari kata ini sering kali hanya untuk menyebut arti banyak sekali atau sering kali. Dengan makna demikian, maka kata ini dalam tafsir diungkapkan dengan makna bahwa setan sering kali dan berulang-ulang akan kembali menggoda manusia pada saat ia lengah dan melalaikan Allah. Makna lain dari pengungkapannya juga dapat ditujukan untuk menyatakan bahwa setan sering kali dan berulang-ulang akan menjadi lembek dan mundur saat manusia berzikir atau mengingat Allah. Pendapat ini didukung oleh sebuah hadis yang mengungkapkan informasi Rasulullah yang diriwayatkan oleh al-Bukhārī dari Ibnu ‘Abbās, yaitu bahwa sesungguhnya setan itu bercokol atau bersemayam di hati keturunan Adam. Bila ia berzikir, setan itu akan mundur menjauh, dan bila ia lengah, maka setan akan berbisik (untuk menjerumuskannya). | null | null |
6,234 | 114 | النّاس | An-Nās | An-Nas | Manusia | 6 | 604 | Madaniyah | 4 | 604 | 61 | 30 | 7 | مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ ەۙ الْخَنَّاسِۖ | Min syarril-waswāsil-khannās(i). | dari kejahatan (setan) pembisik yang bersembunyi | null | null | Aku berlindung kepada-Nya dari kejahatan bisikan setan yang bersembunyi pada diri manusia dan selalu bersamanya layaknya darah yang mengalir di dalam tubuhnya, | Dalam ayat ini, Allah memerintahkan manusia agar berlindung kepada Allah Rabbul-‘Ālamīn dari kejahatan bisikan setan yang senantiasa bersembunyi di dalam hati manusia. Bisikan dan was-was yang berasal dari godaan setan itu bila dihadapkan kepada akal yang sehat mesti kalah dan orang yang tergoda menjadi sadar kembali, karena semua bisikan dan was-was setan yang akan menyakiti manusia itu akan menjadi hampa bila jiwa sadar kembali kepada perintah-perintah agama. Begitu pula bila seorang menggoda temannya yang lain untuk melakukan suatu kejahatan, tetapi temannya itu berpegang kuat dengan perintah-perintah agama niscaya akan berhenti menggoda dan merasa kecewa karena godaannya itu tidak berhasil namun ia tetap menunggu kesempatan yang lain. | Surah ini terdiri dari 6 ayat, termasuk golongan surah Makkiyyah, diturunkan sesudah Surah al-Falaq. Nama an-Nās diambil dari kata an-nās yang berulang kali disebut dalam surah ini yang artinya manusia.
Pokok-pokok Isinya:
Perintah kepada manusia agar berlindung kepada Allah dari segala macam kejahatan yang datang ke dalam jiwa manusia dari jin dan manusia | null | 1. Kedua-duanya sama-sama mengajarkan kepada manusia bahwa hanya kepada Allah-lah menyerahkan perlindungan diri dari segala kejahatan.
2. Surah al-Falaq memerintahkan untuk memohon perlindungan dari segala bentuk kejahatan, sedang Surah an-Nās memerintahkan untuk memohon perlindungan dari jin dan manusia. | Pada akhir Surah al-Falaq, Allah memerintahkan kaum Muslimin untuk berlindung kepada-Nya dari kejahatan hasud. Pada awal Surah an-Nās, Allah memerintahkan kepada Nabi saw agar berlindung kepada-Nya, Tuhan manusia, dari kejahatan jin dan manusia. | ALLAH PELINDUNG MANUSIA DARI KEJAHATAN
BISIKAN SETAN DAN MANUSIA | Kosakata:
1. An-Nās اَلنَّاسِ (an-Nās/114: 1)
Kata an-nās artinya kelompok manusia. Kata ini terambil dari kata an-naus yang berarti gerak. Dengan demikian, yang disebut manusia itu adalah makhluk yang selalu bergerak untuk mencapai keinginan atau cita-citanya. Sebaliknya bila tidak ada gerak atau usaha, maka ia tidak layak disebut sebagai manusia. Selain itu ada pula yang mengatakan bahwa kata ini terambil dari kata unās, yang artinya tampak. Ini berarti sesuatu disebut nās, karena ia tampak dan dapat dilihat, ia bukan merupakan makhluk halus yang tidak dapat diindra (dilihat) atau tidak tampak.
Dalam Al-Qur’an, kata an-nās terulang sebanyak 241 kali. Sedang dalam surat ini disebut sebanyak lima kali, dan tiga di antaranya diungkapkan dalam tiga ayat secara berurutan. Penyebutannya yang demikian memiliki arti bahwa pengungkapan sifat-sifat Allah yang dikaitkan dengan an-nās menunjukkan keserasian makna. Surah ini berisi permohonan perlindungan dari segala bencana yang menimpa manusia, karena itu sangat wajar bila yang diingat pertama adalah tujuan atau kepada siapa permohonan itu ditujukan, yaitu kepada Allah sebagai Zat yang memelihara manusia, karena hanya Dia yang Sang Pencipta yang dapat melindungi dan membimbing manusia. Kemudian pengertian ini akan membawa pada pengertian bahwa Zat yang mampu memelihara dan melindungi itu pasti memiliki kekuasaan yang tidak ada taranya, baik terhadap manusia maupun pada makhluk lainnya. Dari pengertian ini disebutlah Malikin-nās, seperti yang tercantum pada ayat selanjutnya. Selanjutnya, karena Allah adalah Maha Raja yang menguasai manusia, maka sangat wajar jika Dia dijadikan sebagai tujuan ibadah atau satu-satunya Zat yang disembah dan dipatuhi manusia. Dari pengertian ini, disebutlah ayat ketiga, yaitu Ilāhin-nās.
2. Al-Khannās الخَنَّاس (an-Nās/114: 4)
Kata al-khannās berasal dari kata kerja khanasa, yang artinya kembali, mundur, lembek, atau bersembunyi. Dengan demikian, al-khannās dapat diartikan sebagai kembali, kemunduran, kelembekan, atau persembunyian. Namun demikian, makna yang dituju dari kata ini sering kali hanya untuk menyebut arti banyak sekali atau sering kali. Dengan makna demikian, maka kata ini dalam tafsir diungkapkan dengan makna bahwa setan sering kali dan berulang-ulang akan kembali menggoda manusia pada saat ia lengah dan melalaikan Allah. Makna lain dari pengungkapannya juga dapat ditujukan untuk menyatakan bahwa setan sering kali dan berulang-ulang akan menjadi lembek dan mundur saat manusia berzikir atau mengingat Allah. Pendapat ini didukung oleh sebuah hadis yang mengungkapkan informasi Rasulullah yang diriwayatkan oleh al-Bukhārī dari Ibnu ‘Abbās, yaitu bahwa sesungguhnya setan itu bercokol atau bersemayam di hati keturunan Adam. Bila ia berzikir, setan itu akan mundur menjauh, dan bila ia lengah, maka setan akan berbisik (untuk menjerumuskannya). | null | null |
6,235 | 114 | النّاس | An-Nās | An-Nas | Manusia | 6 | 604 | Madaniyah | 5 | 604 | 61 | 30 | 7 | الَّذِيْ يُوَسْوِسُ فِيْ صُدُوْرِ النَّاسِۙ | Allażī yuwaswisu fī ṣudūrin-nās(i). | yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, | null | null | yang membisikkan kejahatan dan kesesatan ke dalam dada manusia dengan cara yang halus, lihai, licik, dan menjanjikan secara terus-menerus. | Allah menerangkan dalam ayat ini tentang godaan tersebut, yaitu bisikan setan yang tersembunyi yang ditiupkan ke dalam dada manusia, yang mungkin datangnya dari jin atau manusia, sebagaimana dalam ayat lain Allah berfirman:
وَكَذٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيٰطِيْنَ الْاِنْسِ وَالْجِنِّ
Dan demikianlah untuk setiap nabi Kami menjadikan musuh yang terdiri dari setan-setan manusia dan jin. (al-An‘ām/6: 112)
Setan-setan jin itu seringkali membisikkan suatu keraguan dengan cara yang sangat halus kepada manusia. Seringkali dia menampakkan dirinya sebagai penasihat yang ikhlas, tetapi bila engkau menghardiknya ia mundur dan bila diperhatikan bicaranya ia terus melanjutkan godaannya secara berlebih-lebihan.
Surah ini dimulai dengan kata pendidik, karena itu Tuhan sebagai pendidik manusia, berkuasa untuk menolak semua godaan setan dan bisikannya dari manusia. Allah memberi petunjuk dalam surah ini agar manusia memohon pertolongan hanya kepada Allah sebagaimana Dia telah memberi petunjuk yang serupa dalam surah al-Fātiḥah, bahwa dasar yang terpenting dalam agama adalah menghadapkan diri dengan penuh keikhlasan kepada Allah baik dalam ucapan, maupun perbuatan lainnya dan memohon perlindungan kepada-Nya dari segala godaan setan yang ia sendiri tidak mampu menolaknya. | Surah ini terdiri dari 6 ayat, termasuk golongan surah Makkiyyah, diturunkan sesudah Surah al-Falaq. Nama an-Nās diambil dari kata an-nās yang berulang kali disebut dalam surah ini yang artinya manusia.
Pokok-pokok Isinya:
Perintah kepada manusia agar berlindung kepada Allah dari segala macam kejahatan yang datang ke dalam jiwa manusia dari jin dan manusia | null | 1. Kedua-duanya sama-sama mengajarkan kepada manusia bahwa hanya kepada Allah-lah menyerahkan perlindungan diri dari segala kejahatan.
2. Surah al-Falaq memerintahkan untuk memohon perlindungan dari segala bentuk kejahatan, sedang Surah an-Nās memerintahkan untuk memohon perlindungan dari jin dan manusia. | Pada akhir Surah al-Falaq, Allah memerintahkan kaum Muslimin untuk berlindung kepada-Nya dari kejahatan hasud. Pada awal Surah an-Nās, Allah memerintahkan kepada Nabi saw agar berlindung kepada-Nya, Tuhan manusia, dari kejahatan jin dan manusia. | ALLAH PELINDUNG MANUSIA DARI KEJAHATAN
BISIKAN SETAN DAN MANUSIA | Kosakata:
1. An-Nās اَلنَّاسِ (an-Nās/114: 1)
Kata an-nās artinya kelompok manusia. Kata ini terambil dari kata an-naus yang berarti gerak. Dengan demikian, yang disebut manusia itu adalah makhluk yang selalu bergerak untuk mencapai keinginan atau cita-citanya. Sebaliknya bila tidak ada gerak atau usaha, maka ia tidak layak disebut sebagai manusia. Selain itu ada pula yang mengatakan bahwa kata ini terambil dari kata unās, yang artinya tampak. Ini berarti sesuatu disebut nās, karena ia tampak dan dapat dilihat, ia bukan merupakan makhluk halus yang tidak dapat diindra (dilihat) atau tidak tampak.
Dalam Al-Qur’an, kata an-nās terulang sebanyak 241 kali. Sedang dalam surat ini disebut sebanyak lima kali, dan tiga di antaranya diungkapkan dalam tiga ayat secara berurutan. Penyebutannya yang demikian memiliki arti bahwa pengungkapan sifat-sifat Allah yang dikaitkan dengan an-nās menunjukkan keserasian makna. Surah ini berisi permohonan perlindungan dari segala bencana yang menimpa manusia, karena itu sangat wajar bila yang diingat pertama adalah tujuan atau kepada siapa permohonan itu ditujukan, yaitu kepada Allah sebagai Zat yang memelihara manusia, karena hanya Dia yang Sang Pencipta yang dapat melindungi dan membimbing manusia. Kemudian pengertian ini akan membawa pada pengertian bahwa Zat yang mampu memelihara dan melindungi itu pasti memiliki kekuasaan yang tidak ada taranya, baik terhadap manusia maupun pada makhluk lainnya. Dari pengertian ini disebutlah Malikin-nās, seperti yang tercantum pada ayat selanjutnya. Selanjutnya, karena Allah adalah Maha Raja yang menguasai manusia, maka sangat wajar jika Dia dijadikan sebagai tujuan ibadah atau satu-satunya Zat yang disembah dan dipatuhi manusia. Dari pengertian ini, disebutlah ayat ketiga, yaitu Ilāhin-nās.
2. Al-Khannās الخَنَّاس (an-Nās/114: 4)
Kata al-khannās berasal dari kata kerja khanasa, yang artinya kembali, mundur, lembek, atau bersembunyi. Dengan demikian, al-khannās dapat diartikan sebagai kembali, kemunduran, kelembekan, atau persembunyian. Namun demikian, makna yang dituju dari kata ini sering kali hanya untuk menyebut arti banyak sekali atau sering kali. Dengan makna demikian, maka kata ini dalam tafsir diungkapkan dengan makna bahwa setan sering kali dan berulang-ulang akan kembali menggoda manusia pada saat ia lengah dan melalaikan Allah. Makna lain dari pengungkapannya juga dapat ditujukan untuk menyatakan bahwa setan sering kali dan berulang-ulang akan menjadi lembek dan mundur saat manusia berzikir atau mengingat Allah. Pendapat ini didukung oleh sebuah hadis yang mengungkapkan informasi Rasulullah yang diriwayatkan oleh al-Bukhārī dari Ibnu ‘Abbās, yaitu bahwa sesungguhnya setan itu bercokol atau bersemayam di hati keturunan Adam. Bila ia berzikir, setan itu akan mundur menjauh, dan bila ia lengah, maka setan akan berbisik (untuk menjerumuskannya). | null | null |
6,236 | 114 | النّاس | An-Nās | An-Nas | Manusia | 6 | 604 | Madaniyah | 6 | 604 | 61 | 30 | 7 | مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ ࣖ | Minal jinnati wan-nās(i). | dari (golongan) jin dan manusia.” | null | null | Aku berlindung kepada-Nya dari setan pembisik kejahatan dan kesesatan yang berasal dari golongan jin, yakni makhluk halus yang tercipta dari api, dan juga dari golongan manusia yang telah menjadi budak setan. | Allah menerangkan dalam ayat ini tentang godaan tersebut, yaitu bisikan setan yang tersembunyi yang ditiupkan ke dalam dada manusia, yang mungkin datangnya dari jin atau manusia, sebagaimana dalam ayat lain Allah berfirman:
وَكَذٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيٰطِيْنَ الْاِنْسِ وَالْجِنِّ
Dan demikianlah untuk setiap nabi Kami menjadikan musuh yang terdiri dari setan-setan manusia dan jin. (al-An‘ām/6: 112)
Setan-setan jin itu seringkali membisikkan suatu keraguan dengan cara yang sangat halus kepada manusia. Seringkali dia menampakkan dirinya sebagai penasihat yang ikhlas, tetapi bila engkau menghardiknya ia mundur dan bila diperhatikan bicaranya ia terus melanjutkan godaannya secara berlebih-lebihan.
Surah ini dimulai dengan kata pendidik, karena itu Tuhan sebagai pendidik manusia, berkuasa untuk menolak semua godaan setan dan bisikannya dari manusia. Allah memberi petunjuk dalam surah ini agar manusia memohon pertolongan hanya kepada Allah sebagaimana Dia telah memberi petunjuk yang serupa dalam surah al-Fātiḥah, bahwa dasar yang terpenting dalam agama adalah menghadapkan diri dengan penuh keikhlasan kepada Allah baik dalam ucapan, maupun perbuatan lainnya dan memohon perlindungan kepada-Nya dari segala godaan setan yang ia sendiri tidak mampu menolaknya. | Surah ini terdiri dari 6 ayat, termasuk golongan surah Makkiyyah, diturunkan sesudah Surah al-Falaq. Nama an-Nās diambil dari kata an-nās yang berulang kali disebut dalam surah ini yang artinya manusia.
Pokok-pokok Isinya:
Perintah kepada manusia agar berlindung kepada Allah dari segala macam kejahatan yang datang ke dalam jiwa manusia dari jin dan manusia | Al-Qur’an diawali dengan Surah al-Fātiḥah yang di antara isinya ialah agar manusia memohon hidayah ke jalan yang lurus dan memohon pertolongan dari Allah dan diakhiri dengan Surah an-Nās yang menganjurkan agar manusia memohon perlindungan kepada Allah dari segala kejahatan. | Al-Qur’an diawali dengan Surah al-Fātiḥah yang di antara isinya ialah agar manusia memohon hidayah ke jalan yang lurus dan memohon pertolongan dari Allah dan diakhiri dengan Surah an-Nās yang menganjurkan agar manusia memohon perlindungan kepada Allah dari segala kejahatan. | Pada akhir Surah al-Falaq, Allah memerintahkan kaum Muslimin untuk berlindung kepada-Nya dari kejahatan hasud. Pada awal Surah an-Nās, Allah memerintahkan kepada Nabi saw agar berlindung kepada-Nya, Tuhan manusia, dari kejahatan jin dan manusia. | ALLAH PELINDUNG MANUSIA DARI KEJAHATAN
BISIKAN SETAN DAN MANUSIA | Kosakata:
1. An-Nās اَلنَّاسِ (an-Nās/114: 1)
Kata an-nās artinya kelompok manusia. Kata ini terambil dari kata an-naus yang berarti gerak. Dengan demikian, yang disebut manusia itu adalah makhluk yang selalu bergerak untuk mencapai keinginan atau cita-citanya. Sebaliknya bila tidak ada gerak atau usaha, maka ia tidak layak disebut sebagai manusia. Selain itu ada pula yang mengatakan bahwa kata ini terambil dari kata unās, yang artinya tampak. Ini berarti sesuatu disebut nās, karena ia tampak dan dapat dilihat, ia bukan merupakan makhluk halus yang tidak dapat diindra (dilihat) atau tidak tampak.
Dalam Al-Qur’an, kata an-nās terulang sebanyak 241 kali. Sedang dalam surat ini disebut sebanyak lima kali, dan tiga di antaranya diungkapkan dalam tiga ayat secara berurutan. Penyebutannya yang demikian memiliki arti bahwa pengungkapan sifat-sifat Allah yang dikaitkan dengan an-nās menunjukkan keserasian makna. Surah ini berisi permohonan perlindungan dari segala bencana yang menimpa manusia, karena itu sangat wajar bila yang diingat pertama adalah tujuan atau kepada siapa permohonan itu ditujukan, yaitu kepada Allah sebagai Zat yang memelihara manusia, karena hanya Dia yang Sang Pencipta yang dapat melindungi dan membimbing manusia. Kemudian pengertian ini akan membawa pada pengertian bahwa Zat yang mampu memelihara dan melindungi itu pasti memiliki kekuasaan yang tidak ada taranya, baik terhadap manusia maupun pada makhluk lainnya. Dari pengertian ini disebutlah Malikin-nās, seperti yang tercantum pada ayat selanjutnya. Selanjutnya, karena Allah adalah Maha Raja yang menguasai manusia, maka sangat wajar jika Dia dijadikan sebagai tujuan ibadah atau satu-satunya Zat yang disembah dan dipatuhi manusia. Dari pengertian ini, disebutlah ayat ketiga, yaitu Ilāhin-nās.
2. Al-Khannās الخَنَّاس (an-Nās/114: 4)
Kata al-khannās berasal dari kata kerja khanasa, yang artinya kembali, mundur, lembek, atau bersembunyi. Dengan demikian, al-khannās dapat diartikan sebagai kembali, kemunduran, kelembekan, atau persembunyian. Namun demikian, makna yang dituju dari kata ini sering kali hanya untuk menyebut arti banyak sekali atau sering kali. Dengan makna demikian, maka kata ini dalam tafsir diungkapkan dengan makna bahwa setan sering kali dan berulang-ulang akan kembali menggoda manusia pada saat ia lengah dan melalaikan Allah. Makna lain dari pengungkapannya juga dapat ditujukan untuk menyatakan bahwa setan sering kali dan berulang-ulang akan menjadi lembek dan mundur saat manusia berzikir atau mengingat Allah. Pendapat ini didukung oleh sebuah hadis yang mengungkapkan informasi Rasulullah yang diriwayatkan oleh al-Bukhārī dari Ibnu ‘Abbās, yaitu bahwa sesungguhnya setan itu bercokol atau bersemayam di hati keturunan Adam. Bila ia berzikir, setan itu akan mundur menjauh, dan bila ia lengah, maka setan akan berbisik (untuk menjerumuskannya). | null | 1. Hanya kepada Allah manusia memohon perlindungan sebagai Pendidik, Raja, dan sembahan mereka.
2. Perlindungan yang dimohonkan adalah dari gangguan, godaan, dan bisikan setan yang bersembunyi dan menusuk di dalam hati manusia.
3. Setan itu ada dua macam yaitu setan jin dan setan manusia. |
Subsets and Splits